NAGAN
RAYA
GAM
Pun Siap Memberantas Korupsi
Oleh
FAKHRURRADZIE M. GADE dan ADI WARSIDI
JARUM jam menunjukkan angka 10.00 WIB.
Ruangan yang akan digunakan untuk acara Sosialisasi Pemberantasan Korupsi yang
diselenggarakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih belum penuh terisi.
Para peserta yang kebanyakan dari unsur Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagian
masih asik ngobrol di luar ruangan.
Sejatinya, sosialisasi yang dibahani Wakil Ketua KPK Amien Sunaryadi dimulai
pada pukul 09.00 WIB.
Panitia berkali-kali mengumumkan acara akan
segera dimulai dan peserta diminta mengisi kursi yang telah disediakan di ruang
pertemuan Pemerintah Kabupaten Nagan Raya. Peserta tetap saja bergeming. Acara
kemudian dimulai pada pukul 10.30 WIB.
Amien Sunaryadi yang menjadi pembicara,
menjelaskan 30 jenis korupsi yang sudah diatur dalam Undang Undang No 20 tahun
2001 junto UU No 31 tahun 1999. Menurut Amien, 30 bentuk dan jenis tindak
pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tujuh
katagori besar: (1) kerugian keuangan negara; (2) suap-menyuap; (3) penggelapan
dalam jabatan; (4) pemerasan; (5) perbuatan curang; (6) benturan kepentingan
dalam pengadaan; (7) gratifikasi.
Setelah memperkenalkan jenis dan bentuk
tindak pidana korupsi, Amien meminta para peserta supaya menghindari dari
perbuatan korupsi. Dan, jika menemukan indikasi korupsi maka segera laporkan ke
aparat penegak hukum.
“Kalau menemukan indikasi korupsi, cocokkan
dengan yang ada di buku ini (Memahami untuk Membasmi). Kalau cocok, maka itu
korupsi. Tapi kalau tidak cocok, berarti bukan. Kita harus berani mengatakan
yang benar itu benar, dan yang salah itu salah,” kata Amien. “Kenapa hanya
berpegang pada 30 jenis ini? Karena yang ada di UU hanya 30 jenis ini.”
Saat sesi tanya jawab tiba, Teungku Bukhari,
anggota DPRD Nagan Raya mempertanyakan kenapa KPK tidak menangani kasus
megakorupsi yang melibatkan bekas orang nomor satu di Indonesia, Suharto, yang
memimpin Indonesia selama 30 tahun. “Tingkat mana praktik KPK (dalam
pemberantasan korupsi), sehingga rakyat belum melihat Suharto ditindak. Ini
kenapa dan apa faktornya,” kata anggota DPRD tersebut.
Ditanya mengenai nasih proses hukum terhadap
bekas orang kuat di Indonesia itu, Amien mengatakan, Suharto sudah pernah
dibawa ke meja hijau, jauh sebelum KPK dibentuk pada 2003 silam. Bahkan,
majelis hakim yang menyidangkan perkara sudah pernah mengetok palu atawa
memutuskan perkara itu. Sayang, fakta hukum dan medis menunjukkan Suharto
sakit. “Sakit atau nyakit itu kan
beda tipis,” sindir Amien.
Adanya fakta hukum tersebut membuat proses
hukum berlarut-larut. Pemeriksaan terhadap kesehatan Suharto terus dilakukan
pemerintah. Kemudian Mahkamah Agung (MA) memutuskan dan memerintahkan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk melanjutkan kasus tersebut. Tapi
apadaya, Suharto kembali sakit, sehingga membuat PN Jakarta Selatan tidak bisa
melanjutkan pemeriksaan.
Melihat kondisi ini, Kejaksaan Agung akhirnya
mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penuntutan (SP3) dan menutup kasus
Suharto. “Kalau sudah SP3 berarti proses hukumnya berhenti. Sudah tidak bisa
dilanjutkan kembali,” ujarnya.
KPK memang berniat membuka kembali kasus
itu, misalnya, dengan mengajukan novum (bukti-bukti baru). Tapi KPK terkendala
dengan UU No 31/1999 yang membatasi gerak lembaga itu. Dalam UU, KPK hanya
diberikan wewenang menangani kasus tindak pidana korupsi setelah lembaga yang
dipimpin Taufiqurrahman Ruki itu terbentuk. Artinya, KPK tidak berhak menangani
berbagai kasus korupsi yang terjadi sebelum KPK terbentuk.
“Jadi, KPK fokus pada pengusutan dan
penanganan kasus mulai 1999 sampai dengan sekarang ini. Sebelumnya, KPK
ragu-ragu apakah bisa ditangani atau tidak,” kata dia. “Kenapa UU demikian?
Kami tidak tahu, yang bikin DPR dan Presiden.”
Tidak semua peserta sosialisasi peduli
dengan proses hukum terhadap Suharto. Mahdi, seorang anggota Gerakan Aceh
Merdeka (GAM), mengaku tidak mempersoalkan apakah Suharto dihukum atau tidak
atas berbagai tindak pidana korupsi yang diperbuatnya. Bagi Mahdi, yang paling
penting dilakukan saat ini adalah membongkar kemungkinan adanya kasus korupsi
di kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat ini. “Saat ini yang
paling mendesak dilakukan adalah pengusutan kasus korupsi di Nagan Raya,” kata
dia saat mengajukan pertanyaan.
Mahdi mengatakan, GAM siap membantu KPK
dalam mengusut berbagai dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi di kabupaten
yang dibentuk berdasarkan UU No 4/2002 tertanggal 10 April 2002.
Amien setuju pemberantasan korupsi di Nagan
Raya harus digiatkan. Dia mengaku tidak habis pikir dengan kondisi ril
masyarakat Aceh. Di satu sisi, sumberdaya alam yang ada di Aceh berlimpah,
ditambah lagi dengan banyaknya uang yang mengalir ke Aceh pascatsunami dan
konflik. Namun di sisi lain, masyarakat Aceh terus hidup dalam kemiskinan yang
membelit. “Ke depan, dana yang mengalir ke Aceh ini jangan sampai dikorupsi,”
kata dia.
Dia meminta aparat penegak hukum di Aceh
untuk lebih giat dalam memberantas korupsi, supaya hukum lebih berwibawa di
bumi Serambi Mekkah ini. Karena itu, dia meminta aparat penegak hukum untuk
menindak pejabat pemerintahan yang mengorupsi dana rakyat.
“Kalau ada oknum pejabat yang korupsi dana
Aceh dan dibawa ke luar Aceh, ini salah dan harus dicegah. Dana itu harus
digunakan untuk kesejahteraan rakyat,” sebutnya. “Kalau ada informasi
terjadinya korupsi di sini, laporkan ke KPK.”
Lantas apakah di Nagan Raya ada dugaan
korupsi dana negara dan publik, atau penyalahgunaan kekuasaan? Menarik jika menyimak
keluh kesah yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar dari LSM Peduli Pembangunan dan
Kerakyatan.
Ibnu Hajar mengaku, LSM yang dipimpinnya
saat ini sedang mengadvokasi puluhan warga yang lahan/tanahnya diambil
Pemerintah Kabupaten Nagan atas restu DPRD. Anehnya, warga sama sekali tidak
memperoleh ganti rugi atas tanah tersebut. Sayangnya, warga yang memiliki tanah
itu tidak bisa membuktikan bahwa itu adalah miliknya, karena tidak mengantongi
sertifikat tanah. Tapi, “Ada surat jual beli di atas segel,” kata dia.
“Apakah itu termasuk dalam korupsi?” tanya
Ibnu Hajar kepada Amien Sunaryadi.
Tanah yang dimaksud Ibnu Hajar berada empat
desa: Blang Gapek, Lueng Baro, Suak Bilie, dan Cot Kuta. Luasnya mencapai 312
hektar. Menurut Ibnu Hajar, tanah itu telah digarap selama puluhan tahun oleh
warga. Selama ini, Pemkab Nagan Raya hanya membayar biaya land clearing sebesar Rp 600 per meter. “Kami sudah menggugat ke
pengadilan,” kata dia lagi.
Di Pengadilan Negeri Nagan Raya, majelis
hakim meminta penggugat dan tergugat untuk berdamai, Oktober 2005. Ibnu Hajar
menuding terjadinya aksi suap menyuap sebelum para pihak berdamai. “Hakim sudah
mengeluarkan akta perdamaian. Dan warga mau dibayar Rp 600 per meter oleh
pemerintah,” ujarnya. “Tapi harga itu bukan muncul dari hasil dialog.”
Setelah adanya perdamaian itu, hanya 70
warga lagi yang masih bersikukuh pada pendiriannya. Sebelumnya, 150 orang yang
mau menggugat Pemkab Nagan Raya. Dia menyebutkan, setelah lebaran Idul Fitri
1427 H kemarin, pihaknya dan 70 warga mau kembali mengambil lahan yang telah
digarap selama 30 tahun itu. Ibnu Hajar sendiri termasuk salah seorang pemilik
lahan.
Lahan yang diambil pemerintah itu untuk
membangun pusat Pemerintahan Kabupaten Nagan Raya. Di sana nantinya akan
dibangun kantor bupati dan DPRD.
Amien Sunaryadi mengatakan, penggusuran
merupakan hal yang lumrah terjadi di sebuah negara. Di Amerika Serikat, UU
mengatur masalah penggusuran ini. Di sana disebutkan, pemilik lahan wajib
melepaskan lahan yang dikuasainya. “Bayangkan AS yang sangat individual,
hukumnya mewajibkan pemilik lahan untuk melepaskan lahannya,” kata dia.
Tapi kewajiban melepaskan lahan ada
syaratnya, yaitu kalau lahan itu akan dipakai untuk kepentingan umum, seperti
pembuatan laham. Syarat kedua, setelah diberikan kompensasi yang wajar. Namun
sangat sulit untuk mendefinisikan wajar di sini. “Kalau dibuat terlalu besar,
maka akan merugikan APBD, dan rakyat keseluruhan. Tapi kalau terlalu kecil,
akan merugikan pemilik lahan,” kata dia.
Unsur korupsi bisa saja terjadi di ranah
ini. Misalnya, pejabat yang mengeksekusi tanah memotong dana kompensasi yang
seharusnya diterima para pemilik lahan. “Kalau ganti rugi tinggi, tapi sebagian
malah diambil para pejabat, itu benar-benar korupsi. Begitu juga, kalau ganti
rugi yang telah ditetapkan dengan harga wajar tapi dipotong, ini juga korupsi.
Bisa kena pasal 12 B, yaitu memaksa seseorang menerima pembayaran dengan
potongan. Ini korupsi!” kata dia.
***
SESI kedua sosialisasi dibahani oleh Hayie
Muhammad, direktur program Indonesia Procurement Watch (IPW), Kasru dari Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias, dan M Ali Basyah Amin dari Bappeda
Provinsi Aceh. Hayie Muhammad memberikan materi tentang pengadaan barang dan
jasa.
Kepada Hayie, Ir. Tarmizi, kepala Dinas
Perikanan dan Kelautan Nagan Raya, menanyakan seputar proyek pengadaan barang
di dinas-dinas. “Jika ada proyek teknis senilai antara Rp 100-200 juta, apakah
ini bisa di-swakelola-kan?” tanya Tarmizi.
Tarmizi juga “menggugat” BRR atas program
pengadaan perahu nelayan yang menjadi korban tsunami, yang dinilai kualitasnya
tidak bagus. Itu pun, perahu tersebut dibuat oleh pengusaha di luar Nagan Raya.
Akibatnya, perahu tersebut tidak bisa berlayar karena tidak sesuai dengan
kondisi ombak yang ada di laut Nagan Raya.
“Serangan” terhadap BRR bukan hanya dari
Tarmizi. Sebelumnya, Teungku Muhammad Din, warga Desa Lhok Paro, dan Teungku
Bukhari, anggota DPRD setempat juga memprotes BRR yang telah berjanji akan
membangun dan memperbaiki sarana jalan menuju ke Desa Tripa Baroh.
“BRR telah berjanji untuk membangun jalan di
sana pada tahun 2005. Tapi sampai sekarang jalan belum juga diperbaiki,” kata
dia, sembari mempertanyakan komitmen BRR untuk memperbaiki jalan itu pada tahun
2007.
Menjawab pertanyaan Ir Tarmizi mengenai
proyek senilai Rp 100 juta tersebut, Hayie Muhammad menyebutkan, berdasarkan Keputusan
Presiden No 80 tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, proyek yang
bernilai Rp 50 juta ke atas harus dilakukan dengan tender alias tidak bisa
swakelola dan penunjukan langsung (PL).
Menurut Hayie, sebenarnya pihak IPW sedang
membuat sebuah kajian kalau proyek Rp 50 juta harus melalui proses tender itu
ternyata nilainya lebih mahal ketimbang dikelola sendiri oleh dinas-dinas. IPW
sendiri mengusulkan, swakelola itu bisa dilakukan terhadap proyek senilai Rp 1
Miliar. “Harga yang dibeli oleh negara bisa lebih mahal. Misalnya, beli AC,
kalau beli langsung ke pasar lebih mahal. Kenapa harus melalui kontraktor,”
kata dia.
Dan, ini juga bisa menutup celah untuk
melakukan korupsi melalui penggelembungan harga. Ya kan Pak! []
TULISAN ini merupakan laporan Sosialisasi Antikorupsi yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerjasama dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias dan UNDP, 2006
0 comments:
Posting Komentar