Oleh FAKHRURRADZIE GADE & JAMALUDDIN
Sang adik mempersiapkan segalanya, demi menyambut kepulangan Hasan Tiro. Bersama warga desa pedalaman itu, dia menata semuanya, bagaikan pesta, hingga makanan kesukaan cut abang disiapkan.
Matahari baru sepenggalah, saat Siti Aisyah keluar dari rumahnya. Dia bergegas menuju kios yang ada di depan rumah. Di sana, dia bertemu sejumlah warga yang menunggu kepulangan Hasan Tiro, abang kandungnya dari ibu yang berbeda.
“Nyak Liah, tolong petik kelapa beberapa butir, ya,” kata Aisyah kepada Ilyas, yang berdiri di sampingnya. Ilyas mengangguk. “Bereh njan. Buet peue yang hana bereh meunye ngon lon (Beres, pekerjaan apa yang tidak beres kalau saya yang kerjakan),” timpal Ilyas, setengah bercanda. Aisyah tersenyum. “Teungku, kapan Cut Abang pulang?” tanya Ilyas. Teungku adalah panggilan masyarakat setempat pada Aisyah. Dia hanya menggeleng. “Tidak tahu. Kita hanya menunggu, saya tidak berani tanya,” jawabnya.
Aisyah meninggalkan kios. Ilyas menyusulnya. Tiba-tiba, di bawah pohon sawo, kaki Aisyah berhenti. Matanya melihat ke bawah. “Nyak Liah, nyoe pat mantong cot anoe jih, teusireuk watei tagidong (Ilyas, ini masih ada gundukan pasir. Tolong ratakan),” ujar Aisyah.
Ilyas manggut-manggut. Di depan Aisyah, dua perempuan terlihat sibuk menyapu dedauan sawo yang berguguran. Seketika, tanah kosong itu bersih.
Kesibukan tak hanya di luar pagar rumah. Di pekarangan, tiga helai daun pisang muda dijemur. “Nyan on keu timphan,” kata Aisyah, sembari mempersilakan ACEHKINI duduk di bangku yang ada di sisi kanan tangga rumah Aceh.
Rumah Aisyah berada di Desa Mali Cot, Dusun Tanjong Bungong, Kecamatan Kota Bakti, Pidie. Dua puluh lima meter sebelah kanan rumah, sebuah jembatan gantung yang menghubungkan Desa Pande dan Tanjong Bungong, berdiri tegak. Air sungai Tiro mengalir jernih di bawahnya.
Beberapa pria berkumpul. Sebagian sibuk menimbun pasir pada setiap lubang becek di halaman rumah. Ada juga yang sibuk, memasang kain berwarna merah bergaris hitam di sepanjang jalan menuju rumah. Banyak pula yang hanya duduk di depan sebuah kios, tak jauh dari jembatan.
Rumah Aisyah seketika berganti rupa. Di dalam rumah, para wanita berkumpul. Seperti ada pesta besar. Mereka sibuk mempersiapkan makanan khas Aceh, seperti timphan, ketan, dan kuah pliek u. Nyak Aisyah juga tak mau ketinggalan. Dia ikut memasak bersama puluhan perempuan di dapur rumahnya. Meski usianya sudah mencapai 81 tahun, namun Aisyah masih gesit. Ia ingin menyajikan masakan khusus untuk Cut Bang Hasan Tiro, langsung dari tangannya sendiri.
“Gobnyan deumpeue makanan galak, hana meuceh-meuceh, kuah pliek gobnyan pih galak syit (Abang suka makan apa saja, tak pilih-pilih, tapi yang paling digemari adalah kuah pliek)”, ujar Aisyah dalam bahasa Aceh, sembari memanggil keponakan agar menyediakan minuman bagi tamu yang datang.
Kisahnya, semenjak kepergian Hasan Tiro menuntut ilmu ke Bireuen dan kemudian ke luar negeri, dia nyaris tak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah tempatnya dilahirkan dulu. “Cut bang pernah pulang sekali tahun 1971, namun hanya sebentar,” lanjut Aisyah.
Dia bercerita, Hasan Tiro muda pernah mengajar pendidikan agama pada sejumlah anak-anak desa, di balai belakang rumah. Kini, tempat itu telah menjadi sebuah dayah. Menjelang kepulangan Hasan Tiro, dayah tempat pengajian inipun turut dipermak.
Halamannya ditaburi pasir, tempat wudhuk yang dulunya bocor sudah ditambal. Selang beberapa meter dari dayah, ada tempat pemakamam. Makam itu juga telah bersih dari rumput dan daun-daun yang berguguran. “Di sini kuburan orang tua dan abang kandungnya ‘wali’, sejak seminggu lalu sudah dibersihkan,” ungkap Waled, seorang warga sekitar. Dia juga mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Dua hari menjelang Tiro pulang kampung, Wakil Bupati Pidie, Nazir Adam, sempat mengunjungi rumah Aisyah, melihat persiapan. Dia menyumbangkan sejumlah pasir untuk ditimbun di halaman balai. Sedangkan camat setempat juga ikut membantu pemompa air untuk dayah. Urusan kebersihan bagian warga, yang bergotong royong mengecat dayah, menimbun jalan sampai memasang pompa air.
Dua hari kemudian, penantian Aisyah dan warga untuk melihat raut muka Hasan Tiro terwujud. Dari sebuah mobil mewah bernomor polisi BK 20 SD, kaki deklarator GAM, kembali manapaki menginjak rumah tempat ia dibesarkan. Aisyah tak mampu berkata-kata. Dari matanya yang penuh kedutan, bulir air mulai mengalir. Sesekali pandangannya dikaburkan oleh ramainya warga yang saling berebutan menyapa, “wali”.
Di pelukan sang abang, prosesi sipreuk breuh pade dilakukan, pertanda permohonan berkah dari Yang Maha Kuasa. Ucapan syukur terus meluncur dari bibir tua Asiyah yang tak pernah tersentuh lipstick itu. “Alhamdulillah…” ucapnya bergetar.
Beberapa pria renta berjejer di bawah tangga rumah. Mereka kawan sepermainan Hasan Tiro kecil. Sama seperti warga Tanjong Bungong lain, mereka mencuri mata untuk melihat sosok yang selama ini jauh dan hanya didengar nama. Pandangan mereka kerap terusik dengan tubuh kekar para pasukan pengawal. Mereka hanya melihat ‘wali’ dari celah sempit tubuh tim apet yang menjaganya masuk ke rumah.
Di dalam rumah, dia disanding di kasur pelaminan yang telah dipersiapkan. Hasan Tiro tersenyum dan selalu bertanya nama kepada setiap kerabat yang menyalaminya, termasuk pada adiknya Nyak Aisyah. Padahal saat penjemputan di bandara, Aisyah pernah bertemu muka dan berangkulan. Malik Mahmud, setia menyegarkan ingatan Hasan Tiro.
“Thank you, thank you…” Kata itu tak pernah lupa dia ucapkan. Pada kerumunan keluarga di dalam rumah, seorang cicitnya membalas, “I miss you, Abu chik”. [a]
[Edited by Riza Nasser]
0 comments:
Posting Komentar