Oleh FAKHRURRADZIE GADE
PERTENGAHAN 2007 lalu, telepon
genggam milik Azhar Idris tiba-tiba berdering. Di layar muncul nama Zubeidah
Nasution. Staf komunikasi World Wide Fund (WWF) Aceh Programe itu membawa kabar
gembira: Azhar terpilih sebagai pembawa obor Olimpiade 2008. Kabar ini membuat
Azhar kebingungan. “Saya sama sekali tidak percaya,” kata Azhar saat dijumpai
akhir Maret lalu. “Saya bilang ke orang WWF, tidak mungkin petani dan tak
berpendidikan seperti saya membawa obor Olimpiade.”
Azhar memang tidak sedang
bermimpi. Pada 22 April lalu Azhar menjadi bagian dari 80 pembawa Obor
Olimpiade di Jakarta. Lelaki asal Desa Lam Ujong, Kecamatan Baitussalam, Aceh
Besar, ini terpilih sebagai pembawa Obor Olimpiade Beijing karena kegigihannya
melestarikan lingkungan di sekitar. Azhar Idris dipilih oleh WWF dan perusahaan
minuman ringan Coca Cola Company, bersama Emil Salim (mantan Menteri Negara
Lingkungan Hidup), Nirina Zubir (duta WWF), Valerina Daniel (duta lingkungan),
Tri Mumpuni (aktivis lingkungan), dan Nugie (artis).
Membawa Obor Olimpiade
merupakan sebuah kebanggaan dan pengalaman berharga bagi pria berkulit legam
ini. Apalagi, Obor Olimpiade baru tahun ini melintasi Indonesia. “Saya bangga
sekali. Mungkin juga seluruh Aceh bangga. Ada putra Aceh yang bisa membawa obor
Olimpiade setelah terkena musibah tsunami,” kata Azhar sambil memperlihatkan
obor yang dibawanya di Gelora Bung Karno, Jakarta, 22 April silam.
Obor Olimpiade baru tahun ini
pertama sekali singgah di Indonesia. Sebanyak 80 putra-putri Indonesia
berkesempatan membawa obor mengelilingi Stadion Gelora Bung Karno Jakarta
secara estafet. Azhar kebagian membawa sekitar 80 meter sebelum akhirnya
menyerahkan api Olimpiade kepada peserta lain.
“Ini adalah kebanggan bagi
masyarakat Aceh, karena saya bisa mengangkat harkat dan martabat Aceh di pentas
nasional,” kata suami Nurbayani (34) ini.
Terpilihnya Azhar menjadi
pembawa Obor Olimpiade bukan tanpa alasan. Saat seleksi, WWF mengajukan dua
nama warga Aceh untuk dinominasikan sebagai pembawa obor Olimpiade. Menurut
Zubeidah Nasution, staf komunikasi WWF, pihaknya mengajukan dua nominasi yaitu
Azhar Idris dan seorang petani yang menaman pinus di atas lahan kritis seluas
30 hektar di Aceh Tengah.
“Pihak Coca Cola senang dengan
Pak Azhar. Apalagi pascatsunami, susah mengampanyekan penghijauan kembali
pesisir pantai yang rusak,” kata Zubaedah yang akrab disapa Ade ini.
Azhar memang pantas mewakili
Aceh membawa api Olimpiade itu. Kegigihannya dalam merehabilitasi perkampungan
yang hancur diamuk tsunami patut diacungi jempol. Azhar memilih menanam bakau
untuk membangun kembali desa yang hancur dihumbalang gelombang gergasi. Saat
korban tsunami lain sibuk mencari harta benda yang tersisa dari amukan tsunami,
Azhar malah mencari biji bakau. Di antara puing-puing tsunami Azhar menyisir
perkampungan, sembari berharap menemukan biji bakau.
Beruntung. Biji bakau itu disemai
dan tumbuh besar. Azhar riang bukan kepalang. Bibit-bibit bakau itu kemudian
ditanam di areal pertambakan yang mengelilingi desa. Mula-mula, hanya beberapa
bakau saja yang ditanam Azhar. Namun secara perlahan, tanaman bakaunya tumbuh
pesat di areal tambak warga seluas 35 hektar. Bakau yang ditanam Azhar
pascatsunami sudah tumbuh besar. Ada yang sudah tingginya mencapai 2-3 meter.
Ada juga yang usianya terhitung bulan, yang tingginya baru sekitar 20
sentimeter. Jika bertandang ke Desa Beuramoe melalui Lam Ujong, Anda akan
disuguhi pemandangan ribuan bakau yang tertanam rapi di tengah-tengah tambak.
Tiga bulan pascatsunami, Azhar
memutuskan untuk kembali ke kampung dari pengungsian di Desa Buengcala, Blang
Bintang, Aceh Besar. Di perkampungan yang masih menyisakan kehancuran, Azhar
memulai kehidupan baru. Hari-harinya diisi dengan mencari biji bakau dan
melakukan pembibitan. Perlahan dia mengajak tetangganya untuk menanam tanaman
yang bisa dijadikan benteng desa dari gempuran angin barat itu. Sayang, tak
banyak yang tertarik dengan ajakan Azhar. Maklum, saat itu korban tsunami lebih
tertarik dengan program cash for work yang didanai Mercy Corps
untuk membersihkan desa dari puing tsunami.
“Kesempatan (kembali ke
kampung) ini tidak saya sia-siakan. Saya langsung mencari biki bakau untuk
disemai. Namun saya tidak punya uang,” ujarnya.
Ketiadaan dana tidak
menyurutkan niatnya untuk membentengi kampung dengan tanaman mangrove itu.
“Kesulitan dana saya utarakan kepada teman. Dia bersedia membantu bikin polibeg
untuk penyemaian,” lanjutnya. Usaha Azhar tidak sia-sia. Dalam waktu dekat dia
mampu menyemai hingga 30 ribu biji bakau.
Di tengah kesulitan modal itu,
Azhar bertemu dengan Eko Budi Priyanto. Pekerja di Wet Lands International itu
sedang mencari orang untuk diajak menanam bakau. Gayung bersambut, Azhar
mengamini ajakan Wet Lands. Menurut Azhar, Eko sempat mengira dirinya mengalami
guncangan jiwa pascabencana yang menghancurkan rumahnya.
Setelah deal dengan
Wet Lands, Azhar mencari temannya yang mau diajak menanam bakau. Mereka lalu
membentuk kelompok tani bakau. Syarat yang diberikan Wet Lands saat mengucurkan
modal usaha terbilang ketat. Menurut Azhar, Wet Lands akan menarik kembali
modal jika bakau yang mereka tanam mati. “Kalau bakaunya tumbuh, kami tidak
harus mengembalikan modal,” kata dia. “Alhamdulillah, sekarang bakau saya sudah
hidup sekitar 80 persen.”
Selain ditanam di areal
pertambakan warga di Desa Lam Ujong, Azhar dan kelompoknya menjual bibit bakau
ke sejumlah daerah, seperti Lhokseumawe, Meulaboh, Aceh Jaya, dan Aceh Timur.
“Satu pohon harganya Rp 1.000. Harga itu sudah termasuk ongkos pengiriman,”
kata dia.
Bagi Azhar bakau bukan dunia
baru. Jauh sebelum tsunami, Azhar sudah berkutat dengan dunia bakau. Saban hari
dia menyemai bakau, yang kemudian ditanam di pinggiran tambak. Keinginan Azhar
menanam bakau dikarenakan desanya berdekatan dengan laut, selain dikelilingi
sungai. Layaknya desa berdekatan dengan laut, angin di musim barat cukup
membuat repot. “Pohon bakau ini bisa menghambat angin barat,” kata pria
kelahiran 1 Juli, 43 tahun silam itu.
Tak hanya itu, bakau punya
banyak kegunaan. Batang bisa digunakan sebagai material bangunan, ranting bisa
jadi kayu bakar. Sementara daun yang berguguran bisa menjadi pupuk dan menjadi
makanan ikan di tambak. Masih ada lagi. Akar yang kokoh tertancap di tanah bisa
menghambat abrasi. “Pohon ini banyak manfaatnya,” sebutnya.
Pengalaman mengelola bakau
pascatsunami membuat Azhar semakin matang. Azhar tak hanya dikenal sebagai
petani bakau di Lam Ujong, tapi dia sudah malang-melintang di dunia bakau. Dia
kerap menerima undangan untuk berbagi pengalaman menanam bakau. Awal Mei lalu
saat ACEHKINI bertandang ke rumahnya, Azhar baru saja kembali dari Kembang
Tanjung Pidie. “Saya disuruh membagi pengalaman bagi petani bakau di sana,”
ujarnya ramah. “Tapi jangan suruh saya jadi pemateri, karena saya tidak bisa
menyampaikan apa-apa. Saya hanya bisa di lapangan.”
Kini bakau sudah menjadi teman
kesehariannya. Dan dari ujung bakau pula, Azhar mendunia: menjadi pembawa Obor
Olimpiade. “Saya tidak pernah bermimpi bisa membawa obor ini, apalagi saya
petani yang tidak berpendidikan,” katanya merendah. [a]
1 comments:
cerita horor paling seram dan nyata
Posting Komentar