Pengantar Redaksi:Benarkah pemilihan umum (Pemilu) 5 April untuk memilih anggota legislatif berlangsung bebas dan aman di Aceh? Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Ryamizard Ryacudu mengklaim 94% rakyat Aceh mengikuti pemilu. Sehingga pemilu yang berlangsung di bawah status Darurat Militer itu dikatakan berhasil sekaligus membantah tudingan berbagai pihak sebelumnya.Lalu benarkah, tingkat partisipasi yang tinggi itu berarti rakyat tidak mendapat ancaman dari pihak-pihak yang bertikai di Aceh untuk menggagalkan atau mengikuti Pemilu?Berikut ini laporan hasil investigasi yang didanai oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melalui program beasiswa Investigasi Kecurangan Pemilu 2004 se-Indonesia yang diikuti oleh 14 finalis. Laporan ini terdiri dari lima bagian yaitu Teror Senjata di Hari Pemilu,...
Senin, September 27, 2004
Bagian 5
Rayonisasi atau Mobilisasi Massa?
5 April 2004, pagi. Ribuan warga Desa Lamreung, Meunasah Papeun, Meunasah Lueng Ie, Rumpet dan Lamgeuleumpang, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar berbondong-bondong mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Desa Lamreung. Di lapangan desa yang berbatasan dengan Kampus Darussalam, Banda Aceh ini, memang menjadi tempat tujuan ribuan warga yang hendak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum legislatif di daerah yang saat itu masih berada dalam status darurat militer. Di lapangan Desa Lamreung, disediakan 15 TPS untuk melayani kebutuhan masyarakat lima desa. Penggabungan ini, menurut seorang anggota Panwaslu Aceh Besar, karena alasan keamanan. Di Kecamatan Ingin Jaya saja, katanya, terdapat dua rayon yang menggabungkan beberapa desa. "Ini hanya faktor keamanan," katanya.Bukan hanya...
Bagian 4
Jalan Panjang Menuju Pemilu
CENTER for Electoral Reform (CETRO) pada Desember 2003 menegaskan, pelaksanaan Pemilu 2004 di Aceh dalam status Darurat Militer (DM) adalah cacat hukum. Bukan hanya CETRO saja yang mengeluarkan pendapat pesimistis Pemilu di bawah status DM bisa berjalan dengan asas langsung, bebas, rahasia (luber) dan jujur, adil (jurdil).Indra Jaya Piliang, peneliti Center for Stategic and International Studies (CSIS) juga melontarkan pernyataan senada dengan CETRO. Menurut Indra Piliang, Pemilu di Aceh secara legal formal lemah.Argumentasi yang dilontarkan CETRO berpijak pada landasan hukum pelaksanaan Pemilu dan pemberlakuan status keadaan bahaya. Menurut Smita Notosusanto, Direktur Eksekutif CETRO di Jakarta kepada penulis melalui email pada Mei 2004, banyak anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Panitia...
Bagian 1
Teror Senjata di Hari Pemilu
MATAHARI menyengat di Blang Rheum, desa terpencil di pedalaman Aceh. Empat kilometer dari Kabupaten Bireuen atau 220 kilometer dari arah barat laut kota Banda Aceh, desa itu terletak di seberang sebuah bukit kecil nan senyap. Tidak ada perumahan penduduk di sekitar bukit tersebut. Hanya rumpun bambu dan semak-semak lainnya yang banyak menghiasi sekitar bukit. Ketika bukit terlewati, dan ini hampir memasuki pekampungan Blang Rheum, sebuah grafiti terpampang. Mencuri perhatian siapa saja yang melintasinya. Grafiti besar itu berada persis di tengah-tengah bukit.“Hancurkan Separatis GAM Demi Tegaknya NKRI”. Begitulah bunyi tulisan di situ.Grafiti, baliho, pamplet dan spanduk dengan pesan serupa sebenarnya bisa ditemukan hampir di semua desa, kecamatan dan kabupaten di Aceh. Tapi, kehadirannya...
Bagian 2
Surat Intimidasi GAM yang Misterius
SEBUAH siaran pers dikeluarkan aktivis Forum LSM Aceh--salah satu lembaga yang melakukan pemantauan Pemilu di Aceh. Dalam siaran pers itu, Forum mensinyalir telah terjadi ancaman terhadap masyarakat pemilih. Ancaman itu, kata siaran pers tadi, dilakukan oleh GAM terhadap para kepala desa dan masyarakat pemilih yang ada di wilayah kabupaten Aceh Jaya. Ancaman potong jari ditujukan bagi pemilih yang mempunyai tinta hitam di jempolnya. Selain itu, GAM mengancam akan memberikan tindakan tegas bagi kepala desa.Kasus dugaan adanya ancaman GAM terhadap masyarakat pemilih, merebak menyusul adanya surat dari enam kepala desa di sejumlah kecamatan yang ada di kabupaten Aceh Jaya. Para kepala desa itu, dalam pernyataan bersama, mengatakan, ancaman itu ditebar melalui selebaran-selebaran yang berkop Aceh...
Bagian 3
Pemaksaan dan Pemukulan di Hari Pemilu
“IKUT Pemilu bukti cinta kepada NKRI.” Demikian isi sebuah spanduk terbentang di sudut Kota Caleue Kecamatan Indrajaya, sekitar 5 km dari Kota Sigli, Kabupaten Pidie. Bukan hanya di Caleue saja, spanduk yang berbunyi seperti itu, dipampang di setiap sudut kota. Di Banda Aceh pun, spanduk bernada senada, juga banyak menghiasi kantor-kantor pemerintahan dan persimpangan jalan kota.Aneh memang jika melihat dari substansi Pemilu. Dalam undang-undang dinyatakan, ikut Pemilu merupakan hak warga negara. Namun, di Aceh serasa ikut Pemilu merupakan sebuah kewajiban, yang apabila tidak ditunaikan, akan mendapat dosa-dosa politik. Alasan ini terasa klise! Tapi, itu adalah kenyataan yang berkembang di Aceh, sejak berada dalam status darurat militer.Lalu, bagaimana jika masyarakat calon pemilih tidak menggunakan...
Minggu, September 05, 2004
Do Ku Do Da I Di
SABTU (4/9) malam. Saya dan tiga kawan datang ke Taman Ismail Marzuki (TIM). Ada Festival Budaya Jakarta 2004 di sana. Ada berbagai atraksi dan bazaar. Banyak muda-mudi hadir. Malam itu, ada pementasan lenong Betawi. Saya ikut menonton sebentar. Tapi, segera kemudian bergegas ke sebuah pojok. Pondok Serambi, nama sebuah pondok berbentuk semacam kios.Di sana, dijual Mie, Martabak dan Bu gureng Aceh. Saya rindu mencicipi itu semua, sejak meninggalkan Aceh, tiga minggu silam. Usai makan, kami ngobrol. Dari obrolan bertemakan kampung halaman, hingga persoalan budaya. Saya tidak paham banyak dengan budaya. Saya memilih diam saja.Seorang kawan dari Aceh lalu berkata."Ureung Aceh nah, awai lahe paleh ngen badan. Sigohlom lahe, syit ka dipreh le paleh, (Orang Aceh, sudah ditunggui oleh paleh sebelum...
Rabu, September 01, 2004
Belajar dari yang Kecil
SELASA (31/8). Di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bermarkas di Jalan Juanda Jakarta, beberapa unsur pimpinan DPRD Nanggroe Aceh Darussalam, diundang untuk dimintai keterangannya, perihal pengadaan helikopter Mi-2 buatan Rusia. Heli itu, dibeli Gubernur Abdullah Puteh seharga Rp 12,6 miliar.Sebenarnya, tidak ada masalah dengan heli itu. Namun, setelah diselidiki, ternyata tidak laik terbang. Sudah begitu, mahal lagi. Jika TNI AU membeli seharga Rp 9 miliar, maka Pemda NAD, membeli seharga disebutkan di atas. Proyek ini, patungan dengan Pemda Tingkat II. Nah, berarti, ada penggelembungan harga sebesar Rp. 4 miliar. Wow! Angka yang sangat fantastis.Akibatnya, KPK akhirnya menetapkan Abdullah Puteh, sebagai tersangka. Nah, kehadiran para pimpinan DPRD ini, untuk diminta keterangannya...