naskah oleh FAKHRURRADZIE GADE
foto oleh HERI JUANDA
SEPINTAS Yunairiati terlihat tegar. Ia masih bisa tertawa dan bercanda, serta bercerita banyak soal bencana tsunami yang merenggut suami dan tiga buah hatinya, enam tahun silam. Namun, di balik ketegarannya, perempuan 43 tahun itu memendam sebuah cita untuk segera bertemu Anantika Salwa, buah hatinya yang hilang dalam tsunami. Yunairiati yakin, Nonong, begitu ia sering menyapa Anantika Salwa, selamat dari murka laut.
“Ada orang pintar yang bilang pada saya bahwa Nonong akan pulang pada tahun ke tujuh setelah tsunami,” kata Yunairiati saat berbincang dengan atjehpost.com dan The Jakarta Globe, Rabu (23/2), di Banda Aceh.
Terawangan “orang pintar” ini bukan satu-satunya alasan sang buah hati masih hidup. Setahun setelah tsunami menghumbalang Aceh, sang ibu Yunairiati, Rafisah, pernah bermimpi. Dalam mimpi menjelang salat subuh itu, Rafisah didatangi Salwa. Dalam "perjumpaan" itu, Rafisah melihat cucunya yang mengenakan baju putih duduk di sebuah sudut ruang keluarga.
Rafisah sempat mengobrol dengan sang cucu, Salwa. Ia menanyakan ke mana gerangan Salwa sehingga tak pernah lagi berkunjung ke rumah nenek. "Saya di Langsa," jawab Salwa pada neneknya, "dibawa orang."
Usai memberi kabar keberadaannya, Salwa menghilang. Pagi harinya, Rafisah menceritakan mimpi bertemu dengan Salwa pada sang suami. Namun, sang suami tak merespons cerita Rafisah. Padahal, Rafisah berharap alamat mimpi ini diceritakan kepada anak mereka, Yunairiati, ibu Salwa. Namun kabar dari alam mimpi itu baru diceritakan sang suami kepada Yunairiati menjelang enam tahun tsunami Aceh.
Berdasarkan “petunjuk” ini, pada awal Desember 2010 lalu bolak-balik berkunjung ke Langsa. Dengan selembar foto keluarga, Yunairiati mencari buah hati, hingga ia bertemu dengan seorang siswa sekolah menengah pertama.
“Saat saya perlihatkan foto Salwa, adik itu langsung bilang saya harus ke Desa Kuala Langsa. Di sana Salwa tinggal,” kata Yunairiati.
Ia lantas menyusuri sekolah dasar di Kuala Langsa, pada 9 Desember. Kepada kepala sekolah, Yunairiati menyatakan ingin mencari anaknya yang hilang dalam tsunami dan menurut kabar ada siswa sekolah ini yang mirip dengan buah hatinya. Berbekal selembar foto, menurut Yunairiati, ia dipertemukan dengan Febi Gebriana, 12 tahun.
“Ibu guru kelas enam langsung meminta Febi untuk menanggalkan jilbabnya, untuk mencocokkan rambut Febi dengan rambut anak saya, yang keriting. Cocok,” kata dia. Sebelumnya, menurut cerita Yunairiati, sang kepala sekolah juga mengakui bahwa Salwa dan Febi mirip.
Sampai di sini, Yunairiati masih menganggap bahwa Salwa dan Febi mirip belaka. Begitu juga dengan tahi lalat yang ada di bawah hidung sebelah kanan, yang sama-sama dimiliki Salwa dan Febi. Namun, ia meminta pada kepala sekolah untuk memperlihatkan data Febi dan orangtuanya. Namun, Yunairiati –yang dating bersama kawannya, Syafira, diminta untuk kembali keesokan harinya.
Pada 11 Desember 2010, Yunairiati dan Syafira kembali ke sekolah itu. Rupanya, upaya Yunairiati bertemu dengan Febi tercium warga. Orangtua Febi –bersama warga—mendatangi sekolah. Beredar kabar, Yunairiati hendak menculik Febi.
“Kepada ibu Ainul Mardhiah (ibunya Febi Gebriana –red.) saya bilang mau mencari anak saya, yang mirip dengan Febi. Saya perlihatkan foto, dan mereka juga bilang mirip,” kata warga Desa Kajhu, Aceh Besar, ini. “Namun saya bilang, kalau Febi bukan anak saya, saya minta maaf.”
Melihat massa yang ramai, Yunairiati dan Syafira dibawa ke kantor desa yang berada satu kompleks dengan sekolah. Lagi-lagi, Yunairiati menjelaskan bahwa ia hendak mencari anaknya. Ia sama sekali tidak bermaksud menculik Febi Gebriana.
Massa semakin bertambah. “Seorang warga ada yang mencoba masuk paksa ke kantor desa melalui jendela. Lalu dia diusir. Mungkin tindakan ini yang memicu provokasi massa,” kata dia.
Massa kemudian beringas dan mengepung kantor desa. Yunairiati dan temannya dipukul dan disiksa. Penghakiman massa berakhir setelah aparat kepolisian datang ke lokasi. Yunairiati harus dirawat di Rumah Sakit Umum Langsa akibat luka di sekujur tubuhnya. Sementara Syafira terpaksa dilarikan ke sebuah rumah sakit di Medan, Sumatera Utara, akibat tulang lehernya nyaris patah.
Setelah petaka itu, Yunairiati melapor ke Polres Langsa soal anaknya yang hilang. Ia meminta dilakukan tes DNA antara dirinya dengan Febi Gebriana dan orangtuanya. “Saya ingin tes DNA agar persoalan ini selesai,” kata dia.
Awal bulan ini, Yunairiati mendapat informasi dari Polres Langsa bahwa keluarga Febi Gebriana setuju untuk melakukan tes DNA.
Ainul Mardhiah, ibu Febi, akan membantu Yunairiati untuk menyelesaikan kasus (anak tsunami) ini. Menurut Ainul, pascakejadian itu, Febi mengalami trauma dan sempat berhenti sekolah.
“Saya marah, dan bingung,” kata perempuan berusia 34 tahun ini, yang pindah dari Banda Aceh ke Langsa setelah tsunami untuk memulai hidup baru. “Saya ingin kasus ini segera selesai,” kata dia pada Associated Press.
Tsunami menyebabkan lebih dari 1.600 anak-anak terpisah dari orang tuanya. Farida Zuraini dari Dinas Sosial Aceh menyebutkan, sebanyak 1.529 anak yang telah direunifikasi dengan orangtuanya hingga Juni 2006.
"Program ini kita hentikan pada 2006 lalu. Namun kalau ada yang datang ke kami dan meminta bantu dicari anaknya, kami akan ikut membantu," kata Farida Zuraini.
Kasus terakhir yang ditangani Dinas Sosial pada 2009. Saat itu, kata Farida Zuraini, ada satu keluarga yang meminta Dinas Sosial melacak keberadaan anaknya di sebuah panti asuhan di Jawa. Namun, setelah jaringan yang dipakai Dinas Sosial menelusuri ke panti asuhan tersebut, "rupanya bukan anak Aceh seperti yang dibilang ibu yang minta bantu sama kita," lanjutnya.
Pada 2008 lalu, Dinas Sosial melalui program "tracing" juga berhasil memulangkan seorang anak Aceh dari Lombok.
"Setelah enam tahun tsunami, tidak ada lagi keluarga yang datang ke kita meminta bantu. Mungkin masih ada yang mencari-cari, tapi dilakukan sendiri," kata dia. ***
--
Dipublikasikan di The Atjeh Post [www.atjehpost.com] edisi 24 Februari 2011.