Minggu, Agustus 13, 2006

SETAHUN PERDAMAIAN
Riasan Kerikil di Usia Muda

SETAHUN PERDAMAIAN
Riasan Kerikil di Usia Muda
Reporter : Fakhrurradzie

DUA pria duduk di trotoar depan markas besar Aceh Monitoring Mission (AMM) yang terletak di kompleks kampus Universitas Syiah Kuala Banda Aceh di siang Senin, 7 Agustus lalu. Dua lembar karton manila warna putih dijadikan sebagai tempat berlindung dari sinar matahari yang menyengat. Di samping mereka, duduk puluhan perempuan paruh baya dan tua –beberapa di antaranya menggendong anak yang masih berusia balita. Mata mereka menerawang, sembari beristirahat setelah melakukan perjalanan panjang nan melelahkan. Kecapaian terpancar dari wajah polos mereka.

Mereka merupakan warga sipil yang datang dari Kecamatan Mane, sebuah daerah pedalaman yang terpaut kira-kira 100 kikometer arah selatan Kabupaten Pidie. Kedatangn mereka ke markas AMM untuk menyampaikan aspirasi: menolak pembangunan markas Kompi E 113/Jaya Sakti di sana.

Agussalim, koordinator aksi, menyebutkan, kedatangan mereka ke Banda Aceh untuk mendesak pemerintah supaya membatalkan pembangunan Batalyon TNI Kompi E 113/Jaya Sakti yang dibangun di atas tanah milik warga Kecamatan Mane. “Kami menuntu supaya pemerintah mengembalikan tanah kami seluas 150 hektar yang dibangun kompi tersebut,” katanya saat menyampaikan aspirasinya kepada pihak AMM, Senin, awal Agustus lalu.

Dalam poster yang mereka usung, warga menyebutkan, pembangunan instalasi militer di Mane tidak diperlukan lagi. Apalagi, kondisi Aceh yang sudah stabil, aman, dan damai. “Tidak ada musuh di kampung kami,” tulis warga di karton manila beragam warna itu.

Bukan hanya warga Mane yang memprotes pembangunan instalasi militer di masa perdamaian ini. Awal Juli lalu, 500-an warga Kemukiman Lamteuba, Kecamatan Seulimuem, Aceh Besar, juga berunjukrasa ke markas AMM. Lagi-lagi, mereka memprotes rencana militer membangun markasnya di kawasan pedalaman Aceh Besar itu.

Edi Miswar, koordinator warga, menyebutkan, pembangunan markas TNI tersebut telah menyebabkan warga tidak leluasa dalam mencari nafkah, mengembala kerbau dan sapi, serta tidak berani pergi ke kebun dan ladang. TNI di sana juga sering bertindak arogan terhadap warga dan menutup jalan menuju ke perkebunan.

“Kami menuntut supaya pos TNI dipindahkan dari Lamteuba. Warga di sini tidak bisa lagi mencari rezeki karena jalan menuju ke kebun ditutup sama mereka,” kata Miswar kepada wartawan.

Miswar menyebutkan, keberatan warga terhadap pembangunan markas baru militer telah dilaporkan kepada unsur musyawarah kecamatan (Muspika). Namun, hingga kini belum ada respons sama sekali. Bahkan, Camat, Koramil, dan Kepala Polsek anteng-anteng saja dan terkesan tidak menghiraukan aduan warga tersebut. “Kalau TNI tetap tidak ditarik dari kampung, kami tidak bertanggungjawab jika ada warga yang akan melakukan aksi ke pos TNI tersebut,” ujar Miswar, setengah mengancam.

Kepala Penerangan Kodam Iskandar Muda, Mayor Dudi Zulfadli, mengakui adanya pembangunan markas TNI di Lamteuba. “Di Lamteuba rencananya akan dibangun Kompi E 112. Itu pasukan organik, pindahan dari Japakeh, Mata Ie,” kata Dudi kepada acehkita.com, sembari menyebutkan, pembangunan Kompi E tersebut telah direstui pemerintah dan mengambil dana dari pos anggaran 2006.

Permasalahan TNI memang menjadi isu krusial di masa perdamaian ini. Dalam Undang Undang No 11 tentang Pemerintahan Aceh, pasukan TNI bertanggungjawab menyelenggarakan pertahanan negara dan tugas lain di Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan. “Tugas lain” inilah yang dipermasalahkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), karena dinilai bertentangan dengan Nota Kesepakatan Helsinki. GAM menilai, tugas dan fungsi TNI di Aceh pasca-kesepakatan Helsinki, tak ubahnya seperti tugas-tugas yang diemban sebelum tercapainya kesepakatan untuk mengakhiri konflik yang menewaskan tak kurang dari 15.000 orang sejak 1976.

“Tugas lain” yang dimaksud dalam Pasal 202 UU No 11 tentang Pemerintahan Aceh tersebut meliputi penanggulangan bencana alam, pembangunan sarana dan prasarana perhubungan, serta tugas-tugas kemanusiaan lain dilakukan setelah berkonsultasi dengan Gubernur Aceh.

***

Itu satu kasus yang menjadi kerikil di masa perdamaian ini. Jauh-jauh hari sebelum gelombang protes terhadap pembangunan instalasi militer di Lamteuba dan Mane, pembangunan Kompi E 111 di Kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara, menelan korban seorang bekas militer GAM. Muslem namanya. Selain menewaskan seorang eks-TNA, satu warga sipil dan satu polisi pengawal tim Aceh Monitoring Mission (AMM) ikut menderita luka-luka. Sedangkan lubang tembakan menghiasi dinding mobil yang ditumpangi bekas Ketua AMM Aceh Utara Jorma Gardameister.

Insiden Paya Bakong bermula dari penangkapan Umar, seorang eks-TNA yang sedang melintasi lokasi pembangunan Kompi Paya Bakong tersebut. Umar yang menjadi penjual durian setelah perdamaian bersemi di Aceh, dikasari sejumlah oknum militer di sana. Rekan Umar yang melihat aksi tersebut, melaporkan insiden itu kepada warga. Tak terima, warga kemudian berbondong-bondong mendatangi markas baru tersebut untuk meminta supaya Umar segera dilepaskan. AMM ikut turun ke lokasi kejadian. Namun, sesampai tim AMM ke sana, entah dari mana, senjata menyalak. Letupan senjata itu membuat warga kocar-kacir. Tidak diketahui dari mana asal dan arah tembakan yang menyebabkan satu meninggal tersebut.

Kini, kasus Insiden Paya Bakong sedang diusut oleh Pemerintah Indonesia dan tim AMM. Investigasi itu mengalami kendala karena keluarga korban menolak jenazah Muslem diotopsi. TNI menyebutkan, penolakan otopsi ini bisa menghambat proses penyidikan di lapangan.

Salak senjata di Paya Bakong, bukan yang pertama. Sebelumnya pada bulan Oktober 2005 dan Maret 2006, senjata menyalak di Peudawa, Aceh Timur. Kasus pertama, seorang anggota GAM, Abubakar, ditembak pasukan TNI saat usia perdamaian baru dua bulan. Kasus ini menyebabkan AMM memvonis TNI telah melanggar Kesepakatan Helsinki.

Sedangkan kasus kedua yang terjadi pada Maret 2006, seorang warga, Agussalim, tewas ditembak polisi saat terjaring razia lalulintas. Keluarga meminta kasus ini diusut tuntas. Hingga kini, kasus Peudawa yang merenggut nyawa warga sipil tersebut tidak jelas juntrungannya. Seorang TNA juga menjadi korban penembakan di Nagan Raya. Polisi menyebutkan, penembakan dilakukan karena yang bersangkutan merampas satu unit mobil. Namun, GAM membantah tudingan polisi ini. Sama halnya dengan Peudawa, tidak jelas ujung-ujung kasus ini.

Selain salak senjata dan pembangunan markas TNI, penyaluran dana reintegrasi bagi anggota GAM bisa menjadi bom waktu, yang bisa meledak suatu waktu di masa mendatang. Pasalnya, ada anggota GAM yang beroleh dana reintegrasi dan tidak sedikit anggota GAM yang tidak mendapatkannya sama sekali. Selain itu, penyaluran dana kompensasi bagi warga korban konflik juga menuai masalah. Kedatangan ratusan warga Kecamatan Mane ke Banda Aceh untuk menuntut dana kompensasi menjadi bukti bahwa penyaluran dana ini menyisakan masalah.

Itu sejumlah permasalahan yang muncul di lapangan. Di ranah politik, UU No 11 tentang Pemerintahan Aceh juga masih menyisakan masalah. Kendati menerima UU Pemerintahan Aceh, GAM menolak sejumlah pasal yang bertentangan dengan MoU Helsinki. Pasal-pasal yang ditolak di antaranya, Pasal 8, Pasal 11, dan Pasal 202.

Pasal 8 dinilai telah memangkas kewenangan dan fungsi legislatif Aceh. Di pasal itu hanya disebutkan bahwa segala rencana persetujuan internasional dan rencana pembentukan UU oleh DPR yang berkaitan langsung dengan Aceh harus dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA. Yang diprotes GAM adalah kata “pertimbangan”, karena tidak sesuai dengan yang tertulis dalam MoU Helsinki, yaitu “persetujuan”.

Itu satu soal. Hal lain yang ditolak oleh GAM adalah Pasal 11 yang dinilai membatasi kewenangan Pemerintahan Aceh. Dalam Pasal 11 disebutkan bahwa “Pemerintah menetapkan norma, standar, dan prosedur serta melakukan pengawasanterhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota”. GAM mengibaratkan pasal ini dengan ungkapan “peulheuh ulee cupet iku/lepas kepala pegang ekor”.

Senior Representatif GAM di AMM Irwandi Yusuf, mengatakan, Pasal 11 ikut mempengaruhi sejumlah pasal lain, seperti Pasal 124 ayat (3), Pasal 142 ayat (1), 147, dan Pasal 249. “Padahal dalam MoU telah jelas pemisahan wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh,” ujarnya.

Pembatasan kewenangan Aceh melalui Pasal 11 ini, sebut Irwandi, menyebabkan perlunya lisensi dari Pusat dalam semua hal. “Misalnya ada pengusaha yang bergerak di bidang perikanan, dia harus mendapatkan izin dari Pusat,” ujar Irwandi. “Ini apa bedanya dengan sebelum adanya UU Pemerintahan Aceh dan MoU Helsinki?”

“Pasal 228 ayat (1) tentang Pengadilan HAM juga sangat mengecewakan, karena hanya untuk mengadili pelanggaran HAM yang terjadi setelah UU PA disahkan. Padahal dalam MoU tidak disebutkan adanya pembatasan waktu,” ujarnya. “UU PA gagal menciptakan produk hukum yang berpihak pada masyarakat korban konflik.”

Nur Djuli, seorang petinggi GAM yang bermukim di Malaysia, menyebutkan, jika berbagai permasalahan yang masih abu-abu di UU Pemerintahan Aceh tidak bisa diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia, dikhawatirkan akan muncul 'GAM-GAM' baru, 10 atau 20 tahun mendatang.

Karena itu, GAM menuntut Pemerintah Indonesia untuk segera merevisi pasal-pasal tersebut. “Kita tolak semua pasal yang tidak sesuai dengan MoU, karena itu pemerintah harus segera merevisinya,” lanjut Irwandi. “Kita akan membawanya ke mekanisme dispute settlement AMM,” lanjutnya.

Jika di AMM tidak bisa diselesaikan, GAM juga berencana melaporkan perkara ini ke Crisis Management Initiative (CMI), lembaga yang memfasilitasi dan memediasi perundingan antara Pemerintah Indonesia dan GAM.

Rapat Commission on Security Arrangement (CoSA) yang akan digelar pada 14 Agustus ini di Banda Aceh, rencananya dihadiri bos CMI, Martti Ahtisaari. Di sinilah, para pihak akan mendiskusikan permasalahan yang timbul dalam UU Pemerintahan Aceh. Rapat ini diharapkan bisa menyelesaikan berbagai kerikil yang bisa menjadi sandungan dalam jalan perdamaian Aceh. Ahtisaari dan CoSA memang tidak bisa menuntaskan segala permasalahannya. Karena itu dibutuhkan kearifan para pihak untuk sama-sama menjaga perdamaian yang telah membawa perubahan bagi Aceh ini. [dzie]

SETAHUN PERDAMAIAN
Riasan Kerikil di Usia Muda

  Posted by Picasa Riasan Kerikil di Usia Muda
Penulis: Fakhrurradzie

DUA pria duduk di trotoar depan markas besar Aceh Monitoring Mission (AMM) yang terletak di kompleks kampus Universitas Syiah Kuala Banda Aceh di siang Senin, 7 Agustus lalu. Dua lembar karton manila warna putih dijadikan sebagai tempat berlindung dari sinar matahari yang menyengat. Di samping mereka, duduk puluhan perempuan paruh baya dan tua –beberapa di antaranya menggendong anak yang masih berusia balita. Mata mereka menerawang, sembari beristirahat setelah melakukan perjalanan panjang nan melelahkan. Kecapaian terpancar dari wajah polos mereka.

Mereka merupakan warga sipil yang datang dari Kecamatan Mane, sebuah daerah pedalaman yang terpaut kira-kira 100 kikometer arah selatan Kabupaten Pidie. Kedatangn mereka ke markas AMM untuk menyampaikan aspirasi: menolak pembangunan markas Kompi E 113/Jaya Sakti di sana.

Agussalim, koordinator aksi, menyebutkan, kedatangan mereka ke Banda Aceh untuk mendesak pemerintah supaya membatalkan pembangunan Batalyon TNI Kompi E 113/Jaya Sakti yang dibangun di atas tanah milik warga Kecamatan Mane. “Kami menuntu supaya pemerintah mengembalikan tanah kami seluas 150 hektar yang dibangun kompi tersebut,” katanya saat menyampaikan aspirasinya kepada pihak AMM, Senin, awal Agustus lalu.

Dalam poster yang mereka usung, warga menyebutkan, pembangunan instalasi militer di Mane tidak diperlukan lagi. Apalagi, kondisi Aceh yang sudah stabil, aman, dan damai. “Tidak ada musuh di kampung kami,” tulis warga di karton manila beragam warna itu.

Bukan hanya warga Mane yang memprotes pembangunan instalasi militer di masa perdamaian ini. Awal Juli lalu, 500-an warga Kemukiman Lamteuba, Kecamatan Seulimuem, Aceh Besar, juga berunjukrasa ke markas AMM. Lagi-lagi, mereka memprotes rencana militer membangun markasnya di kawasan pedalaman Aceh Besar itu.

Edi Miswar, koordinator warga, menyebutkan, pembangunan markas TNI tersebut telah menyebabkan warga tidak leluasa dalam mencari nafkah, mengembala kerbau dan sapi, serta tidak berani pergi ke kebun dan ladang. TNI di sana juga sering bertindak arogan terhadap warga dan menutup jalan menuju ke perkebunan.

“Kami menuntut supaya pos TNI dipindahkan dari Lamteuba. Warga di sini tidak bisa lagi mencari rezeki karena jalan menuju ke kebun ditutup sama mereka,” kata Miswar kepada wartawan.

Miswar menyebutkan, keberatan warga terhadap pembangunan markas baru militer telah dilaporkan kepada unsur musyawarah kecamatan (Muspika). Namun, hingga kini belum ada respons sama sekali. Bahkan, Camat, Koramil, dan Kepala Polsek anteng-anteng saja dan terkesan tidak menghiraukan aduan warga tersebut. “Kalau TNI tetap tidak ditarik dari kampung, kami tidak bertanggungjawab jika ada warga yang akan melakukan aksi ke pos TNI tersebut,” ujar Miswar, setengah mengancam.

Kepala Penerangan Kodam Iskandar Muda, Mayor Dudi Zulfadli, mengakui adanya pembangunan markas TNI di Lamteuba. “Di Lamteuba rencananya akan dibangun Kompi E 112. Itu pasukan organik, pindahan dari Japakeh, Mata Ie,” kata Dudi kepada acehkita.com, sembari menyebutkan, pembangunan Kompi E tersebut telah direstui pemerintah dan mengambil dana dari pos anggaran 2006.

Permasalahan TNI memang menjadi isu krusial di masa perdamaian ini. Dalam Undang Undang No 11 tentang Pemerintahan Aceh, pasukan TNI bertanggungjawab menyelenggarakan pertahanan negara dan tugas lain di Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan. “Tugas lain” inilah yang dipermasalahkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), karena dinilai bertentangan dengan Nota Kesepakatan Helsinki. GAM menilai, tugas dan fungsi TNI di Aceh pasca-kesepakatan Helsinki, tak ubahnya seperti tugas-tugas yang diemban sebelum tercapainya kesepakatan untuk mengakhiri konflik yang menewaskan tak kurang dari 15.000 orang sejak 1976.

“Tugas lain” yang dimaksud dalam Pasal 202 UU No 11 tentang Pemerintahan Aceh tersebut meliputi penanggulangan bencana alam, pembangunan sarana dan prasarana perhubungan, serta tugas-tugas kemanusiaan lain dilakukan setelah berkonsultasi dengan Gubernur Aceh.

***

Itu satu kasus yang menjadi kerikil di masa perdamaian ini. Jauh-jauh hari sebelum gelombang protes terhadap pembangunan instalasi militer di Lamteuba dan Mane, pembangunan Kompi E 111 di Kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara, menelan korban seorang bekas militer GAM. Muslem namanya. Selain menewaskan seorang eks-TNA, satu warga sipil dan satu polisi pengawal tim Aceh Monitoring Mission (AMM) ikut menderita luka-luka. Sedangkan lubang tembakan menghiasi dinding mobil yang ditumpangi bekas Ketua AMM Aceh Utara Jorma Gardameister.

Insiden Paya Bakong bermula dari penangkapan Umar, seorang eks-TNA yang sedang melintasi lokasi pembangunan Kompi Paya Bakong tersebut. Umar yang menjadi penjual durian setelah perdamaian bersemi di Aceh, dikasari sejumlah oknum militer di sana. Rekan Umar yang melihat aksi tersebut, melaporkan insiden itu kepada warga. Tak terima, warga kemudian berbondong-bondong mendatangi markas baru tersebut untuk meminta supaya Umar segera dilepaskan. AMM ikut turun ke lokasi kejadian. Namun, sesampai tim AMM ke sana, entah dari mana, senjata menyalak. Letupan senjata itu membuat warga kocar-kacir. Tidak diketahui dari mana asal dan arah tembakan yang menyebabkan satu meninggal tersebut.

Kini, kasus Insiden Paya Bakong sedang diusut oleh Pemerintah Indonesia dan tim AMM. Investigasi itu mengalami kendala karena keluarga korban menolak jenazah Muslem diotopsi. TNI menyebutkan, penolakan otopsi ini bisa menghambat proses penyidikan di lapangan.

Salak senjata di Paya Bakong, bukan yang pertama. Sebelumnya pada bulan Oktober 2005 dan Maret 2006, senjata menyalak di Peudawa, Aceh Timur. Kasus pertama, seorang anggota GAM, Abubakar, ditembak pasukan TNI saat usia perdamaian baru dua bulan. Kasus ini menyebabkan AMM memvonis TNI telah melanggar Kesepakatan Helsinki.

Sedangkan kasus kedua yang terjadi pada Maret 2006, seorang warga, Agussalim, tewas ditembak polisi saat terjaring razia lalulintas. Keluarga meminta kasus ini diusut tuntas. Hingga kini, kasus Peudawa yang merenggut nyawa warga sipil tersebut tidak jelas juntrungannya. Seorang TNA juga menjadi korban penembakan di Nagan Raya. Polisi menyebutkan, penembakan dilakukan karena yang bersangkutan merampas satu unit mobil. Namun, GAM membantah tudingan polisi ini. Sama halnya dengan Peudawa, tidak jelas ujung-ujung kasus ini.

Selain salak senjata dan pembangunan markas TNI, penyaluran dana reintegrasi bagi anggota GAM bisa menjadi bom waktu, yang bisa meledak suatu waktu di masa mendatang. Pasalnya, ada anggota GAM yang beroleh dana reintegrasi dan tidak sedikit anggota GAM yang tidak mendapatkannya sama sekali. Selain itu, penyaluran dana kompensasi bagi warga korban konflik juga menuai masalah. Kedatangan ratusan warga Kecamatan Mane ke Banda Aceh untuk menuntut dana kompensasi menjadi bukti bahwa penyaluran dana ini menyisakan masalah.

Itu sejumlah permasalahan yang muncul di lapangan. Di ranah politik, UU No 11 tentang Pemerintahan Aceh juga masih menyisakan masalah. Kendati menerima UU Pemerintahan Aceh, GAM menolak sejumlah pasal yang bertentangan dengan MoU Helsinki. Pasal-pasal yang ditolak di antaranya, Pasal 8, Pasal 11, dan Pasal 202.

Pasal 8 dinilai telah memangkas kewenangan dan fungsi legislatif Aceh. Di pasal itu hanya disebutkan bahwa segala rencana persetujuan internasional dan rencana pembentukan UU oleh DPR yang berkaitan langsung dengan Aceh harus dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA. Yang diprotes GAM adalah kata “pertimbangan”, karena tidak sesuai dengan yang tertulis dalam MoU Helsinki, yaitu “persetujuan”.

Itu satu soal. Hal lain yang ditolak oleh GAM adalah Pasal 11 yang dinilai membatasi kewenangan Pemerintahan Aceh. Dalam Pasal 11 disebutkan bahwa “Pemerintah menetapkan norma, standar, dan prosedur serta melakukan pengawasanterhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota”. GAM mengibaratkan pasal ini dengan ungkapan “peulheuh ulee cupet iku/lepas kepala pegang ekor”.

Senior Representatif GAM di AMM Irwandi Yusuf, mengatakan, Pasal 11 ikut mempengaruhi sejumlah pasal lain, seperti Pasal 124 ayat (3), Pasal 142 ayat (1), 147, dan Pasal 249. “Padahal dalam MoU telah jelas pemisahan wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh,” ujarnya.

Pembatasan kewenangan Aceh melalui Pasal 11 ini, sebut Irwandi, menyebabkan perlunya lisensi dari Pusat dalam semua hal. “Misalnya ada pengusaha yang bergerak di bidang perikanan, dia harus mendapatkan izin dari Pusat,” ujar Irwandi. “Ini apa bedanya dengan sebelum adanya UU Pemerintahan Aceh dan MoU Helsinki?”

“Pasal 228 ayat (1) tentang Pengadilan HAM juga sangat mengecewakan, karena hanya untuk mengadili pelanggaran HAM yang terjadi setelah UU PA disahkan. Padahal dalam MoU tidak disebutkan adanya pembatasan waktu,” ujarnya. “UU PA gagal menciptakan produk hukum yang berpihak pada masyarakat korban konflik.”

Nur Djuli, seorang petinggi GAM yang bermukim di Malaysia, menyebutkan, jika berbagai permasalahan yang masih abu-abu di UU Pemerintahan Aceh tidak bisa diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia, dikhawatirkan akan muncul 'GAM-GAM' baru, 10 atau 20 tahun mendatang.

Karena itu, GAM menuntut Pemerintah Indonesia untuk segera merevisi pasal-pasal tersebut. “Kita tolak semua pasal yang tidak sesuai dengan MoU, karena itu pemerintah harus segera merevisinya,” lanjut Irwandi. “Kita akan membawanya ke mekanisme dispute settlement AMM,” lanjutnya.

Jika di AMM tidak bisa diselesaikan, GAM juga berencana melaporkan perkara ini ke Crisis Management Initiative (CMI), lembaga yang memfasilitasi dan memediasi perundingan antara Pemerintah Indonesia dan GAM.

Rapat Commission on Security Arrangement (CoSA) yang akan digelar pada 14 Agustus ini di Banda Aceh, rencananya dihadiri bos CMI, Martti Ahtisaari. Di sinilah, para pihak akan mendiskusikan permasalahan yang timbul dalam UU Pemerintahan Aceh. Rapat ini diharapkan bisa menyelesaikan berbagai kerikil yang bisa menjadi sandungan dalam jalan perdamaian Aceh. Ahtisaari dan CoSA memang tidak bisa menuntaskan segala permasalahannya. Karena itu dibutuhkan kearifan para pihak untuk sama-sama menjaga perdamaian yang telah membawa perubahan bagi Aceh ini. [dzie]

Jumat, Mei 12, 2006

Tak Hanya Uang, Nama Baik Juga

FAKHRURRADZIE

OKY Rahmatna Tiba punya sebuah harapan di masa damai ini. “Saya ingin nama baik orangtua saya dipulihkan,” kata Oky. Orangtua Oky adalah Sofyan Ibrahim Tiba, ketua perunding Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di masa Cessation of Hostilities Agreement (CoHA). Tiba yang meninggal dunia dalam musibah raya di penghujung tahun 2004 lalu, masih menyandang status tahanan politik. Dia ditangkap dan dinyatakan bersalah melawan negara, saat Pemerintahan Megawati Sukarnoputri memberlakukan status Darurat Militer di Aceh, Mei 2003 lalu.

Status tahanan politik itu telah “membelenggu” Oky dan keluarga. Paling terasa, saat Indonesia memberlakukan status darurat selama dua tahun di Aceh. Banyak orang yang menjauhi keluarga yang tinggal di Jeulingke, Kecamatan Syiah Kuala, ini. Bahkan, Oky juga sering dijauhi teman-temannya, karena sang bapak menjadi perunding mewakili gerakan yang menuntut kemerdekaan itu.

“Di masa Darurat Militer dan Sipil, semua orang menjauhi GAM. Saya dan keluarga juga terkena imbas ini. Ada orang yang menjauhi kami, karena takut dengan tekanan yang sangat besar di masa itu,” kata Oky kepada saya, Sabtu (8/4). “Beban psikologis sangat berat.”

Beban besar itu hingga kini masih berada di pundak keluarga ini. Oky sendiri mengaku hingga kini tidak bisa menerima status tahanan politik yang disandangkan ke ayahnya yang seorang perunding untuk menciptakan perdamaian di Tanah Seulanga ini. Apalagi, sang ayah yang dosen di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala ini, harus meninggal dalam status sebagai tahanan politik.

Setelah perdamaian dicapai di Bumi Jeumpa ini. Oky berharap ada upaya Pemerintah untuk memulihkan nama baik orangtuanya yang sudah telanjur dicap sebagai separatis karena melawan Pemerintah dan negara. “Yang perlu dilakukan Badan Reintegrasi dan Pemerintah adalah memulihkan nama baik, dalam kondisi damai ini, supaya menghilangkan cap/stempel dari orang-orang bahwa ayah saya seorang musuh negara,” harap pria yang memilih berkarir sebagai wartawan ini.

Bukan hanya nama baik ayahnya yang harus dipulihkan oleh Pemerintah. Semua korban konflik, menurut Oky, juga harus direhabilitasi nama baik mereka. Dia menyarankan supaya Pemerintah meminta maaf secara terbuka kepada seluruh keluarga dan korban yang jatuh dalam konflik yang berlangsung selama tiga dekade ini. “Pemerintah perlu secara terbuka meminta maaf,” ujarnya.

Bisa saja, permintaan maaf itu dilakukan dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Nah, melalui Komisi ini, masyarakat Aceh bisa menilai dan melihat sikap apa saja yang akan diambil Pemerintah untuk menciptakan perdamaian abadi di Tanoh Jeumpa ini. Uang saja tidak cukup, menurut Oky. “Uang Rp 60 juta memang besar, tapi apa artinya jika tidak dibarengi dengan sikap lain,” kata pria yang bekerja sebagai penyiar di salah satu radio terkemuka di Banda Aceh.

Lantas, bagaimana dengan dana diyat? Oky mengaku tidak terpikir untuk mengajukan permohonan untuk memperoleh uang duka itu, kendati Badan Reintegrasi mengalokasikan dana diyat bagi eks tahanan politik. Menurutnya, uang sama sekali tidak bisa menghilangkan stigma yang sudah melekat di nama baik ayahnya.

“Stigma itu tidak bisa dihilangkan dengan uang. Bukan kita tidak perlu uang, ya. Tapi nama baik memang tidak bisa dipulihkan dengan pemberian uang oleh Pemerintah,” katanya.

Kendati demikian, dia menilai langkah yang diambil Pemerintah sudah bagus dalam memberikan diyat kepada para korban konflik yang jatuh sejak tahun 1989 hingga 2005 ini. Tapi, “yang perlu diingat adalah, perjuangan yang dilakukan bukan karena uang, melainkan untuk membawa Aceh ke arah yang lebih bagus,” tandas pria hitam manis ini.

“Kami tidak mengharap apa-apa, karena perjuangan orang ini ikhlas. Dikasih kami ambil, kalau tidak ya terserah. Perjuangan abang kami ikhlas karena telah bersumpah,” kata Barona, 27 tahun, adik kandung Mardani. Mardani, 28 tahun, anggota GAM Aceh Rayeuk, meninggal dalam sebuah kontak tembak dengan pasukan TNI di gunung Meusale, Indrapuri.

Memang, stigma musuh negara tidak bisa dipulihkan dengan uang diyat dan reintegrasi. FAKHRURRADZIE


* This article published in Aceh Magazine, Mei 2006

Kamis, April 06, 2006


Bersama salah seorang personel Krakatau. (Radzie) Posted by Picasa

Duet dengan Krakatau


Duet Rafly-Krakatau Band saat menghibur belasan ribu warga di Blang Padang, Banda Aceh, Rabu (5/4) malam. Sebelumnya, Rafly-Krakatau tampil bareng di Jakarta. Kurniatun, Ubiet & Rakit juga tampil memukau dalam Panggung Musik Perdamaian. (Radzie) Posted by Picasa

Kurniatun


Kurniatun Z, menyanyikan album Spirit Inong Aceh, tampil memukau. (Radzie) Posted by Picasa

Kamis, Maret 30, 2006

Agar Luka Lama tak Lagi Terkoyak

RUU PA yang tidak aspiratif akan membangkitkan gelombang perlawanan terhadap Indonesia, termasuk gerakan kemerdekaan. Seratus tokoh Aceh bertemu untuk mengantisipasi kegagalan RUU PA.

SERATUSAN tokoh tumpah ruah ke aula Hotel Cakradonya, Banda Aceh, Selasa, 7 Maret 2006. Mereka berasal dari berbagai kalangan di Aceh. Ada akademisi, aktivis mahasiswa, LSM, anggota Gerakan Aceh Merdeka, aktivis perempuan, ulama, dan sejumlah kalangan lain. Mereka bertemu seharian untuk membicarakan strategi pengawalan Rancangan Undang Undang Pemerintahan Aceh (RUU PA) yang kini berada di tangan legislatif di Senayan.

Pertemuan membuahkan sepuluh tuntutan, yang kemudian mereka tuangkan dalam Deklarasi Cakradonya. Tuntutan itu merupakan harga mati, “Yang tidak bisa dikompromi,” kata Rufriadi, SH, direktur Aceh Judicial Monitoring Institute, yang hadir dalam pertemuan itu.

Tuntutan yang mereka hasilkan di antaranya, UU PA harus memberikan kewenangan yang penuh bagi Aceh seperti yang diamanatkan Memorandum of Understanding (MOU) Helsinki; kewenangan penuh dalam mengelola sumberdaya alam; perimbangan keuangan dari seluruh pengelolaan sumberdaya alam (70 persen untuk Aceh dan 30 persen Pusat); pemerintah diminta memasukkan poin yang mengatur tentang kompensasi dan reparasi hak-hak masyarakat korban, terutama anak-anak dan perempuan.

Pendek kata, pertemuan 100 tokoh itu meminta supaya Senayan mensahkan RUU PA yang diajukan oleh DPRD Aceh yang sudah melalui uji publik. Jika UU yang dihasilkan nantinya tidak mengakomodir keinginan masyarakat Aceh, elemen sipil mengkhawatirkan gerakan perlawanan dan kemerdekaan akan kembali bermunculan di persada Aceh. “Gerakan perlawanan menuntut kemerdekaan juga akan muncul kembali di Aceh,” seru seratus tokoh dalam Deklarasi Cakradonya yang dibacakan Rufriadi.

Juru Bicara Komite Peralihan Aceh wilayah Aceh Timur, Tjut Kafrawi, lebih berdiplomatis. Menurutnya, jika UU yang dihasilkan tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat di bumi yang baru saja dihumbalang tsunami itu, maka Indonesia telah melanggar kesepakatan damai (MOU) yang dicapai dengan susah payah di Helsinki, Finlandia. Namun, kata dia, Pemerintah Indonesia masih mempunyai peluang untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Jika tetap saja mentok, GAM akan membawa permasalahan ini ke Aceh Monitoring Mission (AMM) dan Crisis Management Initiative (CMI). Lembaga terakhir yang disebut Kafrawi ini merupakan fasilitator dan mediator dalam perundingan panjang nan melelahkan itu. Sementara AMM merupakan lembaga yang ditunjuk para pihak untuk memantau proses damai di Aceh. Mereka terdiri dari utusan dari negara yang tergabung dalam Uni Eropa dan Asia Tenggara (ASEAN).

Pandangan serupa juga disuarakan Irwansyah, bekas Presiden Mahasiswa Universitas Syiah Kuala. Di hadapan 30 anggota Panitia Khusus RUU PA DPR RI yang mengadakan pertemuan di Meuligoe Gubernur Aceh yang dingin, pria berkacamata minus ini bersuara lantang. “Jangan biarkan kami “memberontok lagi! Jangan biarkan kami melakukan “perlawanan” lagi,” serunya. Puluhan aktivis bertepuk tangan mengamini pernyataan Irwansyah.

Irwansyah tidak bermaksud mengancam. Apa yang dikemukakan Irwansyah ini, merupakan refleksi dari sejarah panjang konflik di provinsi di barat Indonesia itu. Perang dan perdamaian silih berganti bersemi. Namun, perdamaian sering kali kandas dalam usia dini. Lihat saja misalnya, sejarah Teungku Muhammad Daud Beureueh mendeklarasikan perlawanan terhadap Jakarta pada 1953, di bawah bendera Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Gerakan perlawanan ini diredam Jakarta dengan diplomasi ala Kolonel Jassin, penguasa militer di Aceh saat itu, pada tahun 1963.

Kompensasinya, Jakarta menyetujui Aceh sebagai provinsi yang mempunyai keistimewaan di bidang pendidikan, budaya, dan agama. Namun, sejak Abu Beureueh turun gunung, keistimewaan yang diberikan kepada Aceh ternyata hanya pepesan kosong belaka. Aceh sama saja dengan provinsi lain di Nusantara. Malah, kekayaan alam semakin dikeruk dari bumi Aceh yang kaya dengan minyak dan gas, saat Orde Baru berkuasa. Kedua pundi-pundi uang ini tidak bisa dinikmati masyarakat. Aceh semakin miskin dan tertinggal, termasuk di bidang budaya dan pendidikan. Agama pun, tidak banyak keleluasaan yang diberikan Jakarta. Kekerasan dan penindasan juga kerap terjadi.

Tak puas dengan kondisi ini, Hasan Tiro, orang kepercayaan Abu Beureueh, kemudian mendeklarasikan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976. Gerakan ini kemudian melakukan perlawanan senjata dan diplomasi untuk memisahkan Aceh dari kungkungan Jakarta. Bak kebakaran jenggot, Jakarta mengirim bala tentara ke bumi Aceh untuk menumpas gerakan kemerdekaan tersebut. Hingga 30 tahun kemudian, Aceh penuh dengan letupan bedil dan meriam. Sedikitnya 15 ribu anak negeri menjadi korban dari kemarahan Jakarta.

Perundingan Helsinki yang dimulai Januari 2005, setelah Aceh dihumbalang musibah raya yang menewaskan tak kurang dari 200 ribu orang Aceh, akhirnya melahirkan perdamaian pada 15 Agustus 2005. Kedua belah pihak sepakat untuk mengakhiri permusuhan yang sudah berlangsung selama 30 tahun itu.

Luka Lama
Beranjak dari sejaran panjang kekerasan di Aceh, Irwansyah dan seratus tokoh Aceh itu kemudian mewanti-wanti Jakarta akan kemungkinan kembali munculnya gerakan antipati terhadap Jakarta. Apalagi, pasca-MOU Helsinki, kepercayaan masyarakat Aceh terhadap Jakarta sudah mulai pulih.

Undang Undang Pemerintahan Aceh dinilai sebagai sebuah langkah untuk mengakhiri konflik panjang di Tanah Seulanga itu. Makanya, UU ini diharapkan tidak bernasib sama dengan Ikrar Lamteh. “Saya hanya ingin mengingatkan kepada seluruh tim, jangan terulang kembali Ikrar Lamteh, yang diberikan keistimewaan, ternyata hanya bingkainya saja, tapi niscaya isinya kosong. RUU ini jangan seperti Ikrar Lamteh,” kata Tarmizi Rajab, rektor Universitas Serambi Mekkah (USM) Banda Aceh, juga di hadapan anggota Pansus RUU PA. Ketua Tim Ferry Mursyidan Baldan, hanya manggut-manggut. Begitu juga dengan anggota lain. Farhan Hamid yang duduk tak jauh dari Tarmizi Rajab, saksama mendengar omongan sang rektor. Dia mengaku merekam semua aspirasi yang disampaikan peserta pertemuan.

Kalau Tim Pansus gagal menggolkan aspirasi Aceh dalam RUU PA, sebut Tarmizi, maka daerah yang lelah dalam perang ini akan kembali ke masa kehancuran. Masyarakat tidak lagi leluasa dalam beraktivitas, kekacauan dikhawatirkan akan kembali terjadi. “Itu tidak boleh terjadi. Jangan sampai luka lama bernanah kembali,” tukasnya, tegas.

Kekhawatiran luka lama akan kembali menganga, juga dikemukakan dr. Andalas. Doktor yang sudah lama menangani korban di masa konflik memanas ini, mengaku sering menerima “curhatan” dari istri mantan anggota Tentara Neugara Aceh (TNA), sayap militer Gerakan Aceh Merdeka.

Menurutnya, istri kombatan itu galau dengan kondisi Aceh sekarang ini. Kendati damai sudah ditorehkan di atas kertas, mereka masih menyimpan pengalaman pahit Jeda Kemanusiaan (2001) dan Cessation of Hostilities Agreement (CoHA/2002). Dua perjanjian ini belakangan gagal dan perang kembali berkobar di Aceh. Mesin-mesin perang yang didatangkan ke Tanah Jeumpa untuk memburu sang suami mereka, belum juga pupus dari ingatan. “Banyak istri GAM yang berobat kepada saya mengatakan kegalauan mereka,” kata Andalas.

Kegalauan istri mantan kombatan GAM itu disebabkan, RUU PA yang diajukan DPRD Aceh ke Pemerintah, ternyata banyak dipangkas oleh Departemen Dalam Negeri. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mencatat, ada 37 pasal yang dipangkas dan direduksi Jakarta. Yang paling krusial adalah penambahan ayat (3) dalam Pasal 7 versi Depdagri, yang menyatakan, “di samping kewenangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) terdapat urusan pemerintahan lain yang oleh peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai kewenangan Pemerintah”.

Pasal ini dinilai sebagai bentuk ketidakseriusan Pemerintah Indonesia dalam menuntaskan persoalan yang terjadi di Aceh. Perubahan dan distorsi yang dilakukan Depdagri sendiri cenderung menjadikan UU PA tidak aspiratif. “Pengaruh adanya perubahan, penambahan, perbaikan, sangat besar pada arti substansi dari RUU PA,” ujar Iskandar Gani, akademisi Universitas Syiah Kuala yang terlibat dalam penyusunan draf RUU PA versi DPRD Aceh. “Maka, kami harapkan supaya Pansus membahas RUU PA versi DPRD Aceh, bukan versi Depdagri.”

Kalangan mahasiswa sendiri mengancam akan terus melakukan aksi unjukrasa jika UU PA yang disahkan nantinya itu, tidak mengakomodir aspirasi masyarakat Aceh yang telah tertuang dalam draf versi DPRD. Saat Pansus RUU PA mengunjungi Aceh awal Maret silam, gelombang demo terus terjadi. Bahkan, Ketua Pansus Ferry Mursyidan Baldan dipaksa mendatanganani perjanjian dengan mahasiswa. Perjanjian itu meminta supaya Pansus komit dalam menjaga perdamaian Aceh dan mengesahkan RUU PA sesuai dengan harapan rakyat Aceh.

Kini, bola ada di tangan Pansus DPR-RI. Di dalamnya, ada beberapa nama yang sudah tidak asing bagi masyarakat Aceh, semisal Ahmad Farhan Hamid, Imam Syuja’ (PAN), Muhammad Yus (PPP), dan Nasir Djamil (PKS). Mereka adalah anggota DPR asal Aceh. Gelinding bola RUU PA ini juga ada di tangan mereka. Karenanya, wajar saja kalau Ghazali Abbas Adan, bekas anggota DPR RI asal Aceh, meminta anggota DPR asal Aceh yang tergabung dalam Forum Bersama untuk berani menentukan sikap; walk out!

“Mereka harus berani tunjukkan untuk walk out. Mereka harus punya nyali dan keberanian sehingga mereka betul-betul menjadi wakil rakyat yang profesional bukan amatiran, dengan membawa aspirasi rakyat Aceh sebagaimana tertuang dalam MOU Helsinki dan RUU PA versi DPRD,” kata pria asal Pidie yang vokal di Senayan ini, Selasa, 7 Maret lalu.

Lantas, bisakah Forbes menggolkan bola ini ke gawang? Kita tunggu saja babak selanjutnya. | FAKHRURRADZIE

Selasa, Maret 14, 2006

Pieter Feith: Pemerintah Harus Bubarkan Kelompok Ilegal

Reporter: Fakhrurradzie

Aceh Monitoring Mission akan mengakhiri tugasnya pada 15 Juni 2006 ini. Pemerintah Indonesia menegaskan, perpanjangan misi AMM untuk memantau proses pergantian perundang-undangan dan pemilihan kepala pemerintahan (Pilkada) yang juga diharapkan bisa digelar pada Juni ini.

Banyak persoalan yang telah ditangani AMM selama berada di Aceh sejak 15 September 2005 lalu. Mulai tahap pemusnahan senjata, relokasi pasukan TNI dan Polri non-organik, dan masalah reintegrasi bekas kombatan Gerakan Aceh Merdeka. AMM berjanji akan menyelesaikan mandatnya sebelum meninggalkan Aceh.

“Kami akan berusaha menyelesaikan isu atau setiap masalah,” kata Ketua AMM Pieter Feith.

Pieter Feith juga menyatakan, dengan personel yang berjumlah 85 orang yang tersisa di Aceh, mereka akan memantau proses pembahasan Rancangan Undang Undang Pemerintahan Aceh dan akan memantau proses pelaksanaan Pilkada. Setelah RUU PA disahkan menjadi UU, maka Gerakan Aceh Merdeka dan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) diharuskan mengganti nama. Juga, Pemerintah diminta membubarkan kelompok ilegal atau milisi sebelum AMM meninggalkan Aceh.

“AMM meminta Pemerintah Indonesia untuk memberikan konfirmasi tertulis, tidak ada lagi kelompok ilegal yang eksis di Aceh. Pemerintah Indoesia setuju dan akan diberikan sebelum AMM pergi,” lanjutnya.

Kepada Fakhrurradzie dari acehkita.com yang menemuinya di Markas Besar AMM di Banda Aceh, Senin (13/3), Pieter Feith berbicara panjang lebar mengenai mandat AMM yang belum selesai dilaksanakan, hingga Insiden Peudawa, Aceh Timur, yang menurutnya melanggar hak asasi manusia (HAM). Berikut perikannya.

Apa saja yang telah berhasil dikerjakan selama enam bulan AMM berada di Aceh?

Kami melihat suatu perkembangan yang sangat bagus telah dihasilkan dalam perdamaian Aceh. Kami telah menyelesaikan tugas-tugas militer, yaitu proses decommissioning dan relokasi TNI/Polri non-organik. Untuk proses reintegrasi, sedang berlangsung. Kita melihat ada dana yang sudah tersedia. Kita tahu ada satu struktur yang namanya Badan Reintegrasi Aceh (BRA), yang dibentuk oleh Pemerintah dan GAM terlibat di dalamnya. Dalam BRA kita bisa mengharapkan kedua belah pihak akan membuat suatu kontak langsung dan dialog langsung membahas masalah program reintegrasi, seperti kelompok penerima bantuan.

AMM tetap menfasilitasi, tapi kita harap kedua belah pihak tetap menyelesaikan isu-isu berhubungan dengan nota-nota kesepakatan, tanpa harus adanya penengah dari AMM. Keduanya bisa kontak langsung. Pengamatan kita, amat positif belakangan ini.
Bagaimana dengan kasus amnesti yang masih bersengketa?
Kita masih punya tugas itu. Kami berharap kedua belah pihak mampu membangun suatu kontak, dialog secara langsung, untuk bahas kasus amnesti yang bersengketa. Karena ada beberapa tahanan politik yang masih ditahan menurut GAM, dan belum mendapatkan amnesti.

Apakah AMM memantau proses pembahasan RUU PA?
Proses RUU PA terus dipantau selama ini. Dalam MoU disebutkan harus diselesaikan akhir Maret 2006. Tapi, dalam hal ini AMM amat menghargai kerja parlemen nasional yang sedang membahas RUU PA. Kalau lebih banyak waktu untuk mengesahkan ini, itu memungkinkan. Yang jelas, RUU PA harus sesuai dengan UUD 45 dan Nota Kesepakatan (MoU).

Kami berharap Pilkada bisa selesai selama AMM masih ada di sini. Kedengaran ambisius memang, tapi suatu usaha yang keras tetap harus diupayakan untuk merealisasikan hal ini. Kami akan memberikan laporan kepada Uni Eropa dan ASEAN. Saya juga membuat laporan sendiri terhadap apa yang berlangsung. Penilaian itu juga diberikan kepada Pemerintah Indonesia dan GAM secara tertutup.

Bagaimana dengan tugas AMM yang belum selesai?

Menurut saya, tidak ada tugas yang tidak harus diselesaikan. Kami sudah mendiskusikan dengan Gubernur Aceh, semua isu yang masih tertunda harus diselesaikan, seperti kasus amnesti harus diselesaikan sebelum kami pergi. Ini untuk mengurangi terjadinya konflik baru.

Bagaimana mekanisme penyelesaian beberapa kasus yang tertunda setelah AMM meninggalkan Aceh?
Kami akan berusaha menyelesaikan isu atau setiap masalah. Secara pribadi, saya masih bisa membantu untuk menyelesaikan masalah, hanya saja setelah kami pergi, tidak ada mandat yang resmi.

Selama bertugas, apakah AMM menangani kasus yang mengindikasi melanggar MoU?

Masalah di Peudawa misalnya, diselidiki oleh polisi dan pemerintah. Kami telah menerima laporan dan melakukan investigasi. Kasus di Blang Pidie (penyerbuan kantor SIRA) masih ada penyelidikan lebih lanjut. Jika ada kasus, akan kita minta kedua belah pihak untuk mengatasi sama-sama.

Apakah AMM bisa menyelesaikan tugas di Aceh selama tiga bulan lagi?
Ini sangat tergantung kepada kerjasama kedua belah pihak. Tapi, penyelesaian tugas-tugas AMM yang tersisa, kelihatannya bisa diselesaikan. Masalah program reintegrasi adalah program yang kontinu, akan terus dilaksanakan, bahkan setelah AMM pergi.

Bagaimana dengan organisasi SIRA dan GAM selanjutnya?

Saya menjelaskan kepada SIRA harus mengubah nama dan misinya. Saya juga mengadakan diskusi yang sama dengan GAM. Saya bilang kepada Gubernur bahwa, kalau RUU PA sudah disahkan, GAM dan SIRA harus mengganti nama dan profilnya. Juga menghapuskan referensi yang mengkaitkan masa lalu, contohnya dengan kata refendum. Itu bukan kata yang sesuai untuk nama suatu organisasi di Aceh.

Untuk GAM, kata ‘merdeka’ juga harus dihilangkan, karena tidak harmonis dengan MoU. Untuk itu, saya memastikan kepada GAM, ketika RUU-PA disahkan, semua referensi yang menyangkut kata merdeka dan masa lalu harus dihapuskan. Mereka harus meneruskan perjuangan mereka dengan nama yang lain.

Bagaimana dengan pembubaran kelompok ilegal atau milisi yang ada di Blang Pidie, Takengon, atau di sejumlah tempat lainnya?
Pemerintah Indonesia telah bersedia menangani kasus ini. Dalam MoU disebutkan, Pemerintah Indonesia harus memastikan tidak ada kelompok-kelompok ilegal di Aceh. AMM meminta Pemerintah Indonesia untuk memberikan konfirmasi tertulis, tidak ada lagi kelompok ilegal yang eksis di Aceh. Pemerintah Indnoesia setuju dan akan diberikan sebelum AMM pergi.

Apa kesan anda selama ini di Aceh?
Aceh adalah sebuah provinsi yang menarik di Indonesia. Saya terkesan dengan perdamaian di Aceh yang bisa cepat, rekonsiliasi antara TNI, Polisi dan mantan anggota GAM. Saya juga terkesan dengan warga Aceh untuk bangkit setelah tsunami dan konflik yang malanda Aceh. Saya senang dan terhormat berada di Aceh. Warga di sini juga telah menerima sebagai bagian dari NKRI, dengan beberapa otonomi tentunya. Saya yakin dengan kekayaan Aceh, akan memiliki masa depan yang baik. [dzie]

Minggu, Maret 12, 2006

Negeri Ganja

Kembali ladang ganja ditemukan di Bireuen, Aceh, Ahad (12/3). Daerah ini telah menjadi penghasil ganja terbesar di dunia. Dalam sebulan sahaja, sudah seratusan hektare ganja ditemukan. Itu hanya di kawasan Kabupaten Bireuen. Belum di Blang Pidie Aceh Barat Daya, atau di Aceh Utara pedalaman. Belum angka yang ditemukan di Takengon Aceh Tengah atau di Kutacane Aceh Tenggara.

Di Aceh Besar, sebuah subdistrik sangat terkenal karena ganja. Lamteuba nama distrik itu. Kalau orang sudah berbicara Lamteuba, maka asosiasi yang akan berkembang ada dua: daerah hitam dan ganja.

Benar, bahwa Lamteuba terkenal sebagai kawasan hitam yang penuh dengan gejolak. Jarang ada yang pergi ke kawasan ini. Santer terdengar kabar, Lamteuba dikuasai Gerakan Aceh Merdeka, dulunya. Seperti halnya Nisam di Aceh Utara dulu. Warga Nisam dulu juga hidup dalam kungkungan konflik. Pasukan GAM bebas bergerak, laiknya polisi dan tentara Indonesia berpatroli di kota-kota. Tidak ada kekuasaan Indonesia di sana.

Saya pernah mendengar rumor (tidak tahu apa benar atau tidak, karena saya belum pernah ke sana). Ada warga Nisam yang turun ke Lhokseumawe untuk membeli peralatan rumah tangga dan kebutuhan sehari-hari. Eh, saat terjaring sweeping tentara Indonesia, warga Nisam malah ditanyain paspor. Bukan KTP! Saya tidak tau, apakah rumor ini benar adanya atau jenaka belaka.

Kembali ke Lamteuba. Di kawasan ini, berkisar antara tahun 2000 hingga 2002, beberapa personel tentara Indonesia dari Kesatuan Angkatan Udara menjemput maut, karena dihadang pasukan gerilyawan. Pemandangan ini memang lazim terjadi di kawasan lain, saat itu.

Nah, yang membuat harum nama Lamteuba, karena ganja produksi di sana, dikabarkan bagus. Banyak dijumpai tanaman haram itu di sana. Entah siapa penguasa atas ganja itu. Apakah GAM, penduduk setempat, atau malah hasil kongkalikong aparat Indonesia dengan pengusaha setempat, lokal, dan bahkan pengusaha dari luar Aceh. Entahlah. Tapi, bukankah aparat polisi dan tentara juga doyan dan sangat suka dengan daun haram itu?

Di daerah hitam, tak jarang memang serba hitam atau abu-abu. Sulit menebak dan memprediksinya. Namanya saja hitam!

Ganja di Aceh sudah dikenal puluhan tahun silam. Tetua Aceh dulu, kabarnya menjadikan biji ganja sebagai pelezat makanan. Ini benar adanya.

Kalau Anda pernah mencicipi mie Aceh atau kari kambing, jangan-jangan, dua jenis makanan yang Anda cicipi itu, terkandung buliran biji ganja. Lezat bukan? Bila setelah makan dua jenis masakan Aceh itu Anda merasa berkunang-kunang, maka, yakinlah makanan itu terkandung biji ganja. Saya tidak berbohong!

Teungku Bantaqiyah, yang dibantai militer Indonesia pada 23 Juli 1999 di pesantren Babul Mukarramah miliknya di Beutong Ateuh, Nagan Raya (dulu Aceh Barat), juga disebut-sebut sebagai ulama yang menghalalkan ganja. Kata informasi itu, Bantaqiyah menghalalkan ganja untuk membeli senjata untuk keperluan Gerakan Aceh Merdeka yang ingin memisahkan Aceh dari republik ini.

Karenanya, Bantaqiyah kemudian menjadi orang nomor wahid yang menjadi incaran pasukan Indonesia. Hingga, pada hari Jumat 23 Juli 1999 itu, Bantaqiyah harus mati di tangan pasukan pembunuh itu.

Itu sekelumit kisah ganja dan efek besarnya. Selain tentu, merusak kesehatan si penghisap. Tidak diceritakan lagi, kalau ganja memang bisa mematikan, lebih bahaya dari Extacy, kalau overdosis ganja.

Banda Aceh, March 12, 2006

Sabtu, Februari 18, 2006

Maimun


Temenku yang lagi sangat serius. Suatu masa di Maharadja Hotel Mampang Prapatan. Sebelum perpecahan itu..! (Foto: Asri) Posted by Picasa

Rabu, Januari 25, 2006

Rusak Parah


Jalan Lamno-Calang rusak parah. Foto: Radzie/acehkita.com Posted by Picasa

Minggu, Januari 22, 2006

BANK DATA
Sembilan Tengkorak Ditemukan di Bekas Pos Aparat


Radzie

Sejak Agustus 2005, acehkita.com mencatat, sembilan tengkorak manusia ditemukan di lahan yang pernah ditempati militer. Mayat yang ditemukan, umumnya masih bisa dikenali dari ciri-ciri khusus yang dimiliki korban semasa hidup. Tidak semua korban terlibat GAM.

Pascapenarikan pasukan Tentara Nasional Indonesia non-organik dari Aceh, masyarakat gencar melakukan pencarian dan penggalian kuburan di bekas pos yang pernah ditempati militer.

Sejak Agustus 2005, acehkita.com mencatat telah sembilan tengkorak manusia ditemukan di lahan yang dulunya pernah ditempati militer yang sedang gencar mengeliminir kekuatan bersenjata gerilyawan. Mayat-mayat yang ditemukan itu, umumnya masih bisa dikenali dari ciri-ciri khusus yang dimiliki korban semasa hidup, atau dari pakaian yang dikenakan saat raib atau ditangkap. Mereka umumnya korban di masa pemberlakukan darurat militer dan sipil di bumi Serambi Mekkah ini.

Kerangka pertama ditemukan di Desa Lhok Merbo, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara, pada 20 November 2005. Di sana warga menemukan dua tengkorak, M Ihsan (12) dan Yasin (18). Kakak beradik ini ditangkap pada masa darurat militer diberlakukan di Aceh. Sejak penangkapan itu, tidak diketahui keberadaan hingga penemuan kuburan di bekas pos aparat.

Warga Desa Lhok Merbo sudah lama curiga ada kuburan di pos aparat. Namun, karena lahan itu masih ditempati pasukan, warga tidak berani membuktikan kecurigannya. Baru setelah pasukan TNI ditarik dari Aceh, seiring dengan pemusnahan senjata milik GAM, masyarakat berani menggali kuburan yang ada di sana. Tragisnya, warga menemukan dua kerangka dalam satu liang.

Pencarian dan penemuan korban di masa darurat tidak berhenti sampai di situ. Warga di desa lain di Aceh Utara, juga tergerak untuk mencari dan menggali kuburan di bekas pos aparat. Tidak sia-sia, mereka menemukan sejumlah kerangka korban.

Puncak penemuan tengkorak manusia ini terjadi pada bulan Januari 2006. Tercatat, enam kerangka manusia ditemukan di pembuka tahun ini.

Tidak semua korban yang ditemukan itu, merupakan orang yang terlibat dengan Gerakan Aceh Merdeka. Kendati tidak dipungkiri beberapa korban merupakan bagian dari para gerilyawan.

“Dia bukan GAM!” kata Nur Asiah (50), ibu kandung Zulkifli Sarong (18), yang ditemukan di Desa Lueng Jalo, Kecamatan Paya Bakong, sambil menitikkan airmata, Rabu (4/1).

Menurut Nur Asiah, anaknya dinyatakan hilang setelah ditangkap pasukan pemerintah pada 10 Juli 2002 di salah satu warung kopi. Dia ditangkap bersama Rasyidin, warga Desa Serdang. Setelah ditangkap, Zulkifli dan Rasyidin dinaikkan ke dalam panser, dan lenyap!

Nur Asiah bisa mengenali anaknya dari pakaian dan dompet yang ditemukan di dalam liang bersama jenazah. Ciri-ciri itu, kata Nur Asiah, sesuai dengan pakaian yang dikenakan anaknya pada hari penangkapan.

“Itu anak saya. Saya tanda dari baju, celana dalam, dan gigi,” kata Nur Asiah, masih menangis.

Kasus penemuan mayat teranyar terjadi pada Selasa, 17 Januari lalu. Dan ini, ditemukan di Lhokseumawe. Delapan tengkorak sebelumnya ditemukan di Kabupaten Aceh Utara, sebuah wilayah yang paling gencar operasi militer. Warga Kecamatan Blang Mangat, Lhokseumawe, menemukan tengkorak di bekas pos yang dulunya ditempati pasukan TNI dari Yonif 121 di Cot Teubee, Desa Mane Kareueng.

Menurut informasi yang dihimpun situs ini, penemuan kerangka tersebut dilakukan ketika warga mencurigai di lokasi itu, sering terjadi tindak kekerasan. warga merasa yakin, di Cot Tubee, yang dulunya ada pos TNI, kerap ditanam mayat korban yang kala itu dicurigai sebagai anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

M Nurdin (45), salah seorang warga, mengaku yakin di Cot Teubee ada mayat yang dikuburkan usai dianiaya. “Kami merasa yakin lagi, ketika seorang anak yang sering bermain di bekas pos itu, mengatakan kepada ayahnya, orang TNI bilang ada ditanam mayat bernama si Manto,” ujar Nurdin. Manto yang dimaksud adalah Abdurrahman bin Thaeb. Dia tak lain adik dari M Nurdin.

Setelah merasa yakin, pada pukul 15.00 WIB. Selasa (17/1), mereka lantas menggali tempat yang dicurigai adanya mayat. Untuk memastikan lokasi kuburan, sang anak yang memberikan informasi tadi, juga diajak serta.

“Anak itu ikut bersama kami dan menunjukkan ke arah belakang pos, di sebuah kebun kemiri tempat ditanamnya salah seorang anggota keluarga kami,” kata Nurdin kepada acehkita.com, di lokasi penggalian kuburan, Rabu (18/1).

Namun, setelah diindentifikasi, pihak keluarga memastikan bahwa jenazah itu bukan Manto.

Bagaimana tanggapan TNI atas penemuan mayat di bekas pos aparat?

Panglima Kodam Iskandar Muda Mayjen Supaidin AS mengatakan, penggalian kuburan harus ada izin pengadilan dan kepolisian, serta disaksikan aparat pemerintahan, agar tidak menimbulkan rekayasa.

“Tetapi jika penggalian itu untuk dikuburkan kembali, ya tidak ada masalah. Tapi jangan direkayasa,” kata Supiadin, menjawab pertanyaan wartawan usai upacara pemulangan 1.368 pasukan TNI di Pelabuhan Krueng Geukueh, Aceh Utara, Jumat (15/11) silam.

Menanggapi pengakuan Zaini dan Bukhari, yang mengaku yakin bahwa itu adalah kerangka anak mereka, menurut Supiadin, pengakuan tersebut sedikit aneh. “Kok begitu langsung bisa tahu itu jenazah anaknya. Sementara bentuknya sudah tidak karu-karuan," ujarnya.

Namun menanggapi kasus tewasnya dua warga yang diperkirakan pada tahun 2003 itu, Supiadin menyatakan, “Mungkin, ketika dia kembali dari pos itu setelah dipanggil, diculik sama pihak yang tak bertanggungjawab di jalan,” klaimnya.

"Anda tahu kan gimana situasi 2003 pasca-CoHA, di mana keadaan sangat kacau. Tapi setelah itu, dia tak pernah kembali. Kemudian diambil kesimpulan dia dibunuh oleh si pos itu,” lanjutnya.

Namun, menurutnya, bila kedua korban itu dibunuh oleh anggota TNI, sesuai dengan nota kesepahaman RI dan GAM, pelanggaran HAM yang terjadi sebelum MoU semua harus dilupakan dan dihapus. “Kita akan tangani kasus pelanggaran HAM yang serius adalah pasca-MoU,” kilahnya.

"Kita harus pegang teguh itu dong, jangan lah meminta hak segala macam melebihi rakyat. TNI harus pegang GAM harus pegang. Mari kita hidup sama-sama, biar Aceh ini damai.”

Sekedar catatan, di masa pemberlakuan darurat militer, sejumlah organisasi non-pemerintah juga mengajukan keberatan dengan tindakan TNI yang menggali sendiri lokasi kuburan tanpa melibatkan Komnas HAM atau kepolisian.

Bisa Hilangkan Bukti
Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh menyatakan, penggalian kuburan korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di bekas pos TNI oleh keluarga korban tanpa melibatkan kepolisian dan Komisi Nasional (Komnas) HAM, merupakan tindakan yang keliru. Alasannya, tindakan itu bisa menghilangkan barang bukti dugaan kejatahatan terhadap kemanusiaan di Aceh.

Untuk itu, KontraS Aceh menyatakan, menyesalkan sikap Komnas HAM dan Kepolisian Aceh yang membiarkan terjadinya penggalian kuburan korban konflik oleh keluarga korban dan masyarakat; mendesak Komnas HAM dan Kepolisian Aceh untuk menindaklanjuti temuan lokasi-lokasi kuburan korban konflik di Aceh an melakukan penggalian berdasarkan prosedur hukum; menghimbau kepada keluarga korban dan masyarakat yang menemukan kuburan korban konflik agar segera melaporkan kepada Komnas HAM dan pihak Kepolisian setempat.

Menurut KontraS Aceh, penemuan dan penggalian jenazah korban konflik bukan hanya terjadi di Aceh Utara, tapi juga di Aceh Tamiang, Aceh Besar, dan Pidie. Di Aceh Besar, penggalian dan evakuasi jenazah korban dilakukan oleh Palang Merah Indonesia. Di Aceh Tamiang, penggalian dan evakuasi dilakukan oleh keluarga korban dan masyarakat setempat, demikian juga di Aceh Utara dan Pidie. Umumnya, korban ditemukan sudah menjadi kerangka dan bahkan ada yang ditemukan tidak lengkap.

Di Aceh Utara dan Lhokseumawe, masyarakat mengikutsertakan Tim Aceh Monitoring Mission, Gerakan Aceh Merdeka, TNI (Koramil) dan Polisi (Polsek/Polres) untuk menyaksikan upaya penggalian itu. Jika tidak didampingi tim AMM, masyarakat tidak berani menggali kuburan.

Kendati telah ditemukan sembilan tengkorak korban konflik, Komnas HAM dan Kepolisian Aceh belum mengeluarkan statement dan kebijakan untuk menindaklanjuti temuan warga ini. Entah sampai kapan, Komnas HAM baru tergugah untuk menindaklanjuti temuan yang diduga merupakan tindak kejahatan terhadap kemanusiaan di Aceh. [dzie]

Foto: Armia MA/acehkita.com

Senin, Januari 02, 2006

Ujian di Tenda

Murid SD Negeri 27 Kampung Mulia, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh, mengikuti ujian di sekolah tenda, karena gedung sekolah mereka yang rusak dihumbalang tsunami, belum diperbaiki. (Radzie)Image hosted by Photobucket.com

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting