Oleh Fakhrurradzie Gade
RUANG sidang parlemen Aceh dipenuhi belasan aktivis perempuan. Mereka tekun mendengar anggota dewan yang sedang menyampaikan pandangan umum mengenai lima rancangan qanun yang sedang dibahas DPR Aceh. Kehadiran sejumlah aktivis perempuan ini bukan tak beralasan. Salah satu rancangan qanun yang sedang dibahas adalah Qanun Jinayah dan Qanun Acara Jinayah. Qanun inilah yang paling banyak mendapat sorotan dari aktivis sipil ini. Direktur Koalisi NGO HAM Aceh Evinarti Zain menyebutkan, dari lima rancangan qanun yang akan disahkan pada akhir periode masa jabatan anggota parlemen Aceh periode 2004-2009, Raqan Jinayah dan Raqan Acara Jinayah-lah yang paling buruk dalam penyusunannya.
“Terkesan dirancang asal jadi oleh DPR Aceh. Padahal secara eksistensi pelaksanaannya, Qanun ini yang paling punya akibat langsung terhadap siapa pun yang berada atau sedang berada di Aceh,” kata Evi Zain dalam siaran pers yang dikirim ke wartawan, Rabu (9/9).
Koalisi NGO HAM menilai rancangan qanun ini belum sepenuhnya disosialisasikan kepada masyarakat luas. “Patut diduga qanun ini sangat kering pendapat masyarakat dan muatan keilmuan Islam secara umum,” ujar Evi.
Dalam draf, Qanun Jinayah nantinya hanya mengatur perihal judi, minuman keras, khalwat, homoseksual, pelecehan seksual, menuduh berzina, dan lesbian. Tak ada aturan yang menyebutkan soal perampokan, korupsi, dan pembunuhan.
“Qanun ini hanya menyentuh rakyat lapisan bawah dengan dalih bahwa aturan yang tidak diatur dalam Qanun Jinayah maka akan berlaku KUHP,” ujar Evi. Karenanya, Koalisi mendesak pemerintah dan legislatif untuk membawa draf qanun ini dalam sebuah musyawarah ulama Aceh agar hasilnya lebih baik.
Qanun Jinayah yang rencananya akan disahkan pekan depan ini merupakan kompilasi dari Qanun No 12 tahun 2003 tentang Maisir (perjudian), Qanun No 13/2003 tentang Khamar (minuman keras), dan Qanun No 14/2004 tentang Khalwat (mesum). Ketiga qanun ini sudah diberlakukan di Aceh. Pemerintah dan Legislatif Aceh menilai bahwa tiga qanun itu tak cukup untuk menerapkan syariat Islam secara sempurna di daerah yang pernah dilanda konflik selama hampir 30 tahun ini.
Bahrom Rasjid, ketua Panitia Khusus XII DPR Aceh, menyebutkan, Rancangan Qanun Jinayah ini sudah lama dipersiapkan pihak eksekutif. Pengajuan Qanun ini untuk menyempurnakan tiga qanun yang selama ini menjadi pijakan daerah ini menjalankan syariat Islam.
"Ini awalnya menyempurnakan qanun soal judi, mesum, dan minuman. Lalu saat pembahasan di Pansus (Panitia Khusus), kami menambahkan soal pelecehan seksual, zina, lesbian, homoseksual, dan pemerkosaan," kata Bahrom.
Bahrom hampir merampungkan tugasnya sebagai ketua Pansus XII ini. Rencananya, parlemen akan mengetuk palu pengesahan rancangan qanun ini menjadi Qanun Hukum Jinayah pada Senin, 14 September.
Pembahasan qanun ini di parlemen dikebut. Apalagi, 69 anggota dewan periode 2004-2009 akan segera mengakhiri tugasnya. Parlemen baru akan didominasi kader Partai Aceh, partai yang dibentuk pentolan Gerakan Aceh Merdeka. Banyak pihak menilai, anggota parlemen hasil pemilihan 2009 bakal tak mengesahkan qanun jinayah ini, jika anggota parlemen sekarang tak segera merampungkan pembahasannya. Apalagi, Partai Aceh tak pernah berbicara soal implementasi syariat Islam di Aceh.
Bahkan, Evi Zain (Direktur Koalisi NGO HAM Aceh) menilai bahwa pembahasan Qanun Jinayah merupakan proyek kejar tayang anggota dewan periode 2004-2009.
Di parlemen, qanun ini bakal berjalan mulus. Dalam pandangan umum anggota dewan pada Kamis (10/9), sebanyak tujuh anggota DPRA dari berbagai fraksi memberikan penilaiannya soal Qanun Jinayah dan tiga qanun lain yang sedang dibahas dewan.
Dari tujuh pemberi pandangan itu, hanya Miryadi Amir dari Partai Demokrat yang tidak memberikan penilaiannya. Dia hanya memberikan pandangan seputar Rancangan Qanun Investasi dan Penanaman Modal, Rancangan Qanun Pemberdayaan Perempuan, dan Rancangan Qanun Wali Nanggroe.
Koleganya di Partai Demokrat, Jamaluddin Muku, menolak berkomentar. Ia menyebutkan bahwa pandangan akhir fraksi akan dikemukakan pada Senin pekan depan.
Sementara enam anggota dewan lain secara terang-terangan mengapresiasi kerja Pansus XII yang telah membahas Rancangan Qanun Jinayah dan Acara Jinayah. "Apa yang telah dirumuskan oleh Pansus XII sudah sesuai dengan harapan kita bersama untuk tegaknya pelaksanaan syariat Islam di Aceh, sesuai dengan amanat Undang Undang Pemerintahan Aceh," kata Moharriadi dari Partai Keadilan Sejahtera.
Hal senada dikemukakan Adriman dari Partai Golkar, Indra Azmi dari Partai Keadilan dan Persatuan Umat (PKPU), Zainal Arifin dari Partai Amanat Nasional.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Mawardi Ismail menilai Qanun Jinayah yang sedang dibahas di DPR Aceh sama sekali tidak melanggar Undang Undang yang berlaku secara nasional, dan juga tidak melanggar hak asasi manusia.
"Mengenai soal hak asasi manusia, semua yang masuk dalam rumusan HAM ketika dibawa ke ranah lokal, itu memerlukan penyesuaian. Dalam konteks jinayat sekarang ini juga telah disesuaikan sedemikian rupa, sehingga pelaksanaan ketentuan jinayat tidak akan melanggar HAM," kata Mawardi Ismail saat dihubungi Kamis (10/9) sore.
Dia menyebutkan, hukuman cambuk dan rajam menjadi dua hal yang sering dipermasalahkan banyak kalangan. Menurutnya, hukuman cambuk bukan hanya berlaku di Aceh, tapi juga di Singapura dan Malaysia. "Kenapa yang di sana tidak dipersoalkan?" tanya Mawardi.
Tidak melanggar prinsip universal HAM, sebut Mawardi, karena dalam qanun Jinayah ini ada diberikan alternatif hukuman. "Hakim bisa memilih apakah hukuman yang pantas (bagi pelanggar syariat). Apakah kurungan atau denda," kata dia.
"Qanun Jinayah ini juga tidak bertentangan dengan KUHP. Bahkan dalam UU Pemerintahan Aceh disebutkan, khusus qanun jinayah ini tidak perlu pertatikan ketentuan peraturan pada umumnya. Jadi itu diatur dalam UU. Jadi produk hukum ini (Qanun) setara dengan KUHP. Pemerintah dan DPR Aceh sudah mengusahakan sedemikian rupa, maka pelaksanaannya tidak akan melanggar HAM," ujar Mawardi. []
0 comments:
Posting Komentar