Reporter: Tim acehkita.com, 2004-01-16 08:50:23
“Sofyan Tiba dan juru runding lainnya mau dipindahkan ke Jawa,” kata seorang kawan dari balik telepon. Memang tak banyak orang yang tahu. Informasi ini baru diketahui wartawan, setelah Rufriadi, pengacara LBH, memberikan keterangan pers Rabu (14/1) sore.
Itu pun, tak banyak wartawan yang hadir.
Rufriadi, salah seorang anggota tim pembela persidangan mantan juru runding Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang duduk di Joint Security Council (JSC), merasa perlu untuk memberikan keterangan kepada wartawan tentang rencana pemindahan tersebut.
“Kita mendengar bahwa hari ini (Rabu, 14/1-red), salah seorang mantan juru runding Geraka Aceh Merdeka, yaitu atas nama Tgk. Muhammad Usman Lampoh Awe putusan bandingnya sudah keluar. Putusan Pengadilan Tinggi Aceh itu menguatkan putusan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Banda Aceh. Berarti tetap 13 tahun penjara,” kata Rufriadi membuka pernyataan.
Lalu, bagaimana dengan Sofyan Ibrahim Tiba, T. Kamaruzzaman, Tgk. Nashiruddin bin Ahmed, dan Amni bin Ahmed Marzuki?
“Empat juru runding lainnya, putusan bandingnya baru akan keluar pada Jum’at (16/1) nanti,” ujar Rufriadi.
Kasus penangkapan dan vonis kepada para juru runding ini sempat memancing kontroversi. Pasalnya, menangkap dan mengadili juru runding adalah peristiwa yang boleh dibilang langka di muka bumi. Apalagi dengan vonis yang lumayan berat; 12-15 tahun.
“Kalau juru runding diadili dan dihukum, maka suatu saat, bila ada pertikaian di tempat lain di Indonesia, tidak akan ada lagi orang yang mau jadi juru runding. Itu berarti, konflik akan semakin besar. Apa itu yang dikehendaki?” sindir Adnan Buyung Nasution suatu ketika.
Lima mantan negosiator GAM yang duduk di JSC itu, sebelumnya telah diputuskan bersalah secara meyakinkan dengan tindak pidana makar dan terorisme oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh, Oktober 2003 silam. Dalam persidangan itu, majelis hakim memutuskan menghukum para perunding GAM dengan hukuman antara 12 sampai 15 tahun penjara.
Sofyan Ibrahim Tiba, dihukum 15 tahun penjara. T. Kamaruzzaman, Tgk. Muhammad Usman Lampoh Awe, dan Tgk. Nashiruddin bin Ahmed masing-masing dihukum 13 tahun penjara. sementara Amni bin Ahmed Marzuki dihukum 12 tahun penjara.
Dalam persidangan yang menyita perhatian masyarakat Aceh itu, para perunding GAM didakwa melanggar Undang-Undang No. 2 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Makar dan Terorisme. Mereka juga didakwa melanggar Pasal 106 KUHP junto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP junto Pasal 65 KUHP.
Atas semua dakwaan itu, mereka membantah. Karena itu mereka menolak putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh dan mengajukan banding.
Nah, Rufriadi, pengacara muda itu, merasa perlu memberi keterangan tentang beredarnya kabar bahwa kelima mantan juru runding GAM itu, akan diasingkan ke Pulau Jawa. Menurutnya, pihak tim kuasa hukum sampai saat ini belum memperoleh pemberitahuan apa pun dari kepolisian dan pihak berwenang lainnya.
“Perlu saya katakan bahwa hari ini beredar isu setidaknya hari Minggu atau Senin, kelima juru runding GAM akan dipindahkan ke Jawa, dan ada yang mengatakan ke Nusa Kambangan. Selaku salah satu tim penasehat hukum para perunding, kami katakan bahwa kita belum mengetahui apa pun informasi itu. Tidak ada pemberitahuan secara resmi, baik surat maupun pemberitahuan lainnya kepada kita,” katanya.
Rufriadi dan anggota tim pengacara lainnya merasa terkejut. Betapa tidak, sebelumnya dikatakan bahwa pemindahan terhadap anggota GAM ke luar Aceh, baru akan dilakukan bagi mereka yang sudah mempunyai status hukum tetap. Menurut rencana Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) Aceh, anggota GAM yang akan dipindahkan dari Aceh adalah mereka yang divonis hukuman tiga tahun penjara atau lebih.
Ke Nusa Kambangan? Bersama Tommy Soeharto dan Bob Hasan?
***
Keluarga pun terhenyak. Salah seorang keluarga juru runding GAM bahkan sangat terkejut ketika diberitahu tentang adanya berita tentang pemindahan ini.
“Saya sangat terkejut,” kata salah seorang anak Sofyan Ibrahim Tiba.
Terkejut seperti itu bukannya dibuat-buat. Soalnya, mereka tidak diberitahukan secara resmi. Hari Selasa (13/1), pernah seorang piket di Mapolda NAD memberitahu mereka.
“Bu ini pemberitahuan, ya. Siapkan baju bapak. Bapak mau dibawa pindah ke Jawa Tengah,” ujar piket.
Sontak, pihak keluarga kaget. Soalnya, menurut mereka, kalau saja pemindahan ini jadi dilakukan pada Minggu (18/1), ini adalah pemindahan yang sangat mendadak.
“Kalau hari Minggu, kok mendadak sekali. Kami belum mendapat pemberitahuan secara resmi. Cuma dari mulut keak gitu. Pengacara hubungi Pak Surya Darma (Kadit Serse –red.). Beliau bilang enggak ada. Jadi kami tidak memikirkan itu lagi,” katanya.
Lalu bagaimana reaksi Sofyan Ibrahim Tiba sendiri?
“Bapak biasa saja. Dia masih tenang seperti ketika pembacaan putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh, dulunya,” katanya.
“Ya kita keluarga yang ditinggalkan ini yang susah. Bukan apa-apa, Bapak sudah tua dan sering sakit-sakitan,” timpalnya lagi.
“Puasa kemarin, Bapak tidak bisa menunaikannya secara penuh. Ada beberapa hari yang harus membayar fidyah, karena memang tidak sanggup puasa,” katanya.
“Bapak sangat tergantung pada obat. Misalnya saja begini. Setiap sebelum makan, Bapak harus minum dua tablet diamicron. Karena Bapak kan sakit gula. Orang biasanya setengah saja meminumnya, berarti penyakitnya sudah demikian parahnya. Apalagi Bapak yang harus minum dua tablet tiap sebelum makan!” lanjutnya.
“Lalu, bagaimana ya, kalau memang Bapak jadi dipindahkan ke Jawa sana? Satu kotak saja tablet diamicron itu hanya cukup untuk dua minggu,” ujarnya, sedih.
Berbagai penyakit itulah, yang menyebabkan sang keluarga terasa berat melepaskan Sofyan Tiba untuk dipindahkan ke Jawa. Apalagi, sebelumnya Sofyan Tiba pernah melakukan operasi balon di jantungnya pada tahun 1994. Selain itu, Sofyan Tiba juga terserang penyakit darah tinggi.
“Yang kronis, ya sakit maag itu!”
Pun begitu, Sofyan Tiba tidak mengeluhkan rencana pemindahan ini.
“Bapak sih biasa saja. Beliau kan cepat bisa beradaptasi,” sambungnya. “Tapi, karena penyakitnya yang sering kambuh itu, kami khawatir.”
Sebenarnya, pihak keluarga para juru runding GAM ini, mempertanyakan alasan pemindahan ini. Menurut mereka, selama penahanan di sel Mapolda NAD, kondisi kelima juru runding GAM itu sudah sangat terisolasi.
“Kondisi di sel, tidak sama dengan LP. Kalau di LP sih masih bagus. Kalau kita tidak jenguk, mereka tidak pernah kena sinar matahari.”
Ketika di sel tahanan Mapolda NAD ada anggota keluarga dari Tgk. Muhammad Usman Lampoh Awe, yang kini tinggal di Simpang Tiga, Pidie, hanya bisa menjenguk satu minggu sekali.
“Bagaimana kalau dipindahkan ke Jawa?” tanyanya, sedih.
“Tapi, kalau rencana pemindahan itu juga jadi dilaksanakan?”
“Bagaimana, Dik ya…?” ujarnya, terdiam dengan mata nanar dan sembab.
“Kok enggak ada perikemanusiaannya. Kok sampai itu. Bapak kan orang yang sudah tua…” katanya, dengan nada putus-putus.
“Kalau masalah politik saya enggak ngerti. Tapi ini masalah perikemanusiaan dan Bapak sudah tua dan sering sakit-sakitan,” timpalnya. “Kaya’ Tgk. Muhammad itu, umurnya sudah 65 tahun.”
“Ini sudah kayak Belanda ya, kalau dipindahkan jauh dari keluarga?” ujarnya. “Kalau terjadi apa-apa, siapa yang bertanggung jawab. Sementara Bapak, sangat tergantung hidupnya dari obat,” sebutnya, dengan mata sembab dan basah.
Yang dimaksud seperti Belanda adalah tindakan mengasingkan tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia jauh dari kampung halamannya seperti yang dialami Diponegoro yang dibuang ke Makasar, Soekarno di Boven Digul, Ende dan Bengkulu, atau Cut Nyak Dien ke Sumedang, Jawa Barat.
Pihak keluarga juga mempertanyakan, apakah di Lembaga Pemasyarakatan (LP) nantinya, ada dokter yang siap mengurusinya. “Bapak butuh dokter bukan hanya ketika sakit. Ketika tidak sakit pun, Bapak sangat tergantung pada dokter. Seumur hidup beliau, sangat tergantung sama obat,” tadasnya.
“Apakah keluarga tidak membuat permohonan supaya tidak dipindahkan?”
“Kami sudah mengajukan permohonan melalui Pak Adnan Buyung. Kami hanya berharap dari segi kemanusiaan saja lah. Tidak usah yang lain-lain. Di sel saja, Bapak sudah cukup terisolasi,” pintanya.
“Apanya lagi yang perlu mereka takutkan dari orang yang enggak bisa dikunjungi secara bebas,” keluhnya. “Enggak ada yang bisa mengunjungi, selain kami. Buat apa jauh-jauh ke Jawa. Di sini pun enggak bisa apa-apa juga, kan?”
“Batas toleransi pemindahan yang bisa ditolerir keluarga?”
“Saya enggak tahu bilang apa. Untuk di luar kota, kan kami membutuhkan biaya besar untuk mengunjunginya,” lanjutnya.
“Mau di mana saja, saya rasa sama saja. Apalagi sampai di Nusa Kambangan,” timpal anak Sofyan Tiba.
***
Hafiz, sang cucu Sofyan Tiba, terlihat berlari-lari. Tidak ada kerisauan di mata anak yang masih belia ini. Dia pun, ceria, seperti halnya anak-anak sebayanya.
“Mengasingkan tahanan seperti Belanda?”
Hmm.... [A]
0 comments:
Posting Komentar