Selasa, September 01, 2009

Kenangan Seorang Sahabat

Oleh FAKHRURRADZIE GADE
[Edited by Nurdin Hasan]

DEBURAN ombak yang sedang mencium bibir pantai, sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Petang itu, Selat Malaka, sedang tak garang. Hembusan angin sepoi-sepoi usai mencumbui pantai, menyapu nyiur melambai dan membawa kesejukan. Hanya ada satu rumah di situ, diapit rimbunnya pohon kelapa dan pisang.Di depan rumah berkonstruksi beton, teronggok buing rumah, agak kecil. Terlihat jelas bekas kebakaran.

Tidak terlihat rumah lain dalam radius satu kilometer. Satu-satunya rumah di situ, hanya milik Tengku Muhammad Usman Lampoh Awe. Petang itu, lelaki berusia 74 tahun itu sedang menikmati senja di rumahnya di desa Blang Raya, kecamatan Muara Tiga, kabupaten Pidie. Ia duduk di kursi goyang dari rotan di sisi belakang rumah.

Di dinding teras, dekat pintu masuk tergantung sebuah foto yang di dalamnya terlihat pemilik rumah bersama Irwandi Yusuf, gubernur Aceh hasil pilihan rakyat, akhir 2006 silam. Masuk ke dalam rumah, beberapa foto ukuran besar tergantung di dinding ruangan luas. Ada foto kenangan masa lalu, ada juga yang baru. Di antaranya ada satu foto, yang terdapat pemilik rumah bersama Tengku Hasan Muhamad Ditiro. Terlihat kekerabatan antara keduanya, sejak lama.

Masih segar dalam ingatan Muhammad perangai Hasan Tiro yang di kalangan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dikenal sebagai wali nanggroe. Suatu hari usai deklarasi Aceh Merdeka tahun 1976, ia menyodorkan selembar surat kepada Hasan Tiro.

Sebelum Tiro membaca, dia menyuruh Muhammad mengecek kembali surat. “Coba baca dan periksa dulu,” perintahnya. Seketika, Muhammad menjawab sudah dua kali membacanya.

“Coba baca lagi,” ujar Tiro. Muhammad pun terpaksa membaca lagi surat yang diketiknya dengan mesin tik. Usai membaca untuk ketiga kalinya, dia menyodorkan surat itu kepada deklarator Aceh Merdeka.

Tiro membacanya dan menyapu huruf demi huruf yang tertulis di atas kertas tersebut. Aha, Tiro menemukan satu kesalahan yang diperbuat Muhammad. Di surat itu, ia lupa membubuhi satu tanda koma.

“Berapa bulan sudah kalian bersama saya?” tanya Tiro kepada Muhammad dan Darul Kamal. Dua orang kepercayaan Tiro itu hanya terdiam. Tiro lalu bilang, “Tanda koma sama posisinya dengan huruf-huruf lain, sama dengan huruf A, B, C. Kenapa dihilangkan?” ujar Tiro dengan intonasi tinggi.

Setelah mendapat teguran itu, Muhammad dan kawan-kawannya sangat hati-hati bila mengetik surat. Di matanya, Tiro tak hanya telaten, tapi juga sangat rapi dan tegas. Satu ketika usai mendeklarasikan Aceh Merdeka, Hasan Tiro menerima surat dari seseorang yang meminta jabatan.

Surat pertama dan kedua didiamkan saja. Baru pada surat ketiga, ia mengutus Muhammad dan Ir Asnawi Ali mengecek latar belakang orang yang meminta jabatan tersebut. “Sebelum kita mengangkat seseorang sebagai pemimpin, kita harus tahu dulu apa yang sudah diperbuat orang itu,” kata Tiro. Kalimat tersebut sampai sekarang masih membekas di benak Muhammad.

Yang juga paling diingatnya dari sosok Hasan Tiro adalah kerapian. Ia adalah sosok pekerja keras, tak kenal lelah dan mempunyai watak yang keras. Tak jarang, Muhammad dimarahi Tiro. Tapi, tak sembarang orang yang dimarahi. “Saya, Darul Kamal, dan Dr Husaini Hasan yang sering dimarahi Wali,” jelas Muhammad kepada ACEHKINI, beberapa waktu lalu.

Ketiga orang inilah yang sering menjadi sasaran jika Tiro marah. Menurut Muhammad, Hasan Tiro berani memarahi mereka karena, “kamoe ureueng dalam, hahaha..” ungkap Muhammad.

Mungkin karena “orang dalam” pula ketika Hasan Tiro pulang ke Aceh tahun 1976, setelah berbilang tahun menetap di New York, Amerika Serikat, orang pertama yang dicarinya adalah Muhammad. Seperti ditulis dalam bukunya The Unfinished Diary, setelah berlabuh di Kuala Tari, Kecamatan Kembang Tanjong, Pidie, Tiro langsung mencari Muhammad sebelum “naik gunung.”

Menurut Muhammad, Hasan Tiro juga sangat memperhatikan kesempurnaan kerja. Pernah, saat pindah asrama (maksudnya markas –red), Tiro langsung memulai kerja. Padahal, hari itu sudah larut malam. “Kalau pindah asrama, yang pertama dikerjakan adalah membuat meja,” kata Muhammad.

Tiro juga selalu memberi contoh baik kepada mereka. Usai bekerja, dia selalu membereskan meja kerjanya. Nyaris tak ada satu kertas pun yang tercecer di meja dan ruang kerja. Begitu juga, jika mau menulis surat, selalu dilakukan Tiro saat surat tersebut mau dikirim atau dititip.

"Biasa ditulis waktu pagi atau waktu mau berangkat,” jelas Muhammad. “Ini dilakukan biar kalau digerebek musuh, tidak ditemukan barang bukti apa pun.”

Sifat kehati-hatian Tiro karena yang dipimpinnya adalah gerilyawan. Sebelum mendeklarasikan Aceh Merdeka di Gunong Halimon, Pidie, 4 Desember 1976, dia pernah mengikuti pendidikan non-formal taktik gerilya. Metode gerilya ini pula yang diterapkan Tiro saat mendidik angkatan bersenjata pertama Aceh Merdeka di kamp Tanzura, Libya. Makanya, dia mewanti-wanti bawahannya untuk selalu sigap dalam segala kondisi.

Meski berwatak keras, Tiro tak arogan dalam memerintah. Muhammad pernah disuruh membuat sketsa pekerjaan yang akan dilakoninya. Saat itu, Tiro menyuruhnya menyebarkan selebaran keberadaan Aceh Merdeka di Medan. Sebelum dia melaksanakan tugas, Tiro terlebih dulu bertanya strategi yang akan dipakai Muhammad: siapa yang akan ditemui, melalui jalan mana akan ditempuh.

Saat itu, Muhammad menyebutkan beberapa orang dan kawasan yang akan dikunjunginya. Ada beberapa target yang disebutnya dibatalkan Tiro. Pernah juga, saat menerima tugas lain, Muhammad mengajukan protes karena Tiro tak pernah menentukan target yang jelas.

“Tengku, kenapa tidak ditetapkan saja. Tinggal kami jalankan saja,” protesnya suatu ketika.

“Saya tidak mau orang menipu saya. Kalau saya tentukan, nanti kalian tidak bisa menjalankannya,” Tiro memberi alasan, “tapi kalau kalian yang tentukan, pasti bisa dilaksanakan.”

Itulah sekelumit kenangan Muhammad selama Tiro berada di Aceh setelah mendeklarasikan pemberontakan terhadap Jakarta. Setelah berangkat lagi ke pengasingan di Amerika, sampai akhirnya menetap di Swedia, mereka tetap saling berkomunikasi. Maklum, selain keterikatan secara garis perjuangan, keduanya mempunyai hubungan darah. Mereka adalah sepupu.

Muhammad termasuk salah satu orang yang berani membantah Hasan Tiro. Dalam sebuah rapat di rumah Tiro di kawasan Alby, Stockholm, Swedia, Tiro pernah terlihat sangat marah, karena para gerilyawan GAM dinilai tak lagi gesit dalam melawan pasukan pemerintah Indonesia.

Orang kepercayaan yang diserahi mandat menjabat Menteri Keuangan GAM dalam kabinet Tiro dan hampir sepertiga hidupnya dihabiskan dalam penjara, ingat betul saat Tiro bilang, “Awak Aceh njoe sabe idiot.” Hasan Tiro sering memakai kata idiot untuk menilai orang bodoh. Kata itu biasanya dulu juga sering diucapkan saat Tiro menyerang Indonesia.

Mendengar pernyataan ini, Muhammad unjuk bicara. “Tengku sudah lama tidak berada di Aceh,” katanya. Dia lalu menceritakan kondisi kekinian Aceh, tentu yang tak diberitakan media massa. Misalnya, Muhammad menceritakan bagaimana personel GAM menguasai Kota Idi, Aceh Timur. “Tapi setelah itu, dalam radius beberapa kilometer, tentara akan menyerang. Abeh manok, abeh naleung, abeh rumoh. Semuanya musnah,” kata dia.

Mungkin, lanjut Muhammad, beberapa tahun kemudian Aceh akan merdeka seperti yang diidam-idamkan dan diperjuangkan mereka. “Apa gunanya lagi? Di kampung yang ada hanya orang tua renta, hanya ada tanah lapang tak berumah? Lalu untuk apa lagi merdeka kalau sudah begini,” sebutnya.

Hasan Tiro terperangah mendengar “ceramah” karibnya itu. Tiro hanya bisa mondar-mandir di ruangan sambil menggigit gagang kacamatanya. “Kalau begitu, kita harus ubah strategi,” katanya.

“Sebelum ada restu dari Tengku, kita di Aceh sudah mengubah strategi. Apa yang Tengku ajarkan soal hit and run sudah kami jalankan,” kata Muhammad berargumen. Dalam usia renta dan deraan leukemia, Muhammad masih tetap bersemangat. Dalam kesunyian, dia berharap Aceh bisa maju, di tangan kaum muda. Ia mengaku Allah telah memberikan bonus usia kepadanya.

Lantas, pernahkan Tiro menyampaikan kerinduannya kembali ke kampung halaman, setelah 30 tahun ditinggalkan? “Tengku, kalau ada orang yang mau pulang ke Aceh selalu menyiapkan tas. Dia bilang, ‘man lon han neupeuwoe’,” ungkap Muhammad.

Tiro, agaknya memang benar-benar rindu tanah kelahirannya. [a]

2 comments:

Anonim mengatakan...

mantap cit ternyata feature dari pak pimred....
cek logo acehkita.tv di http://aulia87.wordpress.com/portofolio/

eFMG mengatakan...

terimakasih Aulia... ini sungguh bantuan yang luar biasa.

Salam

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting