Oleh FAKHRURRADZIE GADE
ACEHKINI Writer
“Saya tak mau urus lagi proposal bantuan. Ngapain, yang ada capek dan habis uang saja. Bantuan tidak cair juga,” kata Rasyidin, pasrah. Pria berusia 18 tahun itu merupakan korban perang yang belum memperoleh bantuan dari pemerintah. Sudah empat tahun ini, dia hidup dengan satu tangan.
Rasyidin hanya bisa pasrah. Warga Desa Paya Lipah, Kecamatan Peureulak, Aceh Timur, ini bukannya tak mencoba mengurus bantuan. Ia sempat beberapa kali coba peruntungan dengan mengirim proposal ke Badan Reintegrasi-Damai Aceh (BRA), lembaga yang mengurusi korban perang, tapi – itu tadi — bantuan tak kunjung cair.
Mei lalu, Rasyidin sedikit punya harapan, saat pamannya, Muhammad Jafar, meminta dia menyiapkan surat keterangan rumah sakit, surat keterangan korban konflik dari kepala desa setempat, dan surat dari sebuah lembaga hak asasi manusia di Aceh Timur.
Jafar lalu membawa proposal keponakannya ke kantor BRA pusat di Banda Aceh. Tunggu punya tunggu, bantuan tak juga cair. BRA malah minta Rasyidin mengantar proposalnya ke BRA Aceh Timur. Ia menyanggupinya.
“Katanya dana akan cair akhir Juli atau awal Agustus ini,” kata Muhammad Jafar, paman Rasyidin, kepada ACEHKINI, pertengahan Juni silam.
Tak cukup mengadu ke BRA, Jafar juga membawa nasib keponakannya ke Gubernur Irwandi Yusuf. Tapi, gubernur hasil pilihan rakyat pada 11 Desember 2006 silam, tak bisa berbuat banyak juga. “Responnya, saya disuruh tunggu bantuan dari BRA dulu. Kalau juga tak dapat, nanti gubernur janji akan mau bantu,” jelas Jafar.
Tak muluk-muluk sebenarnya bantuan yang diharapkan Rasyidin. “Saya hanya butuh modal untuk bisa bekerja, biar tidak mengharap belas kasih orang lain,” katanya saat majalah ini kembali mewawancarainya pada Juni lalu di rumahnya yang lebih mirip gubuk: berdinding papan bolong, beratap rumbia, dan lantai tanah.
Awal September tahun lalu, ACEHKINI menurunkan laporan soal nasib mereka yang terhempas perang. Rasyidin, bocah bertangan satu, menjadi seorang narasumber kami yang belum memperoleh bantuan dana dari pemerintah. Setahun berlalu, di saat damai sudah berusia tiga tahun, majalah ini kembali menurunkan cerita Rasyidin.
Semula, kami berharap kehidupan baru akan ditulis, yaitu cerita Rasyidin yang telah memperoleh bantuan. Tapi apa lacur, nasibnya masih sama seperti tahun sebelumnya. Bahkan lebih parah setelah ayahnya, Ali Basyah, meninggal dunia, akhir 2007.
Sepeninggal ayahnya, kondisi keluarga Rasyidin semakin memprihatinkan. Bersama abang dan adiknya, dia hanya bisa berharap pada ibunya yang menjadi pedagang kaki lima di Pasar Peureulak.
“Saya mau mandiri. Sekarang yang saya butuhkan hanya modal agar bisa bekerja,” kata Rasyidin. Suaranya tersendat-sendat. Matanya berkaca-kaca. “Kondisi satu tangan membuat saya menderita, tidak bisa bekerja apa-apa. Coba kalau saya punya dua tangan, utuh...”
Perang jahanam memang selalu menyisakan lara, bahkan untuk mereka yang tak tahu arti perang. Perang itu pulalah yang telah merenggut tangan kanan Rasyidin pada suatu pagi menjelang siang, 5 April 2004. Saat itu, desa di pesisir Timur Aceh itu sedang sepi. Para orang dewasa, laki-laki dan perempuan, sedang berkumpul di lokasi tempat pemungutan suara untuk pencoblosan di desa tetangga, berjarak sekitar dua kilometer dari Paya Lipah.
Saat itulah, Rasydin menemukan sebuah benda hijau seperti senter tergeletak di pinggir sawah, tempat tank Marinir terperosok sehari sebelumnya. Rasyidin juga menemukan 10 butir selongsong peluru dan dua peluru tank aktif di sana. Menurut warga, TNI meninggalkan tanknya di sana dan melanjutkan patroli berjalan kaki.
Rasyidin kemudian membawa pulang benda itu dan memamerkan kepada sejumlah temannya. Layaknya anak-anak, mereka pun bermain-main dengan benda tersebut di pekarangan rumah Zulkarnain Hasan, sepelemparan batu dari rumah Rasyidin.
Entah siapa yang mulai, mereka lalu mengorek sambil memutar bagian bawah benda berbentuk senter itu. Karena tidak terbuka, benda – yang tak mereka ketahui berbahaya itu— dihantam ke bangku panjang tempat mereka duduk. Ledakan keras membahana.
Akibatnya, delapan bocah tergeletak bersimbah darah. Memang, tak semua anak-anak imenderita luka parah. Yang paling parah adalah Rasyidin dan Marlinda, bayi berusia dua tahun. Selain tangan kanannya harus diamputasi hingga ujung bahu, Rasyidin juga menderita luka di sekujur tubuh dan kakinya. Sedangkan Marlinda, ususnya harus dipotong karena tertembus serpihan tabung pelontar.
Perang telah membuyarkan semua cita-cita Rasyidin. Padahal, bocah berkulit hitam ini berharap bisa mengeyam pendidikan tinggi, agar kelak bisa membahagiakan kedua orangtuanya. Tapi semua itu kini tinggal kenangan. Ia tak berani berangan-angan lagi. “Saya tidak berani sekolah lagi, malu. Ada kawan-kawan yang mengejek saya tangan buntung... Saya benar-benar tidak sanggup mendengarnya,” kata dia.
Rasyidin tak mau terus menerus jadi tanggungan ibunya. “Meudeh aneuk bi bu mak, njoe mak bi bu aneuk. Meunye mantong ubit laen (Seharusnya anak kasih makan orangtua, bukan sebaliknya. Kecuali kalau saya masih kecil),” ujar Rasyidin. Ia tak sanggup menahan kucuran airmatanya. “Kalau ada modal sendiri, saya mau buka usaha sama abang.”
Rasyidin hanya bisa menunggu penuh harap adanya secuil bantuan dari pemerintah. Entah sampai kapan penantiannya berakhir. [a]
Published on ACEHKINI, August 2008.
3 comments:
Tolong segera di confirmasi.
Kenapa di www.acehblogger.org ketika ditampilkan postingan anda disana tertulis bahwa ID anda adalah "d60pc"
Saya adalah d60pc yang mempunya situs resmi www.d60pc.com dan www.d60pc.net
Jadi kalau bisa segera di confirm ke admin disana ya
Terima Kasih atas perhatian dan Kerja Samanya
d60pc website
d60pc team
d60pc
Kecewa Bukan sifat yg baik...tp Beriman dg Ketentuan Rezeki Tuhan adalah lebih baik.
@ d60pc.. Maaf, saya tidak mengerti kenapa itu bisa muncul. Padahal, ID saya adalah eFMG. Nanti saya konfirm ke admin aceh blogger dengan melampirkan komentar anda. terimakasih telah mengunjungi situs saya.
Salam,
Radzie
Posting Komentar