Sabtu, Maret 12, 2005

Fragmen “Penghadangan” di Aceh Besar

Reporter: Odeysa - Aceh Besar, 2004-04-27 20:57:38

Sekitar seratusan massa Front Perlawanan Separatis Gerakan Aceh Merdeka (FPSG) Kabupaten Aceh Besar, Senin (26/4) melakukan aksi demonstrasi menuntut perpanjangan darurat militer. Aksi itu dipusatkan di bundaran Lambaro, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Tak lama berselang, di saat unjuk rasa tengah berlangsung, dari arah Lampeuneurut, empat truk Reo dan dua panser melaju kencang. Menurut sumber resmi militer, rombongan Reo itu, katanya, hendak melakukan perjalanan pergeseran pasukan ke Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar.

Melihat ada beberapa truk Reo dan panser, massa FSPG bukannya menghentikan aksinya dan memberi jalan bagi kenderaan militer itu, namun malah menghentikan iring-iringan tersebut. Bak adegan sinetron, sebagian mulai berteriak;

"Jangan pulang, Pak..."

Terlihat, beberapa aparat TNI memberikan penjelasan tentang tujuan mereka. Namun, massa tidak menghiraukan.

Tak lama kemudian, Komandan Komando Distrik Militer (Dandim) 0101 Aceh Besar Djoko Warsito datang ke lokasi aksi unjuk rasa bersama dengan Kapolres Aceh Besar. Terlihat dialog antara Djoko Warsito dengan massa.

Dalam dialog itu, Djoko mengatakan TNI dari kesatuan Yonif 408 Rajawali itu bukannya akan pulang ke kesatuannya, melainkan hanya bergeser ke Indrapuri.

"Kalau memang begitu, Bapak sebagai Dandim di sini menjamin, kami melepaskan mereka. Tapi kalau kami dengar mereka pulang, kami akan hadang mereka di seluruh Aceh, Pak," kata seorang anggota front bersemangat.

Tak lama kemudian, pasukan TNI itu pun "dilepaskan" massa FPSG.

Dialog antara massa FPSG dengan Dandim Djoko Warsito, masih terus berlanjut.

"Hari ini, RI-1 harus mengetahui aspirasi dari kami. Kami meminta supaya DM terus diperpanjang," kata seorang peserta aksi kepada Djoko.

Seorang lainnya, bangkit dari duduknya dan berkata: “Kalau darurat militer ini dicabut, mungkin kami hancur semua, Pak," kata lelaki setengah baya itu.

"Lebih baik, kami dibunuh TNI saja, kami siap sekarang," tambahnya lagi.

Djoko Warsito menanggapi peserta aksi. "Masalah perpanjangan darurat militer ini, yakinlah pemerintah pusat akan mengambil kebijakan yang bijaksana. Pemerintah tahu persis keadaan masyarakat Aceh," katanya yang disambut tepukan tangan peserta.

***

Di tengah semangat menggelora dari para anggota FSPG, seorang peserta aksi yang ditemui acehkita mengaku, keikutsertaannya dalam aksi menuntut perpanjangan darurat militer ini, hanya untuk ikut meramaikan saja.
"Saya datang sendiri, ya hanya untuk meramaikan saja," katanya sambil tersipu. Dia meminta identitasnya tidak ditulis.

Ketika ditanya dampak pencabutan darurat militer yang digembar-gemborkan akan mengundang aksi balas dendam pihak GAM, lelaki ini mengaku tidak tahu menahu dengan risiko itu. Dengan lugu, ia menyatakan, "Itu saya tidak tahu, karena saya tidak tahu politik," katanya lagi.

Baginya, bisa menjalankan aktivitas sehari-hari saja secara normal, sudah cukup. Kondisi aman, adalah harapannya. Dia sendiri menolak berbicara banyak sebelum akhirnya bergabung dengan kerumunan massa yang lain.

"Acaranya mau mulai," katanya sambil pergi.

***

Seorang jurnalis yang meliput demonstrasi massa FPSG di Bundaran Lambaro ini, mengungkapkan komentarnya; "Setting yang sangat bagus dilakukan tentara," katanya, sambil mewanti-wanti untuk tidak menuliskan namanya.

Yang dimaksudnya setting adalah unsur “kebetulan” yang luar biasa. Betapa tidak, di hadapan puluhan jurnalis yang meliput aksi demo tersebut, tiba-tiba konvoi TNI melintas dan ada aksi “penghadangan”. Berbeda sekali dengan apa yang pernah terjadi depan Masjid Raya Baiturrahman, ketika ribuan warga masyarakat melempari iring-iringan serdadu ABRI dengan telur dan tomat busuk. Mereka meluapkan kemarahan setelah 10 tahun berada di bawah status Daerah Operasi Militer (DOM) yang telah menewaskan ribuan warga sipil di bawah regim Orde Baru.

Tapi kini suasana tiba-tiba berbalik?

Seorang aktivis mahasiswa punya komentar lain yang lebih lugas.

"Buat apa darurat militer diperpanjang. Itu sangat membuat masyarakat susah," kata Udin (nama samaran), kepada acehkita.

Menurutnya, kondisi darurat sebenarnya tidak dibutuhkan masyarakat Aceh.

"Ini hanya bertujuan politis semata. Ada kepentingan politis yang sangat kuat dalam penerapan darurat militer ini," katanya.

Selain aroma politis di panggung darurat ini, menurut Udin, juga tersirat kepentingan ekonomi yang sangat kentara. Karenanya, dia mengaku pesimis jika dikatakan darurat militer ini bertujuan untuk menindak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berusaha memisahkan diri dari Indonesia.

Udin menambahkan, jika pemerintah Indonesia memutuskan memperpanjang darurat militer, konflik Aceh justru tidak akan bisa diselesaikan.

"Ini akan melahirkan dendam yang tidak berkesudahan," katanya.

Senada dengan Udin, Muhammad, warga Aceh Jaya juga mengkhawatirkan semakin panjangnya rantai dendam bila Keppres 28/2003 tentang darurat militer diperpanjang.

"Kalau pun DM diperpanjang, GAM akan semakin bertambah, karena akan banyak keluarga GAM yang menaruh dendam," katanya menduga.

Muhammad, jauh-jauh hari mengaku tidak setuju terhadap pemberlakuan darurat militer ini. Sebab, selain faktor politik, darurat militer juga berimbas terhadap merosotnya pendapatan warga di pedalaman. Muhammad menyebut contoh.

"Faktanya sebagai contoh, seperti kata kawan saya dari Geumpang. Masyarakat tidak bisa pergi ke kebun untuk memetik coklat (kakao). Padahal sudah masanya panen. Akibatnya banyak yang sudah menguning dan jatuh ke tanah. Kalau pun bisa ke gunung, ya waktunya dibatasi," urainya.

“Lalu bagaimana solusinya?” tanya acehkita.

"Ya, kembalilah ke meja perundingan. Ini akan semakin bermartabat," katanya berharapan. [A]

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting