Reporter: Odeysa - NAD, 2004-05-07 19:24:10
Kamis, 6 Mei 2004. Kerumunan massa berjejal di seputaran Simpang Lima, Kota Banda Aceh, tepatnya di sekitar Markas Komando Daerah Militer (Makodam) Iskandar Muda. Tepat di hari kunjungan sejumlah anggota Komisi I DPR RI pagi itu, satu persatu para “pengunjuk rasa” mengeluarkan karton bertuliskan:
"Tidak ada obat mujarab selain Darurat Militer",
"TNI jika pulang tinggalkan senjata buat kami",
"Darmil di Nanggoe Aceh harus Diperpanjang",
"Yang bisa menyelesaikan masalah Aceh hanya Darmil",
"Jika Darmil Dicabut Gali Lobang buat Kami Semua".
Darmil adalah akronim dari Darurat Militer. Tapi istilah ini kurang populer di masyarakat dibandingkan sebutan “DM” atau “darurat”. Sebaliknya, akronim “darmil” kerap digunakan institusi militer seperti halnya ratusan akronim lain yang telah diproduksi seperti; kodam, korem, kodim, koramil, polres, polsek, hingga poskamling.
Massa yang diperkirakan hampir seribuan orang ini dimobilisasi oleh sebuah organisasi yang menamakan dirinya Front Perlawanan Separatis Gerakan Aceh Merdeka (FPSG) Aceh Besar. Mereka datang dari Kecamatan Peukan Bada, Lhoknga, Seulimuem, dan Indrapuri. Selebihnya, ada juga yang dari FPSG Kota Banda Aceh. (baca: DPR Disambut Seribuan “Demonstran”).
Seorang warga Peukan Bada menuturkan, keikutsertaannya dalam aksi kali ini karena diperintah oleh kepala desanya.
"Ka iyue jak, ta jak (disuruh datang, ya kita datang)," kata lelaki tua yang mengaku tak dapat bekerja pada hari itu.
"Tapi, Abu sendiri melihat darurat militer ini bagaimana?" tanya acehkita.
“Lon hana meu phom nyan. Na darurat ngen hana sama mantong. Nyang peunteng lon jeut jak mita raseuki (Tidak tahu saya. Ada tidaknya darurat bagi saya sama saja. Yang penting, saya bisa mencai rezeki)," katanya lagi.
Sementara seorang aparat pemerintah dari salah satu desa di Aceh Besar, ketika ditanya menuturkan, dirinya membawa sebanyak 50 orang dari kampungnya atas instruksi tertentu yang tidak dia sebutkan.
"Kami disuruh bawa 50 orang per desa," katanya.
"Bagaimana kalau tidak datang?" tanya acehkita.
"Tidak masalah. Tapi kalau di kampung saya ada yang tidak hadir, saya akan memarahinya…" katanya.
Sekitar pukul 12.00 WIB, massa FPSG meninggalkan Jembatan Pante Pirak, setelah rombongan anggota DPR yang dipimpin Franklin William Kayhatu dari Fraksi TNI/Polri masuk ke Makodam Iskandar Muda. Fraksi TNI/Polri pula yang secara tiba-tiba pernah melontarkan gagasan pemberlakuan Darurat Sipil di Papua sebelum akhirnya dipatahkan oleh pejabat pemerintah, termasuk Menko Polkam (ketika itu) Susilo Bambang Yudhoyono dan Mendagri Hari Sabarno.
“Tidak cukup alasan. Tidak cukup, karena daerah, baik DPRD Papua maupun Pemerintah Daerah Papua, tidak mengusulkannya,” kata Hari Sabarno dengan nada tinggi seusai Rakor Polkam, Rabu, 28 Januari 2004.
Massa demo langsung bubar setelah anggota DPR masuk ke Balai Teuku Umar. Sebagian, memang ada yang ikut bergabung mengikuti jalannya dialog “menyerap aspirasi” tentang polemik perpanjangan darurat militer yang telah berlangsung setahun itu.
Di Balai Teuku Umar yang sejuk, sudah ada peserta yang terdiri dari pemuda, mahasiswa, masyarakat, beberapa LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), ulama dan akademisi.
Sebagian massa, langsung angkat bicara begitu forum dimulai.
“Darurat Militer harus diperpanjang. Setuju..!!!" katanya bersemangat.
Peserta yang memadati Balai Teuku Umar, langsung menyambut dengan koor “setujuuuu...”.
"Karena dengan DM, Aceh walau tidak aman 100 persen, tapi sekitar 75 persen sudah aman," kata yang tadi bicara. Namanya Abu Meunasah Me, seorang ulama.
Alasan perpanjangan darurat militer, menurut ulama asal Pidie ini, karena di wilayahnya masih terjadi penembakan dan pembakaran rumah.
"Di Keumbang Tanjong, beberapa hari lalu telah terjadi penembakan terhadap dua orang guru. Di Simpang Tiga, ada rumah yang dibakar," katanya berapi-api tanpa menyebut siapa pelakunya.
Beberapa pembicara lainnya, juga senada dengan Abu Meunasah Me yang meminta perpanjangan darurat militer ini.
Hebatnya, seorang bernama Hendro, yang mengaku mahasiswa Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh juga meminta perpanjangan darurat militer. Namun, dia menekankan pada operasi penegakan hukum untuk menangkap pelaku korupsi.
Kini giliran Tgk Bulqaini Tanjungan, dari Rabuthah Taliban Aceh, yang angkat bicara. Bulqani tanpa ragu-ragu menyamakan mereka yang menolak perpanjangan darurat militer dengan anggota atau simpatisan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
"Saya tidak tahu apakah mereka yang menolak DM itu adalah titipan GAM," katanya.
Pendapat Bulqani agak mengejutkan sebagian yang hadir. Pasalnya, organisas Rabithah Taliban Aceh (RTA), yang berdiri 1999, sangat aktif merontokkan bisnis-bisnis “hitam” yang kerap dibekingi aparat seperti menggelar razia minuman keras dan pekerja seks komersial. Gara-gara aksi yang merupakan kumpulan ulama di sejumlah dayah (pondok pesantren) ini, sempat memancing amarah aparat kepolisian Aceh. Buntutnya, kantor RTA di kawasan Simpang Surabaya, digerebek polisi.
Bahkan ketika Gus Dur melakukan kunjungan ke Aceh, Gus Dur sempat melakukan peusijuek sebagai tanda damai antara anggota RTA dengan aparat polisian.
Tidak banyak yang menetang arus dengan menolak darurat militer di Balai Teuku Umar siang itu. Ada sebagian peserta, seperti seorang dosen, meminta agar status Darurat Militer diturunkan menjadi Darurat Sipil.
Satu-satunya penolakan tegas perpanjangan darurat militer justru datang dari seorang perempuan yang mengaku bernama Dedek. "Seratus lebih kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oknum TNI dan Polri tidak pernah diperhatikan," katanya berapi-api.
Semua terdiam ketika perempuan ini berbicara. [r]
0 comments:
Posting Komentar