Jam di handphone saya sudah menunjukkan angka 01.44 WIB dinihari, 02 Agustus lalu. Saya baru saja merebahkan tubuh di atas kasus lipat di dalam ruang redaksi. Tiba-tiba ponsel saya berbunyi. Nada deringnya, khas. Sehingga saya bisa tahu siapa yang memanggil saat itu.
Saya langsung berpikiran yang bukan-bukan, karena nomor yang keluar adalah milik Abi (Ayah). Saya menduga ini pasti ada sesuatu yang tidak beres di kampung. Benar saja, dari ujung telepon kakak saya memberitahu kalau kami baru saja ditimpa musibah.
Toko milik ayah yang sekarang dikelola abang saya yang paling tua, ludes dimangsa si jago merah. Bukan hanya milik keluarga kami saja yang dimangsa api. Setidaknya 30-an toko di Kecamatan Keumala, ikut terbakar.
“Nyak, keude katutong (Kedai sudah terbakar),” kata Kakak saya, dengan nada terbata-bata. Kakak sering memanggil saya nyak, kalau dia tidak memanggil dengan nama asli.
Saya hanya bisa terdiam sesaat mendengar kabar itu. Lalu, saya menanyai sebab-musabab hingga terjadinya kebakaran.
“Sumber api dari kedai kak Nur,” kata dia.
“Bagaimana dengan Bang Yeuk?”
“Tidak apa-apa.”
Bang Yeuk panggilan kesukaan saya kepada Abang yang paling tua. Dia lah yang selama ini menjaga toko milik keluarga. Dia sebenarnya seorang guru di Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Sakti, Pidie. Namun, karena dia sudah mulai berjualan sejak usia muda, makanya Abang menjadi penerus “dinasti” keluarga.
Soalnya, dari lima bersaudara, hanya Abang saya yang tertua yang mengikuti jejak ayah, menjadi seorang pedagang. Sementara dua kakak saya, menjadi ibu rumah tangga bagi anak-anaknya. Abang saya yang satu lagi, menjadi seorang mandor mekanis di sebuah perusahaan perkebunan di Palembang. Sedangkan saya memilih menjadi wartawan dan hijrah ke Jakarta. Darah Pidie (berdagang) sama sekali tidak mengalir dalam darah saya.
Sebenarnya, musibah kebakaran bukan pertama kali ini menimpa kami. Dulu, sebelum saya lahir, rumah keluarga di Desa Pulo Pante, juga ludes dimangsa api. Ayah, ibu, dua kakak, dan abang saya, sempat berada dalam rumah saat itu. Di tubuh ayah saya masih ada luka bakar. Abang saya yang kini ada di Palembang, saat itu masih berusia sekitar satu tahun. Sementara abang saya yang paling tua, tidak menjadi korban karena sedang tidur di kedai, yang sekarang ikut ludes.
“Tuhan Maha Adil,” kata Kakak saya.
Dia berusaha menenangkan saya. Keluarga di kampung, sudah bisa menerima musibah ini. “Semuanya kembali pada Tuhan, jika sudah tiba masanya,” lanjut dia lagi.
Kakak saya kemudian akan mematikan HP. “Saya mau lihat kedai dulu. Nanti saya telepon lagi,” katanya.
Saya kemudian mencoba kembali merebahkan badan. Mata saya memang sudah sangat ngantuk, setelah seharian memelototi layar komputer. Akhirnya, saat berusaha mengingat-ingat kejadian itu, saya terlelap tidur. Dan, lupa jika kakak saya akan menelpon lagi. Memang benar, keesokan harinya, saya melihat ada sebuah panggilan tak terjawab di HP saya.
Ah. Saya benar-benar terlelap. Saya putuskan untuk menelepon paginya. Namun, kesibukan di pagi hari membuat saya lupa. Hingga, baru siangnya saya bisa menelepon. Itu pun, saat teringat beberapa barang saya yang paling berharga, juga musnah terbakar.
“Tidak ada yang bisa diselamatkan,” kata Kakak saya.
“Saya baru teringat, puluhan judul buku saya masih ada di kedai,” kata saya. “Bagi saya, itu sangat berharga. Yang lain juga.”
“Sampai tadi pagi, api masih ada di kumpulan buku itu,” lanjutnya.
Ya, memang, dua kardus buku yang saya miliki, saya simpan di toko itu. Saat saya hijrah ke Jakarta setahun silam, saya membawa pulang semua buku-buku yang saya punyai ke kampung. Buku-buku itu sangat berharga bagi saya. Ada puluhan buku, artikel dan makalah tentang media dan jurnalisme di sana. Buku-buku itu saya kumpulkan, setahun sebelum menamatkan kuliah.
Tapi, tak apalah, nanti bisa saya cari lagi.
Setelah menelepon kakak, saya kembali teringat. Ada skripsi saya yang berjudul Pers di Daerah Konflik: Antara Jurnalisme Damai dan Perang (Studi Analisis Berita Konflik di Harian Serambi Indonesia), di antara tumpukan buku itu.
Benar-benar membuat saya kalap. “Jun, tolong ke pustaka IAIN dan Fakultas Dakwah, copy skripsi saya sebentar. Punya saya hilang,” kataku kepada T Junaidi. Saya tidak mengabari dia kalau skripsi ikut terbakar.
“Saya lagi di Sigli,” kata dia.
Waduh. Siapa yang harus saya minta tolong lagi.
Akhirnya, saya teringat kalau masih punya soft copy materi skripsi setebal 100-an halaman itu. Saya sedikit tenang.
***
Tadi pagi, Rabu (3/8), abang yang di Palembang menghubungi saya.
“Apa yang punyamu ikut terbakar?” tanya dia.
“Puluhan judul buku dan skripsi,” kata saya.
Dia lalu menanyakan penyebab kebakaran. “Apa ada indikasi dilakukan secara sengaja, untuk membuat toko baru?”
“Informasi sementara, tidak sih. Murni kebakaran disebabkan konslet listrik.”
Ah, sudah lah, saya tidak terlalu memikirkan lagi buku-buku itu. Toh nanti saya bisa cari lain.
Yang justru saat ini saya pikirkan adalah, nasib abang saya. Sebenarnya, dia mau berjualan di toko baru yang ada di depan toko lama. Namun, toko itu masih disewa sama orang lain, sehingga belum bisa pindah. Saya belum berbicara dengan abang saya itu. Saya juga tidak bisa membayangkan perasaan ayah saya yang sudah puluhan tahun menjadi pedagang. Kendati di usia tuanya itu, sang ayah masih suka berjualan. Jika abang saya pergi mengajar atau ke sawah, dia yang menggantikannya.
Melalui usaha itu, ayah saya bisa menyekolahkan lima anaknya. Empat sampai ke perguruan tinggi. Kakak saya yang satu lagi, memilih pergi ke Pesantren di Samalanga, seusai SMA, ketimbang sekolah di universitas. Sementara kakak saya yang paling tua, memilih kawin sebelum menyelesaikan skripsinya. Itu adalah kebebasan yang diberikan ayah kepada kami. Belia tidak pernah memaksakan kehendaknya kepada kami. Semua tergantung pada keinginan kami.
Saya jadi teringat, saat menyatakan keinginan untuk kuliah di Jawa. Kendati tidak sanggup, beliau tidak secara langsung memperlihatkannya kepada saya. Malah, saya mendengarnya dari seorang kawan yang datang ke rumah. Beruntung, saat itu saya tidak diterima di jurusan komunikasi di salah satu universitas terkemuka di Jawa. Saya tidak menyesal!
Tentu, hari-hari ini menjadi sangat berat bagi keluarga, terutama ayah dan abang saya.
Tuhan, tabahkan hati kami! [r]
0 comments:
Posting Komentar