Rabu, Agustus 29, 2012

[ARSIP] Darimana Datangnya Amunisi GAM?


Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) mengumumkan seorang oknum aparat telah dibawa ke Polisi Militer karena kedapatan men-suplay amunisi kepada gerilayawan GAM.
“Jumlah pastinya saya tidak tahu, tetapi dari penjualan itu oknum itu mendapatkan uang Rp 35 juta rupiah,” kata Komandan Penerangan PDMD, Kolonel Ditya Sudarsono.

Informasi terlibatnya si prajurit tak lain karena pengakuan seorang anggota GAM yang tertangkap. Dari pengembangan itu-lah, sang prajurit digelandang ke markas polisi militer (PM). Dan ini hanya salah satu kasus yang terungkap dan diakui oleh pihak PDMD.

Ini cerita lama.

Sebelum ditandatangani perjanjian penghentian permusuhan (CoHA), 9 Desember 2002, tersebutlah Jacko, seorang gerilyawan GAM wilayah Tamiang yang bertubuh tinggi dan berkulit hitam. Sebagai gerilyawan, dia memiliki M-16 dengan tiga buah magazen.

Sebagaimana layaknya kombatan, M-16 menjadi benda yang paling berharga untuk Jacko. Ke mana-mana dia selalu menenteng senjata yang menjadi standar pasukan Amerika ketika berperang di Vietnam akhir tahun 1960-an itu.

“Saya memilih memakai M-16 karena bentuknya besar. Tidak cocok bila saya memakai AK-47 yang bentuknya lebih kecil,” jelasnya pada acehkita waktu itu, membandingkan M-16 nya dengan senjata desainan Khalasnikov.

Jacko mengenal M-16 miliknya seperti dia mengenal dirinya sendiri. Sesekali digosoknya dengan minyak goreng sehingga warnanya hitam berkilat-kilat. Kadang dia menambah amunisi di magazennya setelah terlibat baku tembak dengan pasukan pemerintah.

Rata-rata gerilyawan memilki tas pinggang yang terbuat dari kulit sebagai wadah puluhan butir peluru atau amunisi. Setiap sore, sehabis bertempur, Jacko dan teman-temannya selalu menemui sang komandan untuk meminta jatah tambahan amunisi.

Lalu darimana mereka mendapat amunisi?

Ditanya demikian, Jacko hanya tersenyum lebar memamerkan giginya yang agak kuning. “Ini sih urusan bos, tetapi gampang saja kok,” katanya.

Jacko kemudian bercerita sambil tertawa bahwa amunisi itu dibeli oleh sang komandan dari aparat TNI.

Lho?

“Iya, kami memang perang. Tetapi soal bisnis jalan terus,” katanya sembari terbahak.

Dia menebarkan seluruh amunisi dari tas pinggangnya ke tikar, menunjukkan tulisan di pangkal peluru. Benar saja. Di sana tertulis PINDAD (Pusat Industri Angkatan Darat).

“Benar kan?” katanya tertawa.

Menurut Jacko, gerilyawan di Aceh memang mengimpor amunisi dari bererapa negara—dia menolak menyebutkan negara mana— tetapi mereka juga membelinya dari pihak TNI.

“Khususnya untuk senjata jenis M-16 ini,” katanya.

“Bukannya peluru itu hasil rampasan?”

“Kalau hasil rampasan tentu tidak sebanyak ini. Kami juga tidak mungkin merampok pabrik amunisi,” katanya meyakinkan.

Pihak GAM sendiri disebut-sebut memperoleh pasokan senjata dan amunisi yang diselundupkan dari perairan Selat Malaka yang memiliki garis pantai yang panjang dan tak mudah terawasi. Bulan Desember 2003 lalu misalnya, Kepolisian Langkat, Sumatera Utara mengusut seorang warga Pangkalan Brandan bernama Ham (52) yang diduga sebagai pemasok M-16 dan AK-47 dari Thailand Selatan. Dalam operasinya, dia memanfaatkan perairan Langkat sebagai entry gate.

Kabupaten Langkat sendiri adalah perbatasan antara wilayah Sumatera Utara dan Kabupaten Aceh Tamiang sebagai pintu gerbangnya.

***

Lain di Tamiang, lain pula di wilayah Aceh Besar.

Meski memiliki amunisi sendiri yang juga dibeli dari luar negeri—sama seperti Jacko, semua menolak menyebutkan asal negara—para gerilyawan mengaku tetap mendapat “suply” dari musuh bebuyutan mereka sendiri.

“Harganya termasuk mahal, tetapi lebih gampang ketimbang memesan dari luar,” kata salah seorang petinggi GAM wilayah Aceh Besar.

Menurutnya, sebutir peluru made in PINDAD bisa dibeli dengan harga Rp 12.000 per butir. Memang, harga ini tiga kali lipat lebih mahal dari harga normal yang konon sekitar Rp 4.000 per butir.

Dengan harga semahal itu, masih menurut anggota GAM Aceh Besar tadi, para anggota TNI/Polri jelas mendapat untung besar. Jadi, menurut klaim mereka, terjadi perlombaan untuk menjual peluru kepada pihak gerilyawan. Para pelaku transaksi penjualan amunisi itu menurut mereka bukan melibatkan prajurit rendahan, melainkan di level perwira ke atas.

“Mungkin mereka lebih mendapatkan akses ke logistik ketimbang prajurit,” kata sang panglima sambil tersenyum. 

Maklum, dalam situasi normal di lapangan, prajurit mendapatkan jatah amunisi yang hanya sesuai kapasitas senjatanya dan itupun harus dilaporkan setiap penggunaannya.

Pihak TNI/Polri sendiri selalu membantah keras pihaknya terlibat dalam penjualan amunisi kepada musuh negara itu. Mereka menganggap peluru-peluru made in PINDAD itu bisa berpindah tangan karena dicuri para gerilyawan.

Lagipula, menurut versi TNI, pencurian amunisi itu selain strategis dalam peperangan juga punya motivasi taktis untuk mengkambinghitamkan pihak lawan.

“Kalau tertembak oleh GAM dengan peluru TNI, nanti dianggap TNI yang membunuh. Padahal pelurunya curian,” kata Ditya Sudarsono beberapa waktu lalu di awal Darurat Militer (DM).

Tapi setahun kemudian, tepatnya 4 Mei 2004, Ditya akhirnya mengumumkan satu kasus penjualan amunisi yang dilakukan oleh anggota pasukan TNI dan kini kasusnya tengah diproses di Polisi Militer. 

April 2003 lalu, gudang senjata dan amunisi milik Kodim 1702/Wamena, Papua dibobol “maling”. Para pembobol berhasil membawa lari 29 senjata api berbagai jenis —termasuk SS-1 dan M-16— setelah melakukan penyerangan dan perusakan.  Para petinggi militer langsung menuding Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai otak dan dalang di balik aksi yang tergolong sangat berani itu.

Namun tak lama kemudian, setidaknya 20 anggota TNI diperiksa dan dimintai keterangan Polisi Militer Trikora terkait dengan kasus tersebut.

“Kalau dari 20 anggota TNI ada yang terbukti terlibat, maka akan dibawa ke Jayapura untuk mendapat pemeriksaan dan proses hukum lebih lanjut,” kata Pangdam Trikora, Mayjen Nurdin Zaenal kepada wartawan (12 April 2003).

Dan benar saja. Dari pemeriksaan tersebut, setidaknya ada sembilan orang prajurit TNI yang menjadi tersangka karena terbukti terlibat dalam aksi pembobolan. Dua di antaranya bahkan diancam hukuman mati karena melakukan kegiatan mata-mata dan membantu persenjataan pihak musuh. Mereka yang terlibat tidak hanya prajurit, melainkan juga perwira berpangkat letnan satu.

Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra pada bulan Februari 2003 mengakui bahwa senjata yang kini digenggam gerilyawan GAM, berasal dari negerinya. Menurut Thaksin, senjata-senjata itu adalah milik Angkatan Bersenjata Thailand yang dicuri pihak lain untuk dijual kepada gerilyawan di Aceh melalui perbatasan Malaysia.

Thaksin secara tidak langsung telah mengarahkan telunjuk kepada pihak “pemberontak” di Thailand Selatan yang berbatasan kepada Malaysia sebagai biang aksi pencurian tersebut. Bulan Januari 2003 misalnya, sebuah depot senjata di Thailand Selatan dibobol “maling” yang berhasil membawa lari sedikitnya 100 pucuk M-16 buatan Amerika.

Sebelum Darurat Militer, pihak TNI menaksir jumlah pucuk senjata yang dikuasai GAM mencapai 2.100 dengan 5.200 kombatan. Namun menjelang berakhirnya Darurat Militer tahap II, dan disusul berkembangnya wacana pemberlakuan Darurat Sipil, Mayjen Endang Suwarya “meralat” jumlah kekuatan GAM (6/5). Menurutnya, jumlah personel GAM bukan 5.200 melainkan 8.500 orang. Ini berarti, TNI telah “salah hitung” dengan selisih sekitar 3.300 orang.

Yang tidak “salah hitung” adalah jumlah pucuk senjata dari klaim sekitar 2.100 menjadi 2.500. Dan setelah satu tahun Darurat Militer, kini senjata mereka tinggal 1.400 pucuk atau telah berkurang lebih dari separuhnya.

Apakah semua senjata itu dari Thailand? Mungkin terlalu jauh.

Tanggal 5 Juni 2003 lalu, puluhan polisi melakukan pengerebekan terhadap sejumlah outlet penjual senapan angin di kawasan Cipacing, sekitar 20 kilometer sebelah timur Kota Bandung. Mereka juga menggeledah bengkel-bengkel bubut milik warga di sana yang dicurigai sebagai tempat pembuatan senjata rakitan untuk memasok gerilyawan di Aceh.

Penggerebekan itu adalah bagian dari penerapan Operasi Rencong-Lodaya 2003 yang digelar sejak 18 Mei di bawah komando Polda Jawa Barat. Mereka—para polisi itu—percaya bahwa ada keterkaitan antara 5.000 warga asal Aceh di Bandung dengan terpasoknya senjata made in Cipacing ke Serambi Mekah.


Salah satu pelaku yang diciduk adalah Engkos (40) dan Tati Rosmaneti (31), pasangan suami istri pelaku penggandaan senjata api FN kaliber 9 milimeter. Tapi apa lacur? Di kamar tidur mereka, selain tiga pucuk FN rakitan, juga ditemukan sepucuk FN organik milik Korps Pasukan Khas TNI AU (Paskhas) yang digunakan para pelaku sebagai master.

Dengan FN milik Paskhas itulah, Engkos membuat jiplakan dan duplikatnya untuk dikirim ke Aceh. Sejauh pengakuannya kepada polisi, telah dikirim sedikitnya 15 pucuk FN rakitan ke Aceh melalui sejumlah kontak. Termasuk, dengan seseorang bernama Nendik Cahyono, anggota Komando Pemeliharaan Materiil TNI AU.

Masih di Jawa Barat, sepanjang tahun 2001 juga telah terjadi kasus pembobolan gudang senjata milik Brimob di kawasan Cikole, Lembang. Tidak hanya itu. Bahkan gudang senjata dan amunisi milik pasukan se-elit Kopassus pun tak kebal dari aksi pembobolan. Kali ini adalah depot senjata milik Grup III Batujajar yang kehilangan sebuah M-16, Revolver kaliber 38 dan ribuan amunisi kaliber 5,6 mm.

Di Ambon (Maluku), sejumlah jurnalis yang pernah melakukan liputan antara tahun 1999 hingga 2001 akan lancar mengisahkan kembali pengalaman mereka mewawancarai para pelaku konflik yang mengaku memperoleh butiran peluru dengan cara barter alias imbal dagang. Cukup dengan sebungkus Dji Sam Soe!

***

“Kalau hasil rampasan tentu tidak sebanyak ini. Kami juga tidak mungkin merampok pabrik amunisi,” kata Jacko, GAM wilayah Tamiang kepada acehkita, Desember 2002. [tamat/ACEHKITA.COM edisi  6 Mei 2004]

Saya lupa nama jurnalis acehkita.com penulis tulisan yang menarik ini. 

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting