Oleh FAKHRURRADZIE GADE,
ACEHKINI Writer
Dari kejauhan raungan sinsaw terdengar silih berganti. Perlahan M Nasir CM, Abdullah, dan Bakhtiar mendekati sumber suara. Mereka berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang digunakan para penebang liar untuk mengangkut kayu. Saat sudah mendekati sumber suara sinsaw, mereka berhenti. Mengendap. Setelah memastikan asal suara, mereka kembali menyusuri tebing gunung yang dipenuhi kayu bekas perambahan hutan. Dengan sigap mereka menerobos ranting dan dahan kayu. Tak berapa lama, pengendapan membuahkan hasil: aha, dua penebang kayu berhasil “diamankan.”
Amiruddin dan Feri nama para penebang liar tadi. Mereka menebang kayu di Bukit Lalang, Desa Alue Teh, Kecamatan Birem Bayeuen, Aceh Timur. Menebang kayu di Bukit Lalang sebenarnya sangat berbahaya. Pasalnya, pegunungan Bukit Lalang-lah yang selama ini menjadi penyangga serapan air bagi hulu Sungai Langsa.
Bukan kali ini saja Amiruddin dan Feri ikut menggunduli hutan di kawasan Bukit Lalang. Sebelumnya, mereka juga pernah menebang kayu di sini dengan alasan untuk pembukaan lahan. Saat tim yang dipimpin Nasir menyergap, Amiruddin tengah sibuk membelah kayu jenis Sembarang.
Pemuda kelahiran 32 tahun silam ini menjadi penebang kayu sejak enam tahun silam. Usai menamatkan pendidikan di SMA Seureuway, Aceh Tamiang, Amiruddin memilih bekerja sebagai penebang kayu. Mulanya dia hanya menjadi kernet. Pengalaman menempanya untuk pandai mengendalikan sinsaw yang beratnya mencapai 25 kilogram. Sebelumnya, Amiruddin bekerja di PT Guruti. Hanya sebentar di sana, dia harus menganggur. Pasalnya, PT Guruti tutup dan merumahkan semua karyawannya.
Bermain kayu memang menggiurkan. Kayu bisa menjadi pundi-pundi rupiah. “Dalam satu ton kayu yang saya belah, saya dapat satu juta rupiah,” kata Amiruddin. Saat ketangkap basah tim yang dipimpin Nasir, Amiruddin sedang menggunduli hutan atas suruhan Najib, warga Alue Teh. “Pak Najib mau buka lahan,” kata warga Lorong IV itu.
Amir tak sendiri merambah hutan Bukit Lalang. Tak berapa jauh dari lokasi Amir menebang kayu, Suparman, warga Alue Teh, menari-narikan sinsaw-nya di atas kayu berukuran besar. Dia hanya seorang diri. Parman mengaku menebang kayu untuk kebutuhan pembangunan rumahnya. “Saya hanya menebang untuk keperluan material rumah,” ujarnya lugu saat disidak ranger Tim Monitoring Mitra Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL), pertengahan Juni silam.
Lagi-lagi, pembukaan lahan menjadi alasan para penebang liar menggunduli hutan Alue Teh. Penebangan hutan di sana melibatkan banyak kalangan: polisi, tentara, perangkat desa, warga, hingga mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka. Saat tim BPKEL menginspeksi kawasan itu, para penebang mengaku bahwa mereka menebang kayu karena telah mendapat restu dari aparat. Solihin, warga Lorong I, menurunkan 37 lembar papan berdiameter lima inci dengan menggunakan kombeck: mobil off roader jenis hardtop.
Solihin mengaku kayu itu pesanan Husni, anggota polisi yang bertugas di Polres Langsa. “Ini kayu bapak Husni. Kalau ada apa-apa dengan kayu ini, saya diminta melapor ke dia,” kata Solihin kepada tim BPKEL.
Sore itu, Sabtu (14/6), tim BPKEL yang dipimpin Ivo Lestari dan Teungku Nasir CM berhasil menangkap satu unit kombeck sarat muatan kayu yang hendak dilansir ke perkampungan penduduk. Sayang, baru dibawa sekitar seratus meter dari lahan penebangan liar, kombeck yang dikemudikan Sunardi kepergok tim BPKEL. Mobil kombeck milik Kepala Desa Alue Teh ini –berserta kayunya—digelandang ke Markas Kepolisian Sektor Birem Bayeun. Empat penebangnya juga dimintai keterangan dan ditahan di Mapolsek itu.
“Saya berani main kayu karena Bapak Husni katanya mau bertanggungjawab. Dia bilang, kalau ada masalah dengan kayu ini panggil dia,” kata Solihin.
Husni memesan tiga ton kayu jenis Sembarang pada Solihin. Pada awalnya Solihin ogah meladeni permintaan Husni, yang disampaikan melalui Sarno –orang kepercayaan Husni. “Saya sudah bilang ke Sarno kalau saya tidak sanggup memenuhi ordernya. Tapi dia bilang, kalau ada masalah bilang saja ke Pak Husni,” ujar Solihin, 28 tahun.
Solihin bukannya tak tahu kalau Pemerintah Aceh telah mengeluarkan kebijakan moratorium logging atau jeda tebang hutan. Tapi fulus yang diraup dari bermain kayu menggodanya. “Saya tahu ini dilarang,” katanya pelan.
Kapolsek Birem Bayeun Inspektur Satu Eliadi mengaku sering berburu para penebang liar. Tapi sejak dua tahun lalu bertugas di sana, belum satu penebang pun berhasil ditangkapnya. Saat tim BPKEL menangkap Solihin beserta tiga penebang kayu lainnya, Iptu Eliadi sedang berada di rumah Kepala Desa Alue Teh. “Sebenarnya kita sering razia, tapi asal kita naik selalu bocor (informasinya),” aku Eliadi.
***
Pada Februari 2007, Pemerintah Aceh membentuk Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser untuk menjaga kawasan hutan seluas 2,6 juta hektar yang sudah terancam. Keputusan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf membentuk BP-KEL ini diikuti dengan mengeluarkan instruksi jeda tebang hutan pada 6 Juni 2007. Inilah yang kemudian dijadikan landasan BP-KEL untuk menggandeng mitra lokal untuk menjaga hutan di sejumlah kabupaten kritis.
Di Aceh Timur, Langsa, dan Aceh Tamiang, BP-KEL menggandeng Mata Hate, sebuah LSM lokal yang dibentuk sejumlah mahasiswa dan aktivis sipil. Belakangan, empat bekas anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yaitu Muhammad Nasir C.M., Abdullah, Bakhtiar, dan Ramli Abbas, bergabung menjadi relawan penjaga hutan. Mereka disebut ranger!
Keinginan bergabung menjadi penjaga hutan merupakan panggilan nurani. Bakhtiar, seorang ranger, mengaku sudah saatnya mereka terlibat dalam menjaga kelestarian hutan Aceh dari tangan-tangan jahil para cukong dan penebang liar. Apalagi, selama bertahun-tahun Bakhtiar bergerilya di pegunungan Aceh Timur dan Langsa. “Kita ingin hutan Aceh tetap lestari,” kata Nasir.
Masih segar dalam ingatan Nasir cs pada Desember 2006, dua tahun setelah tsunami menghumbalang Aceh, banjir bandang menerjang Aceh Tamiang. Sedikitnya 72 warga tewas dan lebih 120 ribu warga mengungsi akibat banjir besar tersebut. Ribuan kubik kayu log hasil penebangan liar diangkut air menerobos permukiman warga, menjadi malapetaka yang menenggelamkan perkampungan.
Tak mudah bagi mereka terjun sebagai penjaga hutan. Selain mereka tak digaji negara, saat terjun ke lapangan acap berhadapan dengan aparat yang membekengi aktivitas penebangan liar. Tak jarang mereka juga harus berurusan dengan mantan anggota GAM yang juga ikut menggunduli hutan. Tapi, bagi mereka, itu semua merupakan tantangan tersendiri.
Aksi mereka kerap membuat pemain kayu kelimpungan. Awal 2008 lalu, mereka memburu penebang liar di kawasan Bukit Indah, Desa Jambo Labu. Tak sia-sia, mereka berhasil menangkap lima unit kombeck dan menyita puluhan kubik kayu hasil penebangan liar yang sudah diolah menjadi papan dan balok. “Itu prestasi kami menangkap kayu ilegal,” kata Nasir.
Menurut dia, kayu-kayu itu kemudian diserahkan kepada aparat kepolisian. Sayang, kasus ini kemudian mengendap begitu saja. “Kita tidak tahu kenapa,” kata Ivo Lestari, Koordinator Mata Hate.
Pascapenangkapan kayu itu, tim Nasir cs tidak leluasa lagi bergerak di kawasan Bukit Indah. Pasalnya, wajah-wajah para penyelamat hutan ini sudah ditandai warga dan penebang liar. Upaya ACEHKINI dan Nasir cs menelusuri jejak penebang liar di Bukit Indah, pertengahan Juni lalu, gagal meski dilakukan malam hari. Pasalnya, keberadaan tim yang naik ke Bukit Indah sudah terlebih dahulu diketahui para penebang liar. “Mereka memakai mata-mata di sepanjang jalan yang kita lalui,” kata Nasir.
Untuk menyiasati pengendusan mereka tidak diketahui penebang liar, biasanya Nasir cs menyamar. Kadang-kadang mereka berkedok sebagai pengusaha yang mau membeli lahan untuk perkebunan sawit atau karet. “Biar mereka tidak curiga,” kata Nasir.
Sayang, kerja keras para penjaga hutan ini tak mendapat perhatian cukup dari pemerintah. Menurut Ivo Lestari, mereka tidak mempunyai biaya operasional saat beroperasi mengendus penebang liar. Selama ini, kata Ivo, para ranger bekerja tanpa pamrih. “Utang mereka sudah menumpuk. Paling banyak utang di bengkel, karena mereka harus memperbaiki sepeda motor yang rusak setelah operasi kayu,” katanya. “Mereka juga tak digaji oleh negara...”
Tetapi, Nasir, Abdullah, Bakhtiar, dan Ramli Abbas tetap pada tekad agar hutan Aceh terjaga untuk menyangga bumi tak lagi murka. Hitung-hitung, ini adalah balas budi terhadap hutan yang telah menjaga mereka selama bergerilya di masa perang. [a]
0 comments:
Posting Komentar