Fakhruradzie Gade
SIANG kemarin, Pak Pos menyambangi kantor kami, Aliansi Jurnalis Independen. Ini tempat berkumpulnya sejumlah jurnalis-lintas-media di Banda Aceh. Tak ada istimewa sih sebenarnya kedatangan Pak Pos. Karena dalam seminggu pengendara sepeda motor orange itu bisa dua atau tiga kali mengunjungi kami. Yah, apalagi kalau bukan ngantar buku, tabloid, paket, atau surat.
Kemarin itu, Pak Pos ngantar kiriman buku fotografi dari World Press Photo, lembaga penyelenggara lomba foto dunia, kepada Fauzan Ijazah, fotografer freelance yang juga ikut bergabung di acehkita.com dan Majalah ACEHKINI.
Satunya lagi, kertas mirip surat. Reza Fahlevi, yang menerima antaran itu, langsung menggabungkan kertas mirip surat itu ke paket buku. Namun setelah saya perhatikan dengan seksama, mata saya terbelalak.
Di kertas itu tertulis PT. ACEHKINI.
Oh, ini untuk perusahaan majalah yang kami asuh sejak Agustus 2007. “Ja, ini wesel.” Reza ikut-ikutan memerhatikan. “Wow, hare gene masih pake wesel?” ujar saya meniru cas-cis-cus anak muda zaman sekarang.
Ya, siang itu saya menerima kiriman wesel dari KITLV Jakarta. Ini adalah lembaga kebudayaan Belanda di Jakarta. Tiga pekan lalu, saya memang ditelepon orang dari KITLV Jakarta. Mereka tertarik untuk mengoleksi Majalah ACEHKINI dari edisi Aceh Under Cover hingga edisi Ancaman AIDS, yang terbit April 2009.
Saya lupa nama petugas dari KITLV tadi. Dia bilang, mendapatkan ACEHKINI saat rekannya berkunjung ke Banda Aceh. Nah, setelah membaca satu edisi tadi, dia dan rekan-rekannya di KITLV tertarik untuk mengoleksi majalah ini di perpustakaan KITLV. Kan selama ini, KITLV banyak mendokumentasikan berbagai foto dan material Aceh di zaman dahulu.
Misalnya saja, saya menemukan rupa Masjid Raya Baiturrahman yang masih satu kubah, dari KITLV. Foto jadul Bank Indonesia yang ada di samping Markas Polda, sekarang Mapoltabes Banda Aceh, juga dari KITLV. Berbicara Aceh jadul, koleksi KITLV boleh dibilang lengkap.
***
SAYA sudah lama tak bersahabat dengan Wesel Pos. Dulu, sekitar tahun 1995, saat saya masih di jenjang Madrasah Tsanawiyah Swasta di Lueng Putu, kawan-kawan saya sering mendapatkan kiriman wesel dari orangtuanya. Atau dari hasil ikut teka-teki silang dan kuis di Serambi Indonesia atau harian di Medan.
Wesel tadi digunakan untuk mencairkan uang di Kantor Pos yang terdapat di dekat lapangan Lueng Putu, atau dekat SMA 1 Lueng Putu. Kami sering bertandang ke sana, untuk menukar wesel dengan uang, atau sekadar berkirim surat dengan sahabat pena.
Keberadaan Wesel Pos semakin tergusur belakangan ini. Tak hanya Wesel, produk PT Pos Indonesia juga banyak yang tergusur belakangan ini. Berkirim surat atau paket, orang lebih memilik jasa kurir yang lebih cepat. Misalnya PT Tiki, PT Tiki JNE, Elteha, dan banyak jasa kurir lainnya.
Kalau sekadar berkirim surat atau bertukar kabar – yang dulu selalu menggunakan jasa PT Pos Indonesia, kini cukup mengandalkan telepon yang murah meriah. Bisa bersurat elektronik ria, ngobrol di ruang chat. Pokoknya serba canggih lah.
Kalau berkirim uang, ya selama ini semakin mudah dengan transaksi bank. Apalagi, kini semakin mudah dengan adanya e-banking atau m-banking.
Kecanggihan inilah yang semakin menggusur pengiriman tradisional, seperti Wesel Pos tadi. Sehingga teman saya, Munar, kebingungan cara mencairkan uang.
“Ini dibawa ke kantor pos?” tanyanya.
“Iya.”
“Kalau gak dikasih, gimana?”
“Oo, harus bawa KTP…” dia menjawab sendiri.
“Pake ID Card ACEHKINI,” saran saya.
Dia pergi dengan membawa-serta kertas Wesel Pos. “Hare gene,” teriaknya saat keluar ruangan. []
4 comments:
mantap kali lah AK...
bisa dapat wesel....
Hehehe... Terkejut aja bos, zaman sekarang ternyata masih ada yang make Wesel Pos untuk kirim duet... Salut... Pos memang tiada matinya...
hikss..terharu mendapat apresiasi seperti ini. Sayangnya, orang luar mengapresiasi, orang dalam saling tuding. Mudah2an suatu ketika ACEHKINI bisa muncul kembali.
sebenbarnya eksisitensi wesel di indonesi saat ini seperti pa sih?
Posting Komentar