Minggu, Juni 27, 2010

Berjudilah, Kau Kucambuk!

IMAM baru saja menyudahi salat Jumat. Sebagian jamaah melanjutkan salat sunat rawatib. Sejumlah lainnya kembali berdiri dan salat ghaib buat seorang warga Jantho. Sementara beberapa yang lain bergegas keluar dari masjid. Ada yang langsung kembali untuk melanjutkan aktivitas, ada pula yang menghampiri sebuah panggung dan tenda yang ada di sisi kanan masjid.

Beberapa pria terlihat tengah disibukkan dengan kabel gulung dan mic. Mereka menarik kabel listrik dari arah masjid ke tenda yang terpasang di lokasi yang telah dipagari dengan tali berbentuk persegi empat. Di bawah tenda, kursi plastik-hijau tertata rapi. Di depan tenda, berdiri sebuah panggung dibiarkan tanpa atap.

Orang-orang mulai berdatangan ke lokasi ini: mulai dari anak-anak, orang dewasa, hingga sejumlah pejabat teras di Kabupaten Aceh Besar. Puluhan orang dewasa berseragam serba hijau lumut berseliweran. Mereka hilir-mudik di sekitar tenda. Terlihat juga empat orang berpakaian coklat-muda. Mereka dari Kejaksaan Negeri Aceh Besar. Sementara orang dewasa berpakaian serba hijau-lumut merupakan anggota dari Polisi Syariah. Bahasa kerennya, Wilayatul Hisbah. Ini adalah lembaga yang dibentuk Pemerintah Aceh pada 2001 lalu. Tugas mereka menjaga tegaknya Qanun (peraturan daerah) yang berhubungan dengan syariat Islam.

Siang itu, Jumat (25/6/2010), petugas Wilayatul Hisbah Aceh Besar punya hajatan. Mereka akan melaksanakan uqubat (hukuman) cambuk bagi tiga warga Aceh Besar yang diputuskan bersalah oleh Mahkamah Syariah karena bermain judi joker. Pengadilan memvonis tujuh kali cambuk bagi tiga warga yang berasal dari Kecamatan Montasik ini.

Sebenarnya, pengadilan syariah memvonis cambuk bagi empat warga. Namun, hanya Mukhtar Rahmadi (29 tahun), Suherman (32), dan Hasbi bin Acek (45), saja yang dicambuk siang itu. Sedangkan Muhammad Yasin (41), tidak bisa dicambuk karena alasan kesehatan.

"Dokter meminta agar eksekusi cambuk bagi Yasin ditunda sampai kondisi kesehatannya memungkinkan," kata Jaksa Penuntut Umum Bendry Almy kepada saya.

Saat eksekusi tiba. Mukhtar Rahmadi menjadi pria pertama yang dicambuk dengan rotan. Dia dicambuk oleh seorang algojo yang berpakaian serba coklat. Wajahnya ditutupi, hanya memperlihatkan mata saja. Mirip Zorro berjubah!

Sabetan pertama mengenai punggung. Mukhtar meringis, menahan sakit. Puluhan orang bersorak. Algojo baru menghentikan cambuknya setelah kali ketujuh. Di kali terakhir, sorak-sorai pengunjung eksekusi cambuk itu terdengar semakin keras.

"Njan, na mangat (Rasakan, enak?)," celutuk orang-orang dari kejauhan.

"Peu mangat, peuna kumu'ok.. (Enak apa? Saya kan tidak berzina)," balas Rahmad sambil menuruni panggung.

Diapit dua petugas Wilayatul Hisbah, Rahmad digiring ke mobil ambulans yang parkir tak jauh dari panggung.

Kini, giliran Hasbi dan Suherman yang dicambuk. Nyaris sama dengan Rahmad, setiap kali cambuk rotan mengenai punggung, mereka menahan perih. Belum lagi, mereka harus menahan malu tatkala sorak-sorai penuh ejekan membahana.

Sebelum eksekusi dilaksanakan, Kepala Dinas Syariat Islam Aceh Besar Teuku Hasbi berceramah. Dia mengingatkan warga yang hadir bahwa judi bisa mendatangkan kerugian bagi pemainnya. Ia meminta para pelaku segera bertaubat. "Kembalilah ke jalan yang benar," ujar Hasbi, bak penceramah di mimbar masjid.

Sayang, Hasbi sama sekali tak menyinggung tema pelanggaran syariat yang lain, yang lebih besar. Sebut saja misalnya korupsi, penggelapan pajak dan dana publik. Bisa jadi, Hasbi tak menyebut ini karena tema "ceramah" kali ini hanya bagi pelaku judi yang ditangkap pada pesta perkawinan di Montasik itu.

Hukuman cambuk dan syariat Islam di Aceh penuh kontroversi. Sejak diberlakukan pertama sekali pada 24 Juni 2005 di Bireuen, hukuman cambuk terus menuai kritikan. Sebab, hukuman cambuk hanya berani diterapkan bagi pelanggar syariat yang berasal dari masyarakat kecil. Hukuman cambuk dijatuhi bagi warga yang mengonsumsi minuman keras, berzina, berjudi.

Lihat saja kasus mesum (seks) yang menimpa seorang anggota DPR Kota Langsa, Lhokseumawe, dan Aceh Tamiang. Atau kasus perzinaan seorang anggota polisi syariat di Banda Aceh. Hingga kini, kasus itu menguap bak debu diterbangkan angin.

Syariat Islam di Aceh hanya diberlakukan secara parsial. Hanya sebatas pada busana: tidak boleh pakai celana jeans, harus pakai rok. Atau hanya pada soal laki-laki dan perempuan non-muhrim tidak boleh berdua-duaan di tempat sepi, tidak boleh minum alkohol, tidak boleh berjudi.

"Kalau mau menerapkan syariat Islam secara sempurna, perbaiki dulu moral para politisi dan pejabat. Jangan asik mengatur urusan cewek pakai celana legging," kata seorang teman saya. []

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting