Minggu, Oktober 12, 2008

Enaknya Jadi Wartawan Bule

Oleh FAKHRURRADZIE GADE
[radzie@acehkita.com]

Sejumlah wartawan lokal sempat dilarang memasuki halaman Pendopo Gubernur Aceh. Tidak ada alasan yang jelas kenapa mereka dilarang masuk. Namun, wartawan yang bertampang bule dengan mudah bisa menerobos barikade penjagaan.

Banda Aceh, acehkita.com. Pengamanan kedatangan Hasan Tiro terbilang cukup ketat. Penjagaan dari anggota Komite Peralihan Aceh (KPA) berlapis. Akibatnya, wartawan yang ingin meliput kepulangan Hasan Tiro pun tak leluasa. Bahkan, banyak wartawan yang harus kehilangan momentum. Ada juga yang dikasari anggota KPA.

Pengamanan super ketat itu mulai dirasakan wartawan saat mau mengurus badge khusus meliput Hasan Tiro di KPA. Pada awalnya, pengurusan badge bagi wartawan dipusatkan di kantor Partai Aceh di bilangan Jalan Sultan Mahmudsyah. Namun belakangan, pengurusan badge dipindahkan ke markas KPA di kawasan Lampaseh.

Saat mengurus badge, selain harus menyerahkan fotokopi kartu pers dan pasfoto, wartawan juga diharuskan menyerahkan satu lembar fotokopi kartu penduduk. Seorang wartawan senior di Banda Aceh menyebutkan, pengurusan badge peliputan yang diterapkan KPA sangat berbeda dengan pengalaman mengurus izin peliputan kedatangan presiden, baik presiden Indonesia maupun presiden/perdana menteri dari negara lain, yang tidak membutuhkan KTP.

Nah, saat hari H kedatangan Hasan Tiro, pengamanan ekstra ketat memang benar-benar terjadi. Mengantongi kartu peliputan yang dikeluarkan secara resmi oleh KPA tidak banyak membantu. Reporter AFP yang hendak meliput di Bandara Sultan Iskandar Muda hampir saja tidak diizinkan masuk. “Semula saya tidak dikasih masuk dulu. Tapi untung saya menenami kawan yang wartawan bule,” katanya, kesal.

Bahkan, seorang reporter media lokal sempat diminta untuk menunjukkan kartu tanda penduduk. Padahal, reporter media itu telah menunjukkan kartu pengenal yang dikeluarkan KPA dan kartu pers. Lagi-lagi, para penjaga pintu masuk meminta sang reporter menunjukkan KTP.

Belum lagi ada perlakuan yang berbeda antara wartawan lokal, nasional, dan internasional. Sejumlah wartawan lokal sempat dilarang memasuki halaman Pendopo Gubernur Aceh. Tidak ada alasan yang jelas kenapa mereka dilarang masuk. Namun, wartawan yang bertampang bule dengan mudah bisa menerobos barikade penjagaan. Bahkan, ada wartawan asing yang malah tak bertanda pengenal yang dikeluarkan KPA.

“Besok, kita jadi bule saja, biar gampang akses,” celetuk seorang fotografer ketika tertahan di pintu masuk.

Tak hanya susah mengakses area liputan, wartawan juga tak leluasa mengabadikan momen kepulangan Hasan Tiro karena banyaknya anggota pengamanan yang wara-wiri di depan kamera para wartawan. Akibatnya, seorang fotografer yang berusaha menerobos barikade pengamanan itu mengalami tindak kekerasan.

Pewarta foto itu pada mulanya hendak mengabadikan detik-detik Hasan Tiro keluar dari badan pesawat yang membawanya pulang ke Aceh. Namun, tiba-tiba ada petugas pengamanan yang berdiri di depannya. Terang saja dia mencari lokasi lain, dengan jongkok di celah-celah barikade. Namun entah kenapa, tiba-tiba ada yang menendang wajah fotografer.

“Saya awalnya berusaha menghargai mereka, tapi saat pesawat wali datang, mereka sudah tidak menghargai saya lagi dengan berdiri di depan kamera. Makanya saya terobos,” kata sang fotografer yang tak mau disebutkan namanya itu.

Perlakuan tidak mengenakkan juga dilakukan massa yang berusaha melihat dari dekat Hasan Tiro di halaman Masjid Raya Baiturrahman. “Saya kena lemparan kursi patah. Ada juga yang kena batu,” kata seorang wartawan media lokal. [dzie]

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting