Sabtu, April 30, 2005

Polisi Bubarkan Aksi Peace for Aceh

Reporter: Radzie - Jakarta

Jakarta, Acehkita. Aksi Lilin Damai untuk Aceh di Bundaran Hotel Indonesia (HI) dibubarkan aparat kepolisian dari Polsek Metro Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (30/4) sekitar pukul 20.30 WIB. Selain mematikan lilin dan mengambil paksa spanduk serta poster, polisi sempat menggiring Koordinator Aksi, Farid Gaban, dan beberapa peserta aksi.

Pembubaran aksi yang sudah berlangsung selama 10 kali saban Sabtu malam, itu terjadi beberapa saat setelah rombongan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, disusul rombongan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan beberapa menteri kabinet, melintasi lokasi aksi.

Menurut Asep Saefullah, salah seorang peserta aksi, penyalaan lilin perdamaian dimulai sekitar pukul 19.00 WIB. Sejak dimulainya aksi, peserta yang hanya enam orang itu, langsung membentangkan spanduk putih berukuran 2x5 meter, menyalakan lilin dan membentangkan beberapa helai spanduk. Beberapa polisi lalulintas terlihat di sekitar lokasi aksi. Bahkan, salah seorang peserta sempat berbincang-bincang akrab dengan polisi yang sedang mengamankan lalulintas.

“Mas Surya (peserta aksi lainnya –red.) sempat ngobrol dengan salah seorang polisi lalulintas yang sedang bertugas di sana. Bahkan polisi itu sempat bertugas di Aceh,” kata Asep Saefullah.

Sekitar pukul 20.00 WIB, mobil Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto melintasi Bundaran Hotel Indonesia, yang kemudian disusul rombongan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Saat rombongan petinggi negara ini melintas, peserta aksi mengacungkan poster-poster yang mereka usung. Poster-poster itu di antaranya berbunyi, SBY, Hentikan Perang di Aceh, GAM-TNI Stop Perang di Aceh.

Sampai di sini tidak terjadi apa-apa. Namun beberapa saat kemudian, satu per satu personel polisi baik yang berpakaian dinas dan preman, tiba di lokasi. Polisi dari Polsek Metro Menteng menanyakan izin aksi kepada koordinator aksi.

“Kami telah melakukan penyalaan Lilin Damai utnuk Aceh ini selama sepuluh kali, pada setiap Sabtu malam. Dan ini surat pemberitahuan kepada Polres Metro Jakarta Pusat,” jawab Farid Gaban, Koordinator Aksi.

Tidak berapa lama datang lagi beberapa polisi ke lokasi aksi yang berada di sisi utara Bundaran Hotel Indonesia. Negosiasi pun berjalan alot. Saat Farid Gaban melakukan negosiasi, beberapa polisi mematikan puluhan lilin dan menarik paksa spanduk besar yang bertuliskan “Peace for Aceh”.

Setelah kata sepakat tak dicapai, peserta aksi dimasukkan ke mobil patroli dan digiring ke markas Polsek Metro Menteng, yang tak jauh dari lokasi aksi.

Polisi Larang Farid Gaban Demo Malam Hari
Setelah sempat dimintai keterangannya di Mapolsek Metro Menteng, Koordinator Aksi Lilin Damai untuk Aceh Farid Gaban, dilepas sekitar pukul 21.30 WIB. Namun, mantan wartawan Tempo ini dilarang melakukan aksi di malam hari.

“Mereka minta kita tidak demo di malam hari. Kita akan revisi waktu demo,” kata Farid Gaban ketika dijumpai di Polsek Metro Menteng, sesaat setelah dilepaskan. “Mereka bilang batas waktu aksi hanya sampai pukul 18.00 WIB.”

Farid Gaban dan tiga peserta aksi lainnya, sempat diinterogasi selama 30 menit. Dalam pemeriksaan itu, salah seorang polisi menanyakan izin aksi yang dilakukan saban Sabtu malam itu. Namun, Farid mengaku pihaknya sudah pernah memasukkan pemberitahuan ke Polres Metro Jakarta Pusat.

“Kami sudah pernah memberitahukan ke Polres,” kata Farid, sembari menunjuk rekannya yang bertugas memasukkan surat pemberitahuan.

Salah seorang polisi lainnya, membenarkan Farid Gaban Cs sudah pernah memberitahukan perihal aksi kepadanya. “Namun saat itu saya sarankan, tidak pada malam hari. Tapi tidak diindahkan,” kata polisi tadi.

Di sela-sela pemeriksaan Farid sempat menanyakan, apakah pembubaran aksi dan penanggkapan dirinya ada kaitannya dengan rombongan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang melintasi kawasan itu. “Tidak ada hubungannya,” jawab polisi itu.

Menurut polisi tadi, boleh-boleh saja unjukrasa digelar di Bundaran Hotel Indonesia. Namun, tidak dilakukan pada malam hari. “Kalau perlu, kami akan kawal,” kata polisi tersebut.

Aksi menyalalakan Lilin Damai untuk Aceh sudah berlangsung selama sepuluh pekan. Selain menyalakan puluhan lilin, peserta aksi juga membagi-bagikan selebaran dan membentangkan poster yang meminta penghentian perang dan mewujudkan perdamaian di Aceh. Serangkaian dengan aksi ini, Farid Gaban cs juga sukses menggalang ratusan orang untuk membubuhkan tandatangannya di Petisi Damai untuk Aceh, beberapa waktu lalu. [dzie]

Baca juga:
DITANGKAP

Kamis, April 28, 2005

Intelektual: Pasukan Penjaga Perdamaian Untungkan Semua Pihak

Reporter: AK-1, AK-34 - Jakarta

Jakarta, Acehkita. Rencana pengiriman pasukan penjaga perdamaian Uni Eropa ke Aceh, sebagaimana sedang dijajaki Ketua CMI Martti Ahtisaari, dipandang akan menguntungkan semua pihak. “Menguntungkan semua pihak. Secara khusus GAM untung, RI juga untung,” kata aktivis Gerakan Intelektual Seluruh Aceh (GISA) DR Farid Wajdi kepada acehkita, Kamis (28/4) siang. “Kami tidak melihat si A lebih diuntungkan dari proses ini.”

Sebenarnya, kata Farid, pihak intelektual kalangan sipil Aceh sudah sejak lama meminta kepada pemerintah untuk mendatangkan pasukan asing untuk memantau jalannya perdamaian di Tanah Seulanga ini. Namun, sampai sekarang permintaan itu belum dipenuhi. Karenanya, sebut Farid, mereka menyambut positif rencana CMI yang menjajaki kemungkinan pengiriman pasukan penjaga perdamaian itu.

“Kami dari kalangan sipil, mulai saat CoHA (Cessation on Hostilities Agreement/Kesepahaman Bersama untuk Menghentikan Permusuhan –red.) kami sudah mendukung adanya keterlibatan asing,” lanjutnya sembari berharap keberadaan pasukan itu tidak lagi mengulang pengalaman di masa CoHA, yang berakhir dengan kegagalan.

Menurut Farid Wajdi, yang juga Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, keberadaan pasukan asing harus mempunyai kewenangan yang bisa menekan kedua belah pihak yang melanggar perjanjian perundingan. “Kekuatan asing yang mempunyai ketetapan hukum, akan bisa memberikan tekanan-tekanan atau pressure,” lanjut Farid.

Keberadaan pasukan asing di Aceh, sebut Farid, memberikan konstribusi positif bagi proses perdamaian di Bumi Iskandar Muda itu, kendati di mata pemerintah ini merupakan masalah baru. “Mungkin beranggapan begini, lama di suatu daerah, akan ada resko bagi daerah itu,” katanya.

Pun demikian, kata Farid, keberadaan personel pasukan asing itu tidak bisa dibatasi waktunya. Apalagi, konflik Aceh sudah terjadi dalam kurun waktu lama. “Tidak mungkin bisa menargetkan berapa lama keberadaan mereka untuk menjaga proses perdamaian,” lanjutnya, sembari menamsilkan, mendamaikan Aceh tidak seperti mendamaikan dua orang yang berkelahi secara tiba-tiba. “Butuh waktu lama, mungkin setengah tahun dan tidak melibatkan satu dua orang saja,” terangnya.

Sosiolog Aceh DR Ahmad Humam Hamid mengaku tidak mau berandai-andai dengan rencana CMI ini. “Itu kan masih negosiasi, kita lihat aja nanti. Kita jangan berandai-andai dong, biarlah kita menunggu keputusan kedua belah pihak. Ini masih negosiasi, masih dirundingkan. Saya kira kita jangan mendahului dan berspekulasi,” kata Humam Hamid, Direktur Aceh Recovery Forum, kepada acehkita, Kamis (28/4) siang.

Surat kabar Jerman Süddeutsche Zeitung seperti dikutip Kantor Berita Reuters melaporkan, 25 dutabesar negara Uni Eropa sudah menerima permintaan mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari, untuk menerjunkan sekitar 200 anggota pasukan penjaga perdamaian (peace keeping force) ke Aceh pada musim gugur mendatang.

Jakarta bereaksi cepat menentang keterlibatan pasukan asing dalam proses perdamaian Aceh. Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil, salah satu delegasi perunding Indonesia di Helsinki, mengatakan pelibatan tentara penjaga perdamaian tidak termasuk salah satu opsi. [dzie]

Selasa, April 26, 2005

UNHCR Bantah Terlibat dalam Pembangunan Barak Pengungsi

Reporter: AK-1 - Jakarta, 2005-04-25 22:00:03

Jakarta, Acehkita. Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) membantah keterlibatannya dalam pembangunan dan pendanaan sejumlah barak hunian sementara bagi pengungsi korban tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam. Bantahan ini disampaikan Robert Ashe, Regional Representative UNHCR, berkaitan dengan pemberitaan situs ini tentang keterlibatan lembaga ini dalam pembangunan sejumlah barak di Aceh Utara.

Sebelumnya, situs ini memberitakan para pekerja pembangunan 20 unit barak Reuleut Timu, mencemaskan tindakan pihak donatur yang belum membayar pembiayaan pengerjaan barak. Hal itu dikemukakan Rusli H Juned, salah seorang pelaksana pembangunan barak.

Menurut dia, pengerjaan proyek 20 unit barak berikut seluruh fasilitas pendukung di lokasi desa tersebut, sebagian besar dikerjakan oleh warga setempat. Hanya dua barak di antaranya yang dikerjakan subkontraktor dari luar desa. Mereka mengambil pekerjaan dengan cara kontrak melalui surat perintah kerja (SPK) yang diberikan PT Delta Epsindo Pratama. Di dalam surat tertanggal 16 Januari 2005 itu turut disebut-sebut keterlibatan lembaga pengungsi PBB, UNHCR, sebagai penyandang dana pembangunan barak.

Menurut Robert, pihaknya sama sekali tidak pernah membuat kesepakatan kerjasama dengan PT Delta Epsindo Pratama, sebagaimana dilansir acehkita. Bahkan, Robert mengaku sudah menanyakan langsung kepada Sandedy Ibrahim, direktur PT Delta Epsindo Pratama, bahwa ia tidak pernah menyebut-nyebut UNHCR sebagai penyandang dana pembangunan barak di Reuleut Timu, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara.

Dalam pembicaraan itu, sebut Robert Ashe, Ibrahim mengatakan bahwa kontraktor pembangunan barak di lokasi tersebut adalah pemerintah. “Bapak Ibrahim berpendapat bahwa mungkin tejadi kekeliruan akibat pernyataan seorang pejabat pemerintah yang mengatakan bahwa barak-barak tersebut seharusnya mengikuti standar pembangunan seperti yang telah disepakati antara Departemen Pekerjaan Umum dengan para ahli pembangunan tempat penampungan dari UNHCR,” kata Robert Ashe dalam rilis klarifikasi yang dikirimkan kepada redaksi situs ini, Senin (25/4). [dzie]

Minggu, April 17, 2005

GAM-RI Hasilkan Sejumlah Kesepakatan

Reporter: AK-1 - Jakarta

Jakarta, Acehkita. Perundingan antara utusan Pemerintah RI dan GAM di Helsinki babak III, berakhir Sabtu (16/4), dengan menghasilkan sejumlah kesepakatan.

Fasilitator dan mediator dari Consultative Management Initiative (CMI) Presiden Martti Ahtisaari dalam konferensi pers usai perundingan mengundang kedua belah pihak untuk kembali bertemu di Helsinki pada 26-31 Mei mendatang. “Kedua belah pihak memutuskan untuk kembali berdialog,” kata Ahtisaari kepada sejumlah wartawan dalam konferensi pers di Depertemen Komunikasi dan Budaya Kementrian Luar Negeri, Sabtu (16/4) pukul 15.00 waktu Finlandia.

Menurut mantan presiden Finlandia, perundingan yang dilaksanakan dalam suasana yang positif dan membangun ini, mampu menghasilkan beberapa kesepahaman sebagai kerangka dalam melanjutkan perundingan lanjutan.

Beberapa kesepahaman yang dimaksud adalah, kedua belah pihak sepakat untuk mencari penyelesaian secara permanen dan menyeluruh. “Dengan kejujuran semua pihak,” kata Ahtisaari.

Para pihak yang bertikai juga akan menetapkan kerangka kerja untuk struktur administrasi lokal untuk Aceh, selain berjanji akan mengeksplorasi format untuk partisipasi politik dalam pemilihan lokal.

Martti Ahtisaari juga mengatakan, kedua pihak sepakat mencari konsep mendetail tentang pemberian amnesti kepada anggota GAM. Namun, tidak disebutkan bagaimana dengan nasib perunding GAM dan tahanan serta narapidana politik (tapol/napol) yang kini ditahan di sejumlah Lembaga Pemasyarakatan di Pulau Jawa.

Di sisi lain, GAM dan RI menyambut baik kemungkinan organisasi regional untuk memantau komitmen yang telah dicapai kedua belah pihak dalam perundingan Helsinki III ini.

Pada poin selanjutnya, para pihak sepakat untuk meningkatkan keterbukaan dalam pengumpulan dan alokasi anggaran antara Pemerintah Pusat dan Aceh. Di poin terakhir, kata Ahtisaari, para pihak sepakat untuk mengontrol kekuatan bersenjata mereka di lapangan selama proses perundingan ini berlangsung. Dalam perundingan ini, para pihak membicarakan mengenai gencatan senjata di Nanggroe Aceh Darussalam. [dzie]

Rabu, April 13, 2005

Perundingan GAM dan RI Bahas Sejumlah Masalah
GAM Persoalkan Operasi TNI

Reporter: AK-1 - Jakarta

Jakata, Acehkita. Perundingan antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kembali bertemu dalam perundingan di Königstedt Mansion, Vantaa, Helsinki, Selasa (12/4) pagi waktu Helsinki. Perundingan damai ini berlangsung hingga 17 Arpil mendatang.

Perudingan yang memakan waktu enam hari ini, sebut Crisis Management Initiative dalam situsnya, membicarakan masalah Undang-Undang Otonomi Khusus, tuntutan self government GAM, pengaturan keamanan, partisipasi politik, amnesti dan pemantauan terhadap komitmen hasil perundingan.

Delegasi GAM diwakili oleh Perdana Menteri Malik Mahmud, Menteri Luar Negeri Zaini Abdullah, Jurubicara Bachtiar Abdullah, Nur Djuli dan Nurdin Abdurrahman. Sementara delegasi Pemerintah Indonesia terdiri dari Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil, Farid Husaini (Wakil Menteri Kesejahteraan Sosial), I Gusti Agung Wesaka Pudja (Direktur HAM dan Keamanan Deplu), dan Usman Basyah (Departemen Keamanan Nasional).

Persoalkan operasi militer
Sementara itu, Perdana Menteri GAM di pengasingan Malik Mahmud berharap masalah miskomunikasi yang terjadi sebelum dimulainya perundingan babak ketiga ini, tidak terulang lagi.

“Kami sangat memperhatikan adanya miskomunikasi antara CMI dan delegasi kami, antara rekan Indonesia dan kami, dan juga yang sangat penting adalah antara kami dan rakyat kami di Aceh,” kata Malik Mahmud, Selasa (12/4).

Sebelum dimulainya proses perundingan babak III ini, Malik Mahmud menyorot operasi militer yang masih terjadi di Aceh. “Meningkatnya eskalasi gerakan militer mengurangi itikad baik Indonesia terhadap kedaamian dan solusi demokrasi pada konflik yang terjadi,” kata Malik.

Pagi Selasa, sebut Malik, pihaknya menerima laporan dari Blang Pidie, Aceh Barat Daya, salah seorang komandan distrik GAM di sana, Miswar, ditemukan telah menjadi mayat. Sejak tiga bulan lalu, Miswar ditahan Polres Aceh Selatan. “Kemarin (Senin) mayatnya ditemukan. Beberapa bagian tubuhnya dianiaya sebelum dibunuh,” ujar Malik.

Lebih lanjut Malik mengatakan, pihaknya sedang fokus untuk mengatasi konflik. “Gerakan militer di Aceh, menggambarkan bahw masyarakat Aceh tidak menemukan ketulusan hati dari sebagian pemerintah Indonesia dalam seruan perdamaian,” katanya.

Sejumlah warga yang dimintai komentar oleh acehkita, mengharapkan Pemerintah Indonesia dan GAM ikhlas dalam menempuh perundingan ini. “Setidaknya harus ada titik temu untuk menyelesaikan Aceh secara bermartabat. Kedua pihak harus berani mundur selangkah, apalagi kita sedang menghadapi musibah yang paling parah abad ini,” kata Tgk H. Faisal Ali, rais am Rabithah Thaliban Aceh. [dzie]

Senin, April 11, 2005

Abdullah Puteh Diganjar 10 Tahun Penjara

Penulis: Radzie & Agus R

Bahan: Agus Rakasiwi dan Tuahta Arif

Jakarta, Acehkita. Gubernur Aceh non-aktif Abdullah Puteh, yang menjadi terdakwa kasus pembelian helikopter Mi-2 Rostov buatan Rusia, dijatuhi hukuman 10 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dalam persidangan Senin (11/4). Putusan yang diambil kendati Puteh tidak hadir dalam persidangan ini dua tahun lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Selain hukuman 10 tahun penjara, Puteh juga diharuskan membayar denda Rp 500 juta dan hukuman subsider enam bulan penjara.

Menurut majelis hakim yang terdiri dari Kresna Menon (Ketua), Dudu Duswara, Ahmad Linoh, I Made Hendra Kusuma dan Gus Rizal (hakim anggota), Abdullah Puteh secara sah dan meyakinkan telah bersalah sehingga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 13,875 miliar. Puteh juga bersalah karena telah melakukan penunjukan langsung perusahaan pengadaan heli tanpa tender. Atas tindakan ini, Puteh telah melanggar Keputusan Presiden No 18 tahun 2000.

Dalam Keppres itu, Penunjukan Langsung bisa dilakukan jika untuk pengdaaan barang dengan harga di atas Rp 50 miliar. Itu pun, yang melakukan pengadaan barang adalah kepala kantor atau pihak setara yang ditunjuk, bukan gubernur atau kepala daerah.

Selain bersalah karena melakukan PL, mantan ketua KNPI itu juga diputuskan bersalah karena memindahkan dana dari APBD ke rekening pribadi senilai Rp 7,75 miliar. Atas tindakan ini, Puteh telah melanggar Peraturan Pemerintah No 105 tahun 2000 mengenai pengelolaan keuangan daerah. Majelis hakim menilai, tindakan ini adalah untuk memperkaya diri.

Dalam persidangan yang tidak dihadiri terdakwa itu, majelis hakim juga memutuskan, alasan pengadaan heli dalam kondisi darurat dan mendesak, tidak terpenuhi. Pasalnya, kata majelis hakim, pengadaan heli berlangsung lama dari tanggal 25 Agustus 2001 hingga 23 Februari 2004. Alasan lainnya, mendesak tidaknya sesuatu hal dalam penyelenggaraan pemerintahan, harus ditentukan oleh pemerintah pusat, bukan oleh pemerintah daerah. Di sisi lain, tidak terpenuhinya unsur mendesak dalam kasus ini, karena DPRD Aceh sendiri menunda-nunda pemberina izin prinsip pengadaan heli ini.

Di persidangan ini juga terungkap, bahwa Abdullah Puteh telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 13,875 miliar. Pasalnya, dari bukti-bukti yang dihadirkan ke pengadilan, dana yang diterima perusahaan Putra Pobiagan Mandiri (PPM) sebesar Rp 10,875 miliar. Namun, berdasarkan bukti transfer bank dari PPM ke perusahaan penyedia heli di Rusia, terungkap PPM hanya mentransfer Rp 6,4 miliar. Akibatnya, masih tersisa dana sebesar Rp 3,6875 miliar pada PT PPM.

Walkout
Para pengacar Abdullah Puteh yang terdiri dari Mohammad Assegaf, Juan Felix Tampubolon, dan OC Kaligis sedari awal menolak segala keputusan majelis hakim. Saat sidang dimulai, para pengacara mengatakan, persidangan dengan agenda pembacaan vonis tidak bisa dilanjutkan karena terdakwa Abdullah Puteh tidak bisa menghadiri persidangan karena alasan sakit. Karena itu, para pengacara mengatakan tidak akan menerima apa pun keputusan yang diambil majelis hakim.

Juan Felix Tampubolon kepada majelis hakim mengatakan, hasil persidangan ini tidak bisa diterima karena hakim tidak bisa menanyakan hak-hak terdakwa, apakah menerima, menolak atau mengajukan banding, keputusan yang diambil majelis hakim. Atas dasar ini pula, para pengacara melakukan aksi walkout atau tidak menghadiri persidangan.

Ketidakhadiran Abdullah Puteh ke persidangan, disebut-sebut karena masih dalam perawatan dokter di Rumah Sakit MH Thamrin di Salemba. Ketika reporter acehkita datang ke RS MH Thamrin, Senin siang, pihak security melarang reporter situs ini untuk menemui Abdullah Puteh. Alasannya, pihak kepolisian melarang siapa pun yang hendak menemui Abdullah Puteh menjelang putusan pengadilan.

Dissenting opinion
Dalam memutuskan persidangan ini, ada dua anggota majelis hakim yang berbeda pendapat mengenai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menyidik perkara ini.

Hakim Gus Rizal dan Kresna Menon menyatakan, KPK tidak berwenang memangani perkara pembelian heli oleh Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Pasalnya, kasus pembelian heli ini sudah berlangsung sebelum KPK terbentuk.

Sementara tiga anggota majelis hakim mengatakan, KPK berwenang mengusut kasus ini, karena penyidikan oleh KPK sudah dimulai sejak 28 Juni 2004.

Dalam persidangan uji materil UU KPK di MK pada Selasa (15/2) silam, sembilan hakim konstitusi yang diketuai Prof. Jimly Asshiddiqie, sepakat bahwa pasal 68 UU KPK tidak memiliki asas retroaktif (berlaku surut).

Tolak vonis hakim
Gubernur Aceh non-aktif Abdullah Puteh melalui kuasa hukumnya menolak putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menjatuhkan vonis 10 tahun penjara, berikut denda 500 juta dan subsider enam bulan kurungan.

Mohammad Assegaf, salah seorang anggota tim kuasa hukum Abdullah Puteh, mengataan putusan majelis tidak memperhatikan penjelasan Puteh yang telah mempertanggungjawabkan pembelian heli kepada DPRD Aceh.

Pertanggungjawaban itu, menurut Assegaf, menandakan tidak adanya pelanggaran dalam pengelolaan keuangan daerah. “Kami menolak dan melanjutkan banding,” kata Assegaf ketika dihubungi acehkita via telepon selulernya, Senin (11/4).

Pada hari-hari persidangan, Puteh berulang kali membantah telah mempergunakan uang APBD tanpa sepengetahuan DPRD. Menurutnya, pemerintah daerah telah mengajukan dua kali izin prinsip pembelian heli pada 20 Oktober. Namyun karena kesibukan anggota dewan maka diajukan kembali pada 26 Desember 2001.

Namun begitu, paparan pertimbangan majelis hakim pada kasus pengadaan heli MI-2 PLC Rostov Rusia tidak semata-mata pertanggungjawaban kepada DPRD. Majelis menilai Puteh telah salah menggunakan fungsi jabatannya sebagai kepala daerah, terutama pada masalah pengelolaan keuangan daerah yang efektif dan efisien.

Hakim menilai pula, pengadaan heli itu bukan sesuatu yang mendesak sebagaimana yang didengungkan Puteh dan kuasa hukumnya. Majelis mengungkapkan, keterdesakan yang dimaksud Puteh tidak sesuai dengan kenyataan di mana pengadaan heli berlangsung lama dari tahun 2001 hingga 2004. Ditambah lagi heli yang dibeli saat ini tidak bisa dipakai dan tidak bermanfaat apapun.

Abdullah Puteh memiliki waktu mengajukan banding ini selama 14 hari setelah majelis hakim menjatuhkan vonis. Selama kurun waktu itu pihak pemohon sudah harus menyerahkan memori bandingnya ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Sambut baik
Sementara itu, Solidaritas Masyarakat Antikorupsi (Samak) menyambut baik keputusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang memvonis Puteh 10 tahun penjara. Samak juga menyampaikan rasa terimakasih kepada majelis hakim yang telah berani mengambil keputusan ini. “Memang tidak sebanding dengan kerugian negara sebesar Rp 13,875 miliar akibat perbuatan Puteh. Namun, keberanian hakim yang memberikan vonis melebihi tuntutan jaksa, sebuah keputusan berani yang perlu kita puji,” tulis J Kamal Farza, Koordinator Samak dalam rilis yang diterima acehkita.

Samak menilai, dengan putusan ini memberikan secercah harapan bagi aktivis antikorupsi dan masyarakat Aceh yang dirundung kasus korupsi. “Ada secercah harapan bagi masyarakat Aceh yang kehidupannya teraniaya oleh kejahatan korupsi. Hari-hari ke depan akan semakin cerah, dengan adanya hakim yang memiliki komitmen tinggi, yang bisa merasakan tingkat penderitaan dan keprihatinan rakyat,” lanjut Kamal.

Selanjutnya, Samak menghimbau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar tidak berhenti menyidik kasus korupsi di Aceh. “Salah satu kasus yang harus ditindaklanjuti adalah kejahatan korupsi ketika Aceh dalam status darurat militer dan sipil,” terang Kamal. [dzie]

Jerit Keluarga Terpidana [2]

Reporter: Tim acehkita.com, 2004-01-25 11:26:47

Baca juga: Jerit Keluarga Terpidana [1]

Ceritanya, Samsul Fadjri pernah kehilangan uang. Ia curiga uang itu bukan hilang begitu saja. Ada tangan yang telah mengambilnya. Tapi, ia tidak mau menuduh. Entah dari mana asalnya, sebuah informasi belakangan sampai ke pihak intelijen bahwa Samsul Fadjri Syahputra adalah pengutip pajak nanggroe.

Akibatnya, pada sore 20 Mei 2003, atau hanya dua hari setelah darurat militer diumumkan Jakarta, Samsul Fadjri Syahputra ditangkap pihak intelijen dari Brimob dengan sebuah mobil kijang kapsul berwarna gelap.

Pihak keluarga, kala itu menduga kalau Samsul Fadjri diculik. Namun, setelah mencek ke kepolisian, pihak keluarga beroleh kabar kalau Samsul Fadjri Syahputra, ditangkap karena terlibat dengan kelompok GAM Aceh Besar.

Iqbal dan keluarga yakin, kalau penangkapan untuk kedua kalinya ini, tidak terkait sama sekali dengan organisasi yang pernah diikuti pada tahun 2000 itu. Bagi keluarga, demikian Iqbal, penangkapan dengan tuduhan GAM, hanya fitnah belaka.

“Padahal, dia tidak lagi ikut dalam GAM, setelah ia keluar dari penjara, pada tahu 2001 lalu,” aku Iqbal.

***

Jam menunjukkan pukul 23.45 WIB. Malam yang menggelayuti langit Kota Banda Aceh, semakin larut saja. Iqbal yang malam itu tak bisa tidur, terus saja mengepulkan asap rokok djie sam soe. Sesekali matanya menerawang, tanpa tujuan yang jelas. Ia terus memikirkan pemindahan adiknya ke Jawa Tengah pada Kamis (22/1) lalu.

“Bagaimana, ya, kalau ayah ingin menjenguknya?” keluh Iqbal. “Ayah dan Ibu, yang sudah sangat tua, tidak bisa menjenguknya.”

“Saya ingin menjenguknya. Tapi keluarga saya tidak punya uang untuk pergi ke Jawa. Ekonomi keluarga kami, sudah sangat susah dan sulit, bagaimana mau menjenguknya?” kata Iqbal, kemudian.

Mata Iqbal terus menerawang liar, seiring dengan semakin larutnya malam.

“Apa salahnya sih pemerintah memberitahu keluarga sebelum dia dipindahkan jauh ke Jawa?” gugat Iqbal, penuh tanda tanya.

“Kami sangat sedih dengan pemindahan ini. Saya melihat di televisi, pemindahan ini, seperti membawa binatang saja. Perlakuannya tidak berperikemanusiaan sedikit pun,” ujarnya, sambil mengusap matanya yang sembab dan berair.

Semua kamera merekam, bagaimana para tahanan itu, diikat dengan rantai dalam satu rangkai barisan yang sama. Ada yang berjumlah 10 orang, ada yang lima orang tiap ikatnya. Di dada mereka, disematkan nomor 1, 2, 3, 4 dst...

Ketika acehkita menanyakan apakah alasan pemindahan GAM ini bisa diterima? Iqbal menilai, pemindahan mereka ke Jawa, sangat tidak bisa diterima akal sehat.

Menurut PDMD, pemindahan tahanan GAM ke Pulau Jawa, karena Lembaga Pemasyarakatan (LP) di Aceh, sudah penuh dan tidak bisa menampung keseluruhan tahanan. Apalagi, ada beberapa LP yang saat ini sedang dalam perbaikan karena katanya dibakar GAM.

Alasan lainnya, seperti dilontarkan Satgaspen PDMD adalah untuk memutuskan mata rantai ideologi GAM. Artinya, dengan pemindahan ini, diharapkan ideologi GAM tidak berkembang dan tersebar luas ke masyarakat Aceh lainnya.

Premis ini dibenarkan oleh Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyon di Jakarta.

Bagaimana dengan alasan untuk memutuskan ideologi GAM?

“Saya tidak yakin pemerintah bisa membunuh ideologi GAM. Pemindahan, yang bagi saya pengasingan dan pembuangan itu, tidak menjamin akan hilangnya ideologi GAM dalam benak mereka,” kata Iqbal.

“Timbulnya ideologi GAM, ya, disebabkan oleh tindakan dan perlakuan pemerintah terhadap masyarakat Aceh yang sangat represif pada masa Orde Lama dan Orde Baru,” ujar Iqbal.

“Juga, tindakan ketidakadilan,” lanjutnya lagi.

“Kamu yakin dengan pengasingan ini, ideologi GAM akan pupus dari pikiran dan benak mereka?” tanya Iqbal, melirik acehkita.

Setelah sama-sama terdiam sejenak, Iqbal berujar, “Baiklah, mungkin pemindahan ini dilakukan supaya koordinasi antar-sesama GAM, akan hilang. Tapi, kok mesti ke Jawa, ya. Kenapa nggak di Sumatera saja yang mudah dijangkau dan tidak terlalu jauh, kalau memang pemindahan itu tidak bisa ditawar-tawar,” gugat Iqbal.

Ia lalu melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 01.12 WIB dini hari, Sabtu (24/1).

Selebihnya Iqbal tidak lagi berkata-kata. Sejenak kemudian ia pamitan dan pergi. [tamat]

Minggu, April 10, 2005

Kapal Diraja Rencong

Membaca Kompas edisi Minggu (10/4), saya jadi senyam-senyum sendiri. Di headlines yang berjudul KRI Tedong Naga Serempetan dengan Kapal Perang Malaysia, saya mendapati betapa Kompas memakai pendekatan nasionalisme dalam menulis beritanya.

Simak saja kutipan berita berikut ini:

“Karena berkali-kali melakukan manuver yang membahayakan pembangunan mercusuar di perairan Karang Unarang, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, akhirnya Kapal Diraja Rencong milik Malaysia "diserempet" Kapal Republik Indonesia Tedong Naga, Jumat (8/4) pagi sekitar pukul 06.15 hingga pukul 07.30 WITA. Dalam tiga kali serempetan tersebut, Kapal Diraja Rencong, yang umurnya sudah tua dan berkarat di beberapa bagian, rusak di bagian lambung sebelah kanan, sedangkan KRI Tedong Naga hanya lecet, tak sampai satu meter di bagian lambung sebelah kiri.”

Tapi, bukan itu yang membuat saya tertarik untuk mengomentari kejadian ini. Saya terheran-heran ketika membaca nama kapal perang Malaysia. Kapal Diraja Rencong nama kapal itu. Rencong, itu sebuah kosakata yang hanya dimiliki oleh Aceh. Itu merupakan senjata khas Aceh dalam melawan Belanda, Portugis dulu.

Untuk sedikit mengetahui sejarah rencong, saya kembali mengutip tulisan lama yang pernah saya tulis di majalah Latitudes Bali, Maret 2004 silam. Tulisan ini saya ambil dari beberapa sumber.

“The history of the rencong is inseparable from the story of the struggle of the people of Aceh against foreign occupation. As a kingdom of great military power in the Malay world from the 16th through the 19th centuries, Aceh produced and consumed great quantities of weapons, including all sorts of swords and daggers and knives, used for ceremonial and everyday purposes as well as war. But the rencong occupies a unique position as a weapon that came to symbolize Aceh to the outside world, as expressed in one of Acehs epithets: Tanah Rencong (land of the rencong).

The origin of the rencong is most popularly attributed to Sultan Alaiddin Riayatyah Al-Kahhar (1528-1568) whose father, Sultan Ali Mughayat Sjah (1511-1530) was the founder of Aceh Darussalamthe Islamic kingdom that successfully kept the Portuguese from conquering Aceh, and maintained control of the spice trade in the Malacca Straits for the next century, until the advent of Dutch and British efforts to dominate the region.[1]

Al-Kahhar engaged in frequent battles to repel and attack the Portuguese at sea. It is told that in one of these fights, in the cramped space of the deck of a ship, the sultans men experienced difficulty using the siwaha dagger like the rencong in many respects, except for its short and straight-up handle, which became very slippery once it got smeared in blood, and too easily slipped from the hand. After that battle, the sultan called upon his blacksmiths to design a better weapon. The result was the rencong, an adaptation of the siwah that not only gave fighters a much firmer grip but also imbued them with the power of Allah, thanks to its innovative design.

The new dagger had a longer hilt, curved into the shape of ba the second letter of the Arabic alphabet. The decoration at the base of the hilt took the form of the letter sin. The blade was shaped like mim and the metal parts at the top of the blade, like lam, while the base of the scabbard was notched into the form of the letter ha. Together, they spelled out Bismillah (In the name of Allah, the Merciful and the Compassionate)the prayer recited at the beginning of each section of the Koran and uttered before an undertaking. Engraved with this invocation, a rencong inspired those who wielded it to remember God in their actions.

As a close-range weapon, the rencong proved particularly effective. As described by D.F. Draeger in Weapons and Fighting Arts of the Indonesian Archipelago (1972:151):

Its peculiar shape seems to fit well with the air of magic and mystery connected to it. Each blade has distinct markings, Arabic characters that tell of mystic power. The rentjong is employed according to its length, which varies from five to twenty inches. The shorter lengths are highly favoured because they can be easily concealed. The rentjong is worn sheathed at the lefthand side of the bearer. It is usually drawn with the left foot forward so that by a quick short step forward with the right foot, the thrust of the knife receives added impetus. The blade is withdrawn from its sheath, cutting edge toward the enemy. It is then whipped to the right by a snap of the hand, which brings the palm upward; the elbow is held fairly close to the body. The thrust is made by extending the right arm almost to full extension and turning the palm downward just prior to penetration of the target."

Popularitas rencong di Aceh, mengalami pasang surut. Saya terakhir melihat rencong keluarga, ketika berumur 10 tahun. Saat itu, saya sering melihat ayah menyimpan rencong kecil yang terbuat dari besi putih, di balik bantal tidurnya. Di rencong kecil itu, saya melihat goresan tulisan Bismillah dan ayat Al-Qur’an lainnya.

Lambat laun, ketika saya menempuh pendidikan menengah (1992), saya tidak lagi mendapati rencong ayah saya. Entah ke mana. “Hilangnya” benda pusaka itu, seiring dengan sering masuknya militer ke kampung saya. Saat itu pun, saya tidak lagi berada di kampung, karena harus sekolah.

Praktis, sebenarnya sejak pemberlakuan daerah operasi militer (DOM) pada tahun 1989, senjata tajam menjadi haram di Aceh. Saya masih teringat ketika saya bermain dengan kawan-kawan di sungai (pante krueng). Setiap hari pekan, saya selalu menyempatkan ke pasar kaget dan membeli sebilah pisau ukuran kecil. Ke mana pun saya pergi saya bawa.

Saya hanya ikut-ikutan seperti itu. Pasalnya, setiap saya melihat orang tua di Aceh, selalu menyelipkan sebilah pisau (dulu sebenarnya rencong) di pinggangnya. Bukan untuk berperang atau mencelakakan orang, sebenarnya. Penyelipan pisau di pinggang orang Aceh, dimaksudkan, (1) menjaga diri, (2) memotong ranting, karena jalan di Aceh banyak yang belum tersentuh pembangunan saat itu, (3) mengupas pinang untuk dimakan dengan sirih, (4) memotong kuku setiap hari Jum’at, (5) mengupas buah-buahan yang akan dimakan.

Itu sederet maksud orang tua di Aceh membawa serta pisau, ke mana pun mereka beranjak. DOM dan konflik yang berkepanjangan, menyebabkan kebiasaan itu semua, tidak bisa dijumpai lagi.

Saya teringat sebuah foto di Harian Serambi Indonesia. Seorang pedagang rencong terpaksa harus mengalami interogasi panjang, ketika aparat Brimob yang sedang sweeping di Lambaro, Aceh Besar, mendapati pria ini membawa beberapa bilah rencong di dalam tasnya. Padahal, tujuan si bapak ini, untuk menjual di Pasar Aceh. Kejadian ini berlangsung pada awal tahun 2004, saat Aceh masih berstatus darurat.

Begitulah, dinamika yang ada di Aceh, Tanah Rencong. Kendati bernama Tanah Rencong, Anda tidak akan sebebasnya membawa serta rencong di pinggang Anda, jika ingin bepergian. Kalau ketahuan dalam razia militer, siap-siap saja bagi pembawa rencong, untuk berlama-lama diinterogasi.

Tidak seperti di Jawa dan Jogjakarta yang bebas membawa keris atau senjata tradisional lainnya. Itulah keisitimewaan Aceh.

Makanya, ketika mendapati kapal perang Malaysia dinamai Rencong, saya jadi terharu. Memang, secara historis, Aceh dan Malaysia mempunyai ikatan emosional yang tinggi. Serasa lebih bersaudara dengan mereka. Aceh dan Malaysia mempunyai kesamaan yang banyak. Di sana ada namanya Kampung Aceh, tempatnya orang Aceh bermukim. Di Aceh, ada yang namanya Keudah, tapi bukan tempat orang Malaysia bermukim. Tapi, di Malaysia, ada juga yang namanya Negeri Keudah.

Jika orang Aceh mempunyai masalah di kampung, mereka akan memilih bepergian ke Malaysia. Kampung saya nyaris kosong dari anak muda seumuran, karena mereka memilih pergi ke Malaysia.

Putroe Phang (Puteri Pahang), permaisuri Sultan Iskandar Muda, mungkin menjadi perekat dua bangsa yang dipisahkan Selat Malaka ini. [r]

Senin, April 04, 2005

Petisi Aceh Damai

BUNYI PETISI

Jakarta, 7 April 2005

Musibah kolosal tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004 mestilah menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak. Musibah yang menewaskan ratusan ribu orang itu mestilah menjadi tonggak untuk memperbaharui pandangan hidup serta hubungan antar manusia.

Dengan memfokuskan pandangan lebih tajam serta merenungkan secara mendalam nasib rakyat Aceh kebanyakan, khususnya anak-anak, kami mendesak Pemerintah Indonesia dan Free Acheh Movement (GAM) segera menemukan kompromi dan mencari solusi damai atas konflik mereka.

Rakyat Aceh, khususnya anak-anak, tak boleh lagi menjadi pelanduk di tengah desingan teror dan peluru. Kami mendesak pemerintah Indonesia dan Free Acheh Movement segera mewujudkan kehidupan damai di Aceh, agar:

1 Anak-anak Aceh bisa sekolah dan bermain tanpa takut sewaktu-waktu mengungsi atau terkena peluru nyasar di tengah tembak-menembak GAM dan TNI/Brimob

2 Ayah dan ibu mereka bisa mendidik dan membesarkan anak-anak tanpa takut intimidasi GAM dan TNI/Brimob

3 Paman dan bibi mereka bisa bertani, berladang dan mencari ikan di laut; bisa berbisnis, membuka kios dan mendirikan pabrik tanpa takut razia oleh GAM maupun TNI/Brimob.

Jika Anda setuju dengan petisi ini, silakan klik tanda SETUJU

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting