Penguasa
Darurat Militer Daerah (PDMD) mengumumkan seorang oknum aparat telah dibawa ke
Polisi Militer karena kedapatan men-suplay
amunisi kepada gerilayawan GAM.
“Jumlah
pastinya saya tidak tahu, tetapi dari penjualan itu oknum itu mendapatkan uang
Rp 35 juta rupiah,” kata Komandan Penerangan PDMD, Kolonel Ditya Sudarsono.
Informasi
terlibatnya si prajurit tak lain karena pengakuan seorang anggota GAM yang
tertangkap. Dari pengembangan itu-lah, sang prajurit digelandang ke markas
polisi militer (PM). Dan ini hanya salah satu kasus yang terungkap dan diakui
oleh pihak PDMD.
Ini cerita
lama.
Sebelum
ditandatangani perjanjian penghentian permusuhan (CoHA), 9 Desember 2002, tersebutlah
Jacko, seorang gerilyawan GAM wilayah Tamiang yang bertubuh tinggi dan berkulit
hitam. Sebagai gerilyawan, dia memiliki M-16 dengan tiga buah magazen.
Sebagaimana
layaknya kombatan, M-16 menjadi benda yang paling berharga untuk Jacko. Ke
mana-mana dia selalu menenteng senjata yang menjadi standar pasukan Amerika
ketika berperang di Vietnam akhir tahun 1960-an itu.
“Saya
memilih memakai M-16 karena bentuknya besar. Tidak cocok bila saya memakai
AK-47 yang bentuknya lebih kecil,” jelasnya pada acehkita waktu itu, membandingkan M-16 nya dengan senjata desainan
Khalasnikov.
Jacko
mengenal M-16 miliknya seperti dia mengenal dirinya sendiri. Sesekali
digosoknya dengan minyak goreng sehingga warnanya hitam berkilat-kilat. Kadang
dia menambah amunisi di magazennya setelah terlibat baku tembak dengan pasukan
pemerintah.
Rata-rata
gerilyawan memilki tas pinggang yang terbuat dari kulit sebagai wadah puluhan
butir peluru atau amunisi. Setiap sore, sehabis bertempur, Jacko dan
teman-temannya selalu menemui sang komandan untuk meminta jatah tambahan
amunisi.
Lalu
darimana mereka mendapat amunisi?
Ditanya
demikian, Jacko hanya tersenyum lebar memamerkan giginya yang agak kuning. “Ini
sih urusan bos, tetapi gampang saja kok,” katanya.
Jacko
kemudian bercerita sambil tertawa bahwa amunisi itu dibeli oleh sang komandan
dari aparat TNI.
Lho?
“Iya, kami
memang perang. Tetapi soal bisnis jalan terus,” katanya sembari terbahak.
Dia
menebarkan seluruh amunisi dari tas pinggangnya ke tikar, menunjukkan tulisan
di pangkal peluru. Benar saja. Di sana tertulis PINDAD (Pusat Industri Angkatan
Darat).
“Benar
kan?” katanya tertawa.
Menurut
Jacko, gerilyawan di Aceh memang mengimpor amunisi dari bererapa negara—dia
menolak menyebutkan negara mana— tetapi mereka juga membelinya dari pihak TNI.
“Khususnya
untuk senjata jenis M-16 ini,” katanya.
“Bukannya
peluru itu hasil rampasan?”
“Kalau
hasil rampasan tentu tidak sebanyak ini. Kami juga tidak mungkin merampok
pabrik amunisi,” katanya meyakinkan.
Pihak GAM
sendiri disebut-sebut memperoleh pasokan senjata dan amunisi yang diselundupkan
dari perairan Selat Malaka yang memiliki garis pantai yang panjang dan tak
mudah terawasi. Bulan Desember 2003 lalu misalnya, Kepolisian Langkat, Sumatera
Utara mengusut seorang warga Pangkalan Brandan bernama Ham (52) yang diduga
sebagai pemasok M-16 dan AK-47 dari Thailand Selatan. Dalam operasinya, dia
memanfaatkan perairan Langkat sebagai entry
gate.
Kabupaten
Langkat sendiri adalah perbatasan antara wilayah Sumatera Utara dan Kabupaten
Aceh Tamiang sebagai pintu gerbangnya.
***
Lain di
Tamiang, lain pula di wilayah Aceh Besar.
Meski
memiliki amunisi sendiri yang juga dibeli dari luar negeri—sama seperti Jacko,
semua menolak menyebutkan asal negara—para gerilyawan mengaku tetap mendapat
“suply” dari musuh bebuyutan mereka sendiri.
“Harganya
termasuk mahal, tetapi lebih gampang ketimbang memesan dari luar,” kata salah
seorang petinggi GAM wilayah Aceh Besar.
Menurutnya,
sebutir peluru made in PINDAD bisa
dibeli dengan harga Rp 12.000 per butir. Memang, harga ini tiga kali lipat
lebih mahal dari harga normal yang konon sekitar Rp 4.000 per butir.
Dengan
harga semahal itu, masih menurut anggota GAM Aceh Besar tadi, para anggota
TNI/Polri jelas mendapat untung besar. Jadi, menurut klaim mereka, terjadi
perlombaan untuk menjual peluru kepada pihak gerilyawan. Para pelaku transaksi
penjualan amunisi itu menurut mereka bukan melibatkan prajurit rendahan,
melainkan di level perwira ke atas.
“Mungkin
mereka lebih mendapatkan akses ke logistik ketimbang prajurit,” kata sang
panglima sambil tersenyum.
Maklum,
dalam situasi normal di lapangan, prajurit mendapatkan jatah amunisi yang hanya
sesuai kapasitas senjatanya dan itupun harus dilaporkan setiap penggunaannya.
Pihak
TNI/Polri sendiri selalu membantah keras pihaknya terlibat dalam penjualan
amunisi kepada musuh negara itu. Mereka menganggap peluru-peluru made in PINDAD itu bisa berpindah tangan
karena dicuri para gerilyawan.
Lagipula,
menurut versi TNI, pencurian amunisi itu selain strategis dalam peperangan juga
punya motivasi taktis untuk mengkambinghitamkan pihak lawan.
“Kalau
tertembak oleh GAM dengan peluru TNI, nanti dianggap TNI yang membunuh. Padahal
pelurunya curian,” kata Ditya Sudarsono beberapa waktu lalu di awal Darurat Militer
(DM).
Tapi
setahun kemudian, tepatnya 4 Mei 2004, Ditya akhirnya mengumumkan satu kasus
penjualan amunisi yang dilakukan oleh anggota pasukan TNI dan kini kasusnya
tengah diproses di Polisi Militer.
April 2003
lalu, gudang senjata dan amunisi milik Kodim 1702/Wamena, Papua dibobol
“maling”. Para pembobol berhasil membawa lari 29 senjata api berbagai jenis
—termasuk SS-1 dan M-16— setelah melakukan penyerangan dan perusakan. Para petinggi militer langsung menuding
Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai otak dan dalang di balik aksi yang
tergolong sangat berani itu.
Namun tak
lama kemudian, setidaknya 20 anggota TNI diperiksa dan dimintai keterangan
Polisi Militer Trikora terkait dengan kasus tersebut.
“Kalau
dari 20 anggota TNI ada yang terbukti terlibat, maka akan dibawa ke Jayapura
untuk mendapat pemeriksaan dan proses hukum lebih lanjut,” kata Pangdam
Trikora, Mayjen Nurdin Zaenal kepada wartawan (12 April 2003).
Dan benar
saja. Dari pemeriksaan tersebut, setidaknya ada sembilan orang prajurit TNI
yang menjadi tersangka karena terbukti terlibat dalam aksi pembobolan. Dua di
antaranya bahkan diancam hukuman mati karena melakukan kegiatan mata-mata dan
membantu persenjataan pihak musuh. Mereka yang terlibat tidak hanya prajurit,
melainkan juga perwira berpangkat letnan satu.
Perdana
Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra pada bulan Februari 2003 mengakui bahwa
senjata yang kini digenggam gerilyawan GAM, berasal dari negerinya. Menurut
Thaksin, senjata-senjata itu adalah milik Angkatan Bersenjata Thailand yang
dicuri pihak lain untuk dijual kepada gerilyawan di Aceh melalui perbatasan
Malaysia.
Thaksin
secara tidak langsung telah mengarahkan telunjuk kepada pihak “pemberontak” di
Thailand Selatan yang berbatasan kepada Malaysia sebagai biang aksi pencurian
tersebut. Bulan Januari 2003 misalnya, sebuah depot senjata di Thailand Selatan
dibobol “maling” yang berhasil membawa lari sedikitnya 100 pucuk M-16 buatan
Amerika.
Sebelum
Darurat Militer, pihak TNI menaksir jumlah pucuk senjata yang dikuasai GAM
mencapai 2.100 dengan 5.200 kombatan. Namun menjelang berakhirnya Darurat
Militer tahap II, dan disusul berkembangnya wacana pemberlakuan Darurat Sipil,
Mayjen Endang Suwarya “meralat” jumlah kekuatan GAM (6/5). Menurutnya, jumlah
personel GAM bukan 5.200 melainkan 8.500 orang. Ini berarti, TNI telah “salah
hitung” dengan selisih sekitar 3.300 orang.
Yang tidak
“salah hitung” adalah jumlah pucuk senjata dari klaim sekitar 2.100 menjadi
2.500. Dan setelah satu tahun Darurat Militer, kini senjata mereka tinggal
1.400 pucuk atau telah berkurang lebih dari separuhnya.
Apakah
semua senjata itu dari Thailand? Mungkin terlalu jauh.
Tanggal 5
Juni 2003 lalu, puluhan polisi melakukan pengerebekan terhadap sejumlah outlet penjual senapan angin di kawasan
Cipacing, sekitar 20 kilometer sebelah timur Kota Bandung. Mereka juga
menggeledah bengkel-bengkel bubut milik warga di sana yang dicurigai sebagai
tempat pembuatan senjata rakitan untuk memasok gerilyawan di Aceh.
Penggerebekan
itu adalah bagian dari penerapan Operasi Rencong-Lodaya 2003 yang digelar sejak
18 Mei di bawah komando Polda Jawa Barat. Mereka—para polisi itu—percaya bahwa
ada keterkaitan antara 5.000 warga asal Aceh di Bandung dengan terpasoknya
senjata made in Cipacing ke Serambi
Mekah.
Salah satu
pelaku yang diciduk adalah Engkos (40) dan Tati Rosmaneti (31), pasangan suami
istri pelaku penggandaan senjata api FN kaliber 9 milimeter. Tapi apa lacur? Di
kamar tidur mereka, selain tiga pucuk FN rakitan, juga ditemukan sepucuk FN
organik milik Korps Pasukan Khas TNI AU (Paskhas) yang digunakan para pelaku
sebagai master.
Dengan FN
milik Paskhas itulah, Engkos membuat jiplakan dan duplikatnya untuk dikirim ke
Aceh. Sejauh pengakuannya kepada polisi, telah dikirim sedikitnya 15 pucuk FN
rakitan ke Aceh melalui sejumlah kontak. Termasuk, dengan seseorang bernama
Nendik Cahyono, anggota Komando Pemeliharaan Materiil TNI AU.
Masih di
Jawa Barat, sepanjang tahun 2001 juga telah terjadi kasus pembobolan gudang
senjata milik Brimob di kawasan Cikole, Lembang. Tidak hanya itu. Bahkan gudang
senjata dan amunisi milik pasukan se-elit Kopassus pun tak kebal dari aksi
pembobolan. Kali ini adalah depot senjata milik Grup III Batujajar yang
kehilangan sebuah M-16, Revolver kaliber 38 dan ribuan amunisi kaliber 5,6 mm.
Di Ambon
(Maluku), sejumlah jurnalis yang pernah melakukan liputan antara tahun 1999
hingga 2001 akan lancar mengisahkan kembali pengalaman mereka mewawancarai para
pelaku konflik yang mengaku memperoleh butiran peluru dengan cara barter alias imbal dagang. Cukup dengan
sebungkus Dji Sam Soe!
***
“Kalau
hasil rampasan tentu tidak sebanyak ini. Kami juga tidak mungkin merampok
pabrik amunisi,” kata Jacko, GAM wilayah Tamiang kepada acehkita, Desember 2002. [tamat/ACEHKITA.COM edisi 6 Mei 2004]
Saya lupa nama jurnalis acehkita.com penulis tulisan yang menarik ini.