OLEH FAKHRURRADZIE GADE DAN NURDIN HASAN
ACEHKINI Writer
“Anakku,” teriak Suryani histeris sambil mendekap Riko Anggara. Bulir air mata seketika membasahi pipi perempuan 30 tahun itu. Saat pelukan terlepas, dia memelototi sekujur tubuh Riko. Hanya sekejap, ia kembali mendekap. Tak hanya memeluk, Suryani juga mencium dan menyapu wajah hitam manis bocah 11 tahun itu.
“Kamu mirip sekali dengan anak saya,” kata Suryani. Riko hanya mematung. Sesekali dia mengangguk. Raut wajahnya datar, tanpa ekspresi. “Sabar ya bu. Semoga ibu bisa bertemu kembali dengan anak ibu,” ujar Riko. Suryani kian erat memeluk dan menciumi tubuh mungil siswa Sekolah Dasar Negeri 4 Kelapa Dua, Jakarta.
Drama itu berlangsung di ruang pertemuan RCTI Jakarta, awal Mei lalu. Ini bukan reality show, tapi pencarian seorang ibu yang kehilangan anak. Seisi ruangan mematung. Rasa haru-biru menyeruak. Nenek, kakek dan paman Riko hanya menyak¬sikan drama itu. Tarmizi, suami Suryani, juga terpaku melihat Riko, yang mirip Rahmat, anaknya yang hilang dalam bencana tsunami tiga setengah tahun silam.
“Ayo, giliran bapak,” kata Deni Reksa, news manager RCTI, kepada Tarmizi yang masih terpaku. Tarmizi yang memakai kaos motif bergaris hijau tua-putih langsung mendekap Riko. Raut kesedihan terpancar dari wajah warga Desa Neuheun, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar, ini. Untuk mencairkan suasana, news manager RCTI Deni Reksa, mempersilakan keluarga Riko dan Tarmizi duduk semeja. Riko duduk persis di samping Suryani yang tak henti menatapnya.
Semua berawal dari pentas Idola Cilik, ajang pencarian bakat menyanyi di RCTI. Suatu hari, tanpa sengaja Suryani melihat Riko sedang menyanyi di tivi. Dadanya bergetar. Matanya tak berkejap. Batinnya berkata, yang sedang mengolah vokal adalah anaknya. Ia bertambah yakin ketika suami dan para tetangga mendukung pendapatnya. Sejak itu, ia memendam tekad: bertemu Riko.
Berbagai upaya ditempuh. Menelepon redaksi RCTI di Jakarta, mencari perwakilan di Banda Aceh, hingga mencari siapa yang bersedia memfasilitasi keberangkatannya. Maklum, Suryani dan Tarmizi hanya pedagang kecil berpenghasilan terbatas. Di telepon, ia sempat berbicara dengan Riko. Namun, waktu itu, Riko mengaku bukan asal Aceh, melainkan Palembang. Suryani tak yakin. “Semua yang ada pada Riko persis anak saya, Rahmat,” ujarnya.
Difasilitasi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh – Nias, Suryani dan suaminya terbang ke Jakarta. Di ruang pertemuan RCTI, melihat Riko dari dekat, keyakinan Suryani bertambah. Menurutnya, banyak kemiripan antara Riko dengan Rahmat: cara jalan, senyum, potongan rambut, hingga raut wajah. Ditambah lagi, beberapa tanda khusus Rahmat juga dimiliki Riko. Sebut saja misalnya, luka di atas kening, di paha, dan lutut.
“Riko, luka di atas kening kamu itu kenapa?” tanya Tarmizi seketika.
“Kena kawat waktu jatuh dari sepeda,” jawab Riko.
Jawaban Riko membuat Tarmizi dan Suryani terhenyak.Tapi mereka berusaha menguasai diri. Tarmizi berusaha tersenyum. “Kok bisa sama ya. Rahmat juga punya bekas luka di atas kening,” kata dia.
Sontak saja seisi ruangan terpana. Kakek Riko mengatakan ikut prihatin dengan apa yang menimpa keluarga Tarmizi. “Saya ikut prihatin. Kalau ibu benar-benar rindu dengan anak ibu, saya juga persilakan ibu melepaskan kerinduan dengan cucu saya ini,” kata sang kakek tak meneruskan ucapannya.
Kesempatan ini benar-benar dipergunakan Tarmizi dan Suryani untuk menelisik kemiripan Rahmat dengan Riko.Tiga luka di tubuh Rahmat dimiliki Riko. Anehnya, luka-luka itu berada pada bagian tubuh yang sama, seperti luka di betis, paha, dan di atas kening. Hanya saja, tahi lalat yang ada di kepala Rahmat, tidak ditemukan pada diri Riko. “Tahi lalat di kepala anak saya kecil,” kata Suryani usai menyibak rambut lurus Riko.
***
Tarmizi dan Suryani ingat benar tragedi yang merampas buah ha¬tinya. Saat gempa 8,9 pada skala Richter menggoyang Aceh pagi Minggu, 26 Desember 2004, mereka masih di rumahnya di kawasan Dusun Mon Singet, Desa Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar.
Usai gempa, Tarmizi membawa dagang¬annya ke Pasar Aceh, sekitar 10 kilometer dari rumah. Rahmat, anak kedua pasangan ini, meminta ikut sang ayah. Namun permintaan itu ditolak Tarmizi. Dia meminta Rahmat menyusul dengan ibunya, Suryani.
Bersama Rahmat, Suryani menggendong Fitrah—saat itu berusia sembilan bulan—menyusul sang ayah dengan menumpang angkutan kota. Beranjak satu kilometer, ia dikejutkan gelombang warga berlarian dengan wajah ketakutan ke arah berlawanan. Ia masih bingung apa yang terjadi.
“Air laut naik,” Suryani heran mendengar teriakan warga. Jalanan berubah menjadi lautan manusia. Turun dari labi-labi, ia berlari menghindar air bah. Sial, bajunya tersangkut kawat. Berkali-kali dia berusaha menarik bajunya, tapi gagal. Rahmat, anaknya, telah di depan. Namun melihat ibu dan adiknya tersangkut, dia berusaha membantu menarik baju ibunya. Berhasil.
Bebas dari kawat duri, tak berarti Suryani terbebas dari ancaman air. Saat berlarian, Suryani kembali terjatuh—bersama bayi mungilnya. Lagi-lagi, Rahmat berusaha menolong ibu dan adik kecilnya. “Padahal, saya suruh Rahmat lari menyelamatkan diri. Tapi dia tidak mau dan membantu saya,” ujar perempuan kelahiran Singkil itu.
Entah bagaimana, Suryani terpisah dengan buah hatinya. Ia sendiri sempat digulung gelombang air laut yang murka. Setelah air surut, Suryani memutuskan mencari anak-anaknya. Tiga anaknya berhasil ditemukan. Tapi Rahmat, hilang.
Sehari setelah tsunami, Suryani dan Tarmizi kembali ke kampung. Berhari-hari mereka mencari jejak Rahmat. Semua jenazah yang dijumpainya diperhatikan seksama. Tak ada jasad kaku Rahmat. Malah, pencarian dilakukan sampai ke Sumatera Utara. Lelah mencari, mereka mengikhlaskan kepergian Rahmat, kendati tidak yakin tsunami telah merenggut anaknya.
***
Tiga setengah tahun telah lewat. Suatu siang di bulan Maret, di rumah barunya di Kompleks Cinta Kasih Budha Tzu Chi, Desa Neuheun, Aceh Besar, mata Suryani terpacak pada sosok bocah kecil di televisi. Sosok itu tak asing baginya. “Dia mirip sekali dengan anak saya,” katanya.
Dia lantas memanggil suaminya. Suryani malah langsung bilang bahwa itu adalah Rahmat, anak mereka yang hilang dalam gelombang tsunami. Tapi, Tarmizi tak percaya begitu saja. Dia berusaha meyakinkan istrinya bahwa Riko yang tampil di Idola Cilik RCTI itu hanya mirip anak mereka. Tapi, para tetangga yakin Riko adalah Rahmat, anak mereka yang hilang.
Suami-istri ini lalu mencari nomor telepon stasiun RCTI. Berkali-kali mereka mendatangi stasiun transmisi RCTI di Mata Ie. Sejumlah nomor telepon yang diberikan petugas transmisi gagal tersambung. Kecewa, Tarmizi sempat membanting telepon genggang kesayangannya.
Tak kehilangan akal, mereka mendatangi tempat nongkrong jurnalis di Banda Aceh. Di sana, mereka bercerita kemiripan anaknya dengan Riko Anggara. Bahkan, mereka mengatakan bahwa Riko adalah anak mereka. Keyakinan itu tak berubah setelah mereka bertemu Riko.
“Saya yakin itu anak saya,” kata Suryani usai bertemu Riko. Keyakinannya bertambah karena keterangan keluarga Riko selalu berubah-ubah. Kadang kala, ibunya dibilang meninggal saat Riko masih berusia sembilan bulan. Di lain waktu, mereka berkata Riko kehilangan ibunya di usia lima tahun.
Saat mengajak Riko jalan-jalan di Tugu Monumen Nasional, Jakarta, Tarmizi dan Suryani menemukan banyak sifat Riko yang mirip Rahmat. “Anak saya paling tidak suka sama durian. Saat jalan-jalan itu, kami beli durian, tapi Riko tidak mau makan,” kata Tarmizi kepada ACEHKINI.
Sederet keanehan itu membuat Tarmizi dan Suryani masih menyimpan harapan bahwa Riko adalah Rahmat, buah hati mereka. Kini, mereka hanya berharap kejujuran keluarga Riko. “Keluarga si Riko tidak mau meyakinkan kami bahwa itu bukan anak kami. Seharusnya, mereka meyakinkan agar kami tidak ragu lagi.Misalnya, kalau itu bukan anak kami, ya tes darah.Tapi mereka tidak berani. Untuk periksa luka saja tidak dikasih nampak. Padahal luka itu ada semua,” kata Tarmizi.
Kini, Tarmizi hanya bisa berharap misteri Riko terungkap. “Riko sering menelepon waktu saya telah tiba di Aceh. Kadang-kadang dia mengaku tidak bisa tidur karena teringat kami,” ujarnya.[a]
0 comments:
Posting Komentar