Oleh FAKHRURRADZIE GADE
ACEHKINI Writer
MAHYUDDIN baru saja tiba di Jakarta dari Kuala Lumpur saat Wakil Presiden Jusuf Kalla menghubunginya melalui telepon selular. Di ujung telepon, Kalla memberinya tugas khusus. “Mahyuddin, kamu harus meyakinkan orang lapangan agar mereka setuju dengan perdamaian,” pesan Kalla.
Tak buang waktu, Mahyuddin mencari tiket pesawat tujuan Medan. Bersamanya ikut Farid Husain, negosiator Indonesia di perundingan Helsinki. Dari Bandara Sukarno-Hatta Cengkareng, Tangerang, Banten, Mahyuddin dan Farid naik pesawat Garuda Indonesia penerbangan pertama. Kepergian mereka, tanggal 10 Agustus 2005 itu, ke Aceh, sangat rahasia. Mahyuddin tak memberitahu siapapun tujuan keberangkatan mereka kali ini. Begitu juga Farid, termasuk pada istrinya.
Sesampai di Bandara Polonia Medan, Mahyuddin dan Farid ketemu banyak tokoh Aceh. Tapi keduanya bungkam. Dari Medan, mereka naik penerbangan khusus milik ExxonMobil, perusahaan minyak raksasa asal Amerika Serikat (AS) – yang menguras isi perut bumi Aceh sejak awal 1970-an, dan mendarat di bandara Desa Nibong, Aceh Utara.
Dua kolega Mahyuddin telah menunggu dengan Kijang Innova. Mahyuddin dan Farid dibawa ke Masjid Nibong, tak jauh dari bandara milik Exxon. Satu truk yang biasanya digunakan untuk mengangkut batu dan pasir sudah siaga. Dengan truk inilah mereka akan menempuh perjalanan sepanjang 50 kilometer untuk bertemu Jurubicara Militer Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Sofyan Dawood.
Siang itu, Mahyuddin dan Farid bertemu Sofyan Dawood di Pante Bahagia, sebuah bukti di pedalaman Aceh Utara. Agendanya, melaksanakan tugas Jusuf Kalla untuk meyakinkan GAM lapangan, menerima keputusan pimpinan mereka di Swedia yang akan berdamai dengan Indonesia. “Kalau orang lapangan tidak setuju perdamaian, ini bakalan repot,” ujar Kalla kepada Mahyuddin.
Perjalanan ke Pante Bahagia melintasi medan berat: jalanan berbatu dan berbukit. Perasaan was-was menyelimuti kedua “pelobi” ini. Apalagi, sepanjang perjalanan, mereka menemukan puluhan pos TNI, Brimob, dan polisi. Mereka harus menempuh jalan tikus berliku, untuk menghindari pasukan pemerintah yang berjibun jumlahnya. Beruntung, selama perjalanan mereka tidak dihentikan aparat. Menurut Farid, setiap kali bertemu pos aparat, sang supir langsung mengangkat tangan dan memberi salam.
***
DUA tahun sebelum perjalanan ke Pante Bahagia, Mahyuddin sudah mulai terlibat dalam menjajaki upaya perundingan kembali antara GAM dan Indonesia. Suatu hari, dia dipertemukan dengan Farid oleh Sutejo Juwono, sekretaris menteri koodinator bidang kesejahteraan rakyat (Menko Kesra). Perkenalan antara Mahyuddin dan Farid berlangsung di Hotel Sahid Makassar. Mereka menghabiskan malam sambil bersantap ikan bakar.
Esok hari, keduanya menuju rumah Jusuf Kalla di Jalan Haji Bau, Makassar. Kalla saat itu menjabat Menko Kesra. Usai pertemuan itu, Mahyuddin dan Farid memulai “gerilya” mulai dari Aceh hingga Malaysia, Belanda dan Swedia untuk bertemu tokoh GAM. Mereka juga membangun jaringan dengan tokoh-tokoh di Aceh, termasuk para panglima GAM dan aktivis gerakan sipil.
Dari sekian banyak orang Aceh harus mereka temui, ada seorang yang tetap dikenang Mahyuddin sampai sekarang yakni Teungku Idi. Ia seorang lanjut usai yang menetap di Desa Tungkop, Darussalam, Aceh Besar. “Beliau pernah bilang kepada saya dan Farid saat kami bertemu tahun 2003 bahwa suatu hari nanti, Aceh pasti damai asalkan tidak ada pihak yang berkhianat,” ujar Mahyuddin, yang ditemui ACEHKINI di Plaza Senayan, Jakarta, akhir Juni lalu.
“Teungku Idi ialah orang yang diberi kelebihan oleh Allah untuk melihat masa depan. Atas permintaan Farid, beliau pernah meramal bahwa Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla akan jadi presiden dan wakil presiden Indonesia jauh sebelum pemilu 2004 digelar,” jelas Mahyuddin, sambil memperlihatkan “dokumen ramalan” tersebut.
Pria asal Pidie ini mengaku, dia selalu berharap agar Teungku Idi bisa melihat damai di Aceh. “Namun, ternyata Allah berkehendak lain. Pada hari Jumat, sebulan sebelum MoU Helsinki ditandatangani, Teungku Idi dipanggil oleh Yang Maha Kuasa,” tutur Mahyuddin.
Menurut Farid, perkenalannya dengan Mahyuddin semakin membuka jalan mendekati para tokoh GAM baik dalam maupun luar negeri. Memang tak diragukan hubungan Mahyuddin dengan tokoh GAM. Sampai-sampai Jusuf Kalla berujar pada Farid: “Dia itu bukan GAM, tetapi dia lebih GAM daripada GAM.” Namun kepada ACEHKINI, Mahyuddin menegaskan bahwa dirinya bukan anggota GAM.
***
KEMBALI ke kisah perjalanan Mahyuddin dan Farid untuk bertemu Sofyan Dawood. Sebelum mengirim “utusan khusus”, Jusuf Kalla mengontak Sofyan. Dia menanyakan apakah GAM lapangan mendukung keputusan pemimpin mereka di Swedia yang mau berdamai dengan pemerintah. Apalagi dalam putaran terakhir perundingan Helsinki, kedua pihak telah sepakat untuk meneken Pakta Damai.
Sofyan menjawab, pihaknya pasti akan mendukung apapun keputusan yang diambil petinggi GAM di Swedia. Untuk menguji komitmen Sofyan, Wapres mengirim Farid dan Mahyuddin bertemu muka dengan jurubicara militer yang juga Panglima GAM Wilayah Pasee. Selama ini, antara mereka telah terjalin komunikasi melalui telepon.
Kepada Kalla, Sofyan memberi jaminan keselamatan Mahyuddin dan Farid mulai dari bandara Exxon hingga bertemu dengannya dan sampai mereka kembali ke bandara. “Makanya, saya kerahkan pasukan di sepanjang perjalanan yang mereka lewati. Saya juga perintahkan pada pasukan GAM bila ada kejadian tak diinginkan, keselamatan Pak Farid dan Pak Mahyuddin harus diutamakan,” kata Sofyan.
Malah tanpa sepengetahuan Mahyuddin dan Farid, supir truk yang membawa mereka juga gerilyawan GAM, lengkap dengan senjata. “Saya pesan kepadanya dan pasukan yang mengamankan perjalanan bahwa keselamatan kedua orang itu adalah prioritas utama,” kata Sofyan kepada ACEHKINI, awal Agustus lalu.
Untuk mengelabui pasukan keamanan, Farid dan Mahyuddin menyamar sebagai toke pasir atau orang biasa sehingga aparat tak curiga. Itu pula alasannya, kendaraan yang membawa mereka ke tempat penantian Sofyan menggunakan truk pasir. “Jika mereka pakai Innova, pasti curiga aparat,” kata Sofyan Dawood.
Sesuai perjanjian, ungkap Mahyuddin, perjalanan baru mendekati “tempat penantian” Sofyan, setelah mereka bertemu orang bersepeda motor membawa jerigen. Benar saja, usai bertemu pembawa jerigen, mereka tiba di lokasi pertemuan dengan Sofyan. Dua tamu dari Jakarta itu disambut dan dipeluk Sofyan. Benar-benar penuh keakraban, layaknya teman dekat yang sudah lama tak bersua.
Sofyan mengaku telah mengenal Mahyuddin sejak tahun 2001. Tapi perkenalan hanya sebatas komunikasi melalui telepon dan tak pernah bertemu muka. Jadi, pertemuan di bukit Pante Bahagia dengan hembusan angin sepoi-sepoi adalah yang pertama mereka bertatap muka.
Pengamanan di lokasi berlapis. Mahyuddin memperkirakan, ada dua ratusan pasukan GAM mengamankan kawasan berbukit itu. Ada bersenjata lengkap. Ada berpakaian loreng, tak sedikit pula yang berpakaian preman. Mahyuddin pernah bertanya pada Sofyan soal pengamanan. “Kalau diserang, apa akan tembus ke sini?” tanyanya. “Tidak,” jawab Sofyan pasti.
Jawaban Sofyan membuat Mahyuddin dan Farid bernafas lega. Belakangan, Sofyan baru membongkar strategi pertemuan itu. Dalam bukunya, Farid menulis, Sofyan telah menyiapkan strategi evakuasi jika pasukan TNI menyerang. Bahkan ia mengaku “menyesal” menyiapkan pertemuan di sebuah ladang yang harus dicapai dengan mendaki. Apalagi untuk menuju tempat pertemuan, Sofyan dan pasukannya harus menempuh perjalanan selama tiga hari-tiga malam.
“Saya tidak sadari ternyata Pak Farid orangnya besar dan gemuk. Jadi, ketika saya melihat Pak Farid berjalan dan berusaha menggapai sesuatu di jalan mendaki, saya langsung memberikan tangan untuk menolongnya. Saya juga segera kontak teman yang berbadan lebih besar, sebab, kalau ada apa-apa, saya tidak bisa membawa lari Pak Farid yang berbadan besar. Tidak kuat,” kata Sofyan.
Di ladang berbukit itulah, Mahyuddin, Farid, dan Sofyan membahas soal perdamaian antara GAM dan Indonesia. “Saya tanya pada Sofyan, apa GAM lapangan mau menerima perdamaian?” ungkap Mahyuddin. Jawaban Sofyan sama seperti diberikan pada Kalla bahwa pasukan GAM mendukung keputusan pimpinan mereka di Swedia.
Untuk meyakinkan Mahyuddin dan Farid bahwa pasukan GAM lapangan menerima perdamaian, Sofyan langsung menghubungi Panglima GAM, Muzakkir Manaf. Kabar gembira ini juga disampaikan Farid kepada Jusuf Kalla. “Sofyan dan Pak Jusuf Kalla ngobrol di telepon. Lalu Sofyan menghubungi Muzakkir (Manaf) dan menyerahkan telepon pada Farid,” ujar Mahyuddin, yang masih terlihat gagah meski sudah berusia 63 tahun.
Pertemuan di sebuah bukit berlangsung akrab. Sofyan dan Farid terlibat perbincangan hangat. Sofyan menyuguhi mereka bersantap ketan kuning, ayam panggang, durian, rambutan, dan langsat, di sebuah jambo. Farid mengaku makanannya ckup lezat dan tanpa malu-malu, dia menyantap sampai kenyang.
Usai bertemu Sofyan, Mahyuddin dan Farid kembali ke Desa Nibong, melalui rute dan truk yang sama. Perasaan mereka lega. Tetapi, ketegangan masih tampak di wajah kedua pria ini. Sesampai di Masjid Nibong, Mahyuddin mengajak Farid merasakan kelezatan rujak khas Aceh, sembari menunggu pesawat tiba di Bandara ExxonMobil. Agak lama mereka menunggu pesawat, sehingga Mahyuddin kembali mengajak Farid makan di Lhoksukon, ibukota Aceh Utara.
Di sebuah warung nasi, ungkap Mahyuddin, Farid terlihat mondar-mandir. Ia gelisah, sampai-sampai, Farid tak mau makan. “Saya was-was juga, tapi bagaimana pun, ini kan kampung saya,” kata Mahyuddin.
“Ketegangan” sampai membuat Farid salah tingkah. Dia hampir saja memberi kartu nama pejabat negara pada seorang polisi yang menegurnya. Untung saja, Mahyuddin melihat dan mencegahnya. Ketegangan itu membuat Mahyuddin menitip pesan pada Ali Jauhari, teman yang menemaninya. “Kalau saya meninggal di sini, tolong bawa pulang jenazah saya ke Sigli,” pesan Mahyuddin. “Tolong juga kasih kabar kepada keluarga saya di Jakarta.” [a]
Nurdin Hasan and Yuswardi Ali Suud contributed to this report. Published on ACEHKINI, Agustus 2008.
0 comments:
Posting Komentar