RUU PA yang tidak aspiratif akan membangkitkan gelombang perlawanan terhadap Indonesia, termasuk gerakan kemerdekaan. Seratus tokoh Aceh bertemu untuk mengantisipasi kegagalan RUU PA.
SERATUSAN tokoh tumpah ruah ke aula Hotel Cakradonya, Banda Aceh, Selasa, 7 Maret 2006. Mereka berasal dari berbagai kalangan di Aceh. Ada akademisi, aktivis mahasiswa, LSM, anggota Gerakan Aceh Merdeka, aktivis perempuan, ulama, dan sejumlah kalangan lain. Mereka bertemu seharian untuk membicarakan strategi pengawalan Rancangan Undang Undang Pemerintahan Aceh (RUU PA) yang kini berada di tangan legislatif di Senayan.
Pertemuan membuahkan sepuluh tuntutan, yang kemudian mereka tuangkan dalam Deklarasi Cakradonya. Tuntutan itu merupakan harga mati, “Yang tidak bisa dikompromi,” kata Rufriadi, SH, direktur Aceh Judicial Monitoring Institute, yang hadir dalam pertemuan itu.
Tuntutan yang mereka hasilkan di antaranya, UU PA harus memberikan kewenangan yang penuh bagi Aceh seperti yang diamanatkan Memorandum of Understanding (MOU) Helsinki; kewenangan penuh dalam mengelola sumberdaya alam; perimbangan keuangan dari seluruh pengelolaan sumberdaya alam (70 persen untuk Aceh dan 30 persen Pusat); pemerintah diminta memasukkan poin yang mengatur tentang kompensasi dan reparasi hak-hak masyarakat korban, terutama anak-anak dan perempuan.
Pendek kata, pertemuan 100 tokoh itu meminta supaya Senayan mensahkan RUU PA yang diajukan oleh DPRD Aceh yang sudah melalui uji publik. Jika UU yang dihasilkan nantinya tidak mengakomodir keinginan masyarakat Aceh, elemen sipil mengkhawatirkan gerakan perlawanan dan kemerdekaan akan kembali bermunculan di persada Aceh. “Gerakan perlawanan menuntut kemerdekaan juga akan muncul kembali di Aceh,” seru seratus tokoh dalam Deklarasi Cakradonya yang dibacakan Rufriadi.
Juru Bicara Komite Peralihan Aceh wilayah Aceh Timur, Tjut Kafrawi, lebih berdiplomatis. Menurutnya, jika UU yang dihasilkan tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat di bumi yang baru saja dihumbalang tsunami itu, maka Indonesia telah melanggar kesepakatan damai (MOU) yang dicapai dengan susah payah di Helsinki, Finlandia. Namun, kata dia, Pemerintah Indonesia masih mempunyai peluang untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Jika tetap saja mentok, GAM akan membawa permasalahan ini ke Aceh Monitoring Mission (AMM) dan Crisis Management Initiative (CMI). Lembaga terakhir yang disebut Kafrawi ini merupakan fasilitator dan mediator dalam perundingan panjang nan melelahkan itu. Sementara AMM merupakan lembaga yang ditunjuk para pihak untuk memantau proses damai di Aceh. Mereka terdiri dari utusan dari negara yang tergabung dalam Uni Eropa dan Asia Tenggara (ASEAN).
Pandangan serupa juga disuarakan Irwansyah, bekas Presiden Mahasiswa Universitas Syiah Kuala. Di hadapan 30 anggota Panitia Khusus RUU PA DPR RI yang mengadakan pertemuan di Meuligoe Gubernur Aceh yang dingin, pria berkacamata minus ini bersuara lantang. “Jangan biarkan kami “memberontok lagi! Jangan biarkan kami melakukan “perlawanan” lagi,” serunya. Puluhan aktivis bertepuk tangan mengamini pernyataan Irwansyah.
Irwansyah tidak bermaksud mengancam. Apa yang dikemukakan Irwansyah ini, merupakan refleksi dari sejarah panjang konflik di provinsi di barat Indonesia itu. Perang dan perdamaian silih berganti bersemi. Namun, perdamaian sering kali kandas dalam usia dini. Lihat saja misalnya, sejarah Teungku Muhammad Daud Beureueh mendeklarasikan perlawanan terhadap Jakarta pada 1953, di bawah bendera Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Gerakan perlawanan ini diredam Jakarta dengan diplomasi ala Kolonel Jassin, penguasa militer di Aceh saat itu, pada tahun 1963.
Kompensasinya, Jakarta menyetujui Aceh sebagai provinsi yang mempunyai keistimewaan di bidang pendidikan, budaya, dan agama. Namun, sejak Abu Beureueh turun gunung, keistimewaan yang diberikan kepada Aceh ternyata hanya pepesan kosong belaka. Aceh sama saja dengan provinsi lain di Nusantara. Malah, kekayaan alam semakin dikeruk dari bumi Aceh yang kaya dengan minyak dan gas, saat Orde Baru berkuasa. Kedua pundi-pundi uang ini tidak bisa dinikmati masyarakat. Aceh semakin miskin dan tertinggal, termasuk di bidang budaya dan pendidikan. Agama pun, tidak banyak keleluasaan yang diberikan Jakarta. Kekerasan dan penindasan juga kerap terjadi.
Tak puas dengan kondisi ini, Hasan Tiro, orang kepercayaan Abu Beureueh, kemudian mendeklarasikan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976. Gerakan ini kemudian melakukan perlawanan senjata dan diplomasi untuk memisahkan Aceh dari kungkungan Jakarta. Bak kebakaran jenggot, Jakarta mengirim bala tentara ke bumi Aceh untuk menumpas gerakan kemerdekaan tersebut. Hingga 30 tahun kemudian, Aceh penuh dengan letupan bedil dan meriam. Sedikitnya 15 ribu anak negeri menjadi korban dari kemarahan Jakarta.
Perundingan Helsinki yang dimulai Januari 2005, setelah Aceh dihumbalang musibah raya yang menewaskan tak kurang dari 200 ribu orang Aceh, akhirnya melahirkan perdamaian pada 15 Agustus 2005. Kedua belah pihak sepakat untuk mengakhiri permusuhan yang sudah berlangsung selama 30 tahun itu.
Luka Lama
Beranjak dari sejaran panjang kekerasan di Aceh, Irwansyah dan seratus tokoh Aceh itu kemudian mewanti-wanti Jakarta akan kemungkinan kembali munculnya gerakan antipati terhadap Jakarta. Apalagi, pasca-MOU Helsinki, kepercayaan masyarakat Aceh terhadap Jakarta sudah mulai pulih.
Undang Undang Pemerintahan Aceh dinilai sebagai sebuah langkah untuk mengakhiri konflik panjang di Tanah Seulanga itu. Makanya, UU ini diharapkan tidak bernasib sama dengan Ikrar Lamteh. “Saya hanya ingin mengingatkan kepada seluruh tim, jangan terulang kembali Ikrar Lamteh, yang diberikan keistimewaan, ternyata hanya bingkainya saja, tapi niscaya isinya kosong. RUU ini jangan seperti Ikrar Lamteh,” kata Tarmizi Rajab, rektor Universitas Serambi Mekkah (USM) Banda Aceh, juga di hadapan anggota Pansus RUU PA. Ketua Tim Ferry Mursyidan Baldan, hanya manggut-manggut. Begitu juga dengan anggota lain. Farhan Hamid yang duduk tak jauh dari Tarmizi Rajab, saksama mendengar omongan sang rektor. Dia mengaku merekam semua aspirasi yang disampaikan peserta pertemuan.
Kalau Tim Pansus gagal menggolkan aspirasi Aceh dalam RUU PA, sebut Tarmizi, maka daerah yang lelah dalam perang ini akan kembali ke masa kehancuran. Masyarakat tidak lagi leluasa dalam beraktivitas, kekacauan dikhawatirkan akan kembali terjadi. “Itu tidak boleh terjadi. Jangan sampai luka lama bernanah kembali,” tukasnya, tegas.
Kekhawatiran luka lama akan kembali menganga, juga dikemukakan dr. Andalas. Doktor yang sudah lama menangani korban di masa konflik memanas ini, mengaku sering menerima “curhatan” dari istri mantan anggota Tentara Neugara Aceh (TNA), sayap militer Gerakan Aceh Merdeka.
Menurutnya, istri kombatan itu galau dengan kondisi Aceh sekarang ini. Kendati damai sudah ditorehkan di atas kertas, mereka masih menyimpan pengalaman pahit Jeda Kemanusiaan (2001) dan Cessation of Hostilities Agreement (CoHA/2002). Dua perjanjian ini belakangan gagal dan perang kembali berkobar di Aceh. Mesin-mesin perang yang didatangkan ke Tanah Jeumpa untuk memburu sang suami mereka, belum juga pupus dari ingatan. “Banyak istri GAM yang berobat kepada saya mengatakan kegalauan mereka,” kata Andalas.
Kegalauan istri mantan kombatan GAM itu disebabkan, RUU PA yang diajukan DPRD Aceh ke Pemerintah, ternyata banyak dipangkas oleh Departemen Dalam Negeri. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mencatat, ada 37 pasal yang dipangkas dan direduksi Jakarta. Yang paling krusial adalah penambahan ayat (3) dalam Pasal 7 versi Depdagri, yang menyatakan, “di samping kewenangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) terdapat urusan pemerintahan lain yang oleh peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai kewenangan Pemerintah”.
Pasal ini dinilai sebagai bentuk ketidakseriusan Pemerintah Indonesia dalam menuntaskan persoalan yang terjadi di Aceh. Perubahan dan distorsi yang dilakukan Depdagri sendiri cenderung menjadikan UU PA tidak aspiratif. “Pengaruh adanya perubahan, penambahan, perbaikan, sangat besar pada arti substansi dari RUU PA,” ujar Iskandar Gani, akademisi Universitas Syiah Kuala yang terlibat dalam penyusunan draf RUU PA versi DPRD Aceh. “Maka, kami harapkan supaya Pansus membahas RUU PA versi DPRD Aceh, bukan versi Depdagri.”
Kalangan mahasiswa sendiri mengancam akan terus melakukan aksi unjukrasa jika UU PA yang disahkan nantinya itu, tidak mengakomodir aspirasi masyarakat Aceh yang telah tertuang dalam draf versi DPRD. Saat Pansus RUU PA mengunjungi Aceh awal Maret silam, gelombang demo terus terjadi. Bahkan, Ketua Pansus Ferry Mursyidan Baldan dipaksa mendatanganani perjanjian dengan mahasiswa. Perjanjian itu meminta supaya Pansus komit dalam menjaga perdamaian Aceh dan mengesahkan RUU PA sesuai dengan harapan rakyat Aceh.
Kini, bola ada di tangan Pansus DPR-RI. Di dalamnya, ada beberapa nama yang sudah tidak asing bagi masyarakat Aceh, semisal Ahmad Farhan Hamid, Imam Syuja’ (PAN), Muhammad Yus (PPP), dan Nasir Djamil (PKS). Mereka adalah anggota DPR asal Aceh. Gelinding bola RUU PA ini juga ada di tangan mereka. Karenanya, wajar saja kalau Ghazali Abbas Adan, bekas anggota DPR RI asal Aceh, meminta anggota DPR asal Aceh yang tergabung dalam Forum Bersama untuk berani menentukan sikap; walk out!
“Mereka harus berani tunjukkan untuk walk out. Mereka harus punya nyali dan keberanian sehingga mereka betul-betul menjadi wakil rakyat yang profesional bukan amatiran, dengan membawa aspirasi rakyat Aceh sebagaimana tertuang dalam MOU Helsinki dan RUU PA versi DPRD,” kata pria asal Pidie yang vokal di Senayan ini, Selasa, 7 Maret lalu.
Lantas, bisakah Forbes menggolkan bola ini ke gawang? Kita tunggu saja babak selanjutnya. | FAKHRURRADZIE
0 comments:
Posting Komentar