Oleh FAKHRURRADZIE GADE
ACEHKINI Writer
Meski tak merayakan dengan pesta, layaknya ulang tahun, kami memperoleh kado teramat istimewa di usia merangkak ini. Rekan kami, Daspriani Y. Zamzami, menjadi finalis Mochtar Lubis Award. Dia menulis “Mencari Angka dalam Jerami” pada edisi Januari 2008. Laporannya bercerita soal nasib uang para korban tsunami yang tertahan di rekening bank.
Kabar itu membuat kami bangga. Bagi media besar dan sudah lama, penghargaan ini mungkin tak berarti apa-apa. Tapi bagi kami –sebuah media daerah dan baru setahun meramaikan dunia media— penghargaan ini menjadi alat pemicu agar kami lebih giat lagi, lebih menjaga kualitas, dan tentunya lebih patuh pada jadwal terbit yang telah kami susun.
Ajang Mochtar Lubis Award baru pertama diadakan tahun ini. Penyelenggaranya Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Jakarta. Ada yang bilang, ajang MLA ini mirip-mirip penghargaan Pulitzer bagi jurnalis di Amerika Serikat. Tapi, kami tentu tak berharap setinggi itu. Kami hanya berharap, tulisan yang disajikan dalam majalah ini berkelas, berkualitas, dan mendapat tempat di hati khalayak. Hanya itu.
Menjadi finalis MLA ini membuat kami cukup bangga. Apalagi kami bisa bersebahu dengan media besar dan terkenal sekelas Kompas, Majalah Gatra, dan Pikiran Rakyat. Yang membuat kami lebih bangga, tulisan “Mencari Angka dalam Jerami” membuat para dewan juri berdebat sengit. Dua juri bilang tulisan ini layak menjadi pemenang. Tapi kami akui, masih banyak kekurangan yang menghiasi laporan yang dipersiapkan buru-buru tersebut. Karenanya, kami tak ambil pusing saat para juri memantapkan hatinya pada laporan yang diturunkan Gatra untuk kategori pelayanan publik MLA tersebut.
“Kita tak ada target menang, masuk final saja sudah cukup,” kata Yuswardi Ali Suud, pemimpin redaksi majalah ini.
Kami tak ingin hanya menerima kado. Bulan Agustus ini, kami ingin memberi kado istimewa bagi seluruh rakyat Aceh. Sejak dua bulan lalu, kami telah mempersiapkan hadiah bagi peringatan tiga tahun perdamaian. Kado itu berupa majalah edisi khusus tiga tahun damai Aceh. Dalam laporan ini, kami mengangkat banyak sisi.
Ada cerita Farid Husain, Juha Christensen, dan Mahyuddin yang jadi pelaku lapangan untuk merintis upaya perdamaian antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Tiga orang ini –tanpa mengurangi upaya yang dilakukan pihak lain—sejak gagalnya perundingan CoHA pada 18 Mei 2003 menyusul diberlakukannya darurat militer di Aceh, mulai melanglang buana untuk menjajaki kembali perundingan antara GAM dan RI yang bertikai selama hampir tiga dekade.
Tak hanya cerita makcomblang perdamaian, edisi kali ini juga mengupas soal janji yang terbayar dan terutang. Kita tahu, tak semua butir-butir kesepakatan yang ada dalam Pakta Damai Helsinki telah diimplementasi. Undang Undang Pemerintah Aceh sebagai jabaran MoU Helsinki, juga belum sepenuhnya diimplementasikan. Banyak utang belum tertagih, yang masih menjadi aral di usia tiga tahun damai ini. Belum lagi soal persoalan reintegrasi yang tak kunjung selesai. Ada juga berbagai insiden kekerasan yang terjadi selama tiga tahun terakhir.
Kami juga meminta tulisan dari orang yang terlibat langsung dalam perundingan Helsinki. Ada tulisan penasihat politik GAM Damiens Kingsbury, Farid Husain dari Indonesia, Mukhtaruddin Yacob (jurnalis peliput perang), M. Nur Djuli (negosiator GAM). Sejatinya, pimpinan GAM lain menulis beberapa kolom. Kami meminta dari Bakhtiar Abdullah dan Munawarliza. Kami juga meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menulis artikel khusus. Tetapi, mereka belum sempat menulisnya karena kesibukan masing-masing. Munawarliza punya masalah: tulisannya hilang akibat flashdisknya rusak.
Walaupun kami menamakannya edisi khusus perdamaian, tetapi kami tak melupakan laporan lain. Ada lifestyle soal SPA yang mulai digandrungi perempuan Aceh, ada komunitas sepeda Ontel serta laporan-laporan menarik lainnya. Beragam cerita yang kami suguhkan agar Anda, tak bosan pada majalah yang cerdas mengulas ini. [a]
Published on Saleuem, ACEHKINI, August 2008.
0 comments:
Posting Komentar