AMARAH massa membakar Gereja Huria Kristen Indonesia (HKI) di Desa Suka
Makmur, Kecamatan Gunung Meriah, Aceh Singkil, 13 Oktober lalu. Selesai
membakar gereja yang tidak mengantongi izin itu, ratusan massa bergerak menuju
Desa Dangguran di Kecamatan Simpang Kanan, yang tak jauh dari sana.
Sasarannya, Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi. Kabar pembakaran
gereja di Suka Makmur beredar cepat ke seluruh Singkil. Jemaat Gereja Kristen
Protestan Pakpak Dairi bersiap diri. Dibantu polisi, massa menjaga gereja dari
amukan massa.
Jemaat GKPPD sudah mempersiapkan diri menghadapi massa yang akan
mengusik ketenangan gereja itu. Benar saja, massa dihadang dengan pelbagai
senjata tajam dan senjata api. Begitu mendekati gereja, massa segera dihujani
tembakan dan lemparan batu. Seorang penyerang meregang nyawa setelah tertembak
peluru senjata pemburu babi. Sedangkan empat lainnya mengalami luka-luka.
Pembakaran gereja dan bentrokan antarpemeluk agama mengusik rasa
toleransi yang telah puluhan tahun terbina di Aceh Singkil. Memang, riak-riak
gesekan antara pemeluk agama Islam dan Kristen di sana sudah terjadi sejak 1979
lalu. Hanya saja, selalu bisa diredam dengan kesepakatan para tokoh agama dan
tokoh masyarakat setempat.
Gesekan itu terjadi akibat banyaknya bertumbuhan gereja-gereja baru di
kawasan yang berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara itu. Nah, warga Aceh
Singkil yang beragama Islam meminta agar pemeluk Kristen tak sembarangan
membangun rumah ibadah tanpa seizin otoritas Singkil.
Kasus Singkil belakangan menjadi perhatian nasional dan dunia
internasional. Media asing ramai-ramai memberitakan peristiwa langka di Aceh
itu.
Presiden Joko Widodo memerintahkan agar kasus Singkil diselesaikan
secara tuntas. "Hentikan kekerasan di Aceh Singkil. Kekerasan berlatar apa
pun, apalagi agama dan keyakinan, merusak kebhinnekaan," tulis Presiden
dalam akun Twitter, sehari setelah pembakaran gereja.
Banyak yang menilai kasus Singkil menjadi alarm merah bagi toleransi
umat beragama di Aceh. Anggapan itu meluas di kalangan masyarakat luar,
sehingga beranggapan bahwa Aceh yang menerapkan syariat Islam merupakan
provinsi intoleran di Indonesia.
Anggapan itu keliru. Singkil terjadi akibat sikap pemerintah yang tidak
tegas terhadap penegakan aturan, terutama soal pendirian rumah ibadah. Andai
pemerintah lokal proaktif, kekerasan berlatar agama itu tak bakal terjadi.
Kepala Dinas Syariat Islam Prof Syahrizal Abbas menilai kasus Singkil
bukan bagian dari konflik agama. "Tapi terjadi karena inkonsistensii dalam
penegakan aturan perundang-undangan," katanya seperti dilansir
acehkita.com.
Hubungan antarmasyarakat berbeda agama di Aceh Singkil selama ini
berjalan baik. "Kami di sini hidup berdampingan dengan orang kita
Islam," kata Rianto Marbun, pemeluk Kristen berusia 35 tahun. Rumahnya
terletak persis di seberang bangunan Gereja HKI yang dibakar massa di Desa Suka
Makmur.
Menurut Rianto, kehidupan antarumat bergaama di Desa Suka Makmur tidak
mengalami masalah apa-apa. Sejak dulu, Islam dan Kristen hidup berdampingan,
tidak pernah terjadi sindir menyindir apalagi saling baku hantam. Dengan jumlah
penduduk 60 persen menganut agama Nasrani, mereka hidup akur. Mereka menganut
betul firman Ilahi dalam Quran: Bagimu agamamu, bagiku agamaku.
Aceh menjadi satu-satunya daerah yang memberlakukan syariat Islam di
Indonesia, sejak 2000 lalu. Meski menerapkan hukum Islam, non-muslim bisa hidup
dan menjalankan ajaran agamanya. Syahrizal menyebutkan, pemberlakuan syariat
Islam di Aceh tetap memberikan ruang bagi non-muslim.
Hal ini seperti yang dilakukan pada masa Rasulullah dalam mendirikan
Kota Madinah. Pada masa itu, sebut Syahrizal, Nabi Muhammad memberikan
kebebasan bagi non-muslim untuk menjalankan ajaran agamanya.
“Mereka tidak diganggu. Silakan Anda berbeda agama dengan kami. Itu
bentuk toleransi yang luar biasa,” tandas guru besar hukum Islam pada
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry itu.
Lantas, seperti apa Piagam Madinah atau yang juga dikenal dengan
Konstitusi Madinah itu?
Piagam Madinah terdiri atas 47 pasal, yang di sana mengatur segala
seluk-beluk kehidupan bermasyarakat dan bernegara --termasuk menjamin kebebasan
dalam menjalankan agama masing-masing.
Lihat saja bagaimana Rasulullah membina kerukunan umat beragama yang
hidup di Kota Madinah, seperti termaktub dalam Pasal 16. "Sesungguhnya
orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan,
sepanjang (mukminin) tidak terzalimi dan ditentang olehnya."
Toleransi tinggi juga termuat dalam Pasal 25 yang berbunyi "Kaum
Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama
mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi
sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal
demikian akan merusak diri dan keluarga".
Baik Islam maupun non-Islam, Rasulullah membebankan kepada mereka pajak
dan bahu-membahu dalam menghadapi musuh yang menyerang Madinah. Piagam juga
mengatur soal umat Islam dan non-muslim untuk sama-sama terjun ke medan perang
jika menghadapi musuh yang akan mengusik Kota Madinah.
Nabi juga melindungi umat Yahudi dan Nasrani yang mendukung Piagam
Madinah.
Itulah nilai-nilai toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan agama
yang diajarkan Nabi Muhammad dalam membangun Kota Madinah. []
FAKHRURRADZIE, tulisan ini dimuat di Majalah Santunan, Kanwil Depag Aceh.