Minggu, Maret 06, 2005

Pelanggaran-pelanggaran Pemilu di Bawah Darurat Sipil

Reporter: Radzie - Banda Aceh, 2004-07-11 12:22:47

Tak ada yang aneh dalam laporan rekapitulasi hasil perhitungan suara sementara yang dilaporkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Aceh Tenggara kepada KPUD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), 5 Juli lalu. Sekilas, laporan yang menempatkan pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid di urutan pertama itu, biasa-biasa saja.

Aroma tak sedap justru baru meruap setelah selembar surat Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Aceh Tenggara, bernomor 85/PWS/AGR/VII/2004 tertanggal 8 Juli 2004, dilayangkan ke KPUD Aceh Tenggara. Dalam surat itu Panwaslu memprotes hasil rekapitulasi sementara yang dikirim KPUD.

Rekapitulasi sementara yang dikirim itu, mencantumkan jumlah pemilih di kabupaten yang berbatasan dengan Sumatera Utara itu sebanyak 97.846 orang yang punya hak pilih. Lalu, hanya sebanyak 84.343 warga yang menggunakan hak pilihnya itu. Dari yang menggunakan hak suaranya, diperoleh suara sah 83.065 suara, dan tidak sah hanya 1.278.

Sampai di sini, belum ada kejanggalan.

Lantas, dalam tabel laporan selanjutnya, yang ditandatangani Ketua KPUD Aceh Tenggara, H. Rasitoe Desky, tertera jumlah warga yang tidak memilih alias golongan putih (golput) “hanya” 266 orang. Nah, angka itulah yang diprotes Panwas. Pasalnya, untuk satu kecamatan saja, jumlah golputnya bisa mencapai 576 orang. Kok, di tingkat kabupaten, jumlahnya bisa dilorot menjadi hanya 266 orang?

Dalam suratnya, Panwas menyatakan, hasil rekapitulasi perhitungan suara PPK se-Kabupaten Aceh Tenggara belum ada yang masuk ke KPUD Kabupaten Aceh Tenggara. Panwas juga melampirkan hasil rekapitulasi sementara peolehan suara di Kecamatan Babul Rahmah. Di kecamatan itu total pemilih yang terdaftar adalah 4.721 orang. Sementara yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 4.145 pemilih. Sedangkan yang memilih golput di Kecamatan itu, sebanyak 576 orang. Bandingkan dengan hanya 266 warga yang golput di seluruh Aceh Tenggara. Nah inilah yang berbuah protes dari Panwas setempat.

“Ada indikasi mark-up suara,” kata Direktur Forum LSM Aceh, Taf Haikal kepada acehkita, Sabtu (10/7).

Pertanyaannya, pasangan mana yang diuntungkan dari penggelambungan suara itu?

Dari Aceh Tenggara, dalam rekapitulasi sementara yang dilaporkan ke KPU Aceh, Wiranto-Salahuddin memperoleh sebanyak 25.318 suara. Di urutan kedua, bertengger nama Amien-Siswono dengan perolehan suara sebanyak 22.838. Sedangkan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla berhasil meraup 21.252 suara.

“Laporannya memang ada manipulasi suara untuk Wiranto. Namun laporan tertulis memang belum ada,” kata M. Jafar, Koordinator Bidang Pengawasan Panwaslu Provinsi Aceh, kepada acehkita, Sabtu (10/7).

Laporan adanya manipulasi suara itu datang dari Tim Sukses Amien-Siswono. Menurut laporan yang diterima Panwaslu Aceh, kubu Wiranto melakukan dugaan money politics (politik uang) yang luar biasa. Namun, M. Jafar mengaku belum bisa membuktikan kebenaran dugaan itu.

“Data yang dilapokan itu, tidak dikirim,” kata M. Jafar, kemudian.

Untuk itu, Panwaslu Provinsi sudah membentuk tim untuk melakukan investigasi kebenaran laporan itu, ke kabupaten yang memang dikenal sebagai basis Partai Beringin itu.

“Kita sudah bentuk tim investigasi ke sana. Dipimpin Bu Ema (Erismawati, Wakil Ketua Panwaslu Aceh, red.),” lanjut M. Jafar, yang juga dosen hukum di Universitas Syiah Kuala ini.

Manipulasi yang merugikan kubu Amien ini, juga dibenarkan Bukari, Tim Sukses Amien-Siswono di Aceh Tenggara. “Manipulasi suara. Indikasi pada awalnya memang demikian. Kita protes tegas,” kata Bukari kepada acehkita, Sabtu (10/7) yang dihubungi melalui telepon genggamnya. Namun, Bukari mengatakan, indikasi manipulasi suara yang merugikan kubunya, tidak berlangsung lama.

“Itu tidak terjadi lagi,” katanya kemudian.


Saksi Tak Boleh Masuk TPS
Bukan hanya dugaan politik uang dan penggelembungan suara saja yang ditemukan di Aceh Tenggara itu. Menurut data yang diperoleh acehkita dari Panwaslu Aceh, dalam pelaksanaan pemilu 5 Juli lalu, ada tiga kecamatan di kabupaten itu yang tidak menyerahkan salinan berita acara dan rekapitulasi suara kepada saksi.

“Kejadian ini di Kecamatan Lawe Sigala-gala,” kata Jafar. Ia mengaku lupa nama dua kecamatan lainnya.

Namun, untuk katagori pelanggaran ini, sudah diselesaikan oleh KPUD dan Panwaslu setempat. “Ada berita acara dan rekapitulasi suaranya diserahkan pada hari itu dan ada pada keesokan harinya,” kata anggota Panwaslu Aceh yang gampang ditemui wartawan ini.

Alasan tidak diserahkannya berita acara dan rekapitulasi itu, konon sangat sepele: “Tidak ada dana untuk memfotokopi,” kata Jafar, tertawa.

Anggota KPPS juga tidak mau mengisi seluruh formulir yang tersedia, sebanyak sembilan formulir. Gara-garanya, “Honornya kecil,” kata Jafar menirukan laporan dari KPUD Aceh Tenggara.

Lain Aceh Tenggara, lain lagi kejadian di Kecamatan Seunagan Kabupaten Nagan Raya, lain lagi. Di kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat ini, PPK di Sunagan, tidak memberikan kesempatan kepada saksi dan pengawas untuk memantau proses perhitungan suara.

“PPK tolak Panwas dan saksi saat perhitungan suara,” kata Jafar.

Akibatnya, para saksi dan Panwas tidak bisa memantau jalannya perhitungan suara di seluruh kecamatan itu. Atas kejadian ini, Jafar mengaku sudah melaporkannya ke KPUD Kabupaten Nagan Raya.

Ada beberapa TPS di Kecamatan Mutiara Timur, Pidie, yang tidak mau melakukan penghitungan suara ulang. Namun, setelah didesak oleh Panwas setempat, para anggota KPPS di kecamatan itu, akhirnya bersedia melakukan penghitungan ulang. Perhitungan ulang dilakukan setelah keluarnya surat edaran dari KPU Pusat yang ditandatangani Anas Urbaningrum yang menyatakan surat suara sah walau pencoblosan itu, tembus ke halaman muka.

“Mereka mau setelah kita desak berkali-kali,” kata Mahdi, Ketua Panwaslu Pidie, kepada acehkita, Sabtu (10/7).

Namun, Mahdi mengaku di daerahnya tidak ditemukan pelanggaran lainnya.. “Sampai kemarin (Jum’at, 9/7, red.) Panwaslu Pidie telah menerima laporan dari 28 kecamatan. Tidak ada laporan adanya pelanggaran,” katanya.

Hal ini sangat kontras dengan temuan Forum LSM Aceh. Forum LSM Aceh menemukan pelanggaran di Kecamatan Bandar Baru. Di Kecamatan ini, banyak calon pemilih yang tidak mempunyai Kartu Identitas Pemilih (KIP) dan undangan. Akibatnya, saat mereka datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Tapi anehnya, oleh KPPS setempat, mereka yang tidak bisa menggunakan hak pilihnya ini, diberikan tinta hitam sebagai tanda sudah melakukan pencoblosan.

“Padahal mereka tidak mencoblos,” kata Haikal.

Di Kecamatan Muara Dua, Aceh Utara, kejadian yang hampir sama dengan di Bandar Baru juga terjadi. Di sini, pemilih yang mempunyai KIP namun tidak memiliki undangan, juga tidak diperkenankan melakukan pencoblosan. Alasannya, “Karena surat suara terbatas,” kata Haikal.

Jika di Kecamatan Muara Dua dan Bandar Baru tidak mempunyai KIP atau undangan tidak bisa mencoblos, lain lagi dengan pemilih di TPS 10 dan 11 Kecamatan Nurussalam, Aceh Timur. Di sini, warga yang tidak mengantongi KIP dan atau undangan, pada awalnya tidak datang ke TPS. Namun, setelah disuruh oleh aparat TNI AD, warga di desa itu bisa menggunakan hak pilihnya dengan memperlihatkan KTP.

Juga, di dua TPS ini, aparat TNI melakukan penjagaan ketat di seputar lokasi TPS dengan kekuatan sekitar 100 personel, yang diperkuat dua truk, dua reo dan satu tank. Kejadian serupa juga terjadi di Keude Bagok, Neubok Baru Idi Cut. Alasannya, daerah ini merupakan basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Padahal, dalam peraturan, aparat TNI dilarang berada di sekitar TPS.


Polisi Ikut Nyoblos, Petugas KPPS Juga
Di Kecamatan Singkil Utara, pelanggaran terjadi sebanyak tiga kasus. Yang pertama, seorang anggota polisi di Kecamatan Singkil Utara, diduga ikut melakukan pencoblosan pada pemilihan presiden yang berlangsung Senin (5/7) lalu.

“Padahal, itu tidak boleh,” kata M. Jafar, kepada Acehkita, Senin (5/7) lalu.

Masih di kecamatan yang sama, ada anggota polisi yang tidak memberi tempat duduk kepada para saksi. M Jafar menyayangkan sikap yang diperlihatkan polisi itu. Menurut M Jafar, tindakan polisi yang melakukan pencoblosan itu, bisa diadukan atau dilaporkan kepada penyidik, karena telah melakukan pelanggaran pidana.

“Ini laporan yang sampai kepada kita. Kita sedang investigasi itu,” katanya.

Terakhir, di Kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan itu, ada pemilih yang memperlihatkan hasil coblosannya kepada para pemilih lainnya. Ini, merupakan bentuk pelanggaran terhadap asas kerahasian. “Kertas suara ditunjukkan,” kata Jafar.

Sejumlah temuan pelanggaran lainnya ditemukan di Kecamatan Darul Imarah Aceh Besar. Di kecamatan ini, saksi dari pasangan Megawati-Hasyim Muzadi, memakai atribut kandidat berupa PIN yang bergambar Mega-Hasyim.

“Tapi, kita langsung menyuruh saksi itu untuk melepaskan atributnya, saat itu juga,” katanya.

Lain lagi yang terjadi di Kecamatan Syamtalira Aron, Aceh Utara. Di kecamatan ini, Ketua KPPS mencoblos sembilan surat suara. Pencoblosan itu, kata Jafar, dikarenakan anggota KPPS itu diminta oleh sembilan warga di kecamatan itu, untuk mewakili mereka yang saat itu berada di Malaysia. “Dia coblos karena diminta oleh pemilih yang ada di Malaysia. Ya permintaan itu melalui telepon, jadi tidak dibenarkan,” terang anggota Panwaslu Aceh ini.

Di Bireuen, seperti pernah diberitakan Acehkita sebelumnya, juga ada instruksi dari setiap kepala keluarga di asrama polisi (aspol) Karangrejo, Kelurahan Kota Bireuen untuk memilih pasangan SBY-Kalla (baca: Intruksi di Asrama Polisi).

Atas semua kasus pelanggaran itu, Panwaslu Aceh berjanji akan menindaklanjutinya.

“Kita akan selidiki dan tindaklanjuti temuan itu,” kata Jafar, kemudian. [A]

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting