Kamis, Mei 17, 2012

GAM Pun Siap Memberantas Korupsi

NAGAN RAYA

GAM Pun Siap Memberantas Korupsi

Oleh FAKHRURRADZIE M. GADE dan ADI WARSIDI

JARUM jam menunjukkan angka 10.00 WIB. Ruangan yang akan digunakan untuk acara Sosialisasi Pemberantasan Korupsi yang diselenggarakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih belum penuh terisi. Para peserta yang kebanyakan dari unsur Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagian masih asik ngobrol di luar ruangan. Sejatinya, sosialisasi yang dibahani Wakil Ketua KPK Amien Sunaryadi dimulai pada pukul 09.00 WIB.

Panitia berkali-kali mengumumkan acara akan segera dimulai dan peserta diminta mengisi kursi yang telah disediakan di ruang pertemuan Pemerintah Kabupaten Nagan Raya. Peserta tetap saja bergeming. Acara kemudian dimulai pada pukul 10.30 WIB.

Amien Sunaryadi yang menjadi pembicara, menjelaskan 30 jenis korupsi yang sudah diatur dalam Undang Undang No 20 tahun 2001 junto UU No 31 tahun 1999. Menurut Amien, 30 bentuk dan jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tujuh katagori besar: (1) kerugian keuangan negara; (2) suap-menyuap; (3) penggelapan dalam jabatan; (4) pemerasan; (5) perbuatan curang; (6) benturan kepentingan dalam pengadaan; (7) gratifikasi.

Setelah memperkenalkan jenis dan bentuk tindak pidana korupsi, Amien meminta para peserta supaya menghindari dari perbuatan korupsi. Dan, jika menemukan indikasi korupsi maka segera laporkan ke aparat penegak hukum.

“Kalau menemukan indikasi korupsi, cocokkan dengan yang ada di buku ini (Memahami untuk Membasmi). Kalau cocok, maka itu korupsi. Tapi kalau tidak cocok, berarti bukan. Kita harus berani mengatakan yang benar itu benar, dan yang salah itu salah,” kata Amien. “Kenapa hanya berpegang pada 30 jenis ini? Karena yang ada di UU hanya 30 jenis ini.”

Saat sesi tanya jawab tiba, Teungku Bukhari, anggota DPRD Nagan Raya mempertanyakan kenapa KPK tidak menangani kasus megakorupsi yang melibatkan bekas orang nomor satu di Indonesia, Suharto, yang memimpin Indonesia selama 30 tahun. “Tingkat mana praktik KPK (dalam pemberantasan korupsi), sehingga rakyat belum melihat Suharto ditindak. Ini kenapa dan apa faktornya,” kata anggota DPRD tersebut.

Ditanya mengenai nasih proses hukum terhadap bekas orang kuat di Indonesia itu, Amien mengatakan, Suharto sudah pernah dibawa ke meja hijau, jauh sebelum KPK dibentuk pada 2003 silam. Bahkan, majelis hakim yang menyidangkan perkara sudah pernah mengetok palu atawa memutuskan perkara itu. Sayang, fakta hukum dan medis menunjukkan Suharto sakit. “Sakit atau nyakit itu kan beda tipis,” sindir Amien.

Adanya fakta hukum tersebut membuat proses hukum berlarut-larut. Pemeriksaan terhadap kesehatan Suharto terus dilakukan pemerintah. Kemudian Mahkamah Agung (MA) memutuskan dan memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk melanjutkan kasus tersebut. Tapi apadaya, Suharto kembali sakit, sehingga membuat PN Jakarta Selatan tidak bisa melanjutkan pemeriksaan.

Melihat kondisi ini, Kejaksaan Agung akhirnya mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penuntutan (SP3) dan menutup kasus Suharto. “Kalau sudah SP3 berarti proses hukumnya berhenti. Sudah tidak bisa dilanjutkan kembali,” ujarnya.

KPK memang berniat membuka kembali kasus itu, misalnya, dengan mengajukan novum (bukti-bukti baru). Tapi KPK terkendala dengan UU No 31/1999 yang membatasi gerak lembaga itu. Dalam UU, KPK hanya diberikan wewenang menangani kasus tindak pidana korupsi setelah lembaga yang dipimpin Taufiqurrahman Ruki itu terbentuk. Artinya, KPK tidak berhak menangani berbagai kasus korupsi yang terjadi sebelum KPK terbentuk.

“Jadi, KPK fokus pada pengusutan dan penanganan kasus mulai 1999 sampai dengan sekarang ini. Sebelumnya, KPK ragu-ragu apakah bisa ditangani atau tidak,” kata dia. “Kenapa UU demikian? Kami tidak tahu, yang bikin DPR dan Presiden.”

Tidak semua peserta sosialisasi peduli dengan proses hukum terhadap Suharto. Mahdi, seorang anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mengaku tidak mempersoalkan apakah Suharto dihukum atau tidak atas berbagai tindak pidana korupsi yang diperbuatnya. Bagi Mahdi, yang paling penting dilakukan saat ini adalah membongkar kemungkinan adanya kasus korupsi di kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat ini. “Saat ini yang paling mendesak dilakukan adalah pengusutan kasus korupsi di Nagan Raya,” kata dia saat mengajukan pertanyaan.

Mahdi mengatakan, GAM siap membantu KPK dalam mengusut berbagai dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi di kabupaten yang dibentuk berdasarkan UU No 4/2002 tertanggal 10 April 2002.

Amien setuju pemberantasan korupsi di Nagan Raya harus digiatkan. Dia mengaku tidak habis pikir dengan kondisi ril masyarakat Aceh. Di satu sisi, sumberdaya alam yang ada di Aceh berlimpah, ditambah lagi dengan banyaknya uang yang mengalir ke Aceh pascatsunami dan konflik. Namun di sisi lain, masyarakat Aceh terus hidup dalam kemiskinan yang membelit. “Ke depan, dana yang mengalir ke Aceh ini jangan sampai dikorupsi,” kata dia.

Dia meminta aparat penegak hukum di Aceh untuk lebih giat dalam memberantas korupsi, supaya hukum lebih berwibawa di bumi Serambi Mekkah ini. Karena itu, dia meminta aparat penegak hukum untuk menindak pejabat pemerintahan yang mengorupsi dana rakyat.

“Kalau ada oknum pejabat yang korupsi dana Aceh dan dibawa ke luar Aceh, ini salah dan harus dicegah. Dana itu harus digunakan untuk kesejahteraan rakyat,” sebutnya. “Kalau ada informasi terjadinya korupsi di sini, laporkan ke KPK.”

Lantas apakah di Nagan Raya ada dugaan korupsi dana negara dan publik, atau penyalahgunaan kekuasaan? Menarik jika menyimak keluh kesah yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar dari LSM Peduli Pembangunan dan Kerakyatan.

Ibnu Hajar mengaku, LSM yang dipimpinnya saat ini sedang mengadvokasi puluhan warga yang lahan/tanahnya diambil Pemerintah Kabupaten Nagan atas restu DPRD. Anehnya, warga sama sekali tidak memperoleh ganti rugi atas tanah tersebut. Sayangnya, warga yang memiliki tanah itu tidak bisa membuktikan bahwa itu adalah miliknya, karena tidak mengantongi sertifikat tanah. Tapi, “Ada surat jual beli di atas segel,” kata dia.

“Apakah itu termasuk dalam korupsi?” tanya Ibnu Hajar kepada Amien Sunaryadi.

Tanah yang dimaksud Ibnu Hajar berada empat desa: Blang Gapek, Lueng Baro, Suak Bilie, dan Cot Kuta. Luasnya mencapai 312 hektar. Menurut Ibnu Hajar, tanah itu telah digarap selama puluhan tahun oleh warga. Selama ini, Pemkab Nagan Raya hanya membayar biaya land clearing sebesar Rp 600 per meter. “Kami sudah menggugat ke pengadilan,” kata dia lagi.

Di Pengadilan Negeri Nagan Raya, majelis hakim meminta penggugat dan tergugat untuk berdamai, Oktober 2005. Ibnu Hajar menuding terjadinya aksi suap menyuap sebelum para pihak berdamai. “Hakim sudah mengeluarkan akta perdamaian. Dan warga mau dibayar Rp 600 per meter oleh pemerintah,” ujarnya. “Tapi harga itu bukan muncul dari hasil dialog.”

Setelah adanya perdamaian itu, hanya 70 warga lagi yang masih bersikukuh pada pendiriannya. Sebelumnya, 150 orang yang mau menggugat Pemkab Nagan Raya. Dia menyebutkan, setelah lebaran Idul Fitri 1427 H kemarin, pihaknya dan 70 warga mau kembali mengambil lahan yang telah digarap selama 30 tahun itu. Ibnu Hajar sendiri termasuk salah seorang pemilik lahan.

Lahan yang diambil pemerintah itu untuk membangun pusat Pemerintahan Kabupaten Nagan Raya. Di sana nantinya akan dibangun kantor bupati dan DPRD.

Amien Sunaryadi mengatakan, penggusuran merupakan hal yang lumrah terjadi di sebuah negara. Di Amerika Serikat, UU mengatur masalah penggusuran ini. Di sana disebutkan, pemilik lahan wajib melepaskan lahan yang dikuasainya. “Bayangkan AS yang sangat individual, hukumnya mewajibkan pemilik lahan untuk melepaskan lahannya,” kata dia.

Tapi kewajiban melepaskan lahan ada syaratnya, yaitu kalau lahan itu akan dipakai untuk kepentingan umum, seperti pembuatan laham. Syarat kedua, setelah diberikan kompensasi yang wajar. Namun sangat sulit untuk mendefinisikan wajar di sini. “Kalau dibuat terlalu besar, maka akan merugikan APBD, dan rakyat keseluruhan. Tapi kalau terlalu kecil, akan merugikan pemilik lahan,” kata dia.

Unsur korupsi bisa saja terjadi di ranah ini. Misalnya, pejabat yang mengeksekusi tanah memotong dana kompensasi yang seharusnya diterima para pemilik lahan. “Kalau ganti rugi tinggi, tapi sebagian malah diambil para pejabat, itu benar-benar korupsi. Begitu juga, kalau ganti rugi yang telah ditetapkan dengan harga wajar tapi dipotong, ini juga korupsi. Bisa kena pasal 12 B, yaitu memaksa seseorang menerima pembayaran dengan potongan. Ini korupsi!” kata dia.

***

SESI kedua sosialisasi dibahani oleh Hayie Muhammad, direktur program Indonesia Procurement Watch (IPW), Kasru dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias, dan M Ali Basyah Amin dari Bappeda Provinsi Aceh. Hayie Muhammad memberikan materi tentang pengadaan barang dan jasa.

Kepada Hayie, Ir. Tarmizi, kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Nagan Raya, menanyakan seputar proyek pengadaan barang di dinas-dinas. “Jika ada proyek teknis senilai antara Rp 100-200 juta, apakah ini bisa di-swakelola-kan?” tanya Tarmizi.

Tarmizi juga “menggugat” BRR atas program pengadaan perahu nelayan yang menjadi korban tsunami, yang dinilai kualitasnya tidak bagus. Itu pun, perahu tersebut dibuat oleh pengusaha di luar Nagan Raya. Akibatnya, perahu tersebut tidak bisa berlayar karena tidak sesuai dengan kondisi ombak yang ada di laut Nagan Raya.

“Serangan” terhadap BRR bukan hanya dari Tarmizi. Sebelumnya, Teungku Muhammad Din, warga Desa Lhok Paro, dan Teungku Bukhari, anggota DPRD setempat juga memprotes BRR yang telah berjanji akan membangun dan memperbaiki sarana jalan menuju ke Desa Tripa Baroh.

“BRR telah berjanji untuk membangun jalan di sana pada tahun 2005. Tapi sampai sekarang jalan belum juga diperbaiki,” kata dia, sembari mempertanyakan komitmen BRR untuk memperbaiki jalan itu pada tahun 2007.

Menjawab pertanyaan Ir Tarmizi mengenai proyek senilai Rp 100 juta tersebut, Hayie Muhammad menyebutkan, berdasarkan Keputusan Presiden No 80 tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, proyek yang bernilai Rp 50 juta ke atas harus dilakukan dengan tender alias tidak bisa swakelola dan penunjukan langsung (PL).

Menurut Hayie, sebenarnya pihak IPW sedang membuat sebuah kajian kalau proyek Rp 50 juta harus melalui proses tender itu ternyata nilainya lebih mahal ketimbang dikelola sendiri oleh dinas-dinas. IPW sendiri mengusulkan, swakelola itu bisa dilakukan terhadap proyek senilai Rp 1 Miliar. “Harga yang dibeli oleh negara bisa lebih mahal. Misalnya, beli AC, kalau beli langsung ke pasar lebih mahal. Kenapa harus melalui kontraktor,” kata dia.

Dan, ini juga bisa menutup celah untuk melakukan korupsi melalui penggelembungan harga. Ya kan Pak! []

TULISAN ini merupakan laporan Sosialisasi Antikorupsi yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerjasama dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias dan UNDP, 2006

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting