Oleh FAKHRURRADZIE GADE
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Banda Aceh mendirikan sekolah jurnalistik pertama di Aceh yang dinamakan Muharram Journalism College (MJC). Muharram College membuka tiga kelas, yaitu media cetak, radio, dan televisi. Sebanyak 60 mahasiswa telah dinyatakan lulus untuk mengikuti ketiga program pendidikan itu.Muharram College diresmikan, Sabtu (22/11), oleh Debra Bucher, perwakilan Development and Peace (D&P), sebuah organisasi non-pemerintah asal Kanada yang terlibat dalam memulihkan kembali Aceh pascatsunami, bersama Hj Nur Asiah, ibunda (alm) Muharram M. Nur, mantan ketua AJI Banda Aceh periode 2002-2004.
Rektor Muharram College Maimun Saleh mengatakan, sekolah ini lahir sebagai bentuk kepedulian AJI Kota Banda Aceh terhadap peningkatan mutu jurnalis di Aceh. Apalagi, selama tiga tahun terakhir ini AJI berkonsentrasi dalam pengembangan kapasitas jurnalis dan pekerja pers kampus.
“Sekolah ini hanyalah upaya untuk mensentralkan dan mengintensifkan metode pembelajaran. Peserta tak hanya dibahani dengan teori, tapi juga akan dimaksimalkan dengan praktik lapangan,” kata Maimun Saleh yang juga Sekretaris AJI.
Muharram College membuka tiga jurusan, yaitu Jurnalisme Cetak, Jurnalisme Radio, dan Jurnalisme Televisi. Bagi mahasiswa kelas cetak, Muharram College menyediakan fasilitas laboratorium. Di sini mereka bisa belajar bagaimana menulis dan mengolah berita, dan bagaimana mengelola newsroom. Sementara untuk kelas radio dan televisi, Muharram College menyediakan fasilitas studio.
“Jadi, setelah mereka memperoleh teori dari ruang belajar, mereka bisa langsung praktik bagaimana sesungguhnya news gathering dan mengelola media. Ini adalah upaya regenerasi yang dilakukan AJI,” ujar wartawan Majalah ACEHKINI itu.
Ketua AJI Kota Banda Aceh Muhammad Hamzah mengatakan, Muharram College bertujuan untuk mendidik jurnalis muda yang professional dan bertanggungjawab. Sehingga berita-berita yang disajikan oleh media massa kepada publik menjadi semakin berkualitas. Apalagi selama ini dirasakan adanya kesulitan regenerasi, terutama di level penulis dan redaktur.
Dia menambahkan, Muharram College terbuka bagi siapa saja. Sebanyak 60 mahasiswa yang telah dinyatakan lulus seleksi terdiri atas mahasiswa di berbagai perguruan tinggi, pegiat pers kampus, dan jurnalis pemula. “Kita berharap setelah mereka belajar selama enam bulan di sini, bisa menyajikan informasi yang benar, akurat, dan jujur kepada publik,” kata Muhammad Hamzah.
Muharram College berasal dari nama mantan Ketua AJI Banda Aceh yang menjadi korban dalam musibah tsunami akhir 2004 silam, yaitu Muharram M. Nur. Yang bersangkutan, usai gempa menggoyang Aceh pada 26 Desember 2004 berusaha mengabadikan penjara Kajhu yang hancur. Tak berapa lama usai gempa, tsunami menerjang Aceh dan merenggut jiwa ratusan ribu warga. Muharram salah satu dari 27 jurnalis yang menjadi korban ganasnya gelombang gergasi di pagi Ahad itu.
Semasa hidupnya, Muharram yang bekerja untuk Tabloid Kontras, dikenal sebagai jurnalis handal, profesional, berani, dan bertanggungjawab. “Hari ini, Aliansi Jurnalis Independen mengabadikan nama beliau menjadi nama kampus, guna meneruskan perjuangannya dalam menggapai cita-cita untuk mencetak para jurnalis bermutu dan profesional,” ujar Hamzah.
Sementara itu, Koordinator Tsunami Response Development and Peace Debra Bucher, menekankan pentingnya peran jurnalis saat Aceh masih dalam masa transisi ini. Menurutnya, media memainkan peran besar dalam menjaga perdamaian yang berkelanjutan, penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, dan persamaan gender di Aceh.
“Media akan memberikan kekuatan yang besar untuk membentuk cara kita berpikir dan masalah yang kita pikirkan. Untuk alasan ini, media mempunya peran penting bagi Aceh masa kini,” kata Debra.
Karena itu, kata Debra, saat AJI Banda Aceh menyatakan rencana pembentukan sekolah untuk mengkader jurnalis bermutu di Aceh, D&P langsung menyatakan kesetujuannya. “Sekolah ini akan memberikan kepada wartawan dan mahasiswa untuk memperkuat pengertian mereka dan kapasitasnya dalam mendukung perdamaian abadi, pengormatan terhadap HAM, dan persamaan gender. AJI percaya bahwa ketiga hal itu memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai potensi yang mereka miliki,” ujarnya.
Debra menambahkan, banyak jurnalis di Aceh yang tidak memiliki akses untuk pendidikan secara formal dalam meningkatkan kapasitas dan profesionalitas jurnalistiknya. Kesulitan akses ini berimplikasi pada mutu jurnalis dan kesulitan regenerasi. “Ini mengakibatkan perdamaian abadi, penghormatan terhadap HAM, dan persamaan gender seolah-olah terlupakan oleh media di Aceh,” kata dia.
Anggota Dewan Pers Bekti Nugroh0 dalam sambutannya mengatakan, AJI Banda Aceh telah mendahului Dewan Pers dalam mendirikan sekolah jurnalistik. “Sebenarnya, Dewan Pers sejak setahun lalu berencana mendirikan sekolah jurnalistik, namun terkendala dengan dana. Tapi AJI Banda Aceh telah mendahuluinya,” kata Bekti. Dia berharap, sekolah ini bisa meningkatkan kapasitas dan profesionalisme jurnalis di Aceh. [dzie]
0 comments:
Posting Komentar