Pagi ini, saya terhenyak, karena seorang kawan yang lagi baca koran Metro Aceh protes. "Dasar wartawan," kata seorang kawan. Saya yang lagi buka laptop, terhenyak. Apa gerangan nih.Kok "profesi" yang katanya mulia ini dikecam. Saya lalu nanya dan dia memperlihatkan sebuah berita yang dimuat di Harian Metro Aceh. Judulnya besar-besar. Warna merah. "Darah Perawan di Sprei Jadi Bukti, Digrebek Mahasiswi Zina di Hotel".
"Ini kayak kita baca Pos Kota saja," timpal teman yang lain.
"Seharusnya tidak dimuat seperti ini. Gak cocok dengan masyarakat kita," timpal kawan yang pertama protes.
Saya hanya bisa membela diri. "Itu wartawan yang nulis berita lagi nafsu."
Di Serambi Indonesia kemarin, saya juga mendapati berita ini. Tapi tak sevulgar yang di Metro Aceh. Di Serambi hanya disebutkan kata bercak darah di sprei dalam beritanya. Seingat saya diulang dua kali. Ini mungkin si wartawannya untuk make sure bahwa data ini penting. Pertanyaannya, apakah data ini penting sehingga harus diulang untuk kedua kalinya?
Yang di Serambi memang tak terlalu jadi persoalan, bagi saya. Tapi di Metro Aceh, kok ndak diperhalus sedikit judulnya. Apalagi di judul besar, "DIGREBEK! MAHASISWI ZINA DI HOTEL". Emang bisa yakkk, seorang dikatakan berzina, seorang diri. Ke mana pelaku zina satu lagi. BUkankah ada satu lagi si LELAKI yang juga terlibat indehoi di hotel itu?
"Masa kalau yang jelek-jelek perempuan yang ditonjolkan. Kami protes," kata teman saya, yang cewek, langsung membuang koran itu ke tong sampah.
"Kenapa yang lakinya gak dibikin di judul?" serapah dia lagi.
Saya tak bisa berkomentar. Hanya bisa senyam-senyum saja. Buat apa saya bela berita semacam itu, pikir saya. "Protes aja ke korannya. Bilang, suruh training wartawan agar nulis yang berimbang," saya lagi-lagi membela diri.
Benar-benar saya tidak bisa berkutik dengan dua teman yang kritis dalam membaca berita di media. Andai ada banyak pembaca kritis, saya yakin, media ini tak tumbuh subur. Tapi memang, segmentasi media tetap ada dan media itu akan tetap terjaga kelangsungan hidupnya.
Semoga, protes teman saya ini dibaca oleh si pembuat berita ini dan media Metro Aceh. Semoga juga, ke depan sedikit ada perubahan. Mengharapkan perubahan drastis dari media itu, memang mustahil. Karena platform media ini memang dibangun mengarah pada seks dan kriminalitas. Di manakah peran media ini untuk mencerdaskan anak bangsa?
3 comments:
kon pos kota, tapi yang paleng parah di jakarta adalah harian lampu merah.
judul berita ngon asoe ka sama panyang...hek deh!
jino wartawan hana le di jak sikula, kon aneuk sekolahan, jadi hana di tupu sapue... kalo mu protes masuin aja penulisnya ke blog kita, kan semuanya jadi tahu sapa dia... biasanya di bawah initialnya...
bubarkan aja metro aceh, mungkin yang punya media tidak memakai otak komunikasi islam, hnya menegejar reting untuk penjualan berita yang rendah dan tidak mendidik,
berita-berita yang berselera rendah di aceh wajib di tutup, yang ada generasi kita menjadi bejat, tapi toke medianya menjadi kaya,
stop pembelian korang yang beritanya tak bermutu.
Posting Komentar