Tak terasa sudah enam minggu nyala lilin untuk Aceh berlangsung di Bunderan Hotel Indonesia Jakarta. Nyala lilin untuk Aceh berlangsung saban Sabtu malam. Penggagasnya, Farid Gaban, wartawan senior di Jakarta.
Pada minggu pertama menyalakan lilin, Farid Gaban datang seorang diri ke Bundaran HI. Di sana, dia menyalakan 10 lilin dan menggelar beberapa poster yang dicoret-coretnya.
Kendati sudah berlangsung enam minggu, tak banyak orang yang ikut. Memang tak dirancang untuk diikuti banyak orang. Hanya beberapa orang yang konsern tentang dan sepakat dengan ide Farid Gaban, untuk berkampanye perdamaian di Aceh, yang selalu tampak hadir di acara itu.
Saya sendiri, baru tiga kali hadir ke sana. Pekan ketiga, kelima dan keenam. Saya merasa tergugah untuk ikut serta bersama Farid Gaban dan beberapa lainnya, sebut saja Asep Saefullah, Wahyu.
Para peserta membagi-bagikan selebaran kampanye perdamaian, memegang poster dan menyalakan lilin perdamaian. Di lokasi, juga dibentangkan selembar spanduk putih besar yang bergambar peta Aceh dan nyala api perdamaian. Di atasnya, setiap acara dinyalakan sekitar 20-30-an lilin. Tak ada koar-koar yang memekakkan telinga, tak ada pula ancaman macet jalan raya.
Kelaziman demonstrasi tidak terlalu nampak di sana, selain memajang spanduk dan membag-bagikan selebaran. Polisi yang selalu datang ke sana, bingung bagaimana cara membuat laporan ke atasannya. Pasalnya, ketika ditanya siapa koordinator, para peserta menjawab tidak ada koordinator. Lalu, siapa yang menggerakkan, jawabnya, anggota masyarakat alias individu-individu. Apa yang dituntut? Baca aja di spanduk dan poster.
Ide nyala lilin untuk Aceh, layak untuk diikuti. Saban Sabtu malam, jika tak ada kegiatan, singgahlah ke Bundaran HI, untuk sekedar menyalakan lilin perdamaian, membagi selebaran dan memegang poster kampanye perdamaian dan antiperang untuk Aceh.
“Hadiah terpenting yang dibutuhkan rakyat Aceh adalah Perdamaian.” Begitu bunyi salah satu poster. [r]
0 comments:
Posting Komentar