Jumat, November 26, 2004

Tak Ada Musuh, Kawan pun Jadi

Kamis (25/11). Sekitar pukul 17.30 WIB, saya dikabari tentang seorang anggota Brimob tewas di Peudawa Aceh Timur. Saya menduga diserang kekuatan Gerakan Aceh Merdeka, yang selama ini saling bermusuhan. Makanya, pertama sekali saya tidak terlalu merespons pesan yang hinggap ke telinga saya.

Sekitar pukul 17.18 WIB, saya mencoba memencet 12 digit nomor telepon seluler. Saya menghubungi Drs Ari Mulya Asnawi, jurubicara Koops TNI di Lhokseumawe. Tidak ada yang menyambut, telepon saya. “Mungkin masih shalat magrib,” batin saya, ketika melirik jam di telepon seluler.

Sepuluh menit kemudian, saya mencoba menghubungi kembali Ari Mulya. Kali ini tersambung. “Saya mau confirm masalah bentrokan bersenjata di Peudawa yang menewaskan satu anggota Brimob,” kata saya setelah memperkenalkan diri.

“Kita belum terima laporan. Dari Koops belum ada informasi yang masuk,” jawab Ari Mulya, bersahabat.

Saya kemudian dipersilakan menghubungi Komandan Kodim, Kapolres Aceh Timur dan Komandan Korem 011 Lilawangsa. “Pak Edi langsung nanti yang akan mengeluarkan statement,” kata jurubicara militer dari sipil itu. Edi yang dimaksud adalah Letkol TNI Edi Sulistiyadi, Komandan Satuan Tugas Penerangan Koops TNI di Lhokseumawe.

Gagang telepon saya letakkan, tak berapa lama setelah menyudahi pembicaraan dengan Ari Mulya. Saya lalu memencet 10 digit nomor yang tertera di ponsel saya. Orang yang dituju, Letkol Edi Sulistiyadi.

“Mungkin benar. Tapi, itu mungkin terjadi oleh pasukan yang bukan penugasan. Kan TNI ada yang organik dan ada juga yang penugasan,” kata Letkol Edi.

Pun begitu, dia tidak mau berkomentar banyak, tentang peristiwa ini. “Saya belum terima informasi yang jelas. Tapi itu bukan kewenangan saya. Coba aja, Mas tanyakan langsung ke Kapolres Aceh Timur atau Danrem Lilawangsa. Karena itu wilayah hukum mereka,” ujarnya kepada saya.

Keterangan dari sumber resmi, saya cukupkan. Apalagi, saya tidak mempunyai nomor kontak petinggi polisi dan militer di Aceh Timur. Saya memutuskan untuk tidak mengejar informasi ini ke petinggi militer dan polisi di Banda Aceh. Biarlah saya cukupkan dengan informasi yang saya dapatkan ini. “Nanti, jawaban yang saya terima, sama saja,” gumam saya, sebelum beranjak dari meja telepon.

Saya mencoba menulis berita ini. Beberapa informasi awal sudah saya dapatkan dari seorang kontributor di lapangan. Saya kesulitan menghubunginya. Signal telepon seluler di kawasan kejadian itu, tidak bagus. “Hanya dapat satu signal,” katanya. Makanya, dia memutuskan mengirim keterangan, melalui pesan pendek. Cukup membantu saya!

Mata saya terus memelototi layar computer. Terasa perih. “Detik belum naik,” saya bergumam. Tangan saya terus menari di tuts komputer, meracik laporan. Tak berapa lama, laporan itu kelar. “Selesai!” kata saya, ketika kembali menelepon kawan saya yang masih berada di lapangan. Kawan saya itu bertanya, “Bagaimana dengan media lain. Udah naik?” Saya memastikan kepadanya, bahwa berita dia yang pertama muncul di media cetak dan online. Dia senang, duga saya.

***

Terlepas dari kecepatan media dalam menyajikan berita, saya berpikir sejenak. Kembali saya teringat ungkapan Panglima Kodam Iskandar Muda, Mayjen Endang Suwarya, ketika awal-awal pemberlakuan darurat militer di Nanggroe Aceh Darussalam.

Setelah mengunjungi dan memberi briefing kepada ratusan prajurit TNI yang baru tiba di Banda Aceh, Pangdam mewanti-wanti. “Jangan bikin malu. Jangan ada saya dengar kalian bermusuhan dengan polisi,” katanya, bersemangat.

“Di Aceh, kejadian seperti itu, belum pernah terjadi. Kita kompak memburu GAM. Jangan nanti kalian yang memulai,” pesannya ketika itu.

Prajurit itu merupakan prajurit yang baru lulus. Saya melihat, mereka masih sangat muda. Itu adalah bagian dari penambahan pasukan ke Aceh. Bersama mereka juga terdapat prajurit yang sudah berumur, sekitar 30-an tahun. Belakangan saya tahu, mereka dipersiapkan menjadi Komandan Koramil di seluruh Aceh. Juga, akan ada program, mendatangkan 1000 personel TNI yang akan ditempatkan menjadi babinsa.

Kini, kata-kata wejangan Endang Suwarya, kembali terngiang di kepala saya. Prajurit Yon 111 Peudawa itu, bukan prajurit yang baru dilantik Pangdam. Bukan sama sekali.

Memang, saya pernah mendengar ada ketidakcocokan antara pasukan TNI dengan Brimob yang bertugas di lapangan. “Brimob jadi bulan-bulanan TNI,” seorang kawan saya, berkata.

Saat itu, saya tidak terlalu percaya, dengan omongan tadi. Pasalnya, belum ada bukti yang membenarkan pengakuan yang diberikan kawan saya itu. memang, saya sering mendengar, di daerah lain, seperti kejadian di Binjai Sumatera Utara, di Ambon, di Jakarta, yang terjadi clash antara pasukan TNI dengan Polisi. Tapi, saya tetap tidak percaya, karena di Aceh, belum pernah terjadi.

Peristiwa Kamis siang di penghujung November 2004 ini, mengubah persepsi saya. Lalu, kenapa sesame institusi negara mereka tidak akur? “Kita sesama saudara kandung saja, acap berkelahi,” saya menjawab kebimbangan saya sendiri.

Weleh-weleh! Tentunya pihak yang selama ini diburu TNI dan Polri, akan bersorak-sorai. [r]

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting