Rabu, Oktober 14, 2009

Indian Ocean nations test tsunami warning system

By DENIS D. GRAY, Associated Press Writer

BANGKOK – Sirens blared, parents grabbed their children and hundreds ran to emergency shelters in Indonesia as countries bordering the Indian Ocean conducted a test Wednesday of a warning system set up after the devastating 2004 tsunami.

But at least one survivor was too paralyzed by memories of the killer wave to take part in mock evacuations off Aceh, Indonesia.

"What is this all for? My chest has gone tight and I am shaking," said Hamiyah, a 58-year-old woman who lost her in-laws, four children and five grandchildren in 2004.Planned for 18 countries, the drill was intended to simulate a tsunami similar to the one sparked by the 9.2 magnitude quake off Indonesia five years ago, the United Nations said in a statement.

That quake generated waves that eradicated entire coastal communities, killing some 230,000 people in one of the worst natural disasters of modern times.

"When the siren sounded, I immediately thought of my child, grabbed her and ran," said Bakhtiar, 50, who lives in the village of Gampong Pie, along the Indonesian coastline in Aceh province.

In Aceh's Ulee Lheue village, which was all but wiped out by the tsunami, about 200 residents gathered at a mosque after an explosion was sounded from loudspeakers that was meant to signal an earthquake.

Around ten minutes later a siren blared out, starting the drill.

But Hamiyah refused to take part, breaking down and staying at home, rebuilt after the disaster, with her two surviving children.

"It reminds me of the past and makes me really sad. Please stop reminding us," she said, sobbing, as people ran for quake-proof emergency shelters, some carrying the "wounded," as a voice over mosque loudspeakers urged people not to panic.

"We want to send the message to the world that we continue to improve our disaster mitigation skills," said Aceh Vice Governor Muhammad Nazar.

Dubbed "Exercise Indian Ocean Wave 09," the drill was the first comprehensive test and evaluation of the warning system put in place after the 2004 disaster, said the U.N. Educational, Scientific and Cultural Organization, or UNESCO.

It comes two weeks after a tsunami smashed into the Pacific islands of Samoa, American Samoa and Tonga, killing at least 183 people.

In Thailand, where more than 5,000 Thais and foreign tourists perished, no evacuation drill was planned but its National Disaster Warning Center was responding to the dummy telegrams, faxes and e-mails being sent out by the Hawaii-based Pacific Tsunami Warning Center, said Capt. Saran Thappasook.

In Myanmar, officials were to relay the warnings to tsunami-prone areas, said Thein Tun, director general of the Meteorological Department, while in Malayia 1,200 villagers on the northern resort island of Langkawi were directed to higher ground as firefighting trucks and ambulances ferried the elderly and pregnant women.

But in Sri Lanka's southern coastal village of Godawaya, a tsunami warning tower failed to emit a siren. Local fishermen who had stayed home to take part waited for a few hours and decided to go to work.

Later, officials manning the tower went around the village announcing a "tsunami threat" through loudspeakers and calling on residents to quickly move to a Buddhist temple on higher ground. Women who were at home gathered at the temple.

Air Force SGT M.G.A. Nandana declared the drill was still a success since they an alternative warning method was found in case the warning tower failed.

Ray Canterford, an official at Australia's Bureau of Meteorology, said ahead of the exercise that the Hawaii-based center would issue an earthquake alert to trigger the drill.

In Australia, the bureau would use the earthquake data from the tsunami warning center to calculate the size of any tsunami wave and estimate the time it will take to hit the Australian coast.

None of the warnings would go public, and no evacuations were planned in Australia, Canterford said.

Australia was not affected by the 2004 disaster, but is playing a role in the regional system to improve response times and international coordination. Australia has a network of wave height sensors along its coastline, and two deep sea sensors in waters between Australia's northwest and Indonesia, where some 130,000 were killed.

Under the system, Australia, Indonesia and India swap data on a tsunami threat, and Wednesday's drill will test how efficiently messages are sent among those countries, Canterford said.

"It's a real time event," Canterford said. "We believe that all or most of the countries in the Indian Ocean are a lot better prepared now than they were in 2004."

UNESCO said Wednesday's exercise would allow Indian Ocean countries to test their communications, review their emergency procedures and identify any weaknesses.

___

Associated Press writers Fakhrurradzie Gade in Ulee Lheue, Indonesia, and Ambika Ahuja in Bangkok contributed to this report.

Membangkitkan Trauma Tsunami

Oleh FAKHRURRADZIE GADE

DI tembok bekas pagar, Hamiyah bersandar. Tangan dan bibirnya terlihat bergetar. Pandangan ia arahkan ke sejumlah orang yang lari sambil berteriak histeris. Di depannnya, dari arah laut puluhan orang berlari ke arah gedung penyelamatan di kantor Pusat Riset Mitigasi Bencana dan Tsunami --yang terpaut sekira 300 meter dari posisi Hamiyah.

"Tujuannya apa dibuat acara seperti ini?" tanya Hamiyah kepada seorang pemuda yang mendekatinya.Hamiyah sadar, puluhan orang berlari sambil berteriak histeris adalah mereka yang terlibat dalam simulasi penyelamatan diri saat tsunami menerjang. Tapi, Hamiyah tidak ingin mengikuti simulasi tersebut.

Sejak pagi, Hamiyah mengurung diri di rumah. Ia tidak ingin melihat simulasi, yang membuatnya terkenang peristiwa Desember 2004 silam. Tsunami yang menghancurkan Aceh lima tahun silam itu, menyebabkan Hamiyah harus kehilangan 12 anggota keluarganya.

Hamiyah mengaku masih trauma. "Buat apa diingat-ingat kejadian dulu," kata Hamiyah.

Bagi Hamiyah, peristiwa tragis yang melumat 12 anggota keluarganya itu telah menjadi lembar kelam. "Saya sedih kalau mengingat kejadian itu," ujarnya.

Saat mendengar bunyi raungan sirine yang dibunyikan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Banda Aceh, perempuan berusia 58 tahun itu, langsung terkejut. "Dada saya sesak," ujarnya. Tangan kirinya mengusap-usap dada. Terlihat nada gemetar di tangan dan bibirnya.

Matanya juga terlihat berkaca-kaca.

Tsunami telah menyebabkan Hamiyah kehilangan keluarga dan rumah. Bencana tsunami yang menghancurkan kampungnya, menyebabkan empat anak, lima cucu, dan tiga menantunya meninggal. Hamiyah sendiri sempat terseret arus.

"Jari kelingking saya putus," ia menunjuk tangan kirinya, yang tanpa kelingking.

Bagi Hamiyah, simulasi yang digelar ini tidak terlalu berguna. "Lihat anak-anak itu, mereka berlari-lari sambil ketawa-ketawa," ujar warga Desa Ulee Lheue, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, itu. "Mereka ria."

Hamiyah mengaku, jika bencana kembali datang, ia akan lari menyelamatkan diri ke masjid. "Tapi, kalau ada bencana, kapan kita mau lari. Dulu setelah gempa, kami melihat air laut kering. Tapi tidak ada yang suruh lari, karena tidak ada yang kasih tahu," kata Hamiyah yang mengaku tinggal bersama dua anaknya yang selamat dari humbalang tsunami tersebut.

***

Pukul 08.00 WIB. Satu ledakan keras terdengar dari arah laut. Berselang beberapa detik kemudian, ledakan keras kembali terdengar. Dari pengeras suara masjid, seorang lelaki mengabarkan bahwa telah terjadi gempa besar. Warga diminta tidak panik.

"Mari sama-sama kita berdoa dan berzikir kepada Allah. Masyarakat diharap tenang, jangan panik," suara dari pengeras suara masjid.

Peringatan itu disuarakan berulang kali. Puluhan perempuan dan lelaki -- yang membawa anak-anak balita-- berkumpul di pekarangan masjid. Sebelumnya, mereka sedang berkumpul di dalam masjid.

Sepuluh menit kemudian, raungan sirine memecahkan kesunyian. Warga diminta untuk menyelamatkan diri ke gedung penyelamatan yang berjarak sekitar 300 meter dari masjid. Lokasi penyelamatan berada di atas atap gedung Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana.

Dari arah laut, puluhan warga juga berlarian. Mereka berteriak tsunami. Kepanikan jelas diperlihatkan oleh peserta simulasi.

Kepanikan bertambah, saat ambulans membunyikan sirenenya. Petugas medis dengan sigap mengevakuasi beberapa orang yang mengalami luka akibat gempa. Mobil polisi juga siaga. Mereka mengangkut warga ke gedung penyelamatan.

Menteri Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman, mengatakan, simulasi ini bertujuan untuk menguji kesiapan sistem dan kesiagaan bencana. “Skenarionya sudah berjalan,” katanya di Banda Aceh, Rabu (14/10).

Ini kali kedua simulasi tsunami dibuat di Aceh, setelah pada 2 November 2008. Pada simulasi kali ini, Kusmayanto magatakan, kesiapan system evakuasi bencana di Indonesia, khususnya Aceh mengalami kemajuan, dibanding sebelumnya. “Setelah kita uji coba, sistemnya jalan semua, komunikasi juga lancar,” ujarnya.

Wakil Gubernur Muhammad Nazar menambahkan, simulasi kali ini berjalan sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP). “Hanya beberapa komunikasi radio yang kurang berjalan saat kita coba dan ini akan kita perbaiki,” tuturnya.

***

Bagi Bakhtiar, warga Desa Gampong Pie, Kecamatan Meuraxa, simulasi tsunami yang digelar pemerintah ini sangat berguna. "Ini bisa membuat kita belajar dan mengetahui cara menyelamatkan diri saat ada bencana dan tsunami," kata Bakhtiar, saat ditemui di atas gedung penyelamatan tsunami. Saat mengikuti simulasi, Bakhtiar memboyong anak perempuannya.

Saat tsunami 2004 silam, Bakhtiar sedang berjualan di pasar, di Kota Banda Aceh. Sementara istri dan anaknya berada di rumah. Beruntung, tidak ada keluarga intinya yang menjadi korban dalam gelombang gergasi tersebut.

"Waktu bunyi sirene tadi, saya langsung teringat anak saya ini," kata Bakhtiar. "Saya lalu mengambilnya dan langsung bersama warga berlari ke sini."

Lain lagi pendapat Sri Mulyani. Warga Desa Ulee Lheue ini menilai simulasi yang digelar ini tak banyak berguna. "Kalau ada tsunami, secara spontan saya akan berlari mencari tempat tinggi. Tidak mesti saya harus berlari ke gedung penyelamatan. Saya akan mengikuti naluri saya," kata perempuan 39 tahun ini.

Mulyani mengaku sempat terseret arus tsunami. Anaknya yang berusia lima tahun terlepas dari genggaman suaminya. Sampai kini, anaknya itu tak ditemukan. Mulyani selamat setelah berhasil mencapai lantai dua Rumah Sakit Umum Meuraxa, yang juga rusak parah.

"Kita tidak mau tsunami terulang lagi. Cukup membuat saya trauma," kata Mulyani. []

Senin, September 28, 2009

196 Pengungsi Rohingya Kabur dari Penampungan

FAKHRURRADZIE GADE

BANDA ACEH -- Sebanyak 196 pengungsi etnis Rohingya kabur dari penampungan mereka di Kecamatan Idi Rayeuek, Aceh Timur, dan Pangkalan TNI Angkatan Laut Sabang. Umumnya, mereka kabur karena jenuh berada di pengungsian.

Informasi yang diperoleh dari Wakil Bupati Aceh Timur Nasruddin Abubakar, sebanyak 184 etnis Rohingya yang ditampung di kantor Kecamatan Idi Rayeuk melarikan diri ke Medan, sebelum akhirnya bertolak ke Malaysia. Mereka lari setelah mendapat pertolongan dari warga lokal yang menjadi calo.

Menurut Nasruddin, para pengungsi biasanya kabur pada pukul 3 atau 4 pagi, saat polisi yang bertugas di sana terlelap.

"Sekarang tinggal 14 orang lagi, dari sebelumnya 198 pengungsi yang kita tampung," kata Nasruddin Abubakar. "Terakhir, dua orang kabur pada pagi hari raya Idul Fitri lalu."

Nasruddin menyebutkan, polisi sempat mencari keberadaan para pengungsi ini. Namun tidak satu pun yang berhasil dipulangkan lagi ke penampungan.

"Tujuan mereka ke Malaysia untuk mencari kerja. Bahkan, saya dengar informasi (para pengungsi yang kabur ini) ada yang sudah mendapat kerja di Malaysia," ujar Nasruddin.

Sementara itu, 12 pengungsi etnis Rohingya yang ditampung di Pangkalan TNI Angkatan Laut Sabang juga melarikan diri pada malam lebaran.

Komandan Pangkalan TNI AL Kolonel Yanuar Handwiono menyebutkan, kaburnya 12 pengungsi ini baru diketahui saat absensi usai salat Subuh, Ahad (20/9).

"Mereka kabur dengan perahu nelayan yang ditambat dekat pangkalan. Kondisi perahunya kecil dan rusak," kata Yanuar saat dihubungi melalui telepon.

Yanuar menduga, para pengungsi melarikan diri karena mengalami depresi. "Apalagi proses (pemulangan mereka) membutuhkan waktu lama. Saat ini kita sudah mencari mereka tapi belum ketemu. Kita juga sudah menginformasikan kasus ini ke aparat kita yang ada di Aceh perairan," kata Yanuar.

Pangkalan TNI AL menampung 193 etnis Rohingya yang terdampar di Sabang pada 7 Januari lalu. Pada 3 Februari, sebanyak 198 pengungsi Rohingya lainnya terdampar di Idi Rayeuk. Etnis Rohingya mengakui bahwa mereka terdampar di perairan Aceh setelah sebelumnya dilarung tentara Thailand di laut lepas. Saat dalam perjalanan dari Bangladesh menuju ke Malaysia melalui Thailand untuk mencari pekerjaan, mereka ditangkap militer Thailand dan mengalami penyiksaan.

Pihak Imigrasi dan Departemen Luar Negeri telah mendata 391 etnis Rohingya yang terdampar di Aceh. Sebelumnya, acehkita.com melansir, Departemen Luar Negeri akan memulangkan 114 dari 391 etnis Rohingya yang terdampar di perairan Aceh ke negara asalnya. Namun, belum diketahui pasti jadwal deportasi tersebut. Sebagian di antara 391 etnis Rohingya di Aceh itu, telah ditetapkan sebagai pengungsi oleh UNHCR.

Direktur Asia Selatan dan Tengah Ditjen Asia Pasifik dan Afrika Departemen Luar Negeri Mochamad Asruchin mengatakan, 114 etnis muslim Rohingya tersebut akan dipulangkan ke Bangladesh. Pasalnya, setelah diverifikasi oleh tim Deplu, mereka terbukti sebagai warga negara Bangladesh.

"Mereka secara sukarela bersedia untuk kembali ke Bangladesh. Mereka akan dikembalikan dalam waktu dekat," kata Asruchin kepada wartawan di Banda Aceh, Senin (25/5) lalu.

Asruchin menambahkan, etnis Rohingya yang diduga berkewarganegaraan Myanmar sama sekali tidak mau dideportasi ke negaranya. Namun dia mengaku tidak tahu jumlah pasti berapa etnis Rohingya yang sudah ditetapkan sebagai refugee oleh UNHCR ini.

"Kalau saya tidak salah, UNHCR sudah masuk dan dinyatakan sebagai refugees. Itu biasanya akan dicarikan negara ketiga untuk mau menampung mereka," kata Asruchin. []

Minggu, September 27, 2009

Perusahaan Lilin Negara

HARI ini, tak terbilang sumpah serapah kukeluarkan untuk penyedia layanan listrik. Aku sering menyebutnya Perusahaan Lilin Negara sebagai kepanjangan dari PLN. Ini bukan kepanjangan yang mengada-ada. Istilah ini pertama sekali kulakabkan saat saking suntuknya karena dunia ini digelapkan oleh aksi PLN. Sungguh, saat itu berbatang-batang lilin kubakar untuk menerangi diri dan sekitar.

Hari ini, sumpah serapahku itu kubagi dengan kawan-kawan di Facebook. Aku menyebut ini jaman jahiliyah, di mana kegelapan masih mengepung diriku dan kawasan yang kudiami. Semoga, PLN diberi hidayah oleh Allah untuk mendakwahkan listriknya ke daerah kami, biar kami tidak terus menerus tinggal dalam jaman jahiliyah. Karena, bisa-bisa jaman ini akan membawa kami berhadapan dengan Qanun Zinayah. []

Kamis, September 17, 2009

Nurjannah & Qanun Jinayah

MENJELANG waktu berbuka puasa, bersama dua teman (Yo Fauzan dan Abdul Munar), saya mengunjungi Desa Lamtimpeung, Tungkop, Aceh Besar. Letaknya hanya sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Banda Aceh. Ke Lamtimpeung, kami ingin menunaikan amanah sejumlah pembaca acehkita.com. Sekitar dua bulan lalu, reporter acehkita.com, Riza Nasser, menurunkan liputan tentang Nurjannah, perempuan berusia 22 tahun yang menderita lumpuh layu sejak usia 4 bulan. Nurjannah terbujur kaku di atas dipan di dalam kamar sempit dan pengap. Aroma pesing merebak, hingga keluar rumah. Suasana kamar juga tak tertata. Kasur, kain, pakaian, saling bertindih: awut-awutan. Singkatnya, kamar itu sangat tak layak dihuni.

Nurjannah tinggal bersama ayah dan dua adiknya di rumah tipe 36 tersebut. Ada tiga kamar ukuran kecil yang tak terurus. Nurjannah tidur sendirian. Kamar di sebelah Nurjannah, dibiarkan kosong melompong. Ayahnya, tidur di kamar yang dekat ruang tamu. Jangan bayangkan ruang tamu dilengkapi televisi, meja dan kursi. Buang bayangan itu, karena di sana hanya ada tumpukan baju berserakan, sepeda bekas. Di dekat kamar Nurjannah, tergeletak satu kompor. Di atasnya ada penggorengan. Di sekitar kompor, cangkang telur ayam berserakan, dibiarkan bebas tergeletak di atas lantai. Rumah dicat kuning itu semi permanen.

"Binteh kadikap le kamue (dinding rumah dimakan rayap)," kata Muhammad Dehan, ayah Nurjannah. Telunjuknya mengarah ke dinding rumah.

Dehan mengurus anak-anaknya seorang diri, sejak istrinya meninggal dunia beberapa tahun silam. Ia hanya seorang pemelihara sapi suruhan orang. Kerjanya serabutan. Penghasilan sebulan paling banyak 200.000. Tinggal di pinggiran Kota Banda Aceh yang tingkat inflasinya tinggi, uang segitu sama-sekali tidak mencukupi. Apalagi untuk membiayai anak-anaknya. Tapi Dehan tak putus asa. Ia bekerja apa saja yang bisa menghasilkan rupiah.

Dua hari lalu, seorang warga yang hendak melangsungkan resepsi pernikahan memintanya menjaga sapi yang akan dipotong pada hari kenduri. Sapi agak kecil itu ditambat tak jauh dari rumahnya. Oya, sekitar 10 meter dari rumah, ada kandang kerbau atau sapi. Di sinilah, sapi-sapi peliharaannya bernaung. Bulan lalu, saat meugang puasa, Dehan menjual sapi yang dipelihara secara mawah. Mawah merupakan cara memelihara bagi hasil. Setelah modal membeli sapi dikembalikan ke pemodal, angka selisih dibagi berdua: antara dia dan pemodal.

"Misalnya harga sapi waktu dibeli itu lima juta rupiah dan waktu dijual tujuh juta, bagi hasilnya yang dua juta selisih itu," kata Dehan. "Ya dapat sejuta per orang."

Melihat kehidupan Dehan, saya kehabisan kata-kata. Betapa Ia tegar melakoni hidup dengan segudang permasalahan yang melingkupinya.

Sore itu, Dehan memakai oblong putih lengan biru. Bajunya dipakai terbalik: bagian dalam dibiarkan menjadi bagian terluar. Baju itu bukan dibeli, tapi diberi orang saat musim kampanye. Ya, baju putih berlengan biru itu atribut kampanye Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Boediono. Di punggung Dehan jelas tertulis nama pasangan itu. Sementara di bagian depan, gambar SBY-Boediono lagi tersenyum juga terlihat jelas.

Nurjannah juga memakai baju SBY. Bantal yang tergeletak di samping Nurjannah juga dibajukan SBY. Saya tidak bertanya apakah keluarga ini pendukung SBY. Tapi yang jelas, tak jauh dari rumah Dehan, masih di dalam pekarangan rumahnya, ada bendera Partai Aceh. Ehm, saat pemilu presiden lalu, aktivis partai bentukan Gerakan Aceh Merdeka ini menyokong pasangan yang diusung Partai Demokrat ini. Hiruk-pikuk pemilu menyeruak ke kamar Nurjannah: yang terbujur kaku.

Melihat kondisi Nurjannah kemarin, saya teringat berita di sebuat media lokal di Banda Aceh, yang memuat pernyataan Abu Panton. Nama terakhir ini merupakan ulama yang bermukim di Aceh Utara. Ia mengasuh dayah di Panton Labu. Abu merupakan ulama yang disegani. Ia tak dekat kekuasaan.

Dalam berita itu, Abu Panton menyentil pengesahan Qanun Hukum Jinayat dan Qanun Acara Jinayat. Abu bilang, Qanun yang mengatur hukum rajam dan cambuk bagi pelanggar Syariat Islam baru bisa diterapkan kalau saja masyarakat Aceh sudah sadar hukum dan hidupnya makmur. Minimal sudah tidak berada di bawah garis kemiskinan.

Pernyataan nyaris serupa dikemukakan Kepala Dinas Syariat Islam Aceh Ziauddin Ahmad. Saat kami wawancarai menjelang dinihari usai rapat paripurna DPR Aceh, saya dan sejumlah wartawan ikut memintai tanggapan Ziauddin soal penerapan hukum rajam. Ziauddin terang-terangan menyatakan penolakannya terhadap hukum rajam bagi pelaku zina yang telah menikah. Menurut Ziauddin, hukum Islam baru bisa ditegakkan kalau masyarakat di suatu negeri sudah hidup mapan dan sadar hukum. Nah, dua hal inilah yang belum dipunyai Aceh.

"Bagaimana, misalnya, kita menerapkan hukum potong tangan bagi yang mencuri," kata Ziauddin, "kalau perekonomian kita belum bagus."

Benar, bagaimana mungkin kita menggembar-gemborkan penegakan syariat Islam kalau sendi-sendi kehidupan masyarakat belum dibenahi. Syariat Islam kan bukan hanya hukum potong tangan, cambuk, rajam semata. Ia melingkupi segala aspek. Ada aspek sosial, ekonomi, syariat, hukum, dan banyak lagi.

Saya menilai bahwa selama ini para politisi –yang pemahaman agamanya pas-pasan—ingin memaksakan pemahaman dan keyakinan syariatnya kepada masyarakat. Mereka selalu mengklaim bertindak atas amanah rakyat. Di sini, mereka mengambil secuil ayat al-Quran dan meninggalkan ayat-ayat lainnya. Bukankah pola beragama seperti ini sangat dibenci oleh Allah dan Nabi-Nya?

Bagaimana mungkin hanya menegakkan hukum Allah di bidang lendir, judi, dan minuman, sementara ajaran dan hukum Allah yang lain ditinggalkan begitu saja. Misalnya, korupsi dan pembunuhan. Bukankah dalam Islam dua aspek ini juga mendapat sorotan tajam? Bagaimana misalnya dalil dalam Islam menyebutkan bahwa "pembunuh dan yang dibunuh sama-sama masuk neraka". Ini dalil untuk orang yang sama-sama ingin saling bunuh. Di sisi lain bagaimana misalnya Tuhan berjanji akan menempatkan pembunuh di neraka.

Dalam al-Quran memang tak ada kata khusus soal korupsi, tapi ini kan identik dengan mencuri. Nah, bagaimana dengan hukum potong tangan bagi si pencuri dan koruptor? Apa karena ada politisi dan pejabat yang berselemak kasus korupsi lantas hukum tak tegak?

Sungguh aneh para politisi yang mengaku sedang berjihad ini: agama menjadi dagangan semata.

Sebelum pikiran terus berkeliaran ke mana-mana, saya kembali fokus pada Dehan dan Nurjannah yang terbaring di kamar berbau pesing. Aroma amoniak menusuk hidung, hingga ke relung kepala yang membuat pusing. Tapi, penegakan syariat Islam dalam bentuk membebaskan orang-orang dari kemiskinan, sama sekali tak dipikirkan para politisi itu. []

Selasa, September 15, 2009

Indonesia's Aceh to allow stoning for adulterers


By FAKHRURRADZIE GADE
The Associated Press
Monday, September 14, 2009; 1:20 PM

BANDA ACEH, Indonesia -- Lawmakers in a devoutly Muslim Indonesian province voted unanimously Monday that adulterers could be sentenced to death by stoning, just months after voters overwhelmingly chose to throw conservative Islamic parties out of power.Only weeks before the new government, led by the moderate Aceh Party, is set to take over, the regional parliament still controlled by hard-liners pushed through steep punishments for adultery and homosexuality.

The chairman of the 69-seat house asked if the bill could be passed into law and members answered in unison: "Yes, it can." Some members of the moderate Democrat Party voiced reservations, but none of them voted against the bill.

Human rights groups said the law violates international treaties signed by Indonesia. The province's deputy governor also opposed the legislation, saying it needed more careful consideration because it imposes a new form of capital punishment.

The Aceh Party is also believed to have a less strict interpretation of Islamic law, or Shariah, and some activists expressed hope that once in power, they would amend or tone down the law. Others were considering contesting the bill in court in the capital, Jakarta.

Aceh, where Islam first arrived in Indonesia from Saudi Arabia centuries ago, enjoys semiautonomy from the central government. A long-running Islamic insurgency in the province ended in 2005 in the wake of the Indian Ocean tsunami that killed 130,000 there.

A version of Shariah that was introduced in Aceh in 2001 already bans gambling and drinking alcohol, and makes it compulsory for women to wear headscarves. Dozens of public canings have been carried out by the local Shariah police against violators of that law.

The majority of Indonesia's roughly 200 Muslims practice a moderate form of the faith, and surveys suggest they do not support such hardline interpretations of the Quran, the Muslim holy book.

Stoning is legally sanctioned in varying forms in Afghanistan, Iran, Pakistan, Sudan, Saudi Arabia, the United Arab Emirates and parts of Nigeria. Illegal stonings have also been reported in recent years in Iraq and Somalia. But its use is a point of contention among Islamic scholars.

The most notable example in modern Islam was that of Amina Lawal, a young woman who was sentenced to death in a Nigerian state in 2002 for having sex outside marriage, but was later released.

The new Indonesian law also imposes tough sentences and fines, to be paid in kilograms of gold, for rape and pedophilia, but the most hotly disputed article was on adultery and states that offenders can be punished by a minimum of 100 lashings and a maximum of stoning to death.

"The stoning to death is the toughest punishment included in the (new) Shariah law," Bahrom Rasjid, one of the drafters and a member of the United Development Party, said after its passage.

It also imposes severe prison terms for other behavior considered morally unacceptable, including homosexuality, which will be punishable by public lashings and more than eight years in prison.

The bill violates national and international treaties signed by Indonesia protecting the rights of minorities and women, said a gay rights activist in Aceh who requested anonymity because he feared for his safety.

"It's discriminatory, and it's saddening, but we are quite sure members of civil society who are concerned with human rights will not sit by silently," the activist said, adding that he hopes the new moderate leadership in the province will overturn the law after taking power next month.

Aceh Vice Governor Muhamad Nazar said that even though his office opposed the clause on stoning to death it has no legal power to block it. "Whatever law is passed we have to enforce it," he said.

---

Associated Press writers Irwan Firdaus and Anthony Deutsch contributed to this article from Jakarta.

http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2009/09/14/AR2009091400814.html

Senin, September 14, 2009

New Islamic law in Indonesia's Aceh province

A brief overview of some key articles in the expanded Islamic law passed Monday by the regional parliament in Indonesia Aceh's province:

• ADULTERY: "Any person who deliberately commits adultery is threatened with 100 cane lashes for the unmarried and stoning to death for those who are married."

• HOMOSEXUALITY: "Any person deliberately performing homosexuality or lesbianism is threatened with up to 100 cane lashes and a maximum fine of 1,000 grams of fine gold, or imprisonment of up to 100 months."

• PEDOPHILIA: "Any person who deliberately commits a sexual crime against children is threatened with a variable sentence of up to 200 cane lashes and a fine of up to 2,000 grams of fine gold, or maximum imprisonment of 200 months."

• RAPE: "Any person who deliberately commits rape is threatened with at least 100 cane lashes and maximum 300 cane lashes or imprisonment of at least 100 months and a maximum of 200 months."

Indonesia's Aceh passes law on stoning to death


By FAKHRURRADZIE GADE, Associated Press Writer

BANDA ACEH, Indonesia – Adulterers can be stoned to death and homosexuality is punishable by steep prison terms under a new law passed unanimously by lawmakers in Indonesia's devoutly Muslim Aceh province Monday.
Aceh's regional parliament adopted the bill despite strong objections from human rights groups and the province's deputy governor, who said the legislation needed more careful consideration because it imposes a new form of capital punishment.

The chairman of the 69-seat house asked if the bill could be passed into law and members answered in unison: "Yes, it can." Some members of the moderate Democrat Party had voiced reservations, but none of them voted against the bill.

The law, which reinforces the province's already strict Islamic laws, is to go into effect within 30 days. Its passage comes two weeks before a new assembly led by the moderate Aceh Party will be sworn in following a heavy defeat of conservative Muslim parties in local elections.

Aceh, where Islam first arrived in Indonesia from Saudi Arabia centuries ago, enjoys semiautonomy from the central government. A long-running Islamic insurgency in the province ended in 2005 in the wake of the Indian Ocean tsunami that killed 130,000 there.

A version of Islamic law, or Shariah, that had been introduced in Aceh in 2001 already bans gambling and drinking alcohol, and makes it compulsory for women to wear headscarves. Dozens of public canings have been carried out by the local Shariah police against violators of that law.

The majority of Indonesia's roughly 200 Muslims practice a moderate form of the faith and surveys suggest they do not support such hardline interpretations of the Quran, the Muslim holy book.

Several countries have laws on stoning, but the punishment remains a point of disagreement between Islamic scholars. Out of fifty-two Muslim-majority countries worldwide, stoning is legally sanctioned in varying forms in Afghanistan, Iran, Pakistan, Sudan, Saudi Arabia, the United Arab Emirates and parts of Nigeria.

Illegal stonings have also been reported in recent years in Iraq and Somalia.

The most notable example in modern Islam was that of Amina Lawal, a young woman who was sentenced to death in a Nigerian state in 2002 for having sex outside marriage, but was later released.

The new Indonesian law also imposes tough sentences and fines, to be paid in kilograms of gold, for rape and pedophilia, but the most hotly disputed article was on adultery and states that offending married couples can be punished by a minimum of 100 lashings and a maximum of stoning to death.

"The stoning to death is the toughest punishment included in the (new) Shariah law Bahrom Rasjid, one of the drafters and a member of the United Development Party, said after its passage.

It also imposes severe prison terms for other behavior considered morally unacceptable, including homosexuality, which will be punishable by public lashings and more than eight years in prison.

Aceh Vice Governor Muhamad Nazar said that even though his office opposed the clause on stoning to death it has no legal power to block it. "Whatever law is passed we have to enforce it," he said.

Selasa, September 08, 2009

Pendatang di Negeri Sendiri

FAKHRURRADZIE GADE
[e-mail: radzie@acehkini.co.id]

MUHAMMAD Hassan terbaring lemas di ruangan 3 x 2,5 meter. Di dekatnya ada sebuah lemari kecil. Di atasnya ada obat dan infus. Sebuah Al Quran warna kuning emas bertengger di atas lemari yang dipenuhi oleh obat dan makanan. Di atas Quran, ada dua boat mainan kecil yang dibuat dari kertas buku.

Bukan tanpa alasan pria berusia 22 tahun itu membuat boat kertas. Selama sepuluh hari, dia bersama 583 orang terombang-ambing di laut lepas, setelah Angkatan Laut Thailand melepaskan mereka di laut. Hasan terdampar di perairan Sabang dan diselamatkan nelayan, 7 Januari silam.

Hasan merupakan satu di antara 193 etnis Rohingya yang terdampar di Sabang.

Awalnya, mereka hendak mencari kerja di Malaysia. Rencananya, mereka masuk ke Malaysia lewat Thailand. Sayangnya, sebelum rencana itu terwujud, mereka keburu ditangkap Angkatan Laut Thailand. “Selama tiga hari tiga malam, kami dipenjara oleh Angkatan Laut Thailand. Kami dipukul dan disiksa,” kata Hasan saat ditemui di Rumah Sakit Umum Sabang, akhir Januari lalu. Hasan mendapat perawatan medis akibat penyakit tuberkolosis (TBC) yang dideritanya.

Selang beberapa hari, sebuah rombongan lain terdampar di Idi, Aceh Timur. Jumlah mereka bertambah menjadi 372 orang. Mereka bagian dari 1.000 orang yang diusir Thailand dan dipaksa kembali ke laut lepas. Mereka berbondong-bondong meninggalkan Myanmar untuk mencari kehidupan yang layak dan terbebas dari penindasan yang dilakukan Junta Militer.

Sejak Junta Militer berkuasa, etnis Rohingya semakin tertindas. Mereka tidak boleh menikah, menguasai tanah, dan bepergian, termasuk tidak diperkenankan melaksanakan ajaran agama secara bebas. “Negara saya mayoritas penganut Budha, mereka tidak suka muslim. Kami tidak diperbolehkan salat di masjid. Saya selalu salat di rumah, tidak ada masjid,” kata Hassan.

Etnis Rohingya merupakan penduduk asli negara bagian Arakan di barat Myanmar. Daerah berdemografi pegunungan ini berbatasan langsung dengan India di utara, negara bagian China di timur laut, distrik Magwe dan Pegu di timur, distrik Irrawady di selatan, dan Bangladesh di barat laut. Arakan dihuni sekitar 5 juta penduduk, yang terdiri atas Rohingya yang muslim dan Rakhine/Maghs yang beragama Budha.

Etnis Rohingya sudah tinggal di Arakan sejak abad ke-7 Masehi. Ini membantah pernyataan Junta Militer yang menyebut Rohingya sebagai pendatang yang dibawa Inggris dan Bangladesh saat menjajah Myanmar. Secara fisik dan bahasa, etnis Rohingya sangat berbeda dengan kebanyakan penduduk Burma/Myanmar. Ciri-ciri fisik Rohingya lebih mendekati Bangladesh dan Arab. Ini dikarenakan etnis Rohingya merupakan keturunan dari Benggali, Persia, Mongol, dan Turki. Karenanya, saat Inggris memasukkan Arakan menjadi bagian British-Burma pada 1937, etnis Rohingya menolaknya. Mereka sebenarnya ingin bergabung dengan India. Arakan akhirnya menjadi bagian Burma merdeka pada tahun 1948. Sejak itu, hidup Rohingya kian tertindas. Mereka terusir, dianiaya, dan tak boleh melaksanakan agama dan keyakinan secara bebas.

Burma juga tidak mengundang perwakilan Islam Rohingya saat perjanjian penyatuan Burma pada 12 September 1947 di Pinlong antara Jenderan Aung San dan perwakilan dari negara bagian Burma untuk bersama-sama merebut kemerdekaan dari Inggris dan kemudian membentuk negara federasi Burma. Etnis-etnis yang ada di Burma diperbolehkan mendirikan negara bagian. Namun tidak untuk Rohingya. Negara bagian Arakan kemudian dikuasai oleh etnis Rakhin –minoritas Budha.

Sejak Junta Militer berkuasa di Burma, nasib Rohingya kian memprihatinkan. Pusat-pusat pendidikan Rohingya ditutup pada tahun 1965. Mereka semakin menderita setelah Junta Militer meloloskan Undang Undang Burma Citizenship Law of 1982. Undang Undang ini menghapus kewarganegaraan muslim Rohingya. Mereka disebut pendatang di tanah air sendiri. Sejak saat itu, mereka tak diakui lagi. Tanah-tanah mereka dikuasai negara. Mereka dilecehkan, dipukuli, dan dihukum tanpa alasan yang jelas.

Populasinya juga semakin menyusut dari tahun ke tahun. Saat ini populasi Rohingya di Myanmar diperkirakan dua juta orang, sebanyak 1,5 juta di antaranya tinggal di Arakan. Sebanyak 600.000 tinggal di Bangladesh, 350.000 di Pakistan, 400.000 di Arab Saudi, dan 100.000 di Uni Emirat Arab, Thailand, dan Malaysia.

Mulai tahun 2006, etnis Rohingya mulai melanglang buana lewat laut. Tujuan mereka ke Thailand, lalu menyeberang ke Malaysia untuk mencari kehidupan yang lebih layak.

Perjalanan via laut itu tak selalu membuahkan hasil. Di Thailand, mereka tak hanya ditolak, tapi dikejar-kejar, ditangkapi, dan dikembalikan ke laut dengan kapal tanpa mesin, makanan, dan minuman. Pada 7 Januari lalu, 193 etnis Rohingya terdampar di perairan Kepulauan Rondo, Sabang. Gelombang imigran Rohingya juga kembali ditemukan nelayan di perairan Idi Rayeuk, Aceh Timur, awal Februari lalu setelah 21 hari terombang-ambing di lautan tanpa makanan dan minuman.

Rencana pemerintah Indonesia memulangkan mereka ke Negara asal, ditolak mentah-mentah. “Kami lebih baik mati di sini. Jika kami dipulangkan, saya yakin pemerintah akan membunuh kami,” kata Nur Muhammad dalam sebuah wawancara saat dirawat di Rumah Sakit Umum Sabang. Muhammad dirawat akibat luka dalam yang diderita setelah mengalami penyiksaan di Thailand.

Hasan malah punya mimpi berangkat ke Italia. “Ingin bertemu abang saya yang telah mendapat suaka di sana,” ujar Hasan, sambil memegang dadanya yang sesak.

Diusir di negeri sendiri, mereka juga ditolak di tanah harapan. []

***

Infografis:

SEJARAH: Etnis Rohingya merupakan keturunan orang-orang Arab pada abad ke-7 yang ditaklukkan oleh Burma pada tahun 1784. Etnis ini mendiami wilayah barat Myanmar selama berabad-abad.

KARAKTERISTIK: Etnis Rohingya berasal dari Rakhine, Myanmar. Tapi ciri-ciri fisik dan bahasa lebih mirip dengan orang-orang Bengal di Bangladesh.

KEWARGANEGARAAN: Lebih dari 800.000 etnis Rohingya tinggal di Myanmar, tapi tidak diakui kewarganegaannya.

IMIGRAN TANPA WARGA NEGARA: Menghadapi penganiayaan karena mereka umat Islam yang tinggal di negara yang mayoritas beragama Budha, etnis Rohingya mengungsi ke luar negeri dalam beberapa dekade. Hampir dua juta jiwa telah membuat perkampungan baru dari Arab Saudi ke Malaysia, tempat mereka bekerja secara ilegal.

Sekita setengah juta etnis Rohingya melarikan diri dari Myanmar sejak militer mengambil tindakan keras terhadap mereka pada tahun 1978 dan 1991, kebanyakan dari mereka pindah ke Bangladesh. Banyak juga yang tinggal di pengasingan di Pakistan, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Thailand, dan Malaysia.

PERJALANAN DI LAUT: Sejak 2006, Bangladesh mempersulit etnis Rohingya memperoleh paspor, jadi mereka mulai perjalanan berbahaya dengan boat ke Thailand dan kemudian menyeberang ke Malaysia untuk bekerja.

Sumber: The Associated Press

Kandas di Tanah Harapan

Oleh FAKHRURRADZIE GADE

TUBUHNYA mungil. Dia tampak gesit saat memanjat kelapa. Dua butir kelapa berhasil dipetik. Belum lagi sempat memetik yang lain, seorang tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) menyuruhnya turun. Sambil memperagakan gerakan, sang tentara menyuruh lelaki itu push up. Awalnya, lelaki berkulit legam itu hanya skot jam sekali, namun si tentara menyuruhnya mengulangi gerakan push-up. Enam kali gerakan. Lelaki itu lantas memungut kelapa dan berlalu.

Dalam kerumunan, kelapa itu berpindah tangan. Seorang lelaki kurus tinggi coba mengupas dengan giginya. Sama sekali tak memakai pisau atau parang. Hanya pecahan batu. Kurang dari 15 menit, kelapa itu telah tak berkulit.

Pemandangan itu terlihat, akhir Januari lalu, di Pangkalan TNI AL Sabang. Sejak 7 Januari silam, pangkalan itu dipenuhi 193 warga etnis Rohingya, yang terdampar di perairan Pulau Rondo, 20 mil dari bibir pantai Sabang. Saat diselamatkan ke darat, kondisi mereka mengenaskan: dehidrasi akut, karena kekurangan cairan akibat 10 hari terombang-ambing di laut, tanpa makanan dan minuman.

Di penampungan itu, muslim Rohingya mengisi hari-hari dengan senam, bermain bola, catur, bulu tangkis, dan lompat tali. Sesekali, mereka dibebankan mengecat pagar Pangkalan TNI AL. Pagi –jika matahari terik, mereka "dijemur" di lapangan terbuka. Seorang tentara yang berjaga di pangkalan itu bilang, mereka dijemur karena kondisi mereka sangat lembab. Ini agar mereka tak mudah terserang biri-biri basah.

Setelah sepuluh hari terombang-ambing di laut, mereka juga tidur berdesak-desakan di penampungan. Relawan Palang Merah Indonesia (PMI) dan Angkatan Laut Sabang menyediakan dua tenda masing-masing berukuran sekitar 10 x 6 meter dan 6 x 4 meter.

Untuk membunuh jenuh, relawan PMI mengatur pola hidup 'manusia perahu' itu. Mereka dibekali pemainan catur, ular tangga, halma, lompat tali, bulu tangkis, bola kaki, dan bola voli. Malam hari, mereka menonton film di layar proyektor yang disediakan relawan PMI Sabang. Khusus malam Jumat, mereka diharuskan membaca surat Yasin.

Saat ACEHKINI bertandang ke kamp penampungan mereka, akhir Januari lalu, pengungsi etnis Rohingya sedang berlaga di lapangan hijau. Mereka menjamu tim PMI. Setelah salat Asar dan makan makanan ringan, sebelas etnis Rohingya menuju lapangan upacara TNI AL. Di sana, mereka membentuk formasi.

Kaos putih bertuliskan GN-OTA dikenakan kesebelasan Rohingya. Sementara kesebelasan PMI memakai rompi berwarna biru donker dan bertuliskan PMI di belakangnya. Etnis Rohingya terbilang pandai bermain bola. Dalam tempo tak sampai 15 menit, mereka berhasil membobol gawang tim PMI. Berselang sepuluh menit kemudian, gol lain diciptakan etnis Rohingya. Sore itu, Rohingya menaklukkan tim PMI dengan skor 2-0.

***

MANUSIA perahu etnis Rohingya ini terdampar di Sabang setelah dilarung di lautan lepas oleh Angkatan Laut Thailand. Pihak otoritas negeri Gajah Putih itu menangkap, lalu menganiaya para manusia perahu. Puas menganiaya, Angkatan Laut Thailand melepaskan mereka ke laut lepas dengan boat kayu tanpa mesin. Stok makanan dan minuman tak mencukupi. Praktis, mereka hanya berharap pada angin yang akan membawa mereka ke daratan terdekat.

"Mereka menarik kami dalam boat kayu tanpa mesin. Tak ada makanan, dan minuman," kata Muhammad Hassan, satu dari 193 etnis Rohingya yang terdampar di Sabang. Saat diwawancarai ACEHKINI akhir Januari lalu, Hassan sedang mendapat perawatan di Rumah Sakit Umum Sabang akibat penyakit Tuberculosis (TBC) yang dideritanya.

Hassan menceritakan kekejaman tentara Thailand saat mengusir mereka dari sebuah pulau terpencil negeri Gajah Putih itu. Saat berlabuh di selatan Thailand pada 26 Desember 2008, mereka ditangkap Angkatan Laut dan dijebloskan dalam penjara selama empat hari. Di sana, mereka mengalami penyiksaan bertubi-tubi. Ada yang dicambuk, diinjak dengan sepatu lars, dan dipukul dengan popor senapan.

Usai melampiaskan kekejamannya, tentara Thailand melepaskan etnis Rohingya ke lautan lepas. Mula-mula, empat boat yang berisi 583 muslim Rohingya itu ditarik dengan kapal otoritas Thailand. Sesampai di lautan lepas, "mereka memotong tali boat kami dan membiarkan kami terombang-ambing di laut," kata Hassan.

Boat yang membawa mereka tak besar ukurannya. Hanya 10 x 3 meter. Boat tak bermesin itu mengangkut 200 orang. Mereka berhimpit-himpitan, nyaris tak ada ruang untuk bergerak. Selama 10 hari mereka dihanyutkan gelombang tanpa tujuan. Tujuh orang tak bertahan, meregang nyawa di lautan lepas. "The oxygen will bring us to another place," kenang Hassan dalam bahasa Inggris terbata-bata. "Kami hanya bisa berdoa kepada Allah untuk menyelamatkan hidup kami."

Selama 10 hari "berkelana" di laut, mereka kerap menjumpai kapal yang melintasi jalur padat Selat Malaka. Hassan menyebutkan, mereka kerap meminta bantuan pada kapal yang lalu lalang, sambil melambaikan kain dan pakaian. Sayang, suara mereka tak terdengar. "Saat saya melihat kapal, saya berteriak minta bantuan. Tapi tak satu pun yang membantu kami," ujar pemuda berusia 22 tahun itu.

Boat yang ditumpangi Hassan bersama 192 orang lainnya merupakan bagian dari empat boat yang dilarung Angkatan Laut Thailand ke lautan lepas. Hassan dan temannya terdampar di Sabang. Satu boat lain terdampar di Pulau Andaman, India. Sementara sisanya hingga kini tak jelas juntrungannya.

Nur Muhammad, etnis Rohingya yang juga terdampar di Sabang, menyebutkan, mereka berlayar ke Thailand untuk mencari pekerjaan yang layak. Sebenarnya, persinggahan akhir mereka, Malaysia. Namun sebelum bisa menjejakkan kaki di Malaysia, mereka ditangkap tentara dan dipenjara di Ranong, Thailand Selatan.

Di negeri sendiri, menurut Muhammad, mereka tak bebas bekerja. Sebelum ke Thailand, Muhammad menyeberang perbatasan secara ilegal ke Bangladesh. Di sana, dia bekerja sebagai nelayan dan mengumpulkan uang untuk membayar "tiket" boat ke Malaysia, sekitar US$430. Dia dan temannya berlayar dengan boat kayu pada 16 Desember 2008. Celakanya, sang kapten boat sama sekali tak tahu arah tujuan mereka, hingga terdamparlah di Ranong.

Keberuntungan belum berpihak pada etnis Rohingya. Saat mencapai Thailand, mereka malah ditangkap tentara dan dipenjara, sebelum akhirnya dilepaskan ke laut dengan boat tanpa mesin, makanan, dan minuman.

"Boat yang kami tumpangi sangat jelek," kata pria berusia 37 tahun itu ketika ditemui di RSU Sabang, akhir Januari lalu. Dia mendapat perawatan medis akibat menderita sakit di pinggang dan luka dalam. "Air laut masuk dalam boat sampai selutut dan kami mulai membuang airnya. Kami hanya bisa berdoa pada Allah agar kami selamat," kata Muhammad.

Thailand dan Myanmar menolak bertanggungjawab atas kasus ini. Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva berjanji akan menyelidiki aksi yang dilakukan tentara Angkatan Laut terhadap warga Rohingya. Myanmar menyebutkan bahwa etnis Rohingya bukan warga mereka.

Undang Undang Kewarganegaraan Burma yang disahkan pada 1982 mencabut kewarganegaraan etnis muslim minoritas Rohingya. "Etnis Rohingya tidak eksis dalam (Union of Myanmar) dan mereka bukan bagian etnis pribumi Myanmar," kata pemerintah Myanmar kepada UNHCR, tahun lalu.

Saat satu tim Departemen Luar Negeri Indonesia dan International Organization for Migration (IOM) sedang memverifikasi etnis Rohingya di Sabang, satu perahu kayu tanpa mesin yang penuh manusia kembali ditemukan sebuah kapal nelayan di perairan Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur. Mereka berjumlah 198 orang. Nasib mereka tak jauh beda dengan kelompok manusia perahu di Sabang. Ketika ditemukan, kondisi mereka sangat memprihatinkan.

Menurut kesaksian Rahmad, seorang manusia perahu yang ditemukan terapung di Selat Malaka, mereka sebenarnya berjumlah 220 orang. Tetapi, 22 orang telah meninggal dunia di laut setelah terombang-ambing 21 hari. Mereka juga ditarik ke tengah lautan oleh serdadu Thailand setelah tiga bulan ditahan di pulau kecil Provinsi Ranong. Ke-198 manusia perahu itu kini ditampung di Kantor Camat Idi Rayeuk.



***



DEPARTEMEN Luar Negeri Indonesia semula bersikukuh untuk tidak melibatkan lembaga PBB yang mengurus pengungsi (UNHCR), karena beralasan warga etnis Rohingya merupakan "migran ekonomi". Selain itu, ungkap pejabat Departemen Luar Negeri, ada "pengalaman buruk" dalam menangani manusia perahu dengan UNHCR.

Pejabat Departemen Luar Negeri menyatakan, akan memulangkan warga etnis Rohingya ke negaranya. Tapi karena derasnya tekanan berbagai kalangan dalam dan luar negeri, Indonesia akhirnya mengizinkan UNHCR untuk memverifikasi 391 etnis Rohingya yang terdampar di Sabang dan Idi Rayeuk, Aceh Timur.

"Kita bersedia mengikutsertakan UNHCR untuk menangani siapa yang tidak mau kembali ke negara mereka," kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri, Teuku Faizasyah, kepada International Herald Tribune. "Kita ingin melaksanakan yang terbaik untuk mencari jalan keluar kasus Rohingya."

Meski bersedia bekerja sama dengan UNHCR, pemerintah tetap tak mengizinkan pengungsi Rohingya menetap di Indonesia. Pasalnya, jika diizinkan, gelombang pengungsi etnis minoritas di Myanmar akan terus berdatangan ke Indonesia. "Negara kita bukan untuk para pengungsi," kata dia.

Pendirian pemerintah bertolak belakang dengan keinginan sejumlah kalangan di Aceh. Mereka tetap berharap agar pemerintah bersedia mengizinkan warga etnis Rohingya menetap di Aceh. Beberapa dayah sudah menyatakan kesediaan untuk menampung manusia perahu itu. Alasannya, mereka adalah saudara seiman, dan bila dikembalikan ke negaranya akan mendapat perlakuan tidak manusiawi dari junta militer Myanmar.

Jauh-jauh hari, etnis Rohingya yang terdampar itu juga menolak dikembalikan ke Myanmar, negara yang mayoritas beragama Budha. "Saya lebih baik mati di sini, dibunuh oleh orang muslim," kata Nur Muhammad. "Jika dipulangkan, saya yakin pemerintah akan membunuh kami."

Di tanah harapan, cita-cita Hassan kandas. Niat hati ingin mempunyai kehidupan lebih baik, malah berakhir terapung-apung di tengah samudera. Padahal, ia ingin mengikuti jejak sang abang yang kini menetap di Italia. "Saya tidak ingin kembali ke Myanmar. Takut, karena militer akan membunuh saya. Saya berharap agar pemerintah Indonesia mau mengirim saya ke Italia," kata Hassan. Nafasnya tersengal-sengal. [a]

Bencana di Ambang Mata

Pelan tapi pasti, virus mematikan itu bergentayangan antara kita. Benteng negeri bersyariat bobol sudah, seiring bertambahnya jumlah penderita HIV/AIDS. Bila tak segera ditangani serius, alamat bencana di ambang mata.

Oleh FAKHRURRADZIE GADE

KABAR itu bak petir di siang bolong. Cahaya sama sekali tak percaya dengan hasil tes darah yang dijalani sang suami. Saat itu, dokter menyatakan suaminya, sebut saja namanya Arman, divonis mengidap virus HIV positif. Hari-hari dijalani Cahaya bagai orang putus asa. Ia kemudian menjalani tes. Hasilnya, membuat ia semakin terpuruk: Cahaya positif HIV dan AIDS. Mulanya, Cahaya marah dan menyesali hidupnya. Terlebih keluarganya shock dengan kejadian ini.

Cahaya tertular virus HIV dari sang suami, yang seorang pecandu narkotika. Saat terinfeksi, Cahaya sedang mengandung anaknya. Awal Maret lalu, dia melahirkan si buah hati. Kegembiraannya atas kehadiran bayi juga direnggut rasa was-was. Kelak di usia 18 bulan, nasib bayinya dipastikan: tertular HIV/AIDS atau tidak. “Syukurlah bila tidak, tapi bila positif kami siap menerimanya,” katanya, pasrah.

Cahaya merupakan potret orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) di Aceh, provinsi ujung barat Indonesia yang katanya telah memberlakukan syariat Islam secara kaffah. Ia merupakan ODHA yang mampu bertahan dan bangkit menjalani hidup normal. Sisa hidupnya diabdikan untuk berkecimpung di lembaga nirlaba yang bergerak pada upaya penanggulangan HIV/AIDS di Aceh.

Penyebaran virus mematikan itu tidak bisa dipandang sebelah mata. Data yang dilansir Dinas Kesehatan Aceh cukup membuat mata publik terbelalak. Hingga Desember tahun lalu, ada 29 kasus HIV/AIDS ditemukan di Aceh. Dibandingkan daerah lain, memang angka ini relatif kecil. Tapi, penyebaran meningkat drastis dalam empat tahun terakhir.

Kepala Seksi Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Dinas Kesehatan Aceh dr. Abdul Fatah menyebutkan, penyebaran HIV/AIDS di Aceh terbilang cepat. Pada tahun 2004, pihaknya hanya mencatat satu kasus. Namun angka itu terus merangsek naik pertahunnya. Pada 2005 tercatat dua kasus. Di tahun 2006 ditemukan tujuh kasus, tahun 2007 (sembilan kasus). Puncaknya pada 2008 yang tercatat 10 kasus. Dari data itu, hubungan seks menjadi faktor dominan penyebaran virus mematikan itu.

Usai bencana gempa bumi dan tsunami melanda Aceh, akhir tahun 2004, banyak “pekerja kemanusiaan” dari berbagai belahan dunia datang ke Aceh. Bandingkan dengan keadaan sebelum tsunami, warga asing sulit bisa masuk ke Aceh. Tetapi, sekarang hampir setiap hari, kita bisa menemukan warga asing yang bekerja di berbagai lembaga internasional dan bergaul bersama warga Aceh.

“Aceh sekarang menjadi wilayah open area. Jadi potensi terjadinya penyebaran HIV juga semakin besar,” kata Abdul Fatah kepada ACEHKINI, medio Maret lalu.

Dinas Kesehatan bekerjasama dengan Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Aceh giat memberikan penyuluhan dan pemahaman tentang penyakit ini. Selain penyuluhan soal bahaya AIDS, Dinas Kesehatan juga berupaya menekan stigma negatif terhadap ODHA. “Selama ini ada stigma negatif terhadap penderita HIV. Padahal, HIV tidak ditularkan melalui makan bersama, bersentuhan. Bahkan tak ditularkan melalui ciuman,” ujar Fatah.

Menurut dia, penyebaran HIV/AIDS di Aceh tidak ada sangkut pautnya dengan keberadaan pekerja asing pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Sebab, kebanyakan penderita HIV terinfeksi saat mereka berada di luar Aceh. “Setelah terinfeksi, mereka kembali ke Aceh. Dulunya mereka pernah bekerja di Batam, misalnya,” kata dia.

Pernyataan ini seperti menghibur diri. Tetapi, bagaimana menjamin para pekerja asing itu tidak membawa virus mematikan itu. Apakah sebelum mereka datang ke Aceh, pernah dilakukan tes darah bahwa pekerja asing itu tak terjangkit HIV. Bukan rahasia umum lagi kalau selama ini mereka juga sering menggelar party terbatas, yang juga diikuti warga Aceh, untuk menghilangkan penatnya bekerja.

Harus diakui, praktik prostitusi terselubung juga menjamur di daerah bersyariat ini. ACEHKINI sempat menelusuri jejaring dan lokasi pelacuran terselubung di Banda Aceh dan beberapa kota besar lain. Sejumlah salon kecantikan malah menyediakan servis plus bagi para lelaki hidung belang. Bisnis esek-esek ini juga menghinggapi kalangan remaja di Aceh. Inilah yang menyebabkan Aceh menjadi rentan dan berpotensi meluasnya penyebaran virus yang hingga kini belum ditemukan obat penawarnya.

Praktik prostitusi dan penyebaran HIV/AIDS ibarat sisi mata uang. Di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh itu menyebar cepat. Hal ini tak terlepas dari bebasnya praktik prostitusi. Angka pengidap HIV/AIDS pada 1997 yang hanya berjumlah satu orang, bergerak cepat dalam jangka 10 tahun. Awal Januari 2007, seperti dilaporkan Antara, di Mimika telah 1.181 warga mengidap HIV/AIDS. Mimika menyumbang 45 persen dari total kasus HIV/ADIS di Papua dan Irian Jaya Barat. Hal yang sama juga terjadi di Maluku.

Gencarnya penyebaran HIV/AIDS di Mimika karena pemerintah setempat gagal dalam menanggulanginya. Selama ini, Pemerintah Mimika hanya memberikan penyuluhan bahaya HIV/AIDS bagi warga. Namun penyuluhan ini tak disertai dengan regulasi pemerintah soal penanggulangan penyakit itu.

Kasus Mimika harus menjadi pelajaran bagi Pemerintah Aceh. Penanggulangan HIV/AIDS di Aceh butuh payung hukum tersendiri. Apalagi pascatsunami Aceh menjadi wilayah terbuka. Baby Rivona, Ketua Medan Aceh Partnership (MAP), menyebutkan, selama ini penanganan HIV/AIDS tak terlalu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Padahal, jumlah penderita di Aceh terus bertambah. Karenanya, “perlu aturan khusus,” ujar Baby.

Rencana aktivis peduli HIV/AIDS mendulang pro-kontra. Ketua Panitia Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Amir Helmi, mempersilahkan jika ada yang ingin mengajukan draf qanun tersebut. “Selama masalah penting dan dirasa mendesak,” ujar Amir.

Ada juga pihak yang menentang rencana pembuatan qanun tersebut. Sebut saja, Khairul Amal. Menurut politisi Partai Keadilan Sejahtera ini, untuk menangani kasus AIDS di Aceh tidak perlu kekhususan. Baginya, cukup diatur dalam qanun kesehatan saja.

Teungku Faisal Ali, Sekretaris Himpunan Ulama Dayah Aceh mendukung inisiatif lahirnya qanun untuk pengidap HIV/AIDS. “Ini hal positif yang perlu didukung. Meski belum lihat draftnya, saya yakin tujuannya baik, untuk menanggulangi dan menangani masalah HIV/AIDS,” ujarnya.

Menurut Faisal, HIV bukanlah masalah yang harus dihindari. Dia juga meminta masyarakat tak mengucilkan penderita penyakit mematikan itu. Sebab, kata dia, penyakit itu terjadi tak hanya karena perilaku si penderita, tapi bisa jadi karena ketidaksengajaan.

Angka jumlah penderita HIV/AID yang dipapar Dinas Kesehatan ialah data yang tercatat. Menurut prediksi WHO – badan kesehatan dunia— bila terdeteksi satu kasus, berkemungkinan 100 kasus lain terjadi. Jadi tak tertutup kemungkinan HIV positif di Aceh, yang belum diketahui, masih banyak. Nah, bila tidak segera ditangani serius, bencana baru kini mengancam di ambang mata. [a]

Jumat, September 04, 2009

Xperia X2 Segera Hadir

Oleh Fakhrurradzie Gade

Sony Ericsson mengumumkan akan mengeluarkan produk teranyar, yaitu Xperia X2, Rabu (2/9). Ini merupakan produk lanjutan dari Xperia X1 yang diluncurkan pada awal 2008 lalu. Sony Ericsson mengklaim X2 lebih unggul dibandingkan X1.

Sony Ericsson mengklaim bahwa X2 ini lebih unggul dibandingkan pendahulunya. Sony membenamkan Windows Mobile versi 6,5 ke dalam X2, selain mengklaim unggul di bidang push email dan kecanggihan multimedia."Pengguna bisa secara langsung menyinkronkan surat elektronik dan kalender, membuka dan mengedit dokumen melalui Microsoft Office secara cepat dan efektif untuk tetap terhubung dengan koleganya di mana pun mereka," ujar Mattias Holm, Sony Ericsson Global Communication, dalam publikasi di situs mereka,

Holm menyebutkan, X2 mempunyai fitur slideview yang unik, yang bisa diakses secara cepat. Melalui slide ini, pengguna bisa berinteraksi dengan menu kontak, perpesanan, media.

Kamera yang dibenamkan pun jauh berbeda dengan X1. Di X2, Sony membenamkan kamera beresolusi 8,1 megapixel dengan 16 kali optical zoom. Sayang, kamera ini tak mempunyai lampu flash. Keunggulan kamera X2 lainnya yaitu mempunyai penstabil gambar, blogging video, dan geo tagging. Ini semua tak dipunyai X1.

Keunggulan lain, layar sentuh X2 lebih sensitif dan fokus, Produk yang akan beredar di pasar pada kuartal ke empat tahun 2009 ini juga unggul di pemutar musik. Bbeerapa fitur, seperti speaker stereo, PlayNow, dan album gambar, tidak ditemukan di X1. Padahal, Sony Ericsson nyaris membenamkan menu PlayNow di semua telepon pintarnya.

Tak banyak fitur tambahan yang dibenamkan di X2. Bahkan di beberapa hal, X2 kalah dibandingkan pendahulunya. Sebut saja misalnya, X2 tak mempunyai radio, tidak bisa video call, tidak mempunyai Outlook Mobile, dan tidak tersedia navigasi joystik optik.

Untuk Internet, kendati sama-sama bekerja di jaringan HSPA atau 3,5 G, X2 tidak bisa mengakses RSS feed.

Pun begitu, X2 digadang-gadang unggul di bidang multimedia. Sony menawarkan pengalaman multimedia dengan layar sentuh 3,2 inci yang beresolusi tinggi dan berkualitas DVD.

"Telepon berplatform Windows ini memungkinkan pengguna untuk mengatur dunia mereka --dari kerja, rumah, atau bermain-main -- dalam satu handset," kata Stephanie Ferguson, general manager, product management Microsoft Corp. "Xperia X2 menawarkan kesempurnaan menu perpesanan, kemampuan multimedia di perangkat Windows Mobile, jadi pengguna bisa tetap berhubungan (dengan sesama), bekerja, dan menikmati hiburan di mana saja mereka berada." []

Selasa, September 01, 2009

Kenangan Seorang Sahabat

Oleh FAKHRURRADZIE GADE
[Edited by Nurdin Hasan]

DEBURAN ombak yang sedang mencium bibir pantai, sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Petang itu, Selat Malaka, sedang tak garang. Hembusan angin sepoi-sepoi usai mencumbui pantai, menyapu nyiur melambai dan membawa kesejukan. Hanya ada satu rumah di situ, diapit rimbunnya pohon kelapa dan pisang.Di depan rumah berkonstruksi beton, teronggok buing rumah, agak kecil. Terlihat jelas bekas kebakaran.

Tidak terlihat rumah lain dalam radius satu kilometer. Satu-satunya rumah di situ, hanya milik Tengku Muhammad Usman Lampoh Awe. Petang itu, lelaki berusia 74 tahun itu sedang menikmati senja di rumahnya di desa Blang Raya, kecamatan Muara Tiga, kabupaten Pidie. Ia duduk di kursi goyang dari rotan di sisi belakang rumah.

Di dinding teras, dekat pintu masuk tergantung sebuah foto yang di dalamnya terlihat pemilik rumah bersama Irwandi Yusuf, gubernur Aceh hasil pilihan rakyat, akhir 2006 silam. Masuk ke dalam rumah, beberapa foto ukuran besar tergantung di dinding ruangan luas. Ada foto kenangan masa lalu, ada juga yang baru. Di antaranya ada satu foto, yang terdapat pemilik rumah bersama Tengku Hasan Muhamad Ditiro. Terlihat kekerabatan antara keduanya, sejak lama.

Masih segar dalam ingatan Muhammad perangai Hasan Tiro yang di kalangan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dikenal sebagai wali nanggroe. Suatu hari usai deklarasi Aceh Merdeka tahun 1976, ia menyodorkan selembar surat kepada Hasan Tiro.

Sebelum Tiro membaca, dia menyuruh Muhammad mengecek kembali surat. “Coba baca dan periksa dulu,” perintahnya. Seketika, Muhammad menjawab sudah dua kali membacanya.

“Coba baca lagi,” ujar Tiro. Muhammad pun terpaksa membaca lagi surat yang diketiknya dengan mesin tik. Usai membaca untuk ketiga kalinya, dia menyodorkan surat itu kepada deklarator Aceh Merdeka.

Tiro membacanya dan menyapu huruf demi huruf yang tertulis di atas kertas tersebut. Aha, Tiro menemukan satu kesalahan yang diperbuat Muhammad. Di surat itu, ia lupa membubuhi satu tanda koma.

“Berapa bulan sudah kalian bersama saya?” tanya Tiro kepada Muhammad dan Darul Kamal. Dua orang kepercayaan Tiro itu hanya terdiam. Tiro lalu bilang, “Tanda koma sama posisinya dengan huruf-huruf lain, sama dengan huruf A, B, C. Kenapa dihilangkan?” ujar Tiro dengan intonasi tinggi.

Setelah mendapat teguran itu, Muhammad dan kawan-kawannya sangat hati-hati bila mengetik surat. Di matanya, Tiro tak hanya telaten, tapi juga sangat rapi dan tegas. Satu ketika usai mendeklarasikan Aceh Merdeka, Hasan Tiro menerima surat dari seseorang yang meminta jabatan.

Surat pertama dan kedua didiamkan saja. Baru pada surat ketiga, ia mengutus Muhammad dan Ir Asnawi Ali mengecek latar belakang orang yang meminta jabatan tersebut. “Sebelum kita mengangkat seseorang sebagai pemimpin, kita harus tahu dulu apa yang sudah diperbuat orang itu,” kata Tiro. Kalimat tersebut sampai sekarang masih membekas di benak Muhammad.

Yang juga paling diingatnya dari sosok Hasan Tiro adalah kerapian. Ia adalah sosok pekerja keras, tak kenal lelah dan mempunyai watak yang keras. Tak jarang, Muhammad dimarahi Tiro. Tapi, tak sembarang orang yang dimarahi. “Saya, Darul Kamal, dan Dr Husaini Hasan yang sering dimarahi Wali,” jelas Muhammad kepada ACEHKINI, beberapa waktu lalu.

Ketiga orang inilah yang sering menjadi sasaran jika Tiro marah. Menurut Muhammad, Hasan Tiro berani memarahi mereka karena, “kamoe ureueng dalam, hahaha..” ungkap Muhammad.

Mungkin karena “orang dalam” pula ketika Hasan Tiro pulang ke Aceh tahun 1976, setelah berbilang tahun menetap di New York, Amerika Serikat, orang pertama yang dicarinya adalah Muhammad. Seperti ditulis dalam bukunya The Unfinished Diary, setelah berlabuh di Kuala Tari, Kecamatan Kembang Tanjong, Pidie, Tiro langsung mencari Muhammad sebelum “naik gunung.”

Menurut Muhammad, Hasan Tiro juga sangat memperhatikan kesempurnaan kerja. Pernah, saat pindah asrama (maksudnya markas –red), Tiro langsung memulai kerja. Padahal, hari itu sudah larut malam. “Kalau pindah asrama, yang pertama dikerjakan adalah membuat meja,” kata Muhammad.

Tiro juga selalu memberi contoh baik kepada mereka. Usai bekerja, dia selalu membereskan meja kerjanya. Nyaris tak ada satu kertas pun yang tercecer di meja dan ruang kerja. Begitu juga, jika mau menulis surat, selalu dilakukan Tiro saat surat tersebut mau dikirim atau dititip.

"Biasa ditulis waktu pagi atau waktu mau berangkat,” jelas Muhammad. “Ini dilakukan biar kalau digerebek musuh, tidak ditemukan barang bukti apa pun.”

Sifat kehati-hatian Tiro karena yang dipimpinnya adalah gerilyawan. Sebelum mendeklarasikan Aceh Merdeka di Gunong Halimon, Pidie, 4 Desember 1976, dia pernah mengikuti pendidikan non-formal taktik gerilya. Metode gerilya ini pula yang diterapkan Tiro saat mendidik angkatan bersenjata pertama Aceh Merdeka di kamp Tanzura, Libya. Makanya, dia mewanti-wanti bawahannya untuk selalu sigap dalam segala kondisi.

Meski berwatak keras, Tiro tak arogan dalam memerintah. Muhammad pernah disuruh membuat sketsa pekerjaan yang akan dilakoninya. Saat itu, Tiro menyuruhnya menyebarkan selebaran keberadaan Aceh Merdeka di Medan. Sebelum dia melaksanakan tugas, Tiro terlebih dulu bertanya strategi yang akan dipakai Muhammad: siapa yang akan ditemui, melalui jalan mana akan ditempuh.

Saat itu, Muhammad menyebutkan beberapa orang dan kawasan yang akan dikunjunginya. Ada beberapa target yang disebutnya dibatalkan Tiro. Pernah juga, saat menerima tugas lain, Muhammad mengajukan protes karena Tiro tak pernah menentukan target yang jelas.

“Tengku, kenapa tidak ditetapkan saja. Tinggal kami jalankan saja,” protesnya suatu ketika.

“Saya tidak mau orang menipu saya. Kalau saya tentukan, nanti kalian tidak bisa menjalankannya,” Tiro memberi alasan, “tapi kalau kalian yang tentukan, pasti bisa dilaksanakan.”

Itulah sekelumit kenangan Muhammad selama Tiro berada di Aceh setelah mendeklarasikan pemberontakan terhadap Jakarta. Setelah berangkat lagi ke pengasingan di Amerika, sampai akhirnya menetap di Swedia, mereka tetap saling berkomunikasi. Maklum, selain keterikatan secara garis perjuangan, keduanya mempunyai hubungan darah. Mereka adalah sepupu.

Muhammad termasuk salah satu orang yang berani membantah Hasan Tiro. Dalam sebuah rapat di rumah Tiro di kawasan Alby, Stockholm, Swedia, Tiro pernah terlihat sangat marah, karena para gerilyawan GAM dinilai tak lagi gesit dalam melawan pasukan pemerintah Indonesia.

Orang kepercayaan yang diserahi mandat menjabat Menteri Keuangan GAM dalam kabinet Tiro dan hampir sepertiga hidupnya dihabiskan dalam penjara, ingat betul saat Tiro bilang, “Awak Aceh njoe sabe idiot.” Hasan Tiro sering memakai kata idiot untuk menilai orang bodoh. Kata itu biasanya dulu juga sering diucapkan saat Tiro menyerang Indonesia.

Mendengar pernyataan ini, Muhammad unjuk bicara. “Tengku sudah lama tidak berada di Aceh,” katanya. Dia lalu menceritakan kondisi kekinian Aceh, tentu yang tak diberitakan media massa. Misalnya, Muhammad menceritakan bagaimana personel GAM menguasai Kota Idi, Aceh Timur. “Tapi setelah itu, dalam radius beberapa kilometer, tentara akan menyerang. Abeh manok, abeh naleung, abeh rumoh. Semuanya musnah,” kata dia.

Mungkin, lanjut Muhammad, beberapa tahun kemudian Aceh akan merdeka seperti yang diidam-idamkan dan diperjuangkan mereka. “Apa gunanya lagi? Di kampung yang ada hanya orang tua renta, hanya ada tanah lapang tak berumah? Lalu untuk apa lagi merdeka kalau sudah begini,” sebutnya.

Hasan Tiro terperangah mendengar “ceramah” karibnya itu. Tiro hanya bisa mondar-mandir di ruangan sambil menggigit gagang kacamatanya. “Kalau begitu, kita harus ubah strategi,” katanya.

“Sebelum ada restu dari Tengku, kita di Aceh sudah mengubah strategi. Apa yang Tengku ajarkan soal hit and run sudah kami jalankan,” kata Muhammad berargumen. Dalam usia renta dan deraan leukemia, Muhammad masih tetap bersemangat. Dalam kesunyian, dia berharap Aceh bisa maju, di tangan kaum muda. Ia mengaku Allah telah memberikan bonus usia kepadanya.

Lantas, pernahkan Tiro menyampaikan kerinduannya kembali ke kampung halaman, setelah 30 tahun ditinggalkan? “Tengku, kalau ada orang yang mau pulang ke Aceh selalu menyiapkan tas. Dia bilang, ‘man lon han neupeuwoe’,” ungkap Muhammad.

Tiro, agaknya memang benar-benar rindu tanah kelahirannya. [a]

Minggu, Agustus 30, 2009

Aceh's Rencong: from Weapon to Souvenir*

By FAKHRURRADZIE GADE, Latitudes Magazine Writer

The rencong is a small, easily concealed dagger with a curved blade, hilt and scabbard that echo the calligraphic shapes of an Islamic prayer. Designed as a weapon for Acehnese fighters close to five centuries ago, it flashes brightly through history as a symbol of Acehnese heroism in the face of Western colonization.Today, the power of the rencong is growing faint in the wake of modern instruments of war. A few people earn a living producing and selling imitation rencong as souvenirs. Ironically, the customers are mostly soldiers, posted from outside to quell the Acehnese struggle for self-determination.

FOR MY PEOPLE, THE ACEHNESE, THE reuncong or rincong­called rencong in Indonesianis an unparalleled symbol of honor and greatness. This can be seen in the tradition for welcoming guests: the adat (customary) village elder will slip a small rencong into the waistband of the guest as a token of respect for the visitor and a sign of the hosts feeling of being honored by the visit. When important officials come to Aceh, they are given special rencong as mementos. For example, in 1998, Amien Rais, head of the MPR (Indonesian National Peoples Consultative Assembly) was given an heirloom rencong that once belonged to the respected ulama (Muslim religious leader), Tengku Muhammad Daud Beureueh. Appointed governor of the new province of Aceh by Sukarno in 1949, Daud Beureueh later supported the Darul Islam (House of Islam) movement for an Islamic state and led a rebellion, declaring Acehs independence, which began in 1953 and took years to crush. This gift of a weapon used by an old fighter of the Old Order to a new leader of the reformation government was charged with political meaningan act that could be read as a signal of Acehs willingness to seek a peaceful relationship with the new Indonesian regime.

***

The history of the rencong is inseparable from the story of the struggle of the people of Aceh against foreign occupation. As a kingdom of great military power in the Malay world from the 16th through the 19th centuries, Aceh produced and consumed great quantities of weapons, including all sorts of swords and daggers and knives, used for ceremonial and everyday purposes as well as war. But the rencong occupies a unique position as a weapon that came to symbolize Aceh to the outside world, as expressed in one of Acehs epithets: Tanah Rencong (land of the rencong).

The origin of the rencong is most popularly attributed to Sultan Alaiddin Riayatyah Al-Kahhar (1528-1568) whose father, Sultan Ali Mughayat Sjah (1511-1530) was the founder of Aceh Darussalamthe Islamic kingdom that successfully kept the Portuguese from conquering Aceh, and maintained control of the spice trade in the Malacca Straits for the next century, until the advent of Dutch and British efforts to dominate the region.[1]

Al-Kahhar engaged in frequent battles to repel and attack the Portuguese at sea. It is told that in one of these fights, in the cramped space of the deck of a ship, the sultans men experienced difficulty using the siwaha dagger like the rencong in many respects, except for its short and straight-up handle, which became very slippery once it got smeared in blood, and too easily slipped from the hand. After that battle, the sultan called upon his blacksmiths to design a better weapon. The result was the rencong, an adaptation of the siwah that not only gave fighters a much firmer grip but also imbued them with the power of Allah, thanks to its innovative design.

The new dagger had a longer hilt, curved into the shape of ba the second letter of the Arabic alphabet. The decoration at the base of the hilt took the form of the letter sin. The blade was shaped like mim and the metal parts at the top of the blade, like lam, while the base of the scabbard was notched into the form of the letter ha. Together, they spelled out Bismillah (In the name of Allah, the Merciful and the Compassionate)the prayer recited at the beginning of each section of the Koran and uttered before an undertaking. Engraved with this invocation, a rencong inspired those who wielded it to remember God in their actions.

As a close-range weapon, the rencong proved particularly effective. As described by D.F. Draeger in Weapons and Fighting Arts of the Indonesian Archipelago (1972:151):

Its peculiar shape seems to fit well with the air of magic and mystery connected to it. Each blade has distinct markings, Arabic characters that tell of mystic power. The rentjong is employed according to its length, which varies from five to twenty inches. The shorter lengths are highly favoured because they can be easily concealed. The rentjong is worn sheathed at the lefthand side of the bearer. It is usually drawn with the left foot forward so that by a quick short step forward with the right foot, the thrust of the knife receives added impetus. The blade is withdrawn from its sheath, cutting edge toward the enemy. It is then whipped to the right by a snap of the hand, which brings the palm upward; the elbow is held fairly close to the body. The thrust is made by extending the right arm almost to full extension and turning the palm downward just prior to penetration of the target.



In addition to its religious and military functions, the rencong played a distinctive social role in the dress code of the Sultanate of Aceh. Wearing a rencong was a prerequisite to masculine beautya man would feel something was missing without a rencong tucked in at his waist, the metallic gleam of its hilt giving just a hint of the weapon hidden in the folds of his clothing. According to Ridwan Azwad, Secretary of the Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (Aceh Information and Documentation Center), Formerly, when the Acehnese wore the rencong, it increased their feelings of self-confidence and made them appear more authoritative. Indeed, a rencong also indicated the wearers social status. For example, if a man wore a rincong [sic] meupucok (rencong with a hilt decorated in real or imitation gold) we would know immediately that he came from the noble uleei balang [commander, or literally, Sultans military officer] classes.



***

As the Dutch and the British came to increasingly dominate the economic and political landscape of Southeast Asia, the Land of the Rencong was a model of heroic resistance and, ultimately, a key actor in the achievement of Indonesian independence. When the Dutch invaded Aceh Darussalam in 1873, after controlling much of the remaining territory of present-day Indonesia for over seven decades, the Achenese opposed them fiercely, initiating the Aceh War, which claimed over 10,000 lives and lasted two decadesin fact longer, as guerilla uprisings continued well after the last Sultan of Aceh officially surrendered to the Dutch in 1903. By 1913, the colonial administration in Aceh issued a policy to regulate the carrying and use of rencong, which were still being used to attack Dutch troops.

Stories of bravery featuring rencong abound from this period. Zentgraaff, in his book, Aceh (1985:128-129) recounts how the woman freedom fighter Pocut Meurah Intan was detained by a Dutch patrol in Pidie on suspicion of carrying a dangerous weapon. Suddenly she drew her rencong from its hiding place, screaming: Kalau begitu, biarlah aku mati! (If that is the case, let me die!). She rushed the brigade single-handed, slashing her weapon crazily left and right, before falling to the ground.

Another famous fighter of those times was Cut Nyak Dhien, who was later declared a national heroine by Sukarno in 1964. Born into Acehnese nobility in 1848, she fought side by side with and outlived two husbands, and led a rebel army in the jungles of Aceh for twenty-five years before her capture in 1901. With her rebel camp on its last legs and the aging Dien herself in poor health and nearly blind, her faithful officer Pang Laot Ali deserted to the Dutch in the hope of getting medical aid for Dien, leading to a surprise attack on the camp. Dien could not conceal her rage at Laot; and when a Lieutenant called Van Vureen approached, she attacked him with her rencong.

Under Dutch rule, the Acehnese became increasingly active in the nationalist movement in alliance with other parts of Indonesia. Like many others, they welcomed the Japanese who landed in Aceh in March 1942, on the strength of Japanese promises to free them from Western colonizers. But rebellions soon broke out when the Japanese proved to be as tyrannical as their predecessors. When Sukarno declared Indonesias Independence in 1945, Acehnese were at the forefront of those who supported the creation of the new country, although the uleei balang were far from unanimous on the decision to be part of it; and conflict after conflict on this issue has disturbed Aceh ever since. As for the rencong, it is safe to say that the war of independence constituted the last phase of the rencongs life as a weapon.

According to Ridwan Azwad, the downfall of the rencong came about as traditional patterns of battle changed into contemporary warfare, where fighting is no longer performed face-to-face at close range with the enemy, but in a wider area, and with all the latest kinds of artillery, from M16s to grenade launchers. Todays warfare makes the rencong obsolete as a weapon, Ridwan says. The function of the rencong has changed. It used to be an instrument of self-defense. Now its just a memento,he adds.

***

In my own lifetime, the presence of real rencong in society has become increasingly rare. When I was a schoolboy at the Madrasah Ibtidaiyah in Keumala, Pidie in the 1980s, older people in the rural areas of Aceh still habitually wore knives at their waists, not to fight, but for practical purposes like cutting the underbrush; and I followed suit, wearing a small knife I bought at the market. It was only in the early 1990s that it became nearly impossible to meet any Acehnese openly wearing a sharp weapon. The reason for this was that in 1989, the government declared Aceh a Daerah Operasi Militer (Military Operation Zone, or DOM) and launched Operasi Jaring Merah (Operation Red Net) to counteract the renewed campaign of GAM (Gerakan Aceh Merdeka)the Free Aceh Movement founded by Teungku Hasan Muhammad di Tiro in 1978 in the mountains of Pidie. That particular conflict, which lasted until 1998, led to a strict prohibition on carrying knives or rencong in public. It was then that the rencong turned into a souvenir for outsiders.

***

It is early afternoon in the village of Baet Mesjid in the Suka Makmur Subsection of Sibreh District in Aceh Besar Regency. Farid Husaini, aged thirteen, has just come home from school. He hurriedly changes out of his uniform into faded old clothes, has lunch, then heads for a nearby hut where an older man is assiduously working a piece of steel alloy by an open fire. Wasting no time, Farid picks up some tools, selects a long, narrow piece of brass, and within no time has hammered and rubbed the brass into the shape of a small rencong blade. I have been working at this trade since the sixth grade in elementary school. In one day, I must be able to finish at least three or four pieces, says Farid.

Next to Farid, his father, Abdullah, aged forty-three, is busy cooling down a shaft of steel. Farid is not the only child to follow Abdullahs lead. His eldest son, Yasser , twenty-four, is also thoroughly possessed by the enterprise. He completed senior high school (SMU) but decided not to continue studies at universityreluctant to attend lectures knowing the benefits this industry would bring. I make a lot of money from this work, says Yasser.

Abdullah confirms this. Rencong-making allows him to comfortably support his whole family. He sells the brass-cast rencong as souvenirs for prices ranging from Rp40,000 for a regular-size piece (ten to twelve centimeters long), to Rp75,000 or Rp80,000 for a larger one (fifteen to twenty centimeters); the raw material costs him only Rp5,000 to Rp10,000. A steel rencong is more expensive, selling at Rp75,000 to Rp100,000. The price is higher because the raw material is hard to get, and Abdullah says that making rencong from steel is far more difficult and time-consuming. Of the three children who work with him, not one can make rencong from steel. It calls for special skill and great patience.

Abdullah sells his rencong to handicraft markets across Aceh, although most of his stock goes to the Pasar Aceh market in Banda Aceh. It is not unusual for prospective buyers to come directly to his place to make a special order. They are usually foreign visitors. Once he received a visit from a group of Australians. They didnt believe that a rencong could be made by hand, so they came to see for themselves. They looked around and seemed to be astonished. Some of them placed orders, but then conflict broke out in the region, and they never came back.



Abdullah learned his rencong-making skills from his own father when he was a young boy. In 1972, at the age of eleven, he felt he was proficient enough to start up his own business, which he has been operating successfully ever since. In 1995 he won first prize in a province-wide contest held by the Aceh Handicrafts Council (Dewan Kerajinan Aceh). The winning entries were in the categories of skill in making rencong weapons and rencong meupucok (rencong with a hilt decorated in real or imitation gold). I dont mean to sound conceited, he says. What is important to me is qualityand, well, my rencong are much different from the rencong made by other people. He is very attentive to the refinement of each part of the rencong-making process: the careful heating, hammering, sharpening and chiseling of patterns into the blade made of brass or steel alloy; the hollowing, filing and carving scabbard and hilt out of buffalo horn or ivory to precisely fit the blade; and the making of the ring (klah) adorning the scabbard of bullet casings, in tin or lead.

Abdullah and his family are typical of the residents of Sibreh district, renowned for their abilities as blacksmiths. Besides Desa Baet Mesjid, the neighboring villages of Baet Meuseugoe and Baet Lampu-Ot are also home to heirs to the art of making weapons. All three communities are within easy reach of the Banda AcehMedan state highway intersection, about twenty-five kilometers east of Banda Aceh city, where many shops sell Acehnese handicrafts to visitors. The residents involvement in the rencong handicraft industry has had a dramatic impact on the economies of the three villages, so that the men generally prefer to become rencong smiths over working their rice fields, and many of the children opt to learn their fathers craft.

***

Muhammad Jamil has been selling rencong at Pasar Aceh for ten years. He says that the war in Aceh has not dissuaded him from selling rencong in public. On average he manages to sell three to five rencong to customers every day, at prices ranging from Rp10,000 for small wooden replicas up to Rp80,000 for medium and large brass pieces.

Deny, another rencong merchant with a stand Aceh Shopping Centre, agrees that the business makes good money. Most of the rencong buyers are outsiders. Usually, they are members of the security forces, who buy rencong as souvenirs to send back home, he says. He also promotes the rencong in his kiosk on a website complete with pictures, prices and contact addresses for the store and workshop, and takes orders by e-mail.

Djoko, a journalist from Banyuwangi, East Java, collects rencong as souvenirs. He is interested in their history and uniqueness. I like to collect things that are unique to the places I visit. The rencong blade is incised with holy verses, see?thats what I like most about it. A few days ago, a friend of mine arrived in Banda Aceh, and I gave him a rencong, too Djoko says.

Djoko is concerned that the Acehnese have begun to neglect the rencongs existence. At the place where Im staying, there are no symbols showing the rencong as a specialty of Aceh, not a single rencong in the house, whereas really, this is a precious heirloom, just like a keris. For us Javanese, the keris is something we take special care of, especially a keris that has spiritual power, Djoko adds, in his thick Javanese accent.

According to this two-time visitor to Aceh, it is the conflict and war that crushes peoples spirits and makes them not care too much about their heirlooms: I am concerned that now that the rencong has turned into a mere souvenir, it will become extinct, remaining in name only, a legend of the past. Whats more, the rencong is a consumer item only for outsiders. How would it be if the outsiders and guests stopped visiting Aceh altogether? Who would buy these rencong? Would the memory of the rencong survive?

Muhajir (22), a native of Bireuen Regency, North Aceh, concurs with Djoko. He feels that the more conflict there is, the scarcer the rencong becomes. Muhajir himself has only seen the replicas made of brass. As for a genuine rencong, in all my life I have never seen one, says this student of the Maritim Nusantara Academy. But Muhajir hopes that young Acehnese will not forget the existence of the rencong as a symbol of the resistance and heroism of Acehnese fighter of days gone by.

Outsiders like Djoko may bring home a rencong and say it is the most precious and beautiful Acehnese object. But he forgets how deeply rooted is the grief that accompanies this beautya form of beauty forged out of suffering and always concealed.[l]

---------------

[1] Some sources say that the rencong was already known during the first Islamic Sultanate in the 13th century, and some attribute the first use of the rencong to Sultan Ali Mughayat Sjah, rather than his son, although the essence of the story is similar.

*) This article was published ini Latitudes Magazine Volume 38, Maret 2004. Latitudes is the Bali-based monthly magazine that focus on art, culture, and tourism.

**) Fakhrurradzie MG is a journalist who lives in Banda Aceh.



Bookmark and Share

Bubur India






Warga Bueng Bak Jok, Aceh Besar memasak Ie Bu Peudah, Ahad (30/8). Saban Ramadan, mereka memasak bubur yang juga dinamakan dengan Ie Bu India ini, yang nantinya dibagi-bagikan kepada warga untuk berbuka puasa, selain sebagai menu berbuka puasa di meunasah, santapan ringan bagi jamaah tarawih dan tadarusan.

Ie Bu Peudah

 

Warga Desa Bueng Bak Jok, Kecamatan Kuta Baro, Aceh Besar, punya cara tersendiri merawat tradisi. Saban Ramadan, warga desa yang berada sekitar 500 meter dari Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda Blang Bintang ini, memasak ie bu peudah.

Ie Bu Peudah merupakan makanan sejenis bubur, yang dimasak di kuali besar. Rasanya agak pedas. Ini berbeda dengan Ie Bu Kanji (Kanji Rumbi) yang rasanya sedikit manis. Warga biasanya juga menyebutnya Ie Bu India. Warnanya kecoklat-coklatan. Bahannya terdiri atas beras kuning, beras (biasa), lada, kunyit, dan daun-daunan yang terlebih dahulu ditumbuk.
Posted by Picasa

Sabtu, Agustus 29, 2009

Reuni Kapten dan Penyerang

Oleh Fakhrurradzie Gade & Jamaluddin

Hasan Tiro mahir menggiring si kulit bundar. Tendangannya kerap membobol gawang lawan.

“I can’t speak English,” kata Azhari saat Hasan Muhammad di Tiro menanyakan namanya.

Pendiri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu lantas bertanya dalam bahasa Arab. “Man ismuka?”

“Ismi Azhari,” jawabnya.

“Azhari...?” Raut wajah Hasan Tiro berubah. Ia terlihat menebar senyum. Azhari lalu dipersilakan duduk di sisi kirinya. Keduanya lantas melepaskan kerinduan yang sudah lama terpendam. Azhari berkali-kali meraba tangan kiri Hasan Tiro, mencubit kecil tangan kerutnya yang sudah renta.

“Kita sudah tua,” katanya, masih dalam bahasa Arab. Hasan Tiro mengangguk.

Azhari dan Hasan Tiro berteman sejak kecil. Dulu, mereka satu sekolah di Madrasah Diniyah Islamiyah Blang Paseh, Sigli. Hasan Tiro merupakan adik kelas Azhari. Tapi, “dia terlalu pandai,” kenang pria berusia 85 tahun itu. “Dia sering loncat kelas, sehingga saya tertinggal di belakang.”

Tak mengherankan, Hasan Tiro dengan mudah bisa merampungkan pendidikan di sekolah yang diasuh Teungku Muhammad Daud Beureu-eh itu. Dia lantas bersekolah di Al Muslim Peusangan, Matang Geulumpang Dua, Bireuen. Sejak menamatkan sekolah di Blang Paseh, kedua sahabat karib itu tak pernah lagi bertemu.

Tapi, jarak yang memisahkan keduanya tak lantas membuat mereka saling melupakan. Azhari selalu mengikuti perkembangan Hasan Tiro melalui surat kabar. Begitu pula, saat kabar Hasan Tiro pulang kampung, 11 Oktober silam. “Saya selalu berdoa agar Allah memanjangkan umur saya dan bisa bertemu Hasan Tiro,” kata Azhari.

Doa itu dilafalkannya setiap usai menunaikan salat lima waktu. Doa itu pula yang disampaikan Azhari saat bersua dengan Hasan Tiro, di rumah adiknya di Dusun Tanjong Bungong, Desa Mali Cot, Kecamatan Sakti, Pidie, 14 Oktober silam.

“Sekarang, doa saya terkabulkan. Kita telah bertemu sekarang,” kata Azhari. Hasan Tiro hanya mengangguk. Keduanya terdiam. Tak berapa lama, reuni dua sahabat itu berakhir karena Hasan Tiro harus bersantap makan siang.

***

PERTEMUAN lima belas menit itu sangat berarti bagi Azhari. Ini merupakan pertemuan yang dinanti semasa hayatnya. Begitu koran-koran mengabarkan Hasan Tiro yang di kalangan aktifis GAM dikenal sebagai wali nanggroe akan pulang ke Aceh, Azhari telah mempersiapkan diri. Kabar itu ditulisnya di secarik kertas dan ditempel di pintu rumah, dekat ranjangnya. Saban hari, dia membaca kabar itu, menanti hari kepulangan Hasan Tiro tiba.

Ahad, 12 Oktober, sehari setelah Hasan Tiro menjejakkan kakinya kembali di Aceh, Azhari bersiap diri. Pagi-pagi sekali, saat matahari masih belia, dia telah datang di rumah Siti Aisyah, adik tiri Hasan Tiro. Pagi itu, Azhari mengenakan jas tua, yang dibelinya bersama Hasan Tiro dulu.

Jas hitam itu lusuh sudah. Warnanya telah pudar. Lama sekali jas itu disimpan di lemarinya. “Saya tidak pernah memakainya lagi,” kata Azhari.

Pagi itu, jas tua sengaja dipakainya, dipadu kemeja tua berwarna merah. “Saya pakai jas, biar sama dengan Hasan Tiro. Apalagi saya lihat dia memakai dasi merah. Saya pikir itu warna bajunya,” kata Azhari, tersenyum memperlihatkan gusi yang tak bergigi.

Namun, penantian itu tak membuahkan hasil. Hasan Tiro yang ditunggui, tak kunjung datang. Jelang siang, dengan sepeda mininya, dia kembali ke rumah. Jas yang dipakainya, dilipat dan kembali disimpan di lemari.

Besoknya, Azhari kembali mendatangi rumah Aisyah, yang berjarak sekitar 400 meter dari rumahnya. Azhari lagi-lagi harus memendam kecewa. Hasan Tiro yang ditungguinya tak jua datang. Sialnya, ban sepeda bututnya bocor saat pulang dari rumah adik Hasan Tiro. Baru pada Rabu, penantian itu membuahkan hasil. Itu pun, setelah bersusah payah menunggu sejak pagi.

Hampir saja Azhari tak bisa bertemu dengan teman sekaligus idolanya. Pasalnya, pengawalan Hasan Tiro sangat ketat. Azhari yang semula hanya mau bersalaman saja, tidak bisa. Hasan Tiro keburu digiring ke rumah sang adik.

“Saya didorong-dorong tidak boleh bertemu. Padahal saya hanya ingin salaman saja,” kata dia.

Untung saja, beberapa pengawal Hasan Tiro dikabari bahwa Azhari merupakan teman sepermainan bos mereka sewaktu kecil. Tak berapa lama, Azhari pun digiring ke dalam rumah dan dipertemukan dengan Hasan Tiro.

“Saya senang bisa bertemu Tengku Hasan Tiro. Sudah lama sekali kami tidak berjumpa,” kata Azhari pada ACEHKINI usai melepas kerinduannya.

Rindu Azhari benar-benar tertunaikan, meski ia harus rela sandal kesayangannya raib entah kemana. Memang, usai bertemu teman masa kecilnya itu, dia harus rela sandal Mirado coklat miliknya hilang. “Tapi tidak apa-apa, saya senang bisa bertemu teman saya,” ujarnya.

Azhari lega. Usai duduk bersanding dengan Hasan Tiro, dengan sepeda bututnya, Azhari kembali ke rumah. Kemeja hitam bermotif bunga dilepasnya. Dia langsung merebahkan diri di peraduan. “Saya senang sekali. Makanya, begitu pulang saya langsung tidur,” ujarnya. “Njoe teungeut-teungeut ka mangat.”

***

AZHARI ingat betul masa kecilnya bersama Hasan Tiro. Di mata Azhari, Hasan Tiro kecil, sosok yang cerdas. Saat bersekolah di Blang Paseh dulu, Hasan Tiro sangat menyukai pelajaran berhitung dan mengaji. Tak mengherankan jika kemudian Teungku Daud Beureu-eh, pejuang Darul Islam, merekomendasikan Hasan Tiro melanjutkan pendidikan di Al Muslim Bireuen. Usai di Al Muslim, Hasan Tiro mengambil jurusan Hukum Internasional di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Menurut Azhari, saat masih di Blang Paseh, Hasan Tiro nyambi sebagai tenaga pengajar di balai pengajian yang didirikan ayahnya, Muhammad di Tiro, di Tanjong Bungong. Di balai itu, Hasan Tiro berduet dengan Azhari mengajar anak-anak sekampungnya belajar ilmu agama dan umum. Balai pengajian itu kemudian jadi cikal-bakal lahirnya Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Tanjong Bungong, Desa Mali Cot. “Di sana, saya dan Hasan Tiro mengajar, ganti-gantian. Ada dua guru lagi, tapi saya tidak ingat lagi nama mereka,” kata Azhari.

Tak hanya pandai di bangku sekolah, Hasan Tiro kecil juga menjadi bintang di lapangan hijau. Dia pandai mengolah si kulit bundar. Azhari bilang, hampir saban hari usai sekolah atau mengaji, mereka menjejal kemampuan sepak bola. Tapi jangan membayangkan si kulit bundar yang mereka mainkan itu terbuat dari bahan kulit atau plastik. “Kami main bola boh giri,” kenang Azhari.

Boh giri adalah jeruk bali. Saban hendak main bola, Hasan Tiro memetik jeruk bali di kebun neneknya. Tak jarang, Hasan Tiro harus main kucing-kucingan dengan sang nenek. “Dia dilarang main bola, karena tidak baik kata neneknya,” ujar Azhari.

Karena Hasan Tiro sangat kepingin main bola, larangan itu tak dihiraukan. Dia rela saat harus “mencuri” jeruk bali di kebun neneknya untuk bisa menggiring si bundar di lapangan hijau. Azhari dan Hasan Tiro selalu berduet. Hasan Tiro sering bertindak sebagai penyerang kanan. Sedangkan Azhari di posisi kapten.

“Kalau bola sudah di kaki Hasan Tiro, pasti masuk. Tendangannya keras sekali,” kenang Azhari.

Mereka kerap memenangkan permainan. Bahkan, saat berlaga di kampung tetangga, duet Hasan Tiro-Azhari selalu membuat kesebelasan Tanjong Bungong keluar sebagai pemenang. Tarkam alias permainan sepak bola antarkampung menjadi favorit mereka. Jika sudah berlaga di arena tarkam, Tanjong Bungong selalu unggul. Azhari masih ingat saat mereka mengalahkan kesebelasan Titeue, Beureunuen, dan Lamlo. Dalam ajang tarkam itu, Hasan Tiro selalu berhasil menjaring boh giri ke jaring lawan.

Tentu, reuni singkat antara kapten dan penyerang itu tak hendak menjejal lagi kemampuan mengolah si kulit bundar. Keduanya, kini telah renta dimakan usia. [a]

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting