Senin, Oktober 17, 2016

Belajar Toleransi pada Konstitusi Madinah

AMARAH massa membakar Gereja Huria Kristen Indonesia (HKI) di Desa Suka Makmur, Kecamatan Gunung Meriah, Aceh Singkil, 13 Oktober lalu. Selesai membakar gereja yang tidak mengantongi izin itu, ratusan massa bergerak menuju Desa Dangguran di Kecamatan Simpang Kanan, yang tak jauh dari sana.

Sasarannya, Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi. Kabar pembakaran gereja di Suka Makmur beredar cepat ke seluruh Singkil. Jemaat Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi bersiap diri. Dibantu polisi, massa menjaga gereja dari amukan massa.

Jemaat GKPPD sudah mempersiapkan diri menghadapi massa yang akan mengusik ketenangan gereja itu. Benar saja, massa dihadang dengan pelbagai senjata tajam dan senjata api. Begitu mendekati gereja, massa segera dihujani tembakan dan lemparan batu. Seorang penyerang meregang nyawa setelah tertembak peluru senjata pemburu babi. Sedangkan empat lainnya mengalami luka-luka.

Pembakaran gereja dan bentrokan antarpemeluk agama mengusik rasa toleransi yang telah puluhan tahun terbina di Aceh Singkil. Memang, riak-riak gesekan antara pemeluk agama Islam dan Kristen di sana sudah terjadi sejak 1979 lalu. Hanya saja, selalu bisa diredam dengan kesepakatan para tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat.

Gesekan itu terjadi akibat banyaknya bertumbuhan gereja-gereja baru di kawasan yang berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara itu. Nah, warga Aceh Singkil yang beragama Islam meminta agar pemeluk Kristen tak sembarangan membangun rumah ibadah tanpa seizin otoritas Singkil.

Kasus Singkil belakangan menjadi perhatian nasional dan dunia internasional. Media asing ramai-ramai memberitakan peristiwa langka di Aceh itu.

Presiden Joko Widodo memerintahkan agar kasus Singkil diselesaikan secara tuntas. "Hentikan kekerasan di Aceh Singkil. Kekerasan berlatar apa pun, apalagi agama dan keyakinan, merusak kebhinnekaan," tulis Presiden dalam akun Twitter, sehari setelah pembakaran gereja.

Banyak yang menilai kasus Singkil menjadi alarm merah bagi toleransi umat beragama di Aceh. Anggapan itu meluas di kalangan masyarakat luar, sehingga beranggapan bahwa Aceh yang menerapkan syariat Islam merupakan provinsi intoleran di Indonesia.

Anggapan itu keliru. Singkil terjadi akibat sikap pemerintah yang tidak tegas terhadap penegakan aturan, terutama soal pendirian rumah ibadah. Andai pemerintah lokal proaktif, kekerasan berlatar agama itu tak bakal terjadi.

Kepala Dinas Syariat Islam Prof Syahrizal Abbas menilai kasus Singkil bukan bagian dari konflik agama. "Tapi terjadi karena inkonsistensii dalam penegakan aturan perundang-undangan," katanya seperti dilansir acehkita.com.

Hubungan antarmasyarakat berbeda agama di Aceh Singkil selama ini berjalan baik. "Kami di sini hidup berdampingan dengan orang kita Islam," kata Rianto Marbun, pemeluk Kristen berusia 35 tahun. Rumahnya terletak persis di seberang bangunan Gereja HKI yang dibakar massa di Desa Suka Makmur.

Menurut Rianto, kehidupan antarumat bergaama di Desa Suka Makmur tidak mengalami masalah apa-apa. Sejak dulu, Islam dan Kristen hidup berdampingan, tidak pernah terjadi sindir menyindir apalagi saling baku hantam. Dengan jumlah penduduk 60 persen menganut agama Nasrani, mereka hidup akur. Mereka menganut betul firman Ilahi dalam Quran: Bagimu agamamu, bagiku agamaku.

Aceh menjadi satu-satunya daerah yang memberlakukan syariat Islam di Indonesia, sejak 2000 lalu. Meski menerapkan hukum Islam, non-muslim bisa hidup dan menjalankan ajaran agamanya. Syahrizal menyebutkan, pemberlakuan syariat Islam di Aceh tetap memberikan ruang bagi non-muslim.

Hal ini seperti yang dilakukan pada masa Rasulullah dalam mendirikan Kota Madinah. Pada masa itu, sebut Syahrizal, Nabi Muhammad memberikan kebebasan bagi non-muslim untuk menjalankan ajaran agamanya.

“Mereka tidak diganggu. Silakan Anda berbeda agama dengan kami. Itu bentuk toleransi yang luar biasa,” tandas guru besar hukum Islam pada Universitas Islam Negeri Ar-Raniry itu.

Lantas, seperti apa Piagam Madinah atau yang juga dikenal dengan Konstitusi Madinah itu?

Piagam Madinah terdiri atas 47 pasal, yang di sana mengatur segala seluk-beluk kehidupan bermasyarakat dan bernegara --termasuk menjamin kebebasan dalam menjalankan agama masing-masing.

Lihat saja bagaimana Rasulullah membina kerukunan umat beragama yang hidup di Kota Madinah, seperti termaktub dalam Pasal 16. "Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (mukminin) tidak terzalimi dan ditentang olehnya."

Toleransi tinggi juga termuat dalam Pasal 25 yang berbunyi "Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarga".

Baik Islam maupun non-Islam, Rasulullah membebankan kepada mereka pajak dan bahu-membahu dalam menghadapi musuh yang menyerang Madinah. Piagam juga mengatur soal umat Islam dan non-muslim untuk sama-sama terjun ke medan perang jika menghadapi musuh yang akan mengusik Kota Madinah.

Nabi juga melindungi umat Yahudi dan Nasrani yang mendukung Piagam Madinah.

Itulah nilai-nilai toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan agama yang diajarkan Nabi Muhammad dalam membangun Kota Madinah. []


FAKHRURRADZIE, tulisan ini dimuat di Majalah Santunan, Kanwil Depag Aceh.

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting