Penulis: Fakhrurradzie, 2004-01-02 04:00:39
17.45 WIB, Senin (29/12), saya menerima SMS. “Ersa Siregar, tewas dalam pertempuran GAM dan TNI di Simpang Ulim”. Antara percaya dan tidak bahwa Ersa Siregar yang sejak 29 Juni 2003, ditahan kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Wilayah Peureulak. Ersa ditahan bersama Ferry Santoro (kameramen RCTI), Rahmatsyah (supir) dan Ny. Safrida dan adiknya Soraya. Ny. Safrida adalah istri dari Letkol Ashari.
Malamnya, sekitar pukul 17.30 WIB, saya menuju Rumah Sakit Kesrem 011 Lilawangsa, yang tak jauh dari tempat saya bermalam. Dari Kesrem, saya mendapati kabar bahwa jenasah Ersa Siregar, telah dibawa ke Markas Komando Distrik Militer (Makodim) 0103 Aceh Utara.
Di Makodim, jenasah Ersa disemayamkan di Aula Sapta Marga. Sekitar pukul 20.00 WIB, tahlilan dilakukan. Turut hadir dalam tahlilan, Juru Bicara Koops TNI, Letkol Ahmad Yani Basuki, Bupati Aceh Utara Tarmizi A Karim. Sayang, tidak banyak wartawan yang hadir dalam tahlilan. Hanya beberapa wartawan saja yang terlihat. Itu pun hanya untuk mengambil gambar saja.
Pun begitu, acara tahlilan berlangsung sederhana, khusuk dan khidmat. Peti jenazah diletakkan di atas meja. Banyak prajurit TNI dari Makodim 0103 Aceh Utara dan dari Koops TNI, serta masyarakat sekitar yang ikut acara tahlilan. Tampak, prajurit TNI membaca Yasin dengan khusuknya.
Malam ini, menurut rencana, rekan seprofesi Ersa Siregar, akan melaksanakan tahlilan di Kantor Redaksi Aceh Ekspress, Banda Aceh. Diperkirakan, semua wartawan yang ada di Banda Aceh, akan ikut acara tahlilan sebagai wujud solidaritas dan penghormatan terakhir untuk mengenang Ersa Siregar.
***
Sebenarnya, saya tidak mengenal secara pribadi dengan Bang Ersa. Saya hanya mengenalnya melalui laporan-laporannya yang terkenal mendalam dan kritis. Wilayah Aceh, bukanlah pertama kali ini disinggahi Bang Ersa untuk tugas-tugas jurnalistik. Tercatat, Ersa adalah wartawan yang aktif melakukan peliputan di daerah konflik Aceh. Liputannya yang mendalam dan berimbang, membuat ia bisa diterima semua pihak yang bertikai di Aceh.
Sory Ersa Siregar adalah nama lengkap pria kelahiran Berastagi, Sumatera Utara, pada 4 Desember 1951. Masa kecil, buah hati pasangan Baginda Madjid Ibrahim dan Nurmia Boru Harahap, ini sering hidup berpindah-pindah. Hal ini disebabkan karena ayah Ersa Siregar adalah seorang tentara. Praktis kondisi hidup Ersa kecil dan keluarga, menempanya untuk hidup mandiri.
Usai menamatkan pendidikan di SMA 8, Ersa memilih merantau ke Jakarta. Di ibu kota ini, Ersa memilih kuliah di Akademi Bank. Sesaat, Ersa juga pernah bekerja di sebuah perusahaan di Kalimantan di bagian workshop. Tak lama di Kalimantan, ia kembali mengadu nasib di Jakarta. Ersa muda kembali melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Publisistik Jakarta. Usai menamatkan pendidikan jurnalistiknya, pada tahun 1993, ia memilih bergabung menjadi reporter Rajawali Citra Televisi (RCTI).
Ersa Siregar kemudian menikahi Tuty Komala Bintang br Hasibuan. Dari pernikahannya, ia dikarunia tiga putra-putri; Ridhwan (19), Fitrah (18) dan Sarah (16). Ridhwan Ermala Mora Siregar, sekarang menempuh pendidikan di Jurusan Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Sebelas Maret, Solo. Ketika sang ayahnya disandera GAM, Ridhwan tengah menempuh kuliah semester tiga. Hari-hari yang dijalaninya, sangat berat. Bahkan, pekan-pekan pertama musibah itu, ia sempat tidak masuk kuliah.
Pilihan hidup sebagai wartawan, dijalaninya dengan penuh dedikasi. Ersa tidak pernah memberitahukan pekerjaan barunya, kepada sanak keluarga, yang juga banyak mengadu nasib di rantau. “Abang tidak pernah memberitahu apa pekerjaannya,” kata Chaidir, salah seorang kerabat dekat. Namun, mereka baru tahu Bang Ersa berprofesi sebagai wartawan, setelah Ersa tampil on screen di layar RCTI.
Sejak bergabung dengan RCTI, Ersa telah melakukan peliputan ke berbagai daerah di Indonesia. Terakhir, ia memilih untuk diterjunkan ke Aceh, bergabung dalam tim RCTI yang melakukan peliputan pemberlakuan Darurat Militer yang ditetapkan oleh pemerintah RI, pada 19 Mei 2003.
***
Jauh sebelum Ersa ke Aceh, terbersit niat di benaknya untuk melakukan peliputan agresi Amerika ke Irak. Paspor dan visa sudah di tangan. Namun, langkah membawanya ke Aceh. Menjadi wartawan perang seakan telah menjadi cita-citanya. Padahal, di RCTI, Ersa adalah wartawan yang membidangi masalah pariwisata.
Karena itu, ketika pertama kalinya Ersa hendak ke Aceh, Tuty Komala, isteri Ersa Siregar, tampak terkejut. Namun, Tuty berusaha untuk memahami tugas-tugas yang diemban profesi wartawan.
“Ya, Bang Ersa bertugas di pariwisata, tapi ditugaskan meliput perang di Aceh. Pengiriman Bang Ersa ke Aceh itu disebabkan karena sudah beberapa kali beliau bertugas ke Aceh,” kata Tuty Komala Bintang br. Hasibuan, kepada saya, Jum’at, 5 Desember 2003, lalu, melalui sebuah wawancara khusus via saluran telepon jarak jauh (SLJJ).
Kami menurunkan artikel; Apa Dosa Ersa terhadap GAM?
Bahkan, menurut Tuty, dalam liputan semasa Darurat Militer ini, Ersa tidak memilih akan meliput ke Aceh. Namun, Ersa ditunjuk oleh manajemen RCTI.
“Dia ditugaskan meliput ke Aceh. Jadi, dia tidak bisa menolak, kan?”, ujar Tuty.
Ketika ditanyakan, apakah keluarga tahu dengan risiko seorang jurnalis?
Tuty Komala, berujar ringan, “Tahu apa? Tahu bagaimana?”
“Ya, paham dengan segala kemungkinan yang akan terjadi, termasuk penculikan dan pembunuhan,” saya mencoba memberi gambaran.
“Oh tidak! Saya tidak (pernah) menyangka Bang Ersa akan ditahan GAM,” kata Tuty, lembut sambil menambahkan. “Karena, Bang Ersa itu sebenarnya bukan berada dalam bidang liputan perang.”
Dalam wawancara itu, Tuty sebenarnya sangat berharap GAM memberikan hadiah ulang tahun ke-52, yang jatuh bertepatan dengan Hari Ulang Tahun GAM, 4 Desember.
“Harapan saya yang sangat besar adalah, karena ulang tahun Bang Ersa bertepatan dengan ulang tahun GAM, abang diberikan hadiah oleh GAM,” kata Tuty.
“Hadiah apa itu?” tanya saya.
“Ya, saya berharap hadiah ulang tahun yang diberikan GAM adalah pembebasan Bang Ersa dari tahanan mereka,” lanjut Tuty.
Sayang, di Ulang Tahun yang ke-52 itu, GAM tidak memberikan hadiah apa-apa kepada Ersa. Apa lagi merayakannya. Namun, kini semuanya telah berakhir.
***
Jam menunjukkan pukul 07.00 WIB. Jenasah Ersa Siregar dimasukkan dalam badan helikopter milik Angkatan Laut. Upacara penglepasan berlangsung sederhana. Tidak ada defile atau salvo. Peti jenasah hanya diselimuti kain putih bersih. Tampak Bupati Tarmizi A. Karim, Wapangkoops Brigjen (Mar) Safzen Noerdin, dan Juru Bicara Koops TNI Letkol A. Yani Basuki. Menjelang keberangkatan, A. Yani Basuki memasuki heli yang siap lepas landas. Dia duduk di sebelah kanan jenasah Ersa. Matanya tekun membacakan ayat per ayat dari surah Yasin. Terlihat khusyuk dan khidmat.
Nasib Ersa sangat berbeda dengan apa yang dialami William Nessen, wartawan Amerika Serikat yang terjebak dalam markas GAM, tempo hari. Menjelang keluarnya Nessen, tampak hadir Pangkoops TNI, Mayjen TNI Bambang Darmono dan Mayjen Sjafrie Samsuddin, Kapuspen TNI.
Namun, apa yang dialami Ersa? [*]
Fakhrurradzie, Redaktur Pelaksana Tabloid MODUS terbitan Banda Aceh. Tabloid MODUS adalah salah satu media yang mengangkat kasus penyanderaan Ersa pada edisi Desember 2003 dalam sebuah laporan panjang, ketika berita Ersa Siregar tak lagi menghiasi halaman-halaman surat kabar nasional, sampai hari kematiannya.
0 comments:
Posting Komentar