Kamis, Maret 30, 2006

Agar Luka Lama tak Lagi Terkoyak

RUU PA yang tidak aspiratif akan membangkitkan gelombang perlawanan terhadap Indonesia, termasuk gerakan kemerdekaan. Seratus tokoh Aceh bertemu untuk mengantisipasi kegagalan RUU PA.

SERATUSAN tokoh tumpah ruah ke aula Hotel Cakradonya, Banda Aceh, Selasa, 7 Maret 2006. Mereka berasal dari berbagai kalangan di Aceh. Ada akademisi, aktivis mahasiswa, LSM, anggota Gerakan Aceh Merdeka, aktivis perempuan, ulama, dan sejumlah kalangan lain. Mereka bertemu seharian untuk membicarakan strategi pengawalan Rancangan Undang Undang Pemerintahan Aceh (RUU PA) yang kini berada di tangan legislatif di Senayan.

Pertemuan membuahkan sepuluh tuntutan, yang kemudian mereka tuangkan dalam Deklarasi Cakradonya. Tuntutan itu merupakan harga mati, “Yang tidak bisa dikompromi,” kata Rufriadi, SH, direktur Aceh Judicial Monitoring Institute, yang hadir dalam pertemuan itu.

Tuntutan yang mereka hasilkan di antaranya, UU PA harus memberikan kewenangan yang penuh bagi Aceh seperti yang diamanatkan Memorandum of Understanding (MOU) Helsinki; kewenangan penuh dalam mengelola sumberdaya alam; perimbangan keuangan dari seluruh pengelolaan sumberdaya alam (70 persen untuk Aceh dan 30 persen Pusat); pemerintah diminta memasukkan poin yang mengatur tentang kompensasi dan reparasi hak-hak masyarakat korban, terutama anak-anak dan perempuan.

Pendek kata, pertemuan 100 tokoh itu meminta supaya Senayan mensahkan RUU PA yang diajukan oleh DPRD Aceh yang sudah melalui uji publik. Jika UU yang dihasilkan nantinya tidak mengakomodir keinginan masyarakat Aceh, elemen sipil mengkhawatirkan gerakan perlawanan dan kemerdekaan akan kembali bermunculan di persada Aceh. “Gerakan perlawanan menuntut kemerdekaan juga akan muncul kembali di Aceh,” seru seratus tokoh dalam Deklarasi Cakradonya yang dibacakan Rufriadi.

Juru Bicara Komite Peralihan Aceh wilayah Aceh Timur, Tjut Kafrawi, lebih berdiplomatis. Menurutnya, jika UU yang dihasilkan tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat di bumi yang baru saja dihumbalang tsunami itu, maka Indonesia telah melanggar kesepakatan damai (MOU) yang dicapai dengan susah payah di Helsinki, Finlandia. Namun, kata dia, Pemerintah Indonesia masih mempunyai peluang untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Jika tetap saja mentok, GAM akan membawa permasalahan ini ke Aceh Monitoring Mission (AMM) dan Crisis Management Initiative (CMI). Lembaga terakhir yang disebut Kafrawi ini merupakan fasilitator dan mediator dalam perundingan panjang nan melelahkan itu. Sementara AMM merupakan lembaga yang ditunjuk para pihak untuk memantau proses damai di Aceh. Mereka terdiri dari utusan dari negara yang tergabung dalam Uni Eropa dan Asia Tenggara (ASEAN).

Pandangan serupa juga disuarakan Irwansyah, bekas Presiden Mahasiswa Universitas Syiah Kuala. Di hadapan 30 anggota Panitia Khusus RUU PA DPR RI yang mengadakan pertemuan di Meuligoe Gubernur Aceh yang dingin, pria berkacamata minus ini bersuara lantang. “Jangan biarkan kami “memberontok lagi! Jangan biarkan kami melakukan “perlawanan” lagi,” serunya. Puluhan aktivis bertepuk tangan mengamini pernyataan Irwansyah.

Irwansyah tidak bermaksud mengancam. Apa yang dikemukakan Irwansyah ini, merupakan refleksi dari sejarah panjang konflik di provinsi di barat Indonesia itu. Perang dan perdamaian silih berganti bersemi. Namun, perdamaian sering kali kandas dalam usia dini. Lihat saja misalnya, sejarah Teungku Muhammad Daud Beureueh mendeklarasikan perlawanan terhadap Jakarta pada 1953, di bawah bendera Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Gerakan perlawanan ini diredam Jakarta dengan diplomasi ala Kolonel Jassin, penguasa militer di Aceh saat itu, pada tahun 1963.

Kompensasinya, Jakarta menyetujui Aceh sebagai provinsi yang mempunyai keistimewaan di bidang pendidikan, budaya, dan agama. Namun, sejak Abu Beureueh turun gunung, keistimewaan yang diberikan kepada Aceh ternyata hanya pepesan kosong belaka. Aceh sama saja dengan provinsi lain di Nusantara. Malah, kekayaan alam semakin dikeruk dari bumi Aceh yang kaya dengan minyak dan gas, saat Orde Baru berkuasa. Kedua pundi-pundi uang ini tidak bisa dinikmati masyarakat. Aceh semakin miskin dan tertinggal, termasuk di bidang budaya dan pendidikan. Agama pun, tidak banyak keleluasaan yang diberikan Jakarta. Kekerasan dan penindasan juga kerap terjadi.

Tak puas dengan kondisi ini, Hasan Tiro, orang kepercayaan Abu Beureueh, kemudian mendeklarasikan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976. Gerakan ini kemudian melakukan perlawanan senjata dan diplomasi untuk memisahkan Aceh dari kungkungan Jakarta. Bak kebakaran jenggot, Jakarta mengirim bala tentara ke bumi Aceh untuk menumpas gerakan kemerdekaan tersebut. Hingga 30 tahun kemudian, Aceh penuh dengan letupan bedil dan meriam. Sedikitnya 15 ribu anak negeri menjadi korban dari kemarahan Jakarta.

Perundingan Helsinki yang dimulai Januari 2005, setelah Aceh dihumbalang musibah raya yang menewaskan tak kurang dari 200 ribu orang Aceh, akhirnya melahirkan perdamaian pada 15 Agustus 2005. Kedua belah pihak sepakat untuk mengakhiri permusuhan yang sudah berlangsung selama 30 tahun itu.

Luka Lama
Beranjak dari sejaran panjang kekerasan di Aceh, Irwansyah dan seratus tokoh Aceh itu kemudian mewanti-wanti Jakarta akan kemungkinan kembali munculnya gerakan antipati terhadap Jakarta. Apalagi, pasca-MOU Helsinki, kepercayaan masyarakat Aceh terhadap Jakarta sudah mulai pulih.

Undang Undang Pemerintahan Aceh dinilai sebagai sebuah langkah untuk mengakhiri konflik panjang di Tanah Seulanga itu. Makanya, UU ini diharapkan tidak bernasib sama dengan Ikrar Lamteh. “Saya hanya ingin mengingatkan kepada seluruh tim, jangan terulang kembali Ikrar Lamteh, yang diberikan keistimewaan, ternyata hanya bingkainya saja, tapi niscaya isinya kosong. RUU ini jangan seperti Ikrar Lamteh,” kata Tarmizi Rajab, rektor Universitas Serambi Mekkah (USM) Banda Aceh, juga di hadapan anggota Pansus RUU PA. Ketua Tim Ferry Mursyidan Baldan, hanya manggut-manggut. Begitu juga dengan anggota lain. Farhan Hamid yang duduk tak jauh dari Tarmizi Rajab, saksama mendengar omongan sang rektor. Dia mengaku merekam semua aspirasi yang disampaikan peserta pertemuan.

Kalau Tim Pansus gagal menggolkan aspirasi Aceh dalam RUU PA, sebut Tarmizi, maka daerah yang lelah dalam perang ini akan kembali ke masa kehancuran. Masyarakat tidak lagi leluasa dalam beraktivitas, kekacauan dikhawatirkan akan kembali terjadi. “Itu tidak boleh terjadi. Jangan sampai luka lama bernanah kembali,” tukasnya, tegas.

Kekhawatiran luka lama akan kembali menganga, juga dikemukakan dr. Andalas. Doktor yang sudah lama menangani korban di masa konflik memanas ini, mengaku sering menerima “curhatan” dari istri mantan anggota Tentara Neugara Aceh (TNA), sayap militer Gerakan Aceh Merdeka.

Menurutnya, istri kombatan itu galau dengan kondisi Aceh sekarang ini. Kendati damai sudah ditorehkan di atas kertas, mereka masih menyimpan pengalaman pahit Jeda Kemanusiaan (2001) dan Cessation of Hostilities Agreement (CoHA/2002). Dua perjanjian ini belakangan gagal dan perang kembali berkobar di Aceh. Mesin-mesin perang yang didatangkan ke Tanah Jeumpa untuk memburu sang suami mereka, belum juga pupus dari ingatan. “Banyak istri GAM yang berobat kepada saya mengatakan kegalauan mereka,” kata Andalas.

Kegalauan istri mantan kombatan GAM itu disebabkan, RUU PA yang diajukan DPRD Aceh ke Pemerintah, ternyata banyak dipangkas oleh Departemen Dalam Negeri. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mencatat, ada 37 pasal yang dipangkas dan direduksi Jakarta. Yang paling krusial adalah penambahan ayat (3) dalam Pasal 7 versi Depdagri, yang menyatakan, “di samping kewenangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) terdapat urusan pemerintahan lain yang oleh peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai kewenangan Pemerintah”.

Pasal ini dinilai sebagai bentuk ketidakseriusan Pemerintah Indonesia dalam menuntaskan persoalan yang terjadi di Aceh. Perubahan dan distorsi yang dilakukan Depdagri sendiri cenderung menjadikan UU PA tidak aspiratif. “Pengaruh adanya perubahan, penambahan, perbaikan, sangat besar pada arti substansi dari RUU PA,” ujar Iskandar Gani, akademisi Universitas Syiah Kuala yang terlibat dalam penyusunan draf RUU PA versi DPRD Aceh. “Maka, kami harapkan supaya Pansus membahas RUU PA versi DPRD Aceh, bukan versi Depdagri.”

Kalangan mahasiswa sendiri mengancam akan terus melakukan aksi unjukrasa jika UU PA yang disahkan nantinya itu, tidak mengakomodir aspirasi masyarakat Aceh yang telah tertuang dalam draf versi DPRD. Saat Pansus RUU PA mengunjungi Aceh awal Maret silam, gelombang demo terus terjadi. Bahkan, Ketua Pansus Ferry Mursyidan Baldan dipaksa mendatanganani perjanjian dengan mahasiswa. Perjanjian itu meminta supaya Pansus komit dalam menjaga perdamaian Aceh dan mengesahkan RUU PA sesuai dengan harapan rakyat Aceh.

Kini, bola ada di tangan Pansus DPR-RI. Di dalamnya, ada beberapa nama yang sudah tidak asing bagi masyarakat Aceh, semisal Ahmad Farhan Hamid, Imam Syuja’ (PAN), Muhammad Yus (PPP), dan Nasir Djamil (PKS). Mereka adalah anggota DPR asal Aceh. Gelinding bola RUU PA ini juga ada di tangan mereka. Karenanya, wajar saja kalau Ghazali Abbas Adan, bekas anggota DPR RI asal Aceh, meminta anggota DPR asal Aceh yang tergabung dalam Forum Bersama untuk berani menentukan sikap; walk out!

“Mereka harus berani tunjukkan untuk walk out. Mereka harus punya nyali dan keberanian sehingga mereka betul-betul menjadi wakil rakyat yang profesional bukan amatiran, dengan membawa aspirasi rakyat Aceh sebagaimana tertuang dalam MOU Helsinki dan RUU PA versi DPRD,” kata pria asal Pidie yang vokal di Senayan ini, Selasa, 7 Maret lalu.

Lantas, bisakah Forbes menggolkan bola ini ke gawang? Kita tunggu saja babak selanjutnya. | FAKHRURRADZIE

Selasa, Maret 14, 2006

Pieter Feith: Pemerintah Harus Bubarkan Kelompok Ilegal

Reporter: Fakhrurradzie

Aceh Monitoring Mission akan mengakhiri tugasnya pada 15 Juni 2006 ini. Pemerintah Indonesia menegaskan, perpanjangan misi AMM untuk memantau proses pergantian perundang-undangan dan pemilihan kepala pemerintahan (Pilkada) yang juga diharapkan bisa digelar pada Juni ini.

Banyak persoalan yang telah ditangani AMM selama berada di Aceh sejak 15 September 2005 lalu. Mulai tahap pemusnahan senjata, relokasi pasukan TNI dan Polri non-organik, dan masalah reintegrasi bekas kombatan Gerakan Aceh Merdeka. AMM berjanji akan menyelesaikan mandatnya sebelum meninggalkan Aceh.

“Kami akan berusaha menyelesaikan isu atau setiap masalah,” kata Ketua AMM Pieter Feith.

Pieter Feith juga menyatakan, dengan personel yang berjumlah 85 orang yang tersisa di Aceh, mereka akan memantau proses pembahasan Rancangan Undang Undang Pemerintahan Aceh dan akan memantau proses pelaksanaan Pilkada. Setelah RUU PA disahkan menjadi UU, maka Gerakan Aceh Merdeka dan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) diharuskan mengganti nama. Juga, Pemerintah diminta membubarkan kelompok ilegal atau milisi sebelum AMM meninggalkan Aceh.

“AMM meminta Pemerintah Indonesia untuk memberikan konfirmasi tertulis, tidak ada lagi kelompok ilegal yang eksis di Aceh. Pemerintah Indoesia setuju dan akan diberikan sebelum AMM pergi,” lanjutnya.

Kepada Fakhrurradzie dari acehkita.com yang menemuinya di Markas Besar AMM di Banda Aceh, Senin (13/3), Pieter Feith berbicara panjang lebar mengenai mandat AMM yang belum selesai dilaksanakan, hingga Insiden Peudawa, Aceh Timur, yang menurutnya melanggar hak asasi manusia (HAM). Berikut perikannya.

Apa saja yang telah berhasil dikerjakan selama enam bulan AMM berada di Aceh?

Kami melihat suatu perkembangan yang sangat bagus telah dihasilkan dalam perdamaian Aceh. Kami telah menyelesaikan tugas-tugas militer, yaitu proses decommissioning dan relokasi TNI/Polri non-organik. Untuk proses reintegrasi, sedang berlangsung. Kita melihat ada dana yang sudah tersedia. Kita tahu ada satu struktur yang namanya Badan Reintegrasi Aceh (BRA), yang dibentuk oleh Pemerintah dan GAM terlibat di dalamnya. Dalam BRA kita bisa mengharapkan kedua belah pihak akan membuat suatu kontak langsung dan dialog langsung membahas masalah program reintegrasi, seperti kelompok penerima bantuan.

AMM tetap menfasilitasi, tapi kita harap kedua belah pihak tetap menyelesaikan isu-isu berhubungan dengan nota-nota kesepakatan, tanpa harus adanya penengah dari AMM. Keduanya bisa kontak langsung. Pengamatan kita, amat positif belakangan ini.
Bagaimana dengan kasus amnesti yang masih bersengketa?
Kita masih punya tugas itu. Kami berharap kedua belah pihak mampu membangun suatu kontak, dialog secara langsung, untuk bahas kasus amnesti yang bersengketa. Karena ada beberapa tahanan politik yang masih ditahan menurut GAM, dan belum mendapatkan amnesti.

Apakah AMM memantau proses pembahasan RUU PA?
Proses RUU PA terus dipantau selama ini. Dalam MoU disebutkan harus diselesaikan akhir Maret 2006. Tapi, dalam hal ini AMM amat menghargai kerja parlemen nasional yang sedang membahas RUU PA. Kalau lebih banyak waktu untuk mengesahkan ini, itu memungkinkan. Yang jelas, RUU PA harus sesuai dengan UUD 45 dan Nota Kesepakatan (MoU).

Kami berharap Pilkada bisa selesai selama AMM masih ada di sini. Kedengaran ambisius memang, tapi suatu usaha yang keras tetap harus diupayakan untuk merealisasikan hal ini. Kami akan memberikan laporan kepada Uni Eropa dan ASEAN. Saya juga membuat laporan sendiri terhadap apa yang berlangsung. Penilaian itu juga diberikan kepada Pemerintah Indonesia dan GAM secara tertutup.

Bagaimana dengan tugas AMM yang belum selesai?

Menurut saya, tidak ada tugas yang tidak harus diselesaikan. Kami sudah mendiskusikan dengan Gubernur Aceh, semua isu yang masih tertunda harus diselesaikan, seperti kasus amnesti harus diselesaikan sebelum kami pergi. Ini untuk mengurangi terjadinya konflik baru.

Bagaimana mekanisme penyelesaian beberapa kasus yang tertunda setelah AMM meninggalkan Aceh?
Kami akan berusaha menyelesaikan isu atau setiap masalah. Secara pribadi, saya masih bisa membantu untuk menyelesaikan masalah, hanya saja setelah kami pergi, tidak ada mandat yang resmi.

Selama bertugas, apakah AMM menangani kasus yang mengindikasi melanggar MoU?

Masalah di Peudawa misalnya, diselidiki oleh polisi dan pemerintah. Kami telah menerima laporan dan melakukan investigasi. Kasus di Blang Pidie (penyerbuan kantor SIRA) masih ada penyelidikan lebih lanjut. Jika ada kasus, akan kita minta kedua belah pihak untuk mengatasi sama-sama.

Apakah AMM bisa menyelesaikan tugas di Aceh selama tiga bulan lagi?
Ini sangat tergantung kepada kerjasama kedua belah pihak. Tapi, penyelesaian tugas-tugas AMM yang tersisa, kelihatannya bisa diselesaikan. Masalah program reintegrasi adalah program yang kontinu, akan terus dilaksanakan, bahkan setelah AMM pergi.

Bagaimana dengan organisasi SIRA dan GAM selanjutnya?

Saya menjelaskan kepada SIRA harus mengubah nama dan misinya. Saya juga mengadakan diskusi yang sama dengan GAM. Saya bilang kepada Gubernur bahwa, kalau RUU PA sudah disahkan, GAM dan SIRA harus mengganti nama dan profilnya. Juga menghapuskan referensi yang mengkaitkan masa lalu, contohnya dengan kata refendum. Itu bukan kata yang sesuai untuk nama suatu organisasi di Aceh.

Untuk GAM, kata ‘merdeka’ juga harus dihilangkan, karena tidak harmonis dengan MoU. Untuk itu, saya memastikan kepada GAM, ketika RUU-PA disahkan, semua referensi yang menyangkut kata merdeka dan masa lalu harus dihapuskan. Mereka harus meneruskan perjuangan mereka dengan nama yang lain.

Bagaimana dengan pembubaran kelompok ilegal atau milisi yang ada di Blang Pidie, Takengon, atau di sejumlah tempat lainnya?
Pemerintah Indonesia telah bersedia menangani kasus ini. Dalam MoU disebutkan, Pemerintah Indonesia harus memastikan tidak ada kelompok-kelompok ilegal di Aceh. AMM meminta Pemerintah Indonesia untuk memberikan konfirmasi tertulis, tidak ada lagi kelompok ilegal yang eksis di Aceh. Pemerintah Indnoesia setuju dan akan diberikan sebelum AMM pergi.

Apa kesan anda selama ini di Aceh?
Aceh adalah sebuah provinsi yang menarik di Indonesia. Saya terkesan dengan perdamaian di Aceh yang bisa cepat, rekonsiliasi antara TNI, Polisi dan mantan anggota GAM. Saya juga terkesan dengan warga Aceh untuk bangkit setelah tsunami dan konflik yang malanda Aceh. Saya senang dan terhormat berada di Aceh. Warga di sini juga telah menerima sebagai bagian dari NKRI, dengan beberapa otonomi tentunya. Saya yakin dengan kekayaan Aceh, akan memiliki masa depan yang baik. [dzie]

Minggu, Maret 12, 2006

Negeri Ganja

Kembali ladang ganja ditemukan di Bireuen, Aceh, Ahad (12/3). Daerah ini telah menjadi penghasil ganja terbesar di dunia. Dalam sebulan sahaja, sudah seratusan hektare ganja ditemukan. Itu hanya di kawasan Kabupaten Bireuen. Belum di Blang Pidie Aceh Barat Daya, atau di Aceh Utara pedalaman. Belum angka yang ditemukan di Takengon Aceh Tengah atau di Kutacane Aceh Tenggara.

Di Aceh Besar, sebuah subdistrik sangat terkenal karena ganja. Lamteuba nama distrik itu. Kalau orang sudah berbicara Lamteuba, maka asosiasi yang akan berkembang ada dua: daerah hitam dan ganja.

Benar, bahwa Lamteuba terkenal sebagai kawasan hitam yang penuh dengan gejolak. Jarang ada yang pergi ke kawasan ini. Santer terdengar kabar, Lamteuba dikuasai Gerakan Aceh Merdeka, dulunya. Seperti halnya Nisam di Aceh Utara dulu. Warga Nisam dulu juga hidup dalam kungkungan konflik. Pasukan GAM bebas bergerak, laiknya polisi dan tentara Indonesia berpatroli di kota-kota. Tidak ada kekuasaan Indonesia di sana.

Saya pernah mendengar rumor (tidak tahu apa benar atau tidak, karena saya belum pernah ke sana). Ada warga Nisam yang turun ke Lhokseumawe untuk membeli peralatan rumah tangga dan kebutuhan sehari-hari. Eh, saat terjaring sweeping tentara Indonesia, warga Nisam malah ditanyain paspor. Bukan KTP! Saya tidak tau, apakah rumor ini benar adanya atau jenaka belaka.

Kembali ke Lamteuba. Di kawasan ini, berkisar antara tahun 2000 hingga 2002, beberapa personel tentara Indonesia dari Kesatuan Angkatan Udara menjemput maut, karena dihadang pasukan gerilyawan. Pemandangan ini memang lazim terjadi di kawasan lain, saat itu.

Nah, yang membuat harum nama Lamteuba, karena ganja produksi di sana, dikabarkan bagus. Banyak dijumpai tanaman haram itu di sana. Entah siapa penguasa atas ganja itu. Apakah GAM, penduduk setempat, atau malah hasil kongkalikong aparat Indonesia dengan pengusaha setempat, lokal, dan bahkan pengusaha dari luar Aceh. Entahlah. Tapi, bukankah aparat polisi dan tentara juga doyan dan sangat suka dengan daun haram itu?

Di daerah hitam, tak jarang memang serba hitam atau abu-abu. Sulit menebak dan memprediksinya. Namanya saja hitam!

Ganja di Aceh sudah dikenal puluhan tahun silam. Tetua Aceh dulu, kabarnya menjadikan biji ganja sebagai pelezat makanan. Ini benar adanya.

Kalau Anda pernah mencicipi mie Aceh atau kari kambing, jangan-jangan, dua jenis makanan yang Anda cicipi itu, terkandung buliran biji ganja. Lezat bukan? Bila setelah makan dua jenis masakan Aceh itu Anda merasa berkunang-kunang, maka, yakinlah makanan itu terkandung biji ganja. Saya tidak berbohong!

Teungku Bantaqiyah, yang dibantai militer Indonesia pada 23 Juli 1999 di pesantren Babul Mukarramah miliknya di Beutong Ateuh, Nagan Raya (dulu Aceh Barat), juga disebut-sebut sebagai ulama yang menghalalkan ganja. Kata informasi itu, Bantaqiyah menghalalkan ganja untuk membeli senjata untuk keperluan Gerakan Aceh Merdeka yang ingin memisahkan Aceh dari republik ini.

Karenanya, Bantaqiyah kemudian menjadi orang nomor wahid yang menjadi incaran pasukan Indonesia. Hingga, pada hari Jumat 23 Juli 1999 itu, Bantaqiyah harus mati di tangan pasukan pembunuh itu.

Itu sekelumit kisah ganja dan efek besarnya. Selain tentu, merusak kesehatan si penghisap. Tidak diceritakan lagi, kalau ganja memang bisa mematikan, lebih bahaya dari Extacy, kalau overdosis ganja.

Banda Aceh, March 12, 2006

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting