Reporter: Tim Acehkita - NAD, 2005-02-03 12:22:58
Sersan Satu N Sibutar Butar, Senin (17/1) itu tengah berpatroli di kawasan Dayah Butong, Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar. Bintara yang di-BKO-kan (bawah kendali operasi) dari markasnya di Sumatera Utara ini mengendus curiga saat dari arah berlawanan, muncul sepeda motor Honda GL 100 yang kendarai dua orang pemuda.
Pasukan Brimob yang dipimpinnya lantas menghentikan dua orang pria ini. Tapi sejuruh kemudian, yang duduk di belakang mengambil pistol yang terselip di pinggang. Saat itulah, pasukan Sibutar Butar melepaskan tembakan untuk melumpuhkan dua orang pemuda itu.
Yang mencabut pistol mengalami luka tembak di bagian betis kiri dan yang membonceng terluka di betis kanan. Dari tangan mereka, polisi juga menyita satu pucuk pistol revolver kaliber 38 beserta 30 butir amunisi, satu unit telepon seluler dan satu motor Honda GL 100.
“Keduanya adalah anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang bernama Saifuddin dan Hasanuddin,” kata Kapolresta Banda Aceh AKBP Eko Danianto sembari menunjukkan sebuah revolver.
Tapi sayang, ini bukan cerita dalam acara kriminal di televisi. GAM, tak membiarkan polisi memonopoli versinya sendiri kendati dia mengakui dua anggotanya terciduk Brimob. Menurut Jurubicara GAM Aceh Rayeuk, Teungku Muchsalmina, kedua anggotanya saat itu sedang dalam perjalanan menjenguk saudara mereka yang tertimba bencana di sebuah lokasi pengungsian.
Menyusul perintah gencatan senjata yang dilansir Perdana Menteri GAM Malik Mahmud, Muchsalmina berani memastikan, kedua anggotanya itu tidak bersenjata. “Kalau dibilang bersenjata saat mereka ditangkap, itu hanyalah propaganda Indonesia untuk bisa menangkapi kami,” kata Muchsalmina kepada acehkita.
Lagipula, dua orang GAM yang dimaksud Muchsalmina bukalah Saifuddin dan Hasanuddin, melainkan Syahrul Ramadhan bin Mukhtar (24) warga Ajun, dan Masykur (27) warga Desa Beuradeun, Lhok Nga.
Nah, lho!
Tapi perang kadang tak hirau soal siapa benar, siapa bohong. AKBP Eko Danianto juga menyatakan pihaknya tak hanya menangkap dua orang itu, tapi juga menembak mati seorang Aceh bernama Hamdani di Ulee Kareng. Hamdani ditembak juga karena membawa senjata. Menurut Eko, setelah tsunami, telah terjadi lima kali kontak tembak antara GAM dengan personelnya. Dia juga menyebut kasus di Krueng Raya, di mana seorang anggota Polres Sabang dibacok oleh anggota GAM pimpinan Muhammad.
Padahal, sehari setelah bencana, Pemerintah Negara Acheh (PNA) di pengasingan mengumumkan genjatan senjata sepihak. Seruan ini disampaikan Perdana Menteri PNA, Malik ‘Meuntroe’ Mahmud dari Swedia.
Isinya sangat tegas: “Tentara Negara Acheh (TNA) telah diperintahkan menahan diri dari membuat kontak bersenjata dengan pihak musuh demi menghindari timbulnya perasaan terjepit dan panik di kalangan masyarakat.”
Tapi Jakarta tak kunjung menyambut. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak mengumumkan secara tegas penghentian operasi tempur. Dus, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto sendiri akhirnya hanya menyatakan, keberadaan pasukan TNI di Aceh akan difokuskan pada operasi kemanusiaan.
Tapi angin sejuk berhembus dari mulut Wakil Presiden Jusuf Kalla yang pernah menggelar perjanjian damai Malino I dan II untuk konflik di Maluku dan Poso. “Kalau cease fire (gencatan senjata) itu kan, berarti Anda berhenti sekarang dan berperang lagi bulan depan. Kita mau berhenti sama sekali. Nantilah kita atur secara terpandang dan bermartabat,” sebut Kalla di Banda Aceh, Jum’at (14/1).
Namun keinginan pejabat sipil selalu mentah di lapangan. Nyatanya, pergumulan TNI/Polri dan GAM terus saja terjadi. Hanya beberapa jam setelah tsunami, Nasri (21) ditangkap dan dipukuli Satuan Gabungan Intelijen (SGI) pada Minggu (26/12) di Desa Geulanggang Meunje, Kuta Blang, Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen. Nasri ditangkap SGI yang berpos di pusat pasar Gandapura dengan tuduhan terlibat separatisme, sebelum akhirnya dilepas setelah seorang kerabatnya yang komandan SGI di Kecamatan Sawang, Aceh Utara, mendatangi pos SGI Gandapura.
Sehari setelah penangkapan Nasri, TNI menembak dua gerilyawan di Kecamatan Seunundon, Aceh Utara. Media Center TNI di Lhokseumawe melansir, penembakan itu dilakukan karena dua anggota GAM tersebut melakukan pemerasan terhadap warga setempat.
Perburuan TNI untuk menghabisi GAM, juga dilakukan dengan operasi penggempuran kantong GAM di Kecamatan Peureulak, Rabu (5/1). Hari berikutnya, kontak tembak berlangsung antara pasukan TNI dengan seorang gerilyawan GAM di Cot Aneuk Bate, Desa Meureubo, Kecamatan Makmur, Bireun. Menurut saksi mata, kontak tembak terjadi saat seorang anggota GAM sedang bersepeda melewati kawasan tersebut dan disambut dengan letusan senapan yang membuatnya tewas.
Pada Jumat (7/1), kontak tembak kembali terjadi di kawasan persawahan Desa Tampak Baroh, Kecamatan Peureulak Timur, Aceh Timur. Disusul kejadian yang sama, pada Senin (10/1) dan Kamis (13/1) di Seumirah, Kecamatan Nisam, Aceh Utara.
Sementara itu, di Lhoong, Aceh Besar, sekitar 54 km arah barat Banda Aceh, laga senjata telah menyebabkan tiga anggota GAM meregang nyawa. Menurut seorang warga, insiden tersebut terjadi ketika anggota GAM sedang melakukan evakuasi jenasah dan korban di sana.
“Pada hari keenam setelah musibah ini, tiga anggota GAM meninggal dan tiga pucuk senjata AK-nya disita,” kata Rusli, seorang warga Lhoong ketika ditemui acehkita, Rabu (12/1).
Rusli lantas bercerita, letupan senjata bukan hanya terjadi kali itu saja di kecamatan yang hanya tinggal empat desa yang masih layak dihuni setelah musibah tsunami itu. Sebelumnya, di Desa Krueng Kala, sebuah desa yang porakporanda dan hanya menyisakan satu bangunan masjid, beberapa pasukan GAM terpaksa menjauh dari permukiman penduduk.
Sebab, saat personel GAM sedang melakukan evakuasi jenasah sanak saudara dan membantu korban yang masih hidup, dari balik bukit yang berada di dekat pantai, suara letupan senjata merajai. “Pasukan TNI di sini. Sementara GAM berada di sana,” sebut saksi mata bernama Juanda, ketika acehkita beranjak ke lokasi kontak tembak itu.
Juanda membenarkan cerita Rusli.
Menurut Rusli, GAM memang turut melakukan evakuasi jenasah dan korban. Namun, setelah beberapa kali kontak tembak itu, anggota GAM tidak lagi turun gunung untuk melakukan misi kemanusiaan. “Kami sangat menyesalkan kontak tembak terjadi di saat GAM sedang menguburkan jenasah. Padahal, mereka tidak menghadang TNI.”
Setelah musibah gempa dan tsunami itu, anggota GAM di kawasan Lhoong yang relatif terisolasi itu, sering turun gunung. Selain untuk melakukan evakuasi jenasah, kata Rusli, anggota GAM juga terlihat mondar-mandir di sekitar perkampungan warga.
“Saya melihat mereka dua kali. Pertama, mereka pakai pakaian preman. Lalu, saya melihat mereka pakai pakaian loreng, lengkap dengan senjata.”
Ketika acehkita bertandang ke Lhoong, tidak ada lagi anggota GAM yang bisa dijumpai secara bebas. “Sekarang tidak bisa. Mereka sudah kembali dikejar-kejar,” sebut Rusli. Namun seorang warga mengatakan, dirinya pernah melihat beberapa anggota GAM yang kembali turun untuk melihat-lihat kondisi perkampungan setelah dilanda tsunami.
“Tadi mereka turun, tanpa senjata,” kata warga tersebut.
Masih di kawasan Lhoong, letupan senjata juga terdengar di pegunungan Paro, Aceh Besar. Menurut Juanda, anggota GAM membunyikan senjata setelah mendengar sebuah letupan dari pihak pasukan TNI yang juga berada di pegunungan itu. Padahal, menurut Juanda, anggota TNI tersebut sama sekali tidak mempunyai maksud untuk menyerang.
“Mereka terjebak di gunung ini setelah tsunami. Mereka menembak lembu mungkin untuk lauk makan,” tandasnya.
Dari Aceh Utara Hingga Aceh Timur
Bukan hanya di Aceh Besar saja kekerasan terjadi selama musibah tsunami. Hanya saja, cerita-cerita seperti ini kalah dengan dahsyatnya solidaritas para relawan. Kalaupun diberitakan media, biasanya cuma versi salah satu pihak saja.
“Kemarin, ada warga yang digorok. Lehernya hampir putus,” tutur Dani, warga Matangkuli, Aceh Utara kepada acehkita, Sabtu (15/1).
Menurut Dani, korban yang sehari-hari bekerja sebagai petani itu sudah lama diincar karena diduga menjadi informan pasukan pemerintah. “Dia dicegat di jalan,” tambah Dani.
Bukan hanya itu. Menurut Dani, di kampungnya sudah dua pekan terakhir setelah tsunami, pasukan TNI terus melakukan pengendapan untuk mencari anggota GAM. Dalam usaha pengendapan itu, pasukan TNI dari Kostrad mengambil seorang warga yang bernama Nasir. “Ternyata salah ambil. Bukan Nasir itu yang dicari, tapi hanya sama nama.”
Akibat seringnya pasukan TNI melakukan pengendapan di beberapa desa di Matangkuli, warga menjadi takut pergi ke kebun. “Masyarakat enggan pergi ke kebun sawit karena takut ketemu TNI,” lanjutnya.
Di Aceh Timur, juga sama saja. Adi, bukan nama sebenarnya, warga Julok, Kuta Binjei, Aceh Timur, mengaku mendengar beberapa kali rentetan tembakan di sana. Gara-gara kontak tembak di Bukit Dendeng itu, warga petani getah yang berada di kebun turut dipukul aparat. “Kata warga, di sana ada dua orang GAM meninggal.”
Selain di bukit itu, dia juga mendengar rentetan tembakan tak jauh dari kampungnya. Kejadiannya, sekitar pukul 09.00 WIB. “Saya sedang tidur, mendengar itu langsung terjaga.”
Pihak TNI juga mengakui terjadi kontak tembak antara pasukannya dengan GAM di sejumlah tempat di kawasan Aceh Timur. Menurut Penerangan TNI Angkatan Darat di Banda Aceh, telah terjadi kontak tembak antara pasukan TNI Yonif 330/Kostrad di Desa Tungka Gajah dan Desa Paya Mane, pada Sabtu (15/1). Akibat kontak senjata yang berlangsung pada pukul 10.00 WIB itu, TNI mengklaim menewaskan lima anggota GAM dan menyita satu pucuk AK-47 dan dua pucuk M-16.
Pihak TNI juga mengakui satu anggotanya menjadi korban dalam kontak tembak di Desa Amping Awie, Kecamatan Montasik, Aceh Besar. Serda Agus Purwanto, namanya, tertembak di pantat. Agus tertembak setelah pasukan yang dipimpin Letda Inf Usman yang sedang berpatroli di daerah pengungsian, bertemu dengan anggota GAM. Akibatnya, laga senjata tidak bisa terelakkan.
“Iya, kemarin (Minggu, 16/1) dia dirawat di Rumah Sakit Kesdam. Sekarang sudah dievakuasi,” ujar Kolonel CKM dr Dedy Achdiat, Kepala Kesdam Iskandar Muda, Senin (17/1). Namun, pihak GAM Aceh Besar membantah. “Tidak ada kontak tembak di Montasik. Tidak benar itu,” kata Jubir GAM Aceh Rayeuek kepada acehkita.
Dari sekian banyak cerita, entah lah siapa yang memulai perang di tengah duka lara tsunami. Yang pasti, TNI bertekad menghabisi GAM. Sementara itu, GAM juga tak mau tinggal diam jika terus diburu.
Saat meliput kunjungan Penjabat Bupati Aceh Utara, Teuku Alamsyah Banta di sejumlah sekolah yang rusak disapu tsunami di Lapang dan Matang Tunong, Kecamatan Tanah Pasir, Aceh Utara, Jumat (7/1) sore, acehkita juga sempat mendengar rentetan senjata.
“Sedang ada kontak senjata antara Marinir dengan GAM,” kata seorang prajurit Kostrad yang berpos tidak jauh dari lokasi terdengarnya suara kontak senjata tersebut.
Namun seorang tokoh masyarakat Tanah Pasir menyebutkan, rentetan senjata mesin berat tersebut bukan berasal dari baku tembak antara TNI dan GAM. “Pasukan Marinir sedang mancari senjata yang hilang karena dibawa gelombang tsunami. Agar tidak ada masyarakat yang mendekat, dibunyikan tembakan,” katanya seraya menambahkan ada tiga Marinir yang tewas dalam bencana di hari Minggu itu. [diq/dan]
Catatan: Dimuat di AcehKita. Saya menulis bersama dua wartawan AcehKita lainnya.
0 comments:
Posting Komentar