Reporter: Tim acehkita.com, 2004-01-25 11:29:17
Kamis, 22 Januari 2004, rencana pemindahan narapidana yang divonis karena terkait Gerakan Aceh Merdeka (GAM), akhirnya jadi kenyataan setelah sebelumnya sempat tertunda satu hari. Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) Aceh, rencananya memang akan memindahkan 143 narapidana itu pada hari Rabu (21/1).
Dari Pangkalan TNI Angkatan Udara di Banda Aceh, 54 orang akhirnya dipindahkan ke Semarang, Jawa Tengah. Sementara 89 tahanan lainnya, diterbangkan melalui Lhokseumawe, pada hari Minggu (25/1).
Sebagian dari “kloter 2” ini akan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah, tempat Tommy Soeharto dan Bob Hasan menjalani hukumannya, dengan sebab yang berbeda.
Dari 54 anggota GAM yang dipindahkan, tidak terdapat lima juru runding GAM seperti Sofyan Ibrahim Tiba, Lampoh Awe dan Teungku Kamaruzaman. Mereka yang dipindahkan, adalah yang sudah mempunyai putusan hukum yang tetap atau tidak mengajukan banding dan kasasi. Selain itu, adalah mereka yang dihukum antara tiga sampai 20 tahun penjara.
Bagi pihak keluarga para napi, pemindahan ini sangat mendadak. Para keluarga tidak memperoleh pemberitahuan secara resmi oleh pihak PDMD, kepolisian dan pihak Departemen Kehakiman dan HAM. Para keluarga, hanya mengetahui setelah media massa memberitakan rencana pemindahan ini. Selebihnya, pihak keluarga tidak mengetahui apa pun juga.
Iqbal (29), sebut saja namanya begitu, salah seorang anggota keluarga dari para tahanan GAM yang dipindahkan ke Jawa, menyesalkan tindakan yang diambil PDMD. Menurut pria hitam manis ini, pihak keluarga sangat mengharapkan kalau pemindahan ini, mendapat pemberitahuan secara resmi.
“Kami sangat sedih atas sikap yang diambil pemerintah. Saya tidak pernah membayangkan adik saya akan dipindahkan ke Jawa. Ayah dan ibu di kampung juga tidak mengetahui apa-apa tentang pemindahan ini,” kata Iqbal kepada acehkita, Jum’at (23/1) di pinggiran Kota Banda Aceh.
Lalu, kapan baru tahu sang adik akan dibawa ke Jawa?
“Ya, dari keterangan pangdam ketika pemulangan GAM binaan BPG ke kampung, yang diberitakan di koran dan televisi,” katanya.
Tak heran bila para keluarga ini panik bukan kepalang. Sebagai keluarga miskin, hampir mustahil menyambangi para tahanan itu di Pulau Jawa. Tentu berbeda dengan keluarga Cendana yang masih bisa menjenguk Tommy Soeharto di Nusa Kambangan.
Berpisah untuk jangka waktu sembilan tahun dengan kesempatan dan peluang yang kecil secara ekonomi untuk menjenguk kondisi sanak saudaranya yang ditahanan, jelas menorehkan kepedihan tersendiri.
Sembilan tahun?
Adik yang dimaksud Iqbal adalah Samsul Fadjri Syahputra (28 tahun). Oleh Pengadilan Negeri Banda Aceh, ia dijatuhi hukuman sembilan tahun penjara. Pria yang hanya tamatan SMP dan kemudian melanjutkan pendidikan di salah satu pesantren di Lamno, Aceh Jaya, ini “tidak” mengajukan banding.
Benarkah mereka tidak mengajukan banding? Tak ada yang tahu pasti. Sebab, tak sedikit juga yang tak mau mengajukan banding karena mendapat ancaman akan dijatuhi hukuman yang lebih berat. Mungkin peradilan tak mau dibuat repot dengan banyaknya terdakwa yang akan mengajukan banding.
Lain halnya bila yang mengajukan banding adalah terdakwa kasus korupsi. Nah, untuk yang seperti ini, semakin panjang dan lama proses hukum, semakin banyak pihak yang “bergembira”.
Lalu sebesar apa “dosa” Samsul Fadjri kepada negara ini, sehingga ia harus mendekam sembilan tahun penjara, atau tiga tahun lebih lama dari terpidana korupsi dana reboisasi seperti Bob Hasan?
Samsul Fadjri Syahputra dituduh sebagai Sekretaris Wilayah Daerah (Sekwilda) GAM Wilayah 26 Aceh Besar. Pria kelahiran Calang, Aceh Jaya (wilayah pemekaran dari Aceh Barat –red) ini ditangkap pada 20 Mei 2003, di salah satu kelurahan di Kota Banda Aceh.
Menurut Iqbal, penahanan dan penangkapan adiknya, disebabkan oleh kesalahpahaman akibat adanya fitnah dari orang. Menurut pria ini, adiknya memang pernah masuk GAM wilayah Aceh Besar pada 2000 lalu.
Namun, “kesalahan” itu sudah ditebus adiknya, dengan mendekam selama setahun dalam penjara. Tuduhan kala itu adalah sebagai Kepala Kepolisian GAM. Juga, katanya, Samsul Fadjri dituduh telah menyimpan sejumlah bom rakitan di rumah kosnya.
Memang, dalam penggerebekan suatu subuh di tahun 2002 itu, aparat keamanan dari Komando Resort Militer (Korem) 012 Teuku Umar, Banda Aceh, menemukan beberapa bom rakitan di rumah Samsul Fadjri di kawasan Beurawe, 500 meter dari Mapolresta Banda Aceh.
Dalam penggerebekan itu, selain menyita sejumlah bom rakitan, juga menangkap lima warga lainnya. Dua di antaranya masih berstatus mahasiswa. Satu lagi, pekerja di Ulee Kareng, kawasan yang terkenal dengan kopinya. Sementara satu lainnya, juga dituduh sebagai anggota GAM. Belakangan, dua mahasiswa dan satu pekerja itu, dibebaskan aparat keamanan, setelah sehari semalam mendekam dalam tahanan di Makorem 012 Teuku Umar.
Sementara dua yang teridentifikasi sebagai anggota GAM, diajukan ke pengadilan.
Setelah menjalani hukuman penjara selama satu tahun, pada 2001, Samsul Fadjri Syahputra yang kala itu bernama Syukri, bisa menghirup udara bebas.
Menurut Iqbal, setelah bebas dari penjara, adiknya tidak pernah lagi ikut dalam kegiatan GAM, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan, “Ayah mengganti nama adik saya dari Syukri menjadi Samsul Fadjri Syahputra. Pergantian nama itu atas pengetahuan pengacara dan notaris,” kata Iqbal.
Untuk apa mengganti nama?
“Ayah menganggap nama Syukri tidak cocok untuk adik saya. Juga, supaya dengan nama baru, adik saya bisa menjalani hidup baru dan tidak lagi terlibat dalam GAM,” ujar Iqbal, memberi argumen.
Selama menghirup udara bebas ini, kisah Iqbal, adiknya tidak pernah lagi ikut dalam berbagai kegiatan yang ada kaitannya dengan gerakan yang didirikan Hasan Muhammad di Tiro pada 4 Desember 1976 di Pegunungan Halimun, Lueng Putu, Pidie itu. Menurut Iqbal, adiknya kala itu hanya berprofesi sebagai supir.
Namun, kehidupan supir tidak lama ditekuni Samsul Fadjri Syahputra.
Keputusan pemerintah untuk menggelar darurat militer melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 28 tahun 2003, yang berlaku efektif pada 19 Mei 2003, juga membawa getah bagi Samsul Fadjri. [bersambung]
0 comments:
Posting Komentar