Senin, Maret 26, 2007

EDITORIAL
Selesaikan Secara Hukum!

20 MARET 2007, menjadi awal hari kelabu bagi masyarakat Desa Alue Dua, Kecamatan Nisam, Aceh Utara. Kedamaian yang sempat mereka rengkuh selama dua tahun, sedikit terusik. Bagi warga Alue Dua, pasca-20 Maret menjadi hari yang berat. Mereka kembali dihantui rasa curiga jika ada orang asing yang masuk ke perkampungan mereka: terlebih jika berambut cepak. Warga juga tidak leluasa pergi ke ladang, seleluasa di masa damai. Singkat kata, kondisi berbalik 180 derajat.

Kondisi seperti ini terjadi setelah empat personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari Kompi B Batalyon Infanteri 113/Jaya Sakti, Cunda, dianiaya oleh massa, entah siapa mereka. Saat itu, empat TNI yang berpakaian preman menginap di Sekolah Dasar Alue Dua, yang sedang dibangun oleh sebuah LSM, Save the Children. Warga menaruh curiga terhadap empat pria berambut cepak ini menginap di sana. Tak ingin berlama-lama, warga kemudian menginterogasi keempat pria itu.

Kepada warga, empat TNI ini mengaku sedang mengamankan pembangunan SD. Warga tidak percaya begitu saja. Mereka menggeledah tas hitam besar milik empat personel TNI itu. Betapa mengejutkan, di dalam itu ditemukan empat senjata laras panjang yang telah dibongkar. Sontak saja, entah siapa yang memulai, massa menganiayai keempat personel TNI ini. Mereka dituduh sebagai mata-mata atawa intelijen yang disusupkan ke Alue Dua. Alasan warga, kenapa masuk ke perkampungan dengan berpakaian preman dan membawa senjata secara sembunyi-sembunyi.

Tuduhan dan kecurigaan ini bukan tanpa alasan. Sebelumnya, di Kecamatan Sawang, Aceh Utara, dua personel Brimob dari Markas Brimobda 4 Lhokseumawe, dibal-bal massa, bersamaan dengan enam anggota jamaah tablig yang diduga menyebarkan ajaran sesat. Anggota Brimob ini bergabung dalam jamaah tablig. Warga menuding, jamaah membawa ajaran sesat. Apalagi, warga menemukan ada seorang jamaah yang bertato. Pertanyaannya, untuk tugas apa dua anggota Brimob itu bergabung dalam jamaah? Apakah keikutsertaan mereka sudah mendapat izin dari kesatuan? Inilah yang menyebabkan warga kemudian menuduh kedua anggota Brimob itu sebagai intelijen, yang disusupkan ke dalam jamaah tablig.

Kalau benar dugaan warga itu, kita tentu jadi bertanya-tanya: untuk apa masih ada operasi intelijen. Bukankah di Aceh tidak ada lagi pemberontakan? Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memang belum dibubarkan. Tapi yang perlu diingat bahwa, GAM dan kesatuan militernya telah menyatakan menerima Indonesia sebagai negara kesatuan mereka. Bila pun GAM masih berusaha memerdekakan Aceh, berarti mereka melabrak rambu-rambu kesepakatan damai yang telah ditandatangani di Helsinki, Finlandia.

Operasi intelijen di Aceh memang tidak diperlukan lagi. Jauh-jauh hari sebelum dua insiden itu terjadi, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf meminta Jakarta untuk menghentikan semua bentuk operasi intelijen yang sedang dilakukan di Aceh. Dia menjamin, di bawah kepemimpinannya Aceh tidak akan dimerdekakan. Ini adalah sebuah garansi yang diberikan oleh gubernur yang mantan pengatur strategi perang GAM. Pernyataan ini seakan menegasi sumpahnya saat dilantik pada 8 Februari lalu: akan menjalankan roda pemerintahan Aceh berlandaskan Pancasila, Undang Undang Dasar 1945, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Singkat kata, GAM memang telah menerima entitas Indonesia sebagai kebangsaan mereka.

Aceh benar-benar telah kondusif. Roda kehidupan warga yang mendiami provinsi ini telah berputar normal. Warga sudah bisa pergi ke gunung, bepergian di malam hari, tanpa dihantui rasa takut akan terjebak dalam perang yang mematikan. Atau setidaknya terjebak pemeriksaan pasukan pemerintah dan gerilyawan di jalan-jalan. Kondisi kondusif ini telah dinikmati warga hampir dua tahun lamanya. Dan, kita semua masih ingin terus menikmati kedamaian ini.

Karena itu, kasus penganiayaan terhadap empat personel TNI dan –apabila benar-- operasi intelijen yang dilakukan di Aceh tidak bisa diterima. Penganiayaan itu telah mengusik kemanusiaan dan kedamaian kita. Betapa tidak, kejadian brutal itu terjadi saat usai perdamaian masih seumuran jagung dan labil. Kita tentu tidak ingin rasa damai yang telah kita rengkuh dalam dua tahun terakhir ini kembali hilang: yang pada akhirnya kita akan kembali pada kondisi berkecamuknya perang. Insiden Alue Dua merupakan kejadian paling serius yang terjadi setelah tim Aceh Monitoring Mission (AMM) di bawah komando Pieter Feith mengakhiri misinya pada 15 Desember 2006 lalu.

Kita semakin terusik saat membaca berita ada warga yang dipukul oleh TNI saat mereka berusaha mengungkap pelaku pemukulan rekan mereka. Jika benar, ini merupakan tindakan seperti saat perang masih menjadi raja di Aceh. Saat hukum masih tak kuasa melawan dominasi senjata dan mortir. Tentu, kita tidak ingin ada aksi balas dendam. Terlebih, setelah TNI meyakini penganiayaan itu didalangi oleh Komite Peralihan Aceh, wadah mantan kombatan GAM.

Melalui tulisan ini, Redaksi Situs Berita acehkita.com menyerukan semua pihak: TNI, Polisi, GAM, dan KPA untuk menyelesaikan kasus ini melalui proses hukum. Biarkan pihak kepolisian menangani kasus ini secara tuntas. Bantu tugas-tugas mereka untuk mengungkap dalang penganiayaan itu, biar semuanya menjadi jelas.

Kita tidak ingin kasus serius ini mengganggu –dan pada akhirnya-- akan merusak perdamaian yang sedang bersemi di Aceh: yang pada akhirnya masyarakat juga yang menanggung deritanya! Dan, kita berharap keinginan TNI, KPA, dan Polisi untuk menuntaskan kasus ini secara hukum serius adanya, bukan hanya pemanis bibir atau jargon politik semata. [A]

Minggu, Maret 04, 2007

Korban Tsunami Lahirkan Bayi Kembar Tiga

DARMI bin Teungku Cut Haji tidak henti-hentinya mengucapkan rasa syukur, setelah istrinya melahirkan tiga bayi sekaligus. Dia mengaku senang, karena ketiga bayi yang baru saja lahir itu bisa menjadi ganti ketiga anak perempuannya yang meninggal dalam bencana tsunami 26 Desember 2004 silam.

"Saya sangat senang sekali," kata Dami, 44 tahun, saat saya temui di ruang kerjanya di Banda Aceh, Rabu (28/2).

Kendati proses persalinan berlangsung normal, ketiga bayi perempuan itu kini masih berada dalam perawatan medis di Rumah Sakit Permata Hati Banda Aceh. Pasalnya, ketiga bayi itu mengalami kekurangan berat badan. Masing-masing mempunyai berat badan 1,1 kilogram, 1,5 kg, dan 1,6 kilogram saat lahir. Ketiga mereka masih dirawat di dalam inkubator di RS Permata Hati.

Darmi berkisah, saat tsunami yang memporak-porandakan Aceh pada 26 Desember 2004 silam, ketiga anak perempuannya meninggal dunia. Dia masih teringat saat seorang anak yang lepas dari tangannya saat berusaha diselamatkan.

"Anak yang ada di pegangan saya lepas digulung air tsunami. Saya juga sempat tergulung. Saya berusaha meraih kembali, tapi tidak berhasil," kenang Darmi.

Darmi sendiri mengalami luka serius akibat bencana yang menelan tak kurang dari 160.000 jiwa itu.

Setelah sempat hidup sebagai duda, pada 22 September 2005 silam, Darmi menikahi Mariati, 29 tahun, di Desa Lambaro Kaphe, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, hingga kemudian dikaruniai tiga bayi sekaligus.

"Saya senang sekali. Tiga anak perempuan saya yang meninggal, kini diganti dengan tiga anak perempuan lainnya," sebut Darmi, girang.

Ketiga anak yang baru lahir pada Rabu (22/2) lalu itu diberi nama: Nafara Ulfa, Khairun Nisa, dan Asmaul Husna. Nama anaknya yang Nafara Ulfa merupakan gabungan dari dua anaknya yang meninggal dalam musibah tsunami: Nafara Zika (5 tahun), Munira Ulfa (10), dan Rizki Diana Putri (11).

Mariati, istri Darmi, juga mengaku senang dengan kelahiran tiga putrinya sekaligus. "Saya senang. Ini bisa menjadi ganti bagi anak abang (suami)," kata Mariati sambil menyusui salah satu buah hatinya. "Semoga mereka selamat semuanya."

Mariati masih di RS Permata Hati, menemani dan menyusui ketiga buah hatinya yang masih kecil-kecil tersebut. Ini merupakan anak pertama Mariati. ***

NB. Cerita tentang ini telah dipublikasikan di acehkita.com dan The Associated Press (28.02.07)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting