Rabu, Maret 23, 2005

Pengakuan di Bawah Tekanan?

Reporter: Imra – Banda Aceh, 2004-03-24 00:51:07

Siang itu, Februari 2004, sengatan sinar mentari membuat semua penghuni Lembaga Pemasyarakatan (LP) Keudah, Banda Aceh, gerah. Terlihat beberapa narapidana (napi) sedang bercengkrama dengan napi lainnya. Sementara, ada juga yang seakan tak peduli apa pun. Di sebuah pojok, puluhan napi yang dikunjungi sanak keluarga atau tamu lainnya, berkumpul di ruangan 6x4 meter, menumpahkan kerinduan mereka.

Daud (nama samaran), pria tanggung terlihat juga ikut masuk dalam ruang yang disediakan khusus bagi tamu. Daud terlihat mondar-mandir. Sesekali ia duduk di bangku panjang yang tersedia di ruangan itu. Matanya menerawang, entah apa yang dipikirnya. Tak lama kemudian, ia beranjak ingin keluar dari ruangan kecil itu. Hari itu, tak seorang pun dari keluarganya yang datang membesuk.

Belum sampai Daud ke pintu keluar, ia dipanggil seorang kawannya yang juga napi. Kawannya, sebut saja namanya Abdullah, tengah terlibat perbincangan dengan acehkita.

“Wood, keunoe kajak dilei (Daud, ke sini dulu),” panggil Abdullah.

Setelah mengetahui siapa yang memanggil, pria yang mengaku hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP) ini, langsung menghampiri. Ia berdiri di belakang, sambil memegang pundak Abdullah.

“Dia masuk ke LP karena dituduh membakar sekolah di Pidie,” terang Abdullah kepada acehkita.

Daud hanya tersenyum mendengar penjelasan yang diberikan kawannya itu. Tidak terlihat ada beban di benak pria muda itu. Ia masih berdiri di belakang Abdullah, yang masih dengan senyumnya mengambang.

acehkita menyapa Daud sambil memperkenalkan diri. Pun begitu, masih terlihat keraguan menggelayuti wajahnya yang lugu. Tidak berapa lama, suasana menjadi akrab. Ketika acehkita menanyakan ihwal kenapa ia harus menjadi penghuni salah satu sel yang ada di rumah tahanan negara peninggalan Belanda itu, Daud menuturkannya dengan lancar.

Ketegaran terlihat dari wajahnya, yang tampak beberapa parutan di wajahnya. Secangkir kopi hangat, menemani Daud menceritakan kisahnya. Namun, ia belum menyentuh kopi Ulee Kareng yang kesohor itu, ketika ia memulai kisahnya.

***

Daud pun berkisah. Baginya tanggal 5 Juni 2003 bukanlah hari baik. Sehari sebelumya. gerilyawan membakar sekolah di salah satu desa di Kecamatan Jangka Buya (pemekaran dari Kecamatan Bandar Dua, Ulee Gle). Upaya antisipasi pun dilakukan oleh masyarakat Desa Meunasah Baro, Jangka Buya. Masyarakat Desa Meunasah Baro, secara sukarela melakukan penjagaan di sekitar sekolah yang ada di kampungnya supaya kelompok gerilyawan tidak membakar sekolah.

Namun, apes bagi Daud dan Usman (20 tahun). Mereka berdua justru ditangkap aparat kepolisian dengan tuduhan sebagai pembakar sekolah yang terjadi sehari sebelumya.

“Malam itu, ketika saya jaga di sekolah bersama orang kampung, beberapa anggota polisi mengajak saya untuk mencari kepiting di tambak saya. Di antara mereka ada yang saya kenal, memang. Ee, tidak tahunya saya malah dibawa ke Polsek Ulee Gle,” kata Daud mengawali kisah.

Setiba di Mapolsek, Daud dituduh melakukan pembakaran sekolah, bersama kawannya. Namun, karena Daud merasa tidak pernah membakarnya, ia tidak mau mengaku apa yang dituduhkan kepolisian terhadap dirinya. Dalam proses interogasi, Daud mengaku dirinya sering dipukuli dan disiksa, sehingga membuat beberapa bagian tubuhnya lembam dan membiru.

“Ketika itu, walau saya dipukuli, saya masih membantah tuduhan itu,” katanya.

Selama beberapa hari di Mapolsek, ia saban hari menerima pukulan dan siksaan. Bahkan, ketika ibunya berusaha menjenguknya, ia tidak dipertemukan. Beberapa polisi piket, bahkan mengelabui ibu Daud dengan memukul-mukul dinding dan kursi, seolah memukul tubuh Daud.

“Untuk mengelabui ibu saya, mereka mengatakan bahwa saya tidak bisa dijumpai. Mereka sampai memukul-mukul dinding, seakan memukul saya. Akibatnya, sampai-sampai ibu saya pingsan,” ujar Daud.

Tidak lama kemudian, Daud dibawa ke Markas Kepolisian Resort (Mapolres) Pidie, Sigli. Di Mapolres Pidie, Daud dan Usman masih saja diinterogasi. Dalam proses pemeriksaan itu, aku Daud, dirinya kerap kali dikasari oleh polisi, untuk mendapat pengakuan mereka.

Bahkan, “untuk membuat saya mengaku, mereka malah menaruh M16 di depan saya,” timpalnya, seraya mengatakan dirinya terpaksa mengaku karena sudah tidak tahan dengan siksaan.

“Akhirnya, karena saya tidak sanggup lagi menahan siksaan dan tekanan, saya mengaku perbuatan yang tidak pernah saya lakukan,” tutur Daud, dengan mata berkaca-kaca.

“Benar, Bang saya tidak membakar sekolah!” aku Daud kepada acehkita, dengan mata sembab.

“Lalu, kenapa bisa dituduh membakar sekolah?”.

“Saya yakin ini fitnah orang. Karena dendam pribadi saja.”

Menurutnya, sebelum darurat militer digelar di Aceh, ia pernah berselisih paham dengan salah seorang warga sekampung. Permasalahan itu, menurut Daud, sangat sepele. Di kampung Daud, para pemuda desa banyak yang keranjingan main bola voli. Hingga mereka sepakat mengaktifkan kembali lapangan voli. Untuk itu, mereka mengumpulkan uang untuk membeli peralatan seperti bola voli, jaring (net).

Entah dari mana bermula, jaring voli ini ternyata membawa petaka bagi Daud. Pasalnya, ada seorang yang tidak suka dengan ucapan dan usul Daud, yang seakan membantah usul yang dikemukakan seorang tadi. Akibatnya, orang itu marah dan menaruh dendam pada Daud.

“Hanya gara-gara jaring (net) voli. Saya mungkin terlanjur bicara sehingga membuat orang itu, tersinggung,” cerita Daud. Namun, ia tidak mau mengatakan siapa orang yang dimaksudnya. Walau begitu, ia merasa tidak dendam terhadap orang yang telah memfitnahnya.

“Buat apa dendam. Nanti malah membuat saya makin kacau,” kata Daud yang jika sudah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Keudah, Banda Aceh, akan merantau jauh dari kampung halaman, seperti yang telah dilakukannya ketika sebelum ditangkap polisi.

Sementara Usman (20 tahun), temannya, ketika ditangkap, baru saja beberapa hari kembali dari Malaysia. Usman, menurut Daud, tidak tahu apa-apa, karena baru pulang dari perantauan.

Kondisi keamanan di Aceh yang kunjung pulih, membuat banyak remaja dan pemuda Aceh memilih merantau ke Malaysia. Di beberapa kampung di Kabupaten Pidie, Aceh Utara, Bireuen, Aceh Timur dan Aceh Barat Daya, nyaris tidak ada remaja dan pemuda (laki-laki) yang tidak sekolah yang memilih bertahan di kampung. Umumnya semua mereka ke Malaysia untuk mencari rezeki, ketimbang bertahan di kampung.

Sebelum penangkapan, hari-hari Daud dihabiskan sebagai tukang ojek (penarik RBT) di Ulee Gle, Pidie. Malam harinya, ia memilih menjaga neuheun (tambak) milik ayahnya, yang siap panen. Ia tidak pernah bergaul dengan anggota gerilyawan. Tidak juga keluarganya. Hanya pernah sekali dia duduk bersama beberapa anggota GAM, ketika GAM menyambangi tambak yang tengah dijaganya.

“Itu pun, karena teman lama. Sudah lama saya tidak bertemu dia, sejak saya merantau ke Belawan, Medan,” ujar Daud.

Menurut Daud, sebelumnya ia tinggal bersama seorang kerabatnya di Belawan, Medan. Di sana, ia bekerja sama orang Melayu. Daud tidak memerinci kerja apa yang dilakoni selama berada di perantauan. Karena rasa kangen terhadap keluarga tidak bisa dibendung, delapan bulan lalu ia nekat pulang ke Aceh.

“Padahal, saudara saya sudah larang supaya saya tidak pulang, karena Aceh tidak aman,” ujar Daud.

Selama “duduk” dengan temannya itu, tidak pernah terbersit keinginan untuk merajut hubungan lebih jauh dengan kelompok bersenjata itu.

“Saya tidak mau terlibat. Apalagi tidak satupun keluarga saya yang masuk GAM,” kisah Daud.

***

Mata Daud menerawang dengan tatapan hampa. Wajahnya tidak berekspresi. Dingin. Secangkir kopi hangat Ulee Kareng, masih belum disentuh Daud.

“Kalau sudah bebas, saya akan pergi merantau jauh dari kampung,” ujarnya, setelah lama terdiam.

Tidak lagi sepatah pun kata terucap. Hanya kepulan asap dari Djie Sam Soe yang mengepul dari bibir hitamnya. Ia terus menikmatinya. Hingga, tak berapa lama berselang, suara adzan berkumandang dari musala LP Keudah. Daud pamitan untuk menunaikan ibadah salat dhuhur. [A]

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting