Saya tidak menduga jika ada orang tua (baca: generasi tua) yang menolak dibangun rumah adat Aceh oleh lembaga swadaya masyarakat, yang merekonstruksi Aceh pascatsunami.
Menurut pria yang saya taksir berusia 55 tahun, dia menolak rumahnya yang porak-poranda dihantam gelombang tsunami akhir tahun lalu, diganti dengan rumah yang berbentuk rumah tiang atau menyerupai rumah Aceh. Alasannya, material pembuatan rumah langka itu bukan berasal dari kayu-kayu yang kualitas bagus.
“Tiangnya dibuat dari pohon kelapa,” kata dia.
Memang, saya pernah melihat rumah Aceh bantuan Muslim Aid di Gampong Jawa, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh, bahan bakunya pohon kelapa. Saya memang awam perihal ilmu bangunan dan arsitektur. Namun, sekilas rumah Aceh bantuan Muslim Aid itu bagus. Ini membuat pikiran saya kembali menerawang ke tahun 1980-an.
Di kurun waktu itu, masih banyak rumah adat yang gampang ditemui. Di Pidie, saya masih bisa menemukan rumah khas Aceh itu di pinggir jalan raya. Ada dengan tiang yang tinggi, ada pula pendek, sehingga menyerupai rumah panggung. Saya paling menyukai ukiran di tampong, berbentuk segi tiga yang banyak lubang, sehingga memudahkan masuknya angin. Jika di rumah masa kini dinamakan dengan ventilasi angin.
Beragam bentuk ukiran itu, membuat rumah khas Aceh tersebut tampak indah. Selain, mengandung filosofi yang sarat makna. Pintu utama rumoh Aceh, lebih pendek, sehingga orang dewasa harus merunduk saat memasuki. Itu artinya, masuk ke rumah tersebut harus dengan sopan santun, untuk menghormati sang pemilik rumah. Jadi, tidak bisa masuk sembrono, atau sambil lari.
Bagian dalam rumah Aceh sendiri terbagi dari tiga bagian: seuramoe keu, rambat, dan seuramoe likot.
Seuramoe keu dikhususkan bagi para tamu. Di sana pemilik rumah akan menjamu setiap orang yang berkunjung ke rumahnya. Lalu rambat, khusus dipakai bagi orangtua (ayah dan ibu). Biasanya di rambat hanya ada satu kamar atau dua, jika ukuran rumah lebih besar. Sementara seuramoe likot digunakan sebagai dapur dan tempat tidur bagi anak perempuan. Anak laki-laki di Aceh jarang tidur di rumah. Mereka lebih memilih tidur di meunasah atau masjid. Di sana, mereka belajar ngaji dan beribadah, selain sebagai pageu gampong (menjaga kampung).
***
Pak tua asal Lhok Nga itu dengan bangga menyatakan menolak bantuan rumah khas Aceh bagi korban tsunami di desanya. Para warga meminta dibuatkan rumah permanen ala modern. Dia kemudian menamsilkan, rumah Aceh adalah nasi basi, dan rumah permanen adalah nasi segar.
Dia menambahkan lagi, jika mereka menerima rumah khas Aceh, maka mereka akan kembali ke era tahun 70-an, di mana masih mudah ditemui rumah adat tersebut. Alasan lain dia menolak rumah tersebut, karena mudah diterpa angin laut yang tak berpenghalang tanaman yang sudah dimatikan tsunami.
Bagi saya, apa pun alasannya, penolakan seperti itu tetap tidak bisa diterima. Lain halnya jika penolakan itu dilakukan oleh generasi seumuran saya, yang tidak terlalu familiar dengan rumah warisan endatu itu.
Yang sangat disayangkan, penolakan generasi tua terhadap simbol budaya itu, bisa menggerus budaya Aceh yang perlahan-lahan memang sudah terkikis dan dimakan zaman. Generasi saya banyak yang sudah tidak paham dengan budaya, adat istiadat, yang berlaku di tengah-tengah masyakarat Aceh. Ini tentu tidak bisa disalahkan generasi muda. Sebab, generasi tua saja sudah tidak care lagi dengan budaya dan simbol-simbolnya.
Jika dia menolak pembuatan rumah Aceh, karena memakai material tidak bagus, kenapa dia tidak membuat kesepakatan dengan LSM tersebut: buat rumah Aceh dengan material yang bagus, sehingga tidak cepat rusak. Kenapa tidak dibuat perjanjian seperti itu?
Potret di Aceh ini sangat kontras dengan masyarakat Minang. Mereka sangat bangga dengan kultur dan simbol-simbol kedaerahan. Kesimpulan ini saya ambil setelah melihat banyak warung nasi Padang di Jakarta, yang khas Padang. Mereka membikin warung dengan bangunan berbentuk rumah adat Padang. Mereka bangga dengannya. Sesama mereka pun jika bertemu, langsung saja bertutur bahasa daerah.
***
Percakapan Pak Tua dengan saudaranya (yang kawan saya), merupakan sebuah ironi. Saya tidak akan menyalahkan generasi di bawah yang sudah buta dengan budaya.
Tapi, kendati kesal, saya mencoba memahami alasan penolakan Pak Tua tadi. “Baru empat hari ditempati, kayu lantai sudah patah,” kata dia.
“Kita butuh rumah untuk jangka waktu lama.”
“Saya pernah diminta pendapat sama seorang LSM, yang gusar dengan harga rumah Aceh hingga Rp 48 juta. Saya bilang, kalau dilihat dari bahannya, paling pantas dibayar Rp 22 juta saja.”
“Rumah Aceh, kita kembali ke tahun 1970-an. Kita butuh rumah permanen.”
Itu beberapa ungkapan yang sempat terekam dalam pikiranku.
Tapi bagaimana pun, mereka butuh rumah. Terserah mau rumah yang seperti apa. Dan, “Kalau kalian mau bantu buat rumah, ya harus berdasarkan persetujuan kami, bukan atasan kalian,” kata dia kepada aktivis LSM yang hendak membangun rumah Aceh di kampungnya. “Kami mau rumah permanen.”
Rumit memang pengadaan rumah bagi korban tsunami. Banyak yang belum selesai. Bahkan, banyak pula yang sama sekali belum memperoleh rumah, seperti terlihat di kawasan Krueng Cut dan Kajhu. Di Lhok Nga sudah banyak rumah yang dibangun. Ada rumah Aceh, ada juga semi permanen. Di Lampuuk, juga demikian. Bahkan, Turki berupaya membangun 750 rumah di sana tipe 46. Lumayan bagus rumah itu. Di Lampuuk pula, ada perkampungan Turki, karena semua rumah dibangun oleh Turki.
Di Lamno Aceh Jaya, juga sudah banyak rumah yang dibangun oleh Turki. Masih ada juga manusia tenda.
Susah memang!
Andai Pak Tua saudara kawanku itu tidak mempermasalahkan rumah Aceh, aku tidak akan terusik. Karena, sebelum bertemu beliau aku pernah bilang: “Mau rumah kayak gereja kek, yang penting ada dan di dalamnya orang shalat dan ngaji. Buat apa rumah menyerupai masjid, tapi tidak pernah ada orang yang shalat dan ngaji. Kita lupakanlah simbol-simbol,” kataku pada kawan-kawan saat ngopi di Ulee Kareng.
Uh…! Sebuah ironi Aceh yang diperlihatkan Pak Tua. [r]
NB. Maaf, nama Pak Tua, desa, dan nama LSM tidak aku tulis di sini.
Banda Aceh, 12 November 2005
0 comments:
Posting Komentar