Rabu, Juli 30, 2008

Merawat Tradisi Berat di Ongkos.

OLEH FAKHRURADZIE GADE DAN DEDEK
ACEHKINI Writer

Di teras itu mereka duduk berjejer, bersila di lantai yang setengah bersih. Di depannya, sejumlah rapai kecil tergeletak di lantai. Di hadapan mereka, sang instruktur, seorang lelaki, memberi aba-aba. Para anak muda itupun mulai menepuk tangan di dada: kiri dan kanan, silih berganti dalam gerak lambat. Tak berapa lama tubuh mereka meliuk-liuk, menari. Oops, instruktur menghentikan gerakan mereka, karena tidak kompak. Gerakanpun diulang.

Suatu sore di pengujung Mei lalu, Auditorium Ali Hasjmy IAIN Ar-Raniry Banda Aceh menjadi saksi keuletan dan kegigihan para penari berlatih. Di sudut lain, tiga pria duduk bersila dengan gendang di tangan. Di belakangnya, berdiri tegak seorang perempuan. Sementara lima lainnya bersiap-siap menarikan tarian Kreasi Baru “Syukran”. Gerakan tubuh mereka mengikuti irama gendang dan lantunan syair yang dibacakan syekh. Beberapa gerakan seperti orang main karate atawa silat.

“Tarian ini yang banyak disukai,” kata Imam Juwaini, mantan ketua Sanggar Seni Seulaweut IAIN Ar-Raniry, sore itu.

Begitulah suasana latihan anggota Sanggar Seni Seulaweut. Dalam sepekan, mereka berlatih tiga hari. Latihan ini untuk terus mengasah keterampilan dalam memainkan berbagai tarian saat tampil di berbagai acara. Dua bulan terakhir, semangat berlatih kian menyala. Maklum, sanggar ini diundang secara resmi oleh Pemerintah Cina untuk tampil saat pesta pembukaan Olimpiade Beijing 2008 Agustus nanti. Pemerintah Cina rupanya kepincut saat mereka mentas di depan publik internasional yang berkumpul di Qing Dao, Beijing, Cina, akhir Oktober 2007 lalu.

Sayangnya, hingga kini belum ada kepastian keberangkatan. Ketua Sanggar Dedy Saputra mendapat kabar mereka terancam gagal ke ajang olimpiade. “Karena waktu berangkat ke Cina tahun lalu, entah kenapa, ada tersisa utang antara Dinas dengan pihak ketiga,” ujarnya.

Ceritanya, keberangkatan mereka ke Beijing tahun lalu difasilitasi Dinas Pariwisata dan Budaya Aceh. Di sana, mereka berhasil ‘membius’ para diplomat yang hadir pada perheletan yang menghadirkan utusan 45 negara. Panitia menyediakan satu pentas khusus bagi mereka untuk memperkenalkan seni dan budaya Aceh. Entah bagaimana ceritanya, keberangkatan mereka ke sana, rupanya melibatkan pihak ketiga. “Pihak ketiga inilah yang tersangkut utang piutang dengan dinas,” ujar Dedi.

Padahal, Dedi sudah berencana kembali membius publik Cina dan negara peserta Olimpiade dengan gerakan tari Saman yang dinamis. Ia ingat benar, saat tampil di Beijing tahun lalu, tepuk tangan seakan tak pernah berhenti. Mereka memberi applause kendati tak paham dengan syair dan lirik yang dilafalkan syekh. “Mereka sangat antusias. Tapi itu tadi, ini beneran lagee Cina nonton Seudati,” kata Dedi, tersenyum.

Selain ke Olimpiade Beijing, sanggar ini juga telah mengantongi undangan untuk mentas di festival budaya tradisional di Turki. Sayangnya, ongkos ke sana juga belum ada. Lagi-lagi, rencana ke Turki terancam gagal. “Kita hanya butuh tiket pesawat. Sedangkan akomodasi ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah Turki,” ujar Imam Juwaini, seorang pengurus sanggar yang juga pimpinan grup musik Saleum itu.

Lahir 12 tahun silam, Sanggar Seni Seulaweut adalah salah satu unit kegiatan mahasiswa di IAIN Ar-Raniry. Sempat terseok-seok di awal, Sanggar itu berhasil berkibar dan melejit ke pentas seni mancanegara. Pada September 2005, mereka tampil live di stasiun TV3 Malaysia. Itulah pertama kalinya mereka tampil di di ajang intenasional. Saat itu, mereka menggoyang publik Malaysia dengan Rapai Geleng dan Likok Pulo.

Usai tampil di TV3, Sanggar diminta tampil pada malam amal seni budaya Aceh di Kampong Baru, Kuala Lumpur. Tak berhenti sampai di situ, TV3 kembali meminta mereka tampil dalam film dokumenter Jejak Rasul akhir 2006 lalu.

Bagi Imam Juwaini, penampilan di Malaysia menjadi kenangan manis. Betapa tidak, modal mereka berangkat hanya Rp 150 ribu. “Saat itu hampir tidak ada dukungan dari siapa pun. Namun dengan tekad membara, kami berangkat dan disambut hangat di sana,” kata Imam yang pernah memimpin Sanggar selama lima tahun.

Malaysia adalah batu loncatan mere¬ka tampil di panggung internasional. Di peng¬hujung tahun 2005 komunitas seni anak muda ini kembali mendapat un¬dangan mentas di Universitas Kebangsaan Malaysia dalam muhibah seni dan budaya Aceh-Melayu antarkampus. Kini, Sanggar Seulaweut telah mengoleksi lebih dari 50 piagam penghargaan. Ada penghargaan tingkat lokal, nasional, bahkan internasional.

Komunitas ini tak hanya berkutat pada pentas live di depan publik. Tahun lalu, me¬reka memproduksi cakram padat (VCD) yang berisi tarian tradisional dan lagu yang mereka bawakan. Sejumlah senior di sanggar itu bahkan telah merambah industri musik Aceh dengan membentuk Saleum Group. Menurut Imam Juwaini, pimpinan Saleum Group, produksi tari dan syair dalam cakram padat untuk menyasar audien yang lebih luas. Pasalnya, pentas langsung mereka sangat terbatas. “Dengan media VCD kita harap masyarakat bisa belajar syair dan tari tradisional Aceh,” kata dia.

Dengan deretan prestasi itu, Dedy yakin akan mengharumkan nama Aceh jika jadi tampil di Beijing. Itu sebabnya, ia berharap ada donatur yang bersedia mensponsori keberangkatan ke sana.

Bagi anak-anak muda yang ingin meng¬ukir prestasi sembari merawat dan mempromosikan budaya peninggalan leluhur ini, penampilan di pesta pembukaan Olimpiade Beijing merupakan sebuah impian. “Sayang saja, kalau gara-gara utang, momen untuk memperkenalkan budaya Aceh ke masyarakat dunia batal,” ujar Imam. [a]

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting