Senin, Maret 28, 2005

Jerit Keluarga Terpidana [1]

Reporter: Tim acehkita.com, 2004-01-25 11:29:17

Kamis, 22 Januari 2004, rencana pemindahan narapidana yang divonis karena terkait Gerakan Aceh Merdeka (GAM), akhirnya jadi kenyataan setelah sebelumnya sempat tertunda satu hari. Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) Aceh, rencananya memang akan memindahkan 143 narapidana itu pada hari Rabu (21/1).

Dari Pangkalan TNI Angkatan Udara di Banda Aceh, 54 orang akhirnya dipindahkan ke Semarang, Jawa Tengah. Sementara 89 tahanan lainnya, diterbangkan melalui Lhokseumawe, pada hari Minggu (25/1).

Sebagian dari “kloter 2” ini akan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah, tempat Tommy Soeharto dan Bob Hasan menjalani hukumannya, dengan sebab yang berbeda.

Dari 54 anggota GAM yang dipindahkan, tidak terdapat lima juru runding GAM seperti Sofyan Ibrahim Tiba, Lampoh Awe dan Teungku Kamaruzaman. Mereka yang dipindahkan, adalah yang sudah mempunyai putusan hukum yang tetap atau tidak mengajukan banding dan kasasi. Selain itu, adalah mereka yang dihukum antara tiga sampai 20 tahun penjara.

Bagi pihak keluarga para napi, pemindahan ini sangat mendadak. Para keluarga tidak memperoleh pemberitahuan secara resmi oleh pihak PDMD, kepolisian dan pihak Departemen Kehakiman dan HAM. Para keluarga, hanya mengetahui setelah media massa memberitakan rencana pemindahan ini. Selebihnya, pihak keluarga tidak mengetahui apa pun juga.

Iqbal (29), sebut saja namanya begitu, salah seorang anggota keluarga dari para tahanan GAM yang dipindahkan ke Jawa, menyesalkan tindakan yang diambil PDMD. Menurut pria hitam manis ini, pihak keluarga sangat mengharapkan kalau pemindahan ini, mendapat pemberitahuan secara resmi.

“Kami sangat sedih atas sikap yang diambil pemerintah. Saya tidak pernah membayangkan adik saya akan dipindahkan ke Jawa. Ayah dan ibu di kampung juga tidak mengetahui apa-apa tentang pemindahan ini,” kata Iqbal kepada acehkita, Jum’at (23/1) di pinggiran Kota Banda Aceh.

Lalu, kapan baru tahu sang adik akan dibawa ke Jawa?

“Ya, dari keterangan pangdam ketika pemulangan GAM binaan BPG ke kampung, yang diberitakan di koran dan televisi,” katanya.

Tak heran bila para keluarga ini panik bukan kepalang. Sebagai keluarga miskin, hampir mustahil menyambangi para tahanan itu di Pulau Jawa. Tentu berbeda dengan keluarga Cendana yang masih bisa menjenguk Tommy Soeharto di Nusa Kambangan.

Berpisah untuk jangka waktu sembilan tahun dengan kesempatan dan peluang yang kecil secara ekonomi untuk menjenguk kondisi sanak saudaranya yang ditahanan, jelas menorehkan kepedihan tersendiri.

Sembilan tahun?

Adik yang dimaksud Iqbal adalah Samsul Fadjri Syahputra (28 tahun). Oleh Pengadilan Negeri Banda Aceh, ia dijatuhi hukuman sembilan tahun penjara. Pria yang hanya tamatan SMP dan kemudian melanjutkan pendidikan di salah satu pesantren di Lamno, Aceh Jaya, ini “tidak” mengajukan banding.

Benarkah mereka tidak mengajukan banding? Tak ada yang tahu pasti. Sebab, tak sedikit juga yang tak mau mengajukan banding karena mendapat ancaman akan dijatuhi hukuman yang lebih berat. Mungkin peradilan tak mau dibuat repot dengan banyaknya terdakwa yang akan mengajukan banding.

Lain halnya bila yang mengajukan banding adalah terdakwa kasus korupsi. Nah, untuk yang seperti ini, semakin panjang dan lama proses hukum, semakin banyak pihak yang “bergembira”.

Lalu sebesar apa “dosa” Samsul Fadjri kepada negara ini, sehingga ia harus mendekam sembilan tahun penjara, atau tiga tahun lebih lama dari terpidana korupsi dana reboisasi seperti Bob Hasan?

Samsul Fadjri Syahputra dituduh sebagai Sekretaris Wilayah Daerah (Sekwilda) GAM Wilayah 26 Aceh Besar. Pria kelahiran Calang, Aceh Jaya (wilayah pemekaran dari Aceh Barat –red) ini ditangkap pada 20 Mei 2003, di salah satu kelurahan di Kota Banda Aceh.

Menurut Iqbal, penahanan dan penangkapan adiknya, disebabkan oleh kesalahpahaman akibat adanya fitnah dari orang. Menurut pria ini, adiknya memang pernah masuk GAM wilayah Aceh Besar pada 2000 lalu.

Namun, “kesalahan” itu sudah ditebus adiknya, dengan mendekam selama setahun dalam penjara. Tuduhan kala itu adalah sebagai Kepala Kepolisian GAM. Juga, katanya, Samsul Fadjri dituduh telah menyimpan sejumlah bom rakitan di rumah kosnya.

Memang, dalam penggerebekan suatu subuh di tahun 2002 itu, aparat keamanan dari Komando Resort Militer (Korem) 012 Teuku Umar, Banda Aceh, menemukan beberapa bom rakitan di rumah Samsul Fadjri di kawasan Beurawe, 500 meter dari Mapolresta Banda Aceh.

Dalam penggerebekan itu, selain menyita sejumlah bom rakitan, juga menangkap lima warga lainnya. Dua di antaranya masih berstatus mahasiswa. Satu lagi, pekerja di Ulee Kareng, kawasan yang terkenal dengan kopinya. Sementara satu lainnya, juga dituduh sebagai anggota GAM. Belakangan, dua mahasiswa dan satu pekerja itu, dibebaskan aparat keamanan, setelah sehari semalam mendekam dalam tahanan di Makorem 012 Teuku Umar.

Sementara dua yang teridentifikasi sebagai anggota GAM, diajukan ke pengadilan.

Setelah menjalani hukuman penjara selama satu tahun, pada 2001, Samsul Fadjri Syahputra yang kala itu bernama Syukri, bisa menghirup udara bebas.

Menurut Iqbal, setelah bebas dari penjara, adiknya tidak pernah lagi ikut dalam kegiatan GAM, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan, “Ayah mengganti nama adik saya dari Syukri menjadi Samsul Fadjri Syahputra. Pergantian nama itu atas pengetahuan pengacara dan notaris,” kata Iqbal.

Untuk apa mengganti nama?

“Ayah menganggap nama Syukri tidak cocok untuk adik saya. Juga, supaya dengan nama baru, adik saya bisa menjalani hidup baru dan tidak lagi terlibat dalam GAM,” ujar Iqbal, memberi argumen.

Selama menghirup udara bebas ini, kisah Iqbal, adiknya tidak pernah lagi ikut dalam berbagai kegiatan yang ada kaitannya dengan gerakan yang didirikan Hasan Muhammad di Tiro pada 4 Desember 1976 di Pegunungan Halimun, Lueng Putu, Pidie itu. Menurut Iqbal, adiknya kala itu hanya berprofesi sebagai supir.

Namun, kehidupan supir tidak lama ditekuni Samsul Fadjri Syahputra.

Keputusan pemerintah untuk menggelar darurat militer melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 28 tahun 2003, yang berlaku efektif pada 19 Mei 2003, juga membawa getah bagi Samsul Fadjri. [bersambung]

Sabtu, Maret 26, 2005

Nyala Lilin untuk Aceh

Tak terasa sudah enam minggu nyala lilin untuk Aceh berlangsung di Bunderan Hotel Indonesia Jakarta. Nyala lilin untuk Aceh berlangsung saban Sabtu malam. Penggagasnya, Farid Gaban, wartawan senior di Jakarta.

Pada minggu pertama menyalakan lilin, Farid Gaban datang seorang diri ke Bundaran HI. Di sana, dia menyalakan 10 lilin dan menggelar beberapa poster yang dicoret-coretnya.

Kendati sudah berlangsung enam minggu, tak banyak orang yang ikut. Memang tak dirancang untuk diikuti banyak orang. Hanya beberapa orang yang konsern tentang dan sepakat dengan ide Farid Gaban, untuk berkampanye perdamaian di Aceh, yang selalu tampak hadir di acara itu.

Saya sendiri, baru tiga kali hadir ke sana. Pekan ketiga, kelima dan keenam. Saya merasa tergugah untuk ikut serta bersama Farid Gaban dan beberapa lainnya, sebut saja Asep Saefullah, Wahyu.

Para peserta membagi-bagikan selebaran kampanye perdamaian, memegang poster dan menyalakan lilin perdamaian. Di lokasi, juga dibentangkan selembar spanduk putih besar yang bergambar peta Aceh dan nyala api perdamaian. Di atasnya, setiap acara dinyalakan sekitar 20-30-an lilin. Tak ada koar-koar yang memekakkan telinga, tak ada pula ancaman macet jalan raya.

Kelaziman demonstrasi tidak terlalu nampak di sana, selain memajang spanduk dan membag-bagikan selebaran. Polisi yang selalu datang ke sana, bingung bagaimana cara membuat laporan ke atasannya. Pasalnya, ketika ditanya siapa koordinator, para peserta menjawab tidak ada koordinator. Lalu, siapa yang menggerakkan, jawabnya, anggota masyarakat alias individu-individu. Apa yang dituntut? Baca aja di spanduk dan poster.

Ide nyala lilin untuk Aceh, layak untuk diikuti. Saban Sabtu malam, jika tak ada kegiatan, singgahlah ke Bundaran HI, untuk sekedar menyalakan lilin perdamaian, membagi selebaran dan memegang poster kampanye perdamaian dan antiperang untuk Aceh.

“Hadiah terpenting yang dibutuhkan rakyat Aceh adalah Perdamaian.” Begitu bunyi salah satu poster. [r]

Apa Kabar Ibrahim Tiba

Reporter: Odeysa - Banda Aceh, 2004-05-25 03:20:19

Seorang wanita muda berjalan tergopoh-gopoh di bawah terik sinar matahari. Wajahnya yang kelelahan merona merah terbakar sang surya. Kerudung hitamnya seakan tak kuasa menahan terik yang amat sangat siang itu. Baju hitam dan rok biru yang dikenakannya melambai-lambai mengikuti gerak tubuhnya yang nyaris setengah berlari. Hari itu, Senin, 24 Mei 2004.

Begitu tiba di rumahnya, sinar lelah segera lenyap dari wajah. Adalah sapaan sang buah hati yang membuatnya tersenyum.

Yanti Sofyan, nama wanita itu, baru pulang dari Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) Aceh.

"Saya baru pulang mengantar nasi kepada Papa," katanya kepada acehkita yang sudah menunggu sekitar tiga jam.

Papa yang dimaksud Yanti adalah Sofyan Ibrahim Tiba, Ketua Juru Runding Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang duduk di Joint Security Committee (JSC). JSC adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Pemerintah Indonesia dan GAM setelah tercapai kesepakatan damai di Jenewa bulan Desember 2002. Pembicaraan kedua belah pihak yang sedang bertikai itu difasilitasi oleh Hendry Dunant Center (HDC), sebuah lembaga internasional yang bermarkas di Swiss.

Selain Sofyan Ibrahim Tiba, empat orang lain yang tergabung dalam tim juru runding GAM adalah Tgk Muhammad Usman Lampoh Awe, Tgk. Nashiruddin bin Ahmad, Tgk Amni bin Ahmad Marzuki dan T Kamaruzzaman.

"Maaf ya dik, sudah lama menunggu. Soalnya, sehabis dari Polda saya ke kantor pengacara," kata Yanti ramah.

"Saya mau buat surat permohonan kepada Menteri Kehakiman dan HAM, supaya Papa dan juru runding lainnya tidak dipindahkan ke luar Aceh," sambungnya.

Yanti Sofyan pantas gusar. Pasalnya, belakangan merebak kabar kelima juru runding GAM akan segera dipindahkan ke Pulau Jawa. Kabar ini merebak menyusul pemindahan Ketua Presidium Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) Muhammad Nazar ke Malang, Jawa Timur, Senin pekan sebelumnya. Nazar dipindahkah bersama 170 tahanan lain. Pemindahan mereka dilakukan mendadak tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada keluarga.

Surat permohonan yang sedang disiapkan Yanti bukan hanya untuk Sofyan Ibrahim Tiba seorang. Tapi, katanya, juga untuk semua juru runding GAM yang saat ini sedang berada dalam sel tahanan Polda Aceh.

"Saya buat ini atas nama semua juru runding GAM," sebut wanita berkacamata minus ini.

"Beberapa hari lalu saya ketemu keluarga Tgk. Muhammad Usman Lampoh Awe, mereka juga meminta supaya tidak dipindahkan," terang Yanti.

Menurut Yanti yang sering menjadi "juru bicara" keluarga, permohonan ini dilakukan atas dasar kemanusiaan.

"Kan Papa dan beberapa juru runding lainnya sudah tua. Apalagi Papa sering sakit-sakitan," kata Yanti, penuh harap.

*****
Dari mana Yanti mendengar kabar ayahnya akan dipindahkan ke Pulau Jawa? "Dengar isu aja. Polda tidak ngasih kabar apa-apa," kata Yanti rendah.

Menurut selentingan kabar yang sampai ke telinga Yanti, prosedur pemindahan kelima juru runding itu akan sama persis dengan prosedur pemindahan Nazar.

"Saya dengar dari orang di Polda, prosedurnya seperti pemindahan Nazar," Yanti menghela napas.

"Kalau memang mau dipindahkan, kenapa ya tidak dibilang-bilang sama keluarga. Kan kita bisa siap-siap," lanjut Yanti. Matanya menerawang. Seorang anaknya sedang bermain di ruang tamu.

Tidak ada alasan yang cukup kuat untuk memindahkan kelima orang itu. Apalagi, dalam suatu kesempatan Polda Aceh dan PDMD Aceh menyatakan, akan memindahkan tahanan GAM yang dikenakan hukuman di atas tiga tahun penjara. Namun peraturan ini, sebut dua institusi keamanan itu, tidak berlaku bagi mereka yang sedang mengajukan banding atau kasasi. Nah, saat ini kelima juru runding GAM sedang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung RI.

"Dulu kan Pak Bahrum (Kapolda Aceh, red) bilang seperti itu. Tapi setelah melihat kasus Bang Nazar, kami jadi cemas," ujarnya.

"Kak Dewi (Isteri Muhammad Nazar, red), tahu ketika mau beli nasi guri. Dia lihat banyak orang di LP, dia langsung hubungi pengacara," kata Yanti menceritakan betapa kagetnya keluarga Nazar begitu tahu Nazar dipindahkan ke Pulau Jawa.

****
Lantas, bagaimana keadaan Sofyan Tiba yang saat ini masih berada dalam sel tahanan Polda Aceh?

Yanti yang membagi waktu berkunjung dengan Mamanya, mengatakan, kondisi ayahnya tidak terlalu riskan. Tapi, katanya, saat ini sang ayah sedang menderita penyakit kulit. Kata Yanti, ini karena sang ayah jarang terkena sinar matahari.

"Ada sih sedikit penyakit kulit. Juga, saya lihat telinganya bengkak. Entah kenapa," ceritanya.

"Yang sedih, kondisi Tgk. Nashiruddin. Dia kelihatan pucat, karena tidak pernah kena matahari," sambungnya.

Sofyan Ibrahim Tiba memang tengah menderita komplikasi penyakit jantung, diabetes, hipertensi dan kolesterol. Menurut Yanti, sang ayah tidak bisa mengkonsumsi makanan yang berminyak.

"Papa tidak bisa memakan makanan yang dikasih di sel. Kadang Papa muntah-muntah, akibat makanan yang tidak cocok," kata Yanti.

Beberapa hari lalu, penyakit yang diderita Tiba kambuh. Pihak Polda, kata Yanti, memberikan pengobatan cuma-cuma.

"Dokternya dari Polda," sebut wanita yang saat ini tengah mengandung anak kedua. Usia kandungan Yanti, sekarang memasuki usia lima bulan.

Keluarga para juru runding GAM ini diberi kesempatan memebsuk hari Senin sampai Jum’at, sejak pukul 09.00 WIB sampai 11.00 WIB. Di hari Sabtu dan Minggu sama sekali tak ada kesempatan menjenguk.

Menurut Yanti, keluarganya menjenguk sang ayah dua hari sekali.

"Pagi saya yang datang. Kalau sore, ibu untuk ngantar makanan," ujar Yanti. "Tapi, kalau adik saya yang laki-laki, mereka tidak berani pergi, karena ditanyai macam-macam," lanjutnya.

****
Sofyan Ibrahim Tiba dilahirkan di Bireuen 17 Juli 1947. Tiba muda mengawali karirnya sebagai wartawan KAPPI di Aceh pada tahun 1967. Dunia kewartawanan ditinggalkan Tiba, setelah dia bergelut dengan politik praktis dan menjadi anggota Parmusi. Selanjutnya, Tiba berkiprah di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Aceh setelah pemerintah melakukan fusi partai tahun 1973.

Pasca kejatuhan Soeharto, Tiba bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN). Saat itu partai yang dilahirkan Amien Rais ini mendukung bentuk negara federasi. Di PAN, Tiba duduk sebagai wakil ketua. Sebelumnya, Tiba adalah salah seorang dosen Hukum Tata Negara di Universitas Muhammadiyah Banda Aceh.

Tahun 2000, Tiba memutuskan menerima "pinangan" GAM untuk duduk sebagai salah seorang wakil kelompok yang ingin memerdekakan Aceh dari Indonesia itu di Komite Bersama Modalitas Keamanan (KBMK). KBMK lahir setelah tercapai kata sepakat antara RI dan GAM untuk melakukan gencatan senjata untuk kemanusiaan, dikenal dengan istilah Jeda Kemanusiaan, setelah penandatanganan Joint of Understanding (JoU).

"Saya ini bukan GAM ya. Saya ini kebetulan simpati dengan perjuangan GAM. Dan beberapa pikiran saya cocok dengan mereka. Ibaratnya, saya ini adalah pemain bola kontrakan. Jadi sedang dikontrak negara lain," kata Tiba, seperti dikutip detik.com, 6 Mei 2003.

Ketika JoU berhenti di tengah jalan, Tiba dan beberapa juru runding lainnya, pada 3 Agustus 2001 ditangkap aparat keamanan. Dia dikenakan pasal “karet” menghasut dan menyebarkan rasa permusuhan terhadap pemerintahan yang sah. Tidak berapa lama, Tiba dan lima kawan-kawannya dibebaskan setelah ada kata sepakat untuk kembali ke meja perundingan yang akhirnya melahirkan wadah Damai Melalui Dialog (DMD).

Pada 9 Desember 2002, kedua pihak yang bertikai sepakat untuk menandatangani Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) atau persetujuan untuk menghentikan permusuhan. Di CoHA ini, Tiba duduk sebagai senior envoy di Joint Security Committee (JSC) mewakili GAM.

Jum’at, 9 Mei 2003, Tiba dan lima juru runding GAM lainnya, ditangkap oleh polisi dari Polda Aceh, di Bandara Iskandar Muda, Banda Aceh. Ini terjadi beberapa hari menjelang kegagalan pembicaraan di Tokyo antara Indonesia dan GAM. Penangkapan terakhir ini menyebabkan Tiba harus menerima 15 tahun penjara. Sementara Tgk. Muhammad Usman Lampoh Awe, diganjar hukuman 13 tahun. Tgk Amni bin Ahmad Marzuki, dijatahi kurungan 12 tahun penjara. Sementara Tgk. Nashiruddin bin Ahmad dan T Kamaruzzaman juga dijatuhi hukuman 12 tahun penjara.

****
"Bagaimana kalau jadi dipindahkan?" tanya acehkita lagi pada Yanti Tiba.

"Saya pasrah saja," jawabnya sambil menambahkan dia hanya ingin mengetuk pintu hari para pejabat yang mempunyai kekuasaan.

"Kalau bisa, jangan dipindahkan ke Jawa," harapnya.

Namun begitu, Yanti tetap mencoba berjiwa besar. "Kalau pun dipindahkan juga, janganlah seperti pemindahan Bang Nazar," sambungnya.

Pihak keluarga, kata Yanti, sangat sedih bila Tiba dan juru runding lainnya diasingkan ke Pulau Jawa. Pasalnya, "Penyakit beliau itu sangat parah. Apalagi kami dengar Papa akan dipindahkan ke Nusa Kumbangan. Apa ada apotik di sana?" Yanti setengah bertanya.[A]

Jumat, Maret 25, 2005

Pemindahan atau Pengasingan?

Reporter: Tim acehkita.com, 2004-01-16 08:50:23

“Sofyan Tiba dan juru runding lainnya mau dipindahkan ke Jawa,” kata seorang kawan dari balik telepon. Memang tak banyak orang yang tahu. Informasi ini baru diketahui wartawan, setelah Rufriadi, pengacara LBH, memberikan keterangan pers Rabu (14/1) sore.

Itu pun, tak banyak wartawan yang hadir.

Rufriadi, salah seorang anggota tim pembela persidangan mantan juru runding Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang duduk di Joint Security Council (JSC), merasa perlu untuk memberikan keterangan kepada wartawan tentang rencana pemindahan tersebut.

“Kita mendengar bahwa hari ini (Rabu, 14/1-red), salah seorang mantan juru runding Geraka Aceh Merdeka, yaitu atas nama Tgk. Muhammad Usman Lampoh Awe putusan bandingnya sudah keluar. Putusan Pengadilan Tinggi Aceh itu menguatkan putusan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Banda Aceh. Berarti tetap 13 tahun penjara,” kata Rufriadi membuka pernyataan.

Lalu, bagaimana dengan Sofyan Ibrahim Tiba, T. Kamaruzzaman, Tgk. Nashiruddin bin Ahmed, dan Amni bin Ahmed Marzuki?

“Empat juru runding lainnya, putusan bandingnya baru akan keluar pada Jum’at (16/1) nanti,” ujar Rufriadi.

Kasus penangkapan dan vonis kepada para juru runding ini sempat memancing kontroversi. Pasalnya, menangkap dan mengadili juru runding adalah peristiwa yang boleh dibilang langka di muka bumi. Apalagi dengan vonis yang lumayan berat; 12-15 tahun.

“Kalau juru runding diadili dan dihukum, maka suatu saat, bila ada pertikaian di tempat lain di Indonesia, tidak akan ada lagi orang yang mau jadi juru runding. Itu berarti, konflik akan semakin besar. Apa itu yang dikehendaki?” sindir Adnan Buyung Nasution suatu ketika.

Lima mantan negosiator GAM yang duduk di JSC itu, sebelumnya telah diputuskan bersalah secara meyakinkan dengan tindak pidana makar dan terorisme oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh, Oktober 2003 silam. Dalam persidangan itu, majelis hakim memutuskan menghukum para perunding GAM dengan hukuman antara 12 sampai 15 tahun penjara.

Sofyan Ibrahim Tiba, dihukum 15 tahun penjara. T. Kamaruzzaman, Tgk. Muhammad Usman Lampoh Awe, dan Tgk. Nashiruddin bin Ahmed masing-masing dihukum 13 tahun penjara. sementara Amni bin Ahmed Marzuki dihukum 12 tahun penjara.

Dalam persidangan yang menyita perhatian masyarakat Aceh itu, para perunding GAM didakwa melanggar Undang-Undang No. 2 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Makar dan Terorisme. Mereka juga didakwa melanggar Pasal 106 KUHP junto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP junto Pasal 65 KUHP.

Atas semua dakwaan itu, mereka membantah. Karena itu mereka menolak putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh dan mengajukan banding.

Nah, Rufriadi, pengacara muda itu, merasa perlu memberi keterangan tentang beredarnya kabar bahwa kelima mantan juru runding GAM itu, akan diasingkan ke Pulau Jawa. Menurutnya, pihak tim kuasa hukum sampai saat ini belum memperoleh pemberitahuan apa pun dari kepolisian dan pihak berwenang lainnya.

“Perlu saya katakan bahwa hari ini beredar isu setidaknya hari Minggu atau Senin, kelima juru runding GAM akan dipindahkan ke Jawa, dan ada yang mengatakan ke Nusa Kambangan. Selaku salah satu tim penasehat hukum para perunding, kami katakan bahwa kita belum mengetahui apa pun informasi itu. Tidak ada pemberitahuan secara resmi, baik surat maupun pemberitahuan lainnya kepada kita,” katanya.

Rufriadi dan anggota tim pengacara lainnya merasa terkejut. Betapa tidak, sebelumnya dikatakan bahwa pemindahan terhadap anggota GAM ke luar Aceh, baru akan dilakukan bagi mereka yang sudah mempunyai status hukum tetap. Menurut rencana Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) Aceh, anggota GAM yang akan dipindahkan dari Aceh adalah mereka yang divonis hukuman tiga tahun penjara atau lebih.

Ke Nusa Kambangan? Bersama Tommy Soeharto dan Bob Hasan?

***

Keluarga pun terhenyak. Salah seorang keluarga juru runding GAM bahkan sangat terkejut ketika diberitahu tentang adanya berita tentang pemindahan ini.

“Saya sangat terkejut,” kata salah seorang anak Sofyan Ibrahim Tiba.

Terkejut seperti itu bukannya dibuat-buat. Soalnya, mereka tidak diberitahukan secara resmi. Hari Selasa (13/1), pernah seorang piket di Mapolda NAD memberitahu mereka.

“Bu ini pemberitahuan, ya. Siapkan baju bapak. Bapak mau dibawa pindah ke Jawa Tengah,” ujar piket.

Sontak, pihak keluarga kaget. Soalnya, menurut mereka, kalau saja pemindahan ini jadi dilakukan pada Minggu (18/1), ini adalah pemindahan yang sangat mendadak.

“Kalau hari Minggu, kok mendadak sekali. Kami belum mendapat pemberitahuan secara resmi. Cuma dari mulut keak gitu. Pengacara hubungi Pak Surya Darma (Kadit Serse –red.). Beliau bilang enggak ada. Jadi kami tidak memikirkan itu lagi,” katanya.

Lalu bagaimana reaksi Sofyan Ibrahim Tiba sendiri?

“Bapak biasa saja. Dia masih tenang seperti ketika pembacaan putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh, dulunya,” katanya.

“Ya kita keluarga yang ditinggalkan ini yang susah. Bukan apa-apa, Bapak sudah tua dan sering sakit-sakitan,” timpalnya lagi.

“Puasa kemarin, Bapak tidak bisa menunaikannya secara penuh. Ada beberapa hari yang harus membayar fidyah, karena memang tidak sanggup puasa,” katanya.

“Bapak sangat tergantung pada obat. Misalnya saja begini. Setiap sebelum makan, Bapak harus minum dua tablet diamicron. Karena Bapak kan sakit gula. Orang biasanya setengah saja meminumnya, berarti penyakitnya sudah demikian parahnya. Apalagi Bapak yang harus minum dua tablet tiap sebelum makan!” lanjutnya.

“Lalu, bagaimana ya, kalau memang Bapak jadi dipindahkan ke Jawa sana? Satu kotak saja tablet diamicron itu hanya cukup untuk dua minggu,” ujarnya, sedih.

Berbagai penyakit itulah, yang menyebabkan sang keluarga terasa berat melepaskan Sofyan Tiba untuk dipindahkan ke Jawa. Apalagi, sebelumnya Sofyan Tiba pernah melakukan operasi balon di jantungnya pada tahun 1994. Selain itu, Sofyan Tiba juga terserang penyakit darah tinggi.

“Yang kronis, ya sakit maag itu!”

Pun begitu, Sofyan Tiba tidak mengeluhkan rencana pemindahan ini.

“Bapak sih biasa saja. Beliau kan cepat bisa beradaptasi,” sambungnya. “Tapi, karena penyakitnya yang sering kambuh itu, kami khawatir.”

Sebenarnya, pihak keluarga para juru runding GAM ini, mempertanyakan alasan pemindahan ini. Menurut mereka, selama penahanan di sel Mapolda NAD, kondisi kelima juru runding GAM itu sudah sangat terisolasi.

“Kondisi di sel, tidak sama dengan LP. Kalau di LP sih masih bagus. Kalau kita tidak jenguk, mereka tidak pernah kena sinar matahari.”

Ketika di sel tahanan Mapolda NAD ada anggota keluarga dari Tgk. Muhammad Usman Lampoh Awe, yang kini tinggal di Simpang Tiga, Pidie, hanya bisa menjenguk satu minggu sekali.

“Bagaimana kalau dipindahkan ke Jawa?” tanyanya, sedih.

“Tapi, kalau rencana pemindahan itu juga jadi dilaksanakan?”

“Bagaimana, Dik ya…?” ujarnya, terdiam dengan mata nanar dan sembab.

“Kok enggak ada perikemanusiaannya. Kok sampai itu. Bapak kan orang yang sudah tua…” katanya, dengan nada putus-putus.

“Kalau masalah politik saya enggak ngerti. Tapi ini masalah perikemanusiaan dan Bapak sudah tua dan sering sakit-sakitan,” timpalnya. “Kaya’ Tgk. Muhammad itu, umurnya sudah 65 tahun.”

“Ini sudah kayak Belanda ya, kalau dipindahkan jauh dari keluarga?” ujarnya. “Kalau terjadi apa-apa, siapa yang bertanggung jawab. Sementara Bapak, sangat tergantung hidupnya dari obat,” sebutnya, dengan mata sembab dan basah.

Yang dimaksud seperti Belanda adalah tindakan mengasingkan tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia jauh dari kampung halamannya seperti yang dialami Diponegoro yang dibuang ke Makasar, Soekarno di Boven Digul, Ende dan Bengkulu, atau Cut Nyak Dien ke Sumedang, Jawa Barat.

Pihak keluarga juga mempertanyakan, apakah di Lembaga Pemasyarakatan (LP) nantinya, ada dokter yang siap mengurusinya. “Bapak butuh dokter bukan hanya ketika sakit. Ketika tidak sakit pun, Bapak sangat tergantung pada dokter. Seumur hidup beliau, sangat tergantung sama obat,” tadasnya.

“Apakah keluarga tidak membuat permohonan supaya tidak dipindahkan?”

“Kami sudah mengajukan permohonan melalui Pak Adnan Buyung. Kami hanya berharap dari segi kemanusiaan saja lah. Tidak usah yang lain-lain. Di sel saja, Bapak sudah cukup terisolasi,” pintanya.

“Apanya lagi yang perlu mereka takutkan dari orang yang enggak bisa dikunjungi secara bebas,” keluhnya. “Enggak ada yang bisa mengunjungi, selain kami. Buat apa jauh-jauh ke Jawa. Di sini pun enggak bisa apa-apa juga, kan?”

“Batas toleransi pemindahan yang bisa ditolerir keluarga?”

“Saya enggak tahu bilang apa. Untuk di luar kota, kan kami membutuhkan biaya besar untuk mengunjunginya,” lanjutnya.

“Mau di mana saja, saya rasa sama saja. Apalagi sampai di Nusa Kambangan,” timpal anak Sofyan Tiba.

***

Hafiz, sang cucu Sofyan Tiba, terlihat berlari-lari. Tidak ada kerisauan di mata anak yang masih belia ini. Dia pun, ceria, seperti halnya anak-anak sebayanya.

“Mengasingkan tahanan seperti Belanda?”

Hmm.... [A]

Rabu, Maret 23, 2005

Pengakuan di Bawah Tekanan?

Reporter: Imra – Banda Aceh, 2004-03-24 00:51:07

Siang itu, Februari 2004, sengatan sinar mentari membuat semua penghuni Lembaga Pemasyarakatan (LP) Keudah, Banda Aceh, gerah. Terlihat beberapa narapidana (napi) sedang bercengkrama dengan napi lainnya. Sementara, ada juga yang seakan tak peduli apa pun. Di sebuah pojok, puluhan napi yang dikunjungi sanak keluarga atau tamu lainnya, berkumpul di ruangan 6x4 meter, menumpahkan kerinduan mereka.

Daud (nama samaran), pria tanggung terlihat juga ikut masuk dalam ruang yang disediakan khusus bagi tamu. Daud terlihat mondar-mandir. Sesekali ia duduk di bangku panjang yang tersedia di ruangan itu. Matanya menerawang, entah apa yang dipikirnya. Tak lama kemudian, ia beranjak ingin keluar dari ruangan kecil itu. Hari itu, tak seorang pun dari keluarganya yang datang membesuk.

Belum sampai Daud ke pintu keluar, ia dipanggil seorang kawannya yang juga napi. Kawannya, sebut saja namanya Abdullah, tengah terlibat perbincangan dengan acehkita.

“Wood, keunoe kajak dilei (Daud, ke sini dulu),” panggil Abdullah.

Setelah mengetahui siapa yang memanggil, pria yang mengaku hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP) ini, langsung menghampiri. Ia berdiri di belakang, sambil memegang pundak Abdullah.

“Dia masuk ke LP karena dituduh membakar sekolah di Pidie,” terang Abdullah kepada acehkita.

Daud hanya tersenyum mendengar penjelasan yang diberikan kawannya itu. Tidak terlihat ada beban di benak pria muda itu. Ia masih berdiri di belakang Abdullah, yang masih dengan senyumnya mengambang.

acehkita menyapa Daud sambil memperkenalkan diri. Pun begitu, masih terlihat keraguan menggelayuti wajahnya yang lugu. Tidak berapa lama, suasana menjadi akrab. Ketika acehkita menanyakan ihwal kenapa ia harus menjadi penghuni salah satu sel yang ada di rumah tahanan negara peninggalan Belanda itu, Daud menuturkannya dengan lancar.

Ketegaran terlihat dari wajahnya, yang tampak beberapa parutan di wajahnya. Secangkir kopi hangat, menemani Daud menceritakan kisahnya. Namun, ia belum menyentuh kopi Ulee Kareng yang kesohor itu, ketika ia memulai kisahnya.

***

Daud pun berkisah. Baginya tanggal 5 Juni 2003 bukanlah hari baik. Sehari sebelumya. gerilyawan membakar sekolah di salah satu desa di Kecamatan Jangka Buya (pemekaran dari Kecamatan Bandar Dua, Ulee Gle). Upaya antisipasi pun dilakukan oleh masyarakat Desa Meunasah Baro, Jangka Buya. Masyarakat Desa Meunasah Baro, secara sukarela melakukan penjagaan di sekitar sekolah yang ada di kampungnya supaya kelompok gerilyawan tidak membakar sekolah.

Namun, apes bagi Daud dan Usman (20 tahun). Mereka berdua justru ditangkap aparat kepolisian dengan tuduhan sebagai pembakar sekolah yang terjadi sehari sebelumya.

“Malam itu, ketika saya jaga di sekolah bersama orang kampung, beberapa anggota polisi mengajak saya untuk mencari kepiting di tambak saya. Di antara mereka ada yang saya kenal, memang. Ee, tidak tahunya saya malah dibawa ke Polsek Ulee Gle,” kata Daud mengawali kisah.

Setiba di Mapolsek, Daud dituduh melakukan pembakaran sekolah, bersama kawannya. Namun, karena Daud merasa tidak pernah membakarnya, ia tidak mau mengaku apa yang dituduhkan kepolisian terhadap dirinya. Dalam proses interogasi, Daud mengaku dirinya sering dipukuli dan disiksa, sehingga membuat beberapa bagian tubuhnya lembam dan membiru.

“Ketika itu, walau saya dipukuli, saya masih membantah tuduhan itu,” katanya.

Selama beberapa hari di Mapolsek, ia saban hari menerima pukulan dan siksaan. Bahkan, ketika ibunya berusaha menjenguknya, ia tidak dipertemukan. Beberapa polisi piket, bahkan mengelabui ibu Daud dengan memukul-mukul dinding dan kursi, seolah memukul tubuh Daud.

“Untuk mengelabui ibu saya, mereka mengatakan bahwa saya tidak bisa dijumpai. Mereka sampai memukul-mukul dinding, seakan memukul saya. Akibatnya, sampai-sampai ibu saya pingsan,” ujar Daud.

Tidak lama kemudian, Daud dibawa ke Markas Kepolisian Resort (Mapolres) Pidie, Sigli. Di Mapolres Pidie, Daud dan Usman masih saja diinterogasi. Dalam proses pemeriksaan itu, aku Daud, dirinya kerap kali dikasari oleh polisi, untuk mendapat pengakuan mereka.

Bahkan, “untuk membuat saya mengaku, mereka malah menaruh M16 di depan saya,” timpalnya, seraya mengatakan dirinya terpaksa mengaku karena sudah tidak tahan dengan siksaan.

“Akhirnya, karena saya tidak sanggup lagi menahan siksaan dan tekanan, saya mengaku perbuatan yang tidak pernah saya lakukan,” tutur Daud, dengan mata berkaca-kaca.

“Benar, Bang saya tidak membakar sekolah!” aku Daud kepada acehkita, dengan mata sembab.

“Lalu, kenapa bisa dituduh membakar sekolah?”.

“Saya yakin ini fitnah orang. Karena dendam pribadi saja.”

Menurutnya, sebelum darurat militer digelar di Aceh, ia pernah berselisih paham dengan salah seorang warga sekampung. Permasalahan itu, menurut Daud, sangat sepele. Di kampung Daud, para pemuda desa banyak yang keranjingan main bola voli. Hingga mereka sepakat mengaktifkan kembali lapangan voli. Untuk itu, mereka mengumpulkan uang untuk membeli peralatan seperti bola voli, jaring (net).

Entah dari mana bermula, jaring voli ini ternyata membawa petaka bagi Daud. Pasalnya, ada seorang yang tidak suka dengan ucapan dan usul Daud, yang seakan membantah usul yang dikemukakan seorang tadi. Akibatnya, orang itu marah dan menaruh dendam pada Daud.

“Hanya gara-gara jaring (net) voli. Saya mungkin terlanjur bicara sehingga membuat orang itu, tersinggung,” cerita Daud. Namun, ia tidak mau mengatakan siapa orang yang dimaksudnya. Walau begitu, ia merasa tidak dendam terhadap orang yang telah memfitnahnya.

“Buat apa dendam. Nanti malah membuat saya makin kacau,” kata Daud yang jika sudah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Keudah, Banda Aceh, akan merantau jauh dari kampung halaman, seperti yang telah dilakukannya ketika sebelum ditangkap polisi.

Sementara Usman (20 tahun), temannya, ketika ditangkap, baru saja beberapa hari kembali dari Malaysia. Usman, menurut Daud, tidak tahu apa-apa, karena baru pulang dari perantauan.

Kondisi keamanan di Aceh yang kunjung pulih, membuat banyak remaja dan pemuda Aceh memilih merantau ke Malaysia. Di beberapa kampung di Kabupaten Pidie, Aceh Utara, Bireuen, Aceh Timur dan Aceh Barat Daya, nyaris tidak ada remaja dan pemuda (laki-laki) yang tidak sekolah yang memilih bertahan di kampung. Umumnya semua mereka ke Malaysia untuk mencari rezeki, ketimbang bertahan di kampung.

Sebelum penangkapan, hari-hari Daud dihabiskan sebagai tukang ojek (penarik RBT) di Ulee Gle, Pidie. Malam harinya, ia memilih menjaga neuheun (tambak) milik ayahnya, yang siap panen. Ia tidak pernah bergaul dengan anggota gerilyawan. Tidak juga keluarganya. Hanya pernah sekali dia duduk bersama beberapa anggota GAM, ketika GAM menyambangi tambak yang tengah dijaganya.

“Itu pun, karena teman lama. Sudah lama saya tidak bertemu dia, sejak saya merantau ke Belawan, Medan,” ujar Daud.

Menurut Daud, sebelumnya ia tinggal bersama seorang kerabatnya di Belawan, Medan. Di sana, ia bekerja sama orang Melayu. Daud tidak memerinci kerja apa yang dilakoni selama berada di perantauan. Karena rasa kangen terhadap keluarga tidak bisa dibendung, delapan bulan lalu ia nekat pulang ke Aceh.

“Padahal, saudara saya sudah larang supaya saya tidak pulang, karena Aceh tidak aman,” ujar Daud.

Selama “duduk” dengan temannya itu, tidak pernah terbersit keinginan untuk merajut hubungan lebih jauh dengan kelompok bersenjata itu.

“Saya tidak mau terlibat. Apalagi tidak satupun keluarga saya yang masuk GAM,” kisah Daud.

***

Mata Daud menerawang dengan tatapan hampa. Wajahnya tidak berekspresi. Dingin. Secangkir kopi hangat Ulee Kareng, masih belum disentuh Daud.

“Kalau sudah bebas, saya akan pergi merantau jauh dari kampung,” ujarnya, setelah lama terdiam.

Tidak lagi sepatah pun kata terucap. Hanya kepulan asap dari Djie Sam Soe yang mengepul dari bibir hitamnya. Ia terus menikmatinya. Hingga, tak berapa lama berselang, suara adzan berkumandang dari musala LP Keudah. Daud pamitan untuk menunaikan ibadah salat dhuhur. [A]

Berlangsung Luber?

Pemilu di Aceh
Berlangsung Luber?
reporter: Jamal & Odeysa – Banda Aceh, 2004-04-08 11:17:46


Di beberapa kabupaten di Aceh pelaksanaan pemilu berlangsung diiringi letusan senjata. Salah satu lokasi kontak senjata terjadi di Desa Kabayakan, Kecamatan Kota Aceh Tengah.

Kontak senjata terjadi pukul 8.30 sampai 10.00 WIB tanpa ada korban jiwa. “Meskipun tanpa ada korban, proses pemilu terganggu,” tandas Taf Haikal koordinator pemantau pemilu Forum LSM Aceh pada acehkita, Senin (5/4).

Sementara itu, Drs Nasir Zalba, Humas KPU NAD menyatakan pemilu di Aceh hingga pukul 16.15 WIB, hari Senin (5/4) berlangsung aman dan sukses. Bahkan menurutnya, pada pukul 13.30 seluruh TPS di Aceh telah selesai melakukan pemilihan.

Namun Nazir Zalba tidak memungkiri terjadinya ganguan keamanan di beberapa kabupaten. Ia menyebutkan sempat terjadi letusan senjata di Seunebok, Kecamatan Peusanagan, Kabupaten Bireun, Senin (5/4).

Haikal menambahkan, ganguan keamanan juga terjadi di Kecamatan Tiro dan Kecamatan Mane, Aceh Pidie. TPS di kedua daerah ini dipindahkan ke desa terdekat. Sementara masyarakatnya dibawa dengan truk ke TPS.

Tapi, Forum LSM Aceh, organisasi yang mempunyai 406 orang pemantau yang tersebar di 20 kota/kabupaten ini juga menemukan kejangalan pengamanan pemilu. “Di Desa Tebuk, Kecamatan Pegasing, Aceh Tengah, pemilih hanya 103. Sementara aparat 500 orang,” jelas Haikal.

Haikal memperkirakan itu terjadi karena desa tersebut merupakan kampung halaman Ilyas Lebe salah seorang pemimpin GAM.

Lebih jauh, relawan Forum LSM juga menemukan adanya masyarakat yang dibawa ke rumah mukim untuk melakukan pencoblosan karena lokasi TPS berada di sana. Itu terjadi di Desa Naca, Kecamatan Trumon, Kaupaten Aceh Selatan. Namun menurut Haikal, laporan itu masih perlu di cek ulang.


Tidak Luber
Seorang reporter di Banda Aceh, mengungkapkan, apa saja yang baru dilihatnya ketika melakukan liputan Pemilu 2004 di Desa Lamreung, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Ia sangat terkejut ketika melaksanakan liputan pemilu Simak saja komentarnya:

“Aku bisa lihat orang itu, milih apa?” katanya kepada acehkita, sambil jarinya menunjuk pemuda berbaju merah.

”Milih apa, dia?”

”PAN. Calegnya ditusuk di nomor urut dua,” lanjutnya.

“Kok tahu?”

“Ya tahu lah aku. Lihat bilik suara itu,” dia menuju belakang tempat pencoblosan. “Nah, lihat mereka milih apa,” terangnya.

Memang, ternyata bilik suara itu terbuka tanpa penutup apa pun di belakangnya. Padahal, berdasarkan sket TPS yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), di belakang bilik suara harus ditutup supaya orang tidak bisa melihat apa yang menjadi pilihan para pemilih. Akibat tidak adanya penutup di belakangnya, banyak orang yang lalu lalang usai melakukan pencoblosan, melihat temannya yang lain yang sedang menentukan pilihannya. Bahkan, anehnya, di belakang bilik suara itu, juga berdiri dua orang saksi dari dua partai peserta pemilu. Dan entah siapa lagi.

Salah seorang saksi dari salah satu partai mengatakan, partainya mengutus dua orang saksi untuk TPS itu. Menurutnya, satu orang saksi memantau di dalam TPS, sementara satu lainnya boleh memantau di luar arena TPS. Lalu, kenapa berdiri di belakang TPS? “Ya karena boleh berdiri di belakang TPS, ini disepakati oleh perangkat desa dan KPPS,” katanya.

Lho?

Sementara itu, Ketua Panwaslu Aceh, Zuhri Hasibuan SH, sangat menyayangkan adanya beberapa TPS yang tidak menutup bilik suara di belakangnya. Bukan hanya di Lamreung saja, bilik suara tanpa penutup. Menurut laporan yang diterima Zuhri, hampir rata-rata TPS tidak menutup. Seperti di Desa Gampong Pie, Kampong Baro, Lhoong Raya (semuanya di Banda Aceh –red).

Akibatnya, aku Zuhri, asas Langsung, Bebas dan Rahasia (luber), tidak terpenuhi. “Kita sangat menyayangkan hal ini, karena kerahasiaannya tidak terjaga,” katanya.

Di lapangan sepakbola Desa Lamreung itu, terdapat sebanyak 15 TPS bagi warga yang mendiami lima desa, yaitu Desa Meunasah Lamreung, Meunasah Papeun, Meunasah Lueng Ie, Rumpet dan Meunasah Lam Geuleumpang. Penyatuan TPS bagi lima desa ini, menurut salah seorang anggota Panwaslu Aceh Besar, dikarenakan alasan keamanan. “Ini perintah PDMD,” kata anggota Panwaslu itu. [A]

Kepala Penjara Larang Napi Mencoblos

Reporter: Odeysa – Banda Aceh, 2004-04-08 11:43:45


Ace Hendarmin mengatakan bahwa di LP yang dipimpinannya, ada sebanyak 156 narapidana yang bisa mengikuti prosesi pemungutan suara. Namun, ada sebanyak 35 narapidana, yang kehilangan hak suaranya.

Lantas, kenapa hak suara mereka bisa hilang?

Penyebabnya tak lain karena yang bersangkutan sedang menjalani hukuman penjara lima tahun. Padahal, berdasarkan UU Pemilu No. 12 tahun 2003, Pasal 14 ayat 2(b) menyebutkan, pemilih adalah mereka yang “Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap.”

Rupanya, sang Kepala LP Keudah, masih menggunakan perangkat undang-undang lama. Artinya, Ace Hendarmin masih berpatokan pada UU Pemilu No. 29 tahun 1999. Bayangkan!

Dalam UU No. 29 tahun 1999, Pasal 29 ayat 2 (b), pemilih adalah mereka yang sedang tidak terkena hukuman menjara lima tahun. Lihat saja bunyi Pasal 29 ayat 2 (b) berikut ini: “Tidak sedang menjalani pidana penjara atau pidana kurungan, berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.”

Akibat masih digunakannya perangkat perundang-undangan yang sudah kadaluarsa ini, kontan saja membuat Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Aceh, mencak-mencak. Betapa tidak, Panwaslu menilai kasus yang memalukan ini, telah menyebabkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.

“Apa dasarnya melarang-larang, itu kan melanggar hak asasi manusia. Saya sangat menyayangkan hal itu terjadi,” kata Zuhri, salah seorang anggota Panwaslu.

Bahkan, Zuhri balik bertanya, “Tidak benar itu. Peraturan yang mana? Siapa saja boleh memilih,” kata Zuhri. Atas adanya kasus ini, Zuhri berjanji akan melakukan penyelidikan. Jika itu benar, kata Zuhri, Kepala LP Keudah bisa dipidanakan, karena telah melanggar undang-undang.

Zuhri juga menyatakan, pihaknya akan melayangkan surat teguran kepada Kepala LP Keudah atas tindakannya yang telah menyebabkan beberapa penghuni LP peninggalan Belanda itu, kehilangan hak suaranya. Atas keputusan kontrovesial itu, Zuhri menyatakan, tindakan dan keputusan yang diambil Ace Hendarmin bisa menyebabkan Kepala LP itu dipidanakan. “Kita bisa mempidanakan dia,” sebut Zuhri, berang.

Zuhri menyatakan, sikap yang diambil Ace Hendarmin adalah sikap seorang yang tidak mengerti peraturan. “Itu tidak tahu peraturan namanya,” kata Zuhri dengan nada tinggi.

Tidak hanya Kepala LP Keudah. Seorang wartawan di Banda Aceh, dimarahi koordinator liputannya, akibat pemberitaan kasus ini. Karena, korlip-nya itu, mengira sang reporter tidak mengerti aturan hukum. “Aku sempat dimarahi koordinatorku,” kata reporter ini, tidak mau disebutkan namanya.

Bahkan, kata reporter itu, dirinya pernah diperolok temannya yang baru saja melakukan liputan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta. Di LP Cipinang, kata reporter itu, temannya baru saja menyaksikan Ismuhadi, tersangka peledakan bom di Bursa Efek Jakarta (BEJ) yang dijatuhi hukuman seumur hidup, bisa melakukan pemungutan suara di TPS yang ada di LP tersebut.

“Aku sampai berdebat sama dia,” aku reporter itu.

Ah, ada-ada saja kejadian ganjil di Aceh. Tapi, bisa jadi para napi itu juga tidak bergairah melakukan pencoblosan karena alasan-alasan politik atau ideologi. Tapi, itu soal lain. Yang jelas, seorang Kepala LP yang “buta” undang-undang, adalah persoalan serius. [A]

Kamis, Maret 17, 2005

Raiders Datang, Rp 20 Juta Raib

Reporter: Odeysa - Banda Aceh, 2004-05-30 04:36:51

NAMANYA Andi. Sebut saja begitu. Usianya 25 tahun. Andi adalah mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Banda Aceh. Sekilas, Andi seolah tak punya masalah dalam hidupnya. Tapi, nyatanya, di dalam hati dia menyimpan gundah.

"Rumah saya di kampung digeledah pasukan Raiders bulan Februari lalu,” kata Andi memulai cerita. "Saya tidak tahu apa penyebabnya," sambung Andi. Saat kejadian, Andi masih berada di Banda Aceh.

***
Raiders adalah pasukan khusus yang dikerahkan Mabes TNI di Jakarta untuk menangkap pentolan kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pasukan yang di atas kertas menggunakan metode pukul dan bergerak ini mulai dikirim ke bumi Aceh bulan Desember lalu.

"Kualitas dan kemampuan Raiders bagus sekali, tetapi pembuktiannya kita lihat nanti di lapangan," kata Panglima Komando Operasi TNI di NAD, Brigjen TNI George Toisutta di Markas Kodam Jaya, Senin, 8 Desember 2003, atau sehari sebelum pengiriman Raiders pertama ke Aceh. Toisutta menambahkan, pasukan Raiders yang akan dikirim itu punya kualitas amat baik. Mereka telah teruji dalam beberapa kali latihan.

Lanjut Toisutta, dalam satu hari akan ada 60 tim Raiders yang bergerak terus dalam satu hari. “Kekuatan pasukan ini baru akan efektif awal Januari nanti," katanya lagi.

Tugas utama pasukan Raiders ini, masih kata Toisutta, adalah merampungkan operasi militer dengan menangkap tokoh-tokoh kunci GAM.

Bulan April lalu, Kasad Jenderal Ryamizard Ryacudu yang tengah mengunjungi Lhokseumawe menyatakan sebanyak 10 batalyon Raiders yang telah berada di Aceh belum optimal. Untuk itu, katanya, pasukan Raiders ini akan kembali dilatih di wilayah penugasan.

Menurut Ryamizard, seharusnya 10 batalyon Raiders itu bisa bekerja tiga kali lebih hebat dari pasukan lain. Tapi pada kenyataannya, mereka tidak maksimal memburu sekitar 1.000 tokoh GAM yang hingga kini masih berkeliaran di Aceh Utara, Peureulak dan Bireun.

***
Kembali ke Andi dan kisah penggeledahan rumahnya di kampung oleh sepasukan Raiders.

Peristiwa itu terjadi pada suatu hari Senin di bulan Februari 2004, sekitar pukul 13.00 WIB. Tak kurang dari empat truk reo meluncur ke arah rumah mereka. Andi menyebut nama kampung dan kecamatan tempat rumah orang tuanya berada. Keempat reo yang sarat muatan prajurit Raiders itu, berhenti tak jauh dari rumah mereka.

Prajurit Raiders memilih jalan tanggul di bagian belakang rumah. Kebetulan, rumah Andi dalam kadaan sepi. Semua anggota keluarga tengah berada di rumah salah seorang abangnya yang, sebut saja, bernama Ferdi. Kakaknya ini baru menadapat musibah. Salah seorang anaknya meninggal dunia.

Mendapati rumah itu tak berpenghuni itu, pasukan Raiders yang berseragam dan bersenjata lengkap mencoba mendobrak pintu.

Sementara sebagian dari mereka mendatangi rumah tetangga Andi. Kebetulan sehari sebelumnya, tetangga Andi baru saja menikahkan anaknya. Jadi saat itu, ada beberapa pemuda yang tengah berkumpul di sana. Mereka sedang membantu sang tuan rumah memberesi perlengkapan pesta sehari sebelumnya.

Seorang anggota Raiders sempat bertanya kepada mereka, “Ada apa ini?” Lalu, para pemuda itu menjelaskan, bahwa tadi malam ada pesta, dan sekarang mereka membantu tuan rumah membereskan rumah. Si tentara pun pergi.

Di rumah Andi, prajurit Raiders terus berusaha mendongkel pintu. Tak berapa lama, abang kedua Andi datang. Sebut saja namanya Usman.

Melihat rumahnya sedang dikerjai Raiders, Usman buru-buru masuk ke pekarangan.

"Jangan dibongkar. Ini rumah saya," kata Usman pada anggtoa Raiders itu, sebagaimana ditirukan Andi.

Bagai mendapat durian runtuh, pasukan yang diandalkan pimpinan TNI untuk menggeber keberadaan pentolan GAM itu, langsung menginterogasi Usman.

"Tidak ada kunci sama saya. Kunci sama ibu saya," kata Usman sambil meminta izin untuk pergi ke rumah abangnya yang sedang kemalangan, agar bisa bertemu ibunya dan mengambil kunci rumah. Namun, Usman tak diperbolehkan pergi.

Jarum jam menunjukkan pukul 14.00 WIB. Di saat pasukan pemerintah menginterogasi Usman, adik perempuan mereka, sebut saja namanya Nuri, pulang dari sekolah. Nuri saat ini sedang duduk di kelas tiga Madrasah Tsanawiyah di kota kecamatan.

Kini giliran Nuri diinterogasi. "Saya tidak tahu persis apa saja yang ditanyakan," kata Andi ketika acehkita.

Namun begitu ada satu pertanyaan dari pasukan Raiders yang masih diingat Nuri. "Di sini ada nginap orang asing ya?"

"Saya tidak ngerti masalah itu. Saya hanya sekolah dan ngaji, Bang," kata Nuri. Lalu Nuri mengambil inisiatif untuk menjemput kunci yang ada pada ibunya.

"Dia pergi sama seorang tetangga," kata Andi. "Entah kenapa, dia begitu berani," sambung Andi.

Sebelum Nuri berlalu, sang prajurit Raiders mengancam jika Nuri tidak segera kembali. Tidak berapa lama Nuri kembali dengan membawa serta kunci dan Ibu mereka. Sang Ibu lalu membuka pintu.

"Begitu masuk ke rumah, prajurit Raiders ini langsung obrak-abrik isi rumah," lanjut Andi, getir. "Termasuk lemari pakaian saya."

Di saat rumah mereka sedang digeledah, Ayah mereka, Amin, bukan nama sebenarnya, pulang dari sawah. Amin tak dapat berbuat apa-apa melihat aksi pasukan Raiders ini. Sesak nafas menghinggapinya. Sakit jantung yang sudah lama dideritanya bagai terpanggil lagi. Tersedak. Ia terdiam menuruti apa kemauan sang prajurit. Lalu, menyusul datang Ferdi yang sebetulnya sedang ditimpa musibah.

Amin menuruti perintah prajurit yang sudah kalap. Dia membuka lemari pakaian di kamar pribadinya. Dia juga membuka sebuah tempat penyimpanan, yang oleh keluarga mereka disebut “brankas”. Di tempat itu mereka sering menyimpan uang dan benda berharga lainnya.

Setelah memperlihatkan isi lemari dan “brankas” itu, Amin keluar, meninggalkan si prajurit Raiders yang terus memeriksa isi kamarnya.

Beberapa saat kemudian, Amin teringat segepok uang yang belum diperlihatkannya pada si penggeledah kamar. Dia bangkit dan berusaha masuk kamar. Tapi, ujung senapan menghalangi langkahnya. Terhenyak, terkejut, jantungannya kambuh. Anggota keluarga yang melihat kejadian itu segera membantu sang Ayah. Lalu keadaan senyap. Mereka membisu, tak kuasa berkata apa-apa. Takut laras senapan akan kembali mengarah ke mereka.

"Ayah ingin kembali ke kamar, karena ada uang di kamar," kata Andi. Menurut Andi, jumlahnya Rp 20 juta.

Usai memeriksa kamar pribadi sang Ayah, para penggeledah kembali ke ruang tamu, di mana semua anggota keluarga berkumpul. Pemeriksaan, usai. Sang ayah pun segera masuk ke kamar, melihat-lihat isi kamar yang telah digeledah.

Betapa terkejut dia, mendapati uang simpanan yang tidak diperlihatkannya tadi raib entah ke mana. Seisi rumah pun gaduh.

"Abang saya (Usman, red) bilang, ada uang yang hilang," cerita Andi.

Kegaduhan ini juga didengar anggota Raiders yang masih berada di ruang tamu.

Mendengar “tuduhan” ini, prajurit kalap. Pasukan Raiders kembali menggeledah isi rumah. Kali ini dengan marah dan mencak-mencak yang kian menjadi.

Beberapa prajurit yang marah dan kalap, menjadikan Usman sebagai sasaran amarah. Tak henti-henti, beberapa prajurit Raiders mendaratkan bogem mentah di perut Usman. Bukan hanya Usman yang jadi sasaran. Ferdi, juga. Bahkan, popor senapan hinggap di badan tak berdaya Ferdi.

Sementara beberapa prajurit sedang mengeksekusi Ferdi dan Usman, beberapa prajurit lainnya melakukan penggeledahan babak kedua.

"Ada ganja," seru seorang prajurit dari balik lemari yang sedang diperiksanya, seperti ditirukan Andi.

Semua mata terperangah. Terkejut tak percaya apa yang baru didengar.

Dalam penggeledahan babak kedua ini, prajurit Raiders memang menemukan secuil ganja kering, cukup untuk satu balutan batang rokok. Prajurit menanyakan si empunya barang yang bisa membuat orang fly setelah mengisapnya.

Tak ingin mencelakakan anggota keluarga yang lain, Usman tampil ke depan. Dia mengaku sebagai si pemilik brang haram itu.

"Padahal Bang Man tidak pernah make barang begituan," kata Andi.

Mendengar pengakuan polos Usman, tentara-tentara itu kegirangan. Usman ditangkap, dengan tuduhan memiliki dan menyimpan ganja kering. Keluarga Andi dilanda ketakutan yang sangat. Tak ada pembelaan yang diberi. Semua membisu.

Sebelum beranjak meninggalkan rumah, pasukan Raiders menorehkan ancaman. Sebuah surat pernyataan dibuat. Isinya, menyatakan tidak ada barang-barang di dalam rumah itu yang hilang selama penggeledahan.

Pada mulanya, kata Andi, tidak ada anggota keluarg yang mau menandatangani surat pernyataan itu. "Ayah tidak mau. Beliau berkilah sakit. Ibu yang teken," cerita Andi.

Apa isi ancaman itu? "Mereka mengancam akan menghabisi keluarga kami jika berita hilang uang ini tersebar ke orang lain," ujar Andi.

Setelah mendapati apa yang diinginkan, pasukan Raiders yang sejatinya bertugas menangkap GAM itu, pulang dengan membawa seorang tahanan yang tidak bersalah. Usman dibawa ke markas koramil.

***
pertanyaannya kini, kenapa pasukan Raiders menggeledah rumah keluarga Amin?

"Mereka menuduh di rumah kami ada menginap Ishak Daud," terang Andi sembari tersenyum getir.

Menurut pria hitam manis ini, itu hanya akal-akalan sang prajurit. Andi mengaku tidak pernah mengenal Ishak Daud, secara pribadi. Dia hanya mengenalnya melalui pemberitaan media massa saja. Tidak lebih.

"Itu tidak pernah, kami kenal pun tidak sama Ishak Daud," aku Andi.

Namun, Andi menduga, operasi penggeladahan yang dilakukan pasukan Raiders ini, ditujukan kepada orang-orang yang taraf ekonominya tergolong berada.

"Ada juga beberapa rumah lainnya yang mengalami nasib seperti keluarga kami," kata Andi, lagi. Namun, Andi mengaku tidak tahu dengan nasib buruk yang menimpa tetangga sekampungnya.

Perlakuan tidak mengenakkan dari kesatuan yang sejatinya mengayomi masyarakat ini, menimbulkan luka dan rasa traumatis mendalam terhadap keluarga Andi. Bahkan, Ibunya sampai sekarang, jika teringat kejadian itu, menangis.

"Ibu sering menangis. Mungkin adik saya juga trauma," kata Andi. [A]

Sabtu, Maret 12, 2005

Fragmen “Penghadangan” di Aceh Besar

Reporter: Odeysa - Aceh Besar, 2004-04-27 20:57:38

Sekitar seratusan massa Front Perlawanan Separatis Gerakan Aceh Merdeka (FPSG) Kabupaten Aceh Besar, Senin (26/4) melakukan aksi demonstrasi menuntut perpanjangan darurat militer. Aksi itu dipusatkan di bundaran Lambaro, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. Tak lama berselang, di saat unjuk rasa tengah berlangsung, dari arah Lampeuneurut, empat truk Reo dan dua panser melaju kencang. Menurut sumber resmi militer, rombongan Reo itu, katanya, hendak melakukan perjalanan pergeseran pasukan ke Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar.

Melihat ada beberapa truk Reo dan panser, massa FSPG bukannya menghentikan aksinya dan memberi jalan bagi kenderaan militer itu, namun malah menghentikan iring-iringan tersebut. Bak adegan sinetron, sebagian mulai berteriak;

"Jangan pulang, Pak..."

Terlihat, beberapa aparat TNI memberikan penjelasan tentang tujuan mereka. Namun, massa tidak menghiraukan.

Tak lama kemudian, Komandan Komando Distrik Militer (Dandim) 0101 Aceh Besar Djoko Warsito datang ke lokasi aksi unjuk rasa bersama dengan Kapolres Aceh Besar. Terlihat dialog antara Djoko Warsito dengan massa.

Dalam dialog itu, Djoko mengatakan TNI dari kesatuan Yonif 408 Rajawali itu bukannya akan pulang ke kesatuannya, melainkan hanya bergeser ke Indrapuri.

"Kalau memang begitu, Bapak sebagai Dandim di sini menjamin, kami melepaskan mereka. Tapi kalau kami dengar mereka pulang, kami akan hadang mereka di seluruh Aceh, Pak," kata seorang anggota front bersemangat.

Tak lama kemudian, pasukan TNI itu pun "dilepaskan" massa FPSG.

Dialog antara massa FPSG dengan Dandim Djoko Warsito, masih terus berlanjut.

"Hari ini, RI-1 harus mengetahui aspirasi dari kami. Kami meminta supaya DM terus diperpanjang," kata seorang peserta aksi kepada Djoko.

Seorang lainnya, bangkit dari duduknya dan berkata: “Kalau darurat militer ini dicabut, mungkin kami hancur semua, Pak," kata lelaki setengah baya itu.

"Lebih baik, kami dibunuh TNI saja, kami siap sekarang," tambahnya lagi.

Djoko Warsito menanggapi peserta aksi. "Masalah perpanjangan darurat militer ini, yakinlah pemerintah pusat akan mengambil kebijakan yang bijaksana. Pemerintah tahu persis keadaan masyarakat Aceh," katanya yang disambut tepukan tangan peserta.

***

Di tengah semangat menggelora dari para anggota FSPG, seorang peserta aksi yang ditemui acehkita mengaku, keikutsertaannya dalam aksi menuntut perpanjangan darurat militer ini, hanya untuk ikut meramaikan saja.
"Saya datang sendiri, ya hanya untuk meramaikan saja," katanya sambil tersipu. Dia meminta identitasnya tidak ditulis.

Ketika ditanya dampak pencabutan darurat militer yang digembar-gemborkan akan mengundang aksi balas dendam pihak GAM, lelaki ini mengaku tidak tahu menahu dengan risiko itu. Dengan lugu, ia menyatakan, "Itu saya tidak tahu, karena saya tidak tahu politik," katanya lagi.

Baginya, bisa menjalankan aktivitas sehari-hari saja secara normal, sudah cukup. Kondisi aman, adalah harapannya. Dia sendiri menolak berbicara banyak sebelum akhirnya bergabung dengan kerumunan massa yang lain.

"Acaranya mau mulai," katanya sambil pergi.

***

Seorang jurnalis yang meliput demonstrasi massa FPSG di Bundaran Lambaro ini, mengungkapkan komentarnya; "Setting yang sangat bagus dilakukan tentara," katanya, sambil mewanti-wanti untuk tidak menuliskan namanya.

Yang dimaksudnya setting adalah unsur “kebetulan” yang luar biasa. Betapa tidak, di hadapan puluhan jurnalis yang meliput aksi demo tersebut, tiba-tiba konvoi TNI melintas dan ada aksi “penghadangan”. Berbeda sekali dengan apa yang pernah terjadi depan Masjid Raya Baiturrahman, ketika ribuan warga masyarakat melempari iring-iringan serdadu ABRI dengan telur dan tomat busuk. Mereka meluapkan kemarahan setelah 10 tahun berada di bawah status Daerah Operasi Militer (DOM) yang telah menewaskan ribuan warga sipil di bawah regim Orde Baru.

Tapi kini suasana tiba-tiba berbalik?

Seorang aktivis mahasiswa punya komentar lain yang lebih lugas.

"Buat apa darurat militer diperpanjang. Itu sangat membuat masyarakat susah," kata Udin (nama samaran), kepada acehkita.

Menurutnya, kondisi darurat sebenarnya tidak dibutuhkan masyarakat Aceh.

"Ini hanya bertujuan politis semata. Ada kepentingan politis yang sangat kuat dalam penerapan darurat militer ini," katanya.

Selain aroma politis di panggung darurat ini, menurut Udin, juga tersirat kepentingan ekonomi yang sangat kentara. Karenanya, dia mengaku pesimis jika dikatakan darurat militer ini bertujuan untuk menindak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berusaha memisahkan diri dari Indonesia.

Udin menambahkan, jika pemerintah Indonesia memutuskan memperpanjang darurat militer, konflik Aceh justru tidak akan bisa diselesaikan.

"Ini akan melahirkan dendam yang tidak berkesudahan," katanya.

Senada dengan Udin, Muhammad, warga Aceh Jaya juga mengkhawatirkan semakin panjangnya rantai dendam bila Keppres 28/2003 tentang darurat militer diperpanjang.

"Kalau pun DM diperpanjang, GAM akan semakin bertambah, karena akan banyak keluarga GAM yang menaruh dendam," katanya menduga.

Muhammad, jauh-jauh hari mengaku tidak setuju terhadap pemberlakuan darurat militer ini. Sebab, selain faktor politik, darurat militer juga berimbas terhadap merosotnya pendapatan warga di pedalaman. Muhammad menyebut contoh.

"Faktanya sebagai contoh, seperti kata kawan saya dari Geumpang. Masyarakat tidak bisa pergi ke kebun untuk memetik coklat (kakao). Padahal sudah masanya panen. Akibatnya banyak yang sudah menguning dan jatuh ke tanah. Kalau pun bisa ke gunung, ya waktunya dibatasi," urainya.

“Lalu bagaimana solusinya?” tanya acehkita.

"Ya, kembalilah ke meja perundingan. Ini akan semakin bermartabat," katanya berharapan. [A]

Suara-suara dari Pedalaman

Reporter: Odeysa - NAD, 2004-05-07 19:24:10

Kamis, 6 Mei 2004. Kerumunan massa berjejal di seputaran Simpang Lima, Kota Banda Aceh, tepatnya di sekitar Markas Komando Daerah Militer (Makodam) Iskandar Muda. Tepat di hari kunjungan sejumlah anggota Komisi I DPR RI pagi itu, satu persatu para “pengunjuk rasa” mengeluarkan karton bertuliskan:

"Tidak ada obat mujarab selain Darurat Militer",

"TNI jika pulang tinggalkan senjata buat kami",

"Darmil di Nanggoe Aceh harus Diperpanjang",

"Yang bisa menyelesaikan masalah Aceh hanya Darmil",

"Jika Darmil Dicabut Gali Lobang buat Kami Semua".

Darmil adalah akronim dari Darurat Militer. Tapi istilah ini kurang populer di masyarakat dibandingkan sebutan “DM” atau “darurat”. Sebaliknya, akronim “darmil” kerap digunakan institusi militer seperti halnya ratusan akronim lain yang telah diproduksi seperti; kodam, korem, kodim, koramil, polres, polsek, hingga poskamling.

Massa yang diperkirakan hampir seribuan orang ini dimobilisasi oleh sebuah organisasi yang menamakan dirinya Front Perlawanan Separatis Gerakan Aceh Merdeka (FPSG) Aceh Besar. Mereka datang dari Kecamatan Peukan Bada, Lhoknga, Seulimuem, dan Indrapuri. Selebihnya, ada juga yang dari FPSG Kota Banda Aceh. (baca: DPR Disambut Seribuan “Demonstran”).

Seorang warga Peukan Bada menuturkan, keikutsertaannya dalam aksi kali ini karena diperintah oleh kepala desanya.

"Ka iyue jak, ta jak (disuruh datang, ya kita datang)," kata lelaki tua yang mengaku tak dapat bekerja pada hari itu.

"Tapi, Abu sendiri melihat darurat militer ini bagaimana?" tanya acehkita.

“Lon hana meu phom nyan. Na darurat ngen hana sama mantong. Nyang peunteng lon jeut jak mita raseuki (Tidak tahu saya. Ada tidaknya darurat bagi saya sama saja. Yang penting, saya bisa mencai rezeki)," katanya lagi.

Sementara seorang aparat pemerintah dari salah satu desa di Aceh Besar, ketika ditanya menuturkan, dirinya membawa sebanyak 50 orang dari kampungnya atas instruksi tertentu yang tidak dia sebutkan.

"Kami disuruh bawa 50 orang per desa," katanya.

"Bagaimana kalau tidak datang?" tanya acehkita.

"Tidak masalah. Tapi kalau di kampung saya ada yang tidak hadir, saya akan memarahinya…" katanya.

Sekitar pukul 12.00 WIB, massa FPSG meninggalkan Jembatan Pante Pirak, setelah rombongan anggota DPR yang dipimpin Franklin William Kayhatu dari Fraksi TNI/Polri masuk ke Makodam Iskandar Muda. Fraksi TNI/Polri pula yang secara tiba-tiba pernah melontarkan gagasan pemberlakuan Darurat Sipil di Papua sebelum akhirnya dipatahkan oleh pejabat pemerintah, termasuk Menko Polkam (ketika itu) Susilo Bambang Yudhoyono dan Mendagri Hari Sabarno.

“Tidak cukup alasan. Tidak cukup, karena daerah, baik DPRD Papua maupun Pemerintah Daerah Papua, tidak mengusulkannya,” kata Hari Sabarno dengan nada tinggi seusai Rakor Polkam, Rabu, 28 Januari 2004.

Massa demo langsung bubar setelah anggota DPR masuk ke Balai Teuku Umar. Sebagian, memang ada yang ikut bergabung mengikuti jalannya dialog “menyerap aspirasi” tentang polemik perpanjangan darurat militer yang telah berlangsung setahun itu.

Di Balai Teuku Umar yang sejuk, sudah ada peserta yang terdiri dari pemuda, mahasiswa, masyarakat, beberapa LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), ulama dan akademisi.

Sebagian massa, langsung angkat bicara begitu forum dimulai.

“Darurat Militer harus diperpanjang. Setuju..!!!" katanya bersemangat.

Peserta yang memadati Balai Teuku Umar, langsung menyambut dengan koor “setujuuuu...”.

"Karena dengan DM, Aceh walau tidak aman 100 persen, tapi sekitar 75 persen sudah aman," kata yang tadi bicara. Namanya Abu Meunasah Me, seorang ulama.

Alasan perpanjangan darurat militer, menurut ulama asal Pidie ini, karena di wilayahnya masih terjadi penembakan dan pembakaran rumah.

"Di Keumbang Tanjong, beberapa hari lalu telah terjadi penembakan terhadap dua orang guru. Di Simpang Tiga, ada rumah yang dibakar," katanya berapi-api tanpa menyebut siapa pelakunya.

Beberapa pembicara lainnya, juga senada dengan Abu Meunasah Me yang meminta perpanjangan darurat militer ini.

Hebatnya, seorang bernama Hendro, yang mengaku mahasiswa Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh juga meminta perpanjangan darurat militer. Namun, dia menekankan pada operasi penegakan hukum untuk menangkap pelaku korupsi.

Kini giliran Tgk Bulqaini Tanjungan, dari Rabuthah Taliban Aceh, yang angkat bicara. Bulqani tanpa ragu-ragu menyamakan mereka yang menolak perpanjangan darurat militer dengan anggota atau simpatisan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

"Saya tidak tahu apakah mereka yang menolak DM itu adalah titipan GAM," katanya.

Pendapat Bulqani agak mengejutkan sebagian yang hadir. Pasalnya, organisas Rabithah Taliban Aceh (RTA), yang berdiri 1999, sangat aktif merontokkan bisnis-bisnis “hitam” yang kerap dibekingi aparat seperti menggelar razia minuman keras dan pekerja seks komersial. Gara-gara aksi yang merupakan kumpulan ulama di sejumlah dayah (pondok pesantren) ini, sempat memancing amarah aparat kepolisian Aceh. Buntutnya, kantor RTA di kawasan Simpang Surabaya, digerebek polisi.

Bahkan ketika Gus Dur melakukan kunjungan ke Aceh, Gus Dur sempat melakukan peusijuek sebagai tanda damai antara anggota RTA dengan aparat polisian.

Tidak banyak yang menetang arus dengan menolak darurat militer di Balai Teuku Umar siang itu. Ada sebagian peserta, seperti seorang dosen, meminta agar status Darurat Militer diturunkan menjadi Darurat Sipil.

Satu-satunya penolakan tegas perpanjangan darurat militer justru datang dari seorang perempuan yang mengaku bernama Dedek. "Seratus lebih kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oknum TNI dan Polri tidak pernah diperhatikan," katanya berapi-api.

Semua terdiam ketika perempuan ini berbicara. [r]

Senin, Maret 07, 2005

WAWANCARA
William Liddle: "GAM Bisa Memerintah di Aceh…"

Reporter : Radzie, 2004-07-05 00:29:32

Prof. R. William Liddle bukan sosok asing di Indonesia. Pria asal Amerika Serikat ini, termasuk orang yang sangat dekat dengan Indonesia dan penduduknya.

Bill, begitu dia biasa disapa, pernah menetap di Serambi Mekkah selama dua tahun antara 1985 hingga 1987. Saat itu dia menjadi peneliti di Pusat Latihan Penelitian dan Ilmu-ilmu Sosial (PLPIIS), Universitas Syiah Kuala. Di lembaga yang didirikan Yayasan Ilmu-ilmu Sosial Jakarta yang dipimpin Selo Sumarjan ini, setiap tahunnya membimbing 12 sosiolog dan antropolog muda yang berasal dari seluruh Indonesia.

Di Banda Aceh, Bill tinggal di Geuceu Kompleks. Seorang anaknya lahir di sini. Namanya Caitlin dan sering disapa Cut Ca. Bill sekeluarga sangat menyukai masakan Aceh, khususnya gulee pliek. Ia sempat membuat resep dan membawa ke Amerika. "Tapi rasanya tidak sama," katanya.

Lalu, bagaimana komentarnya tentang Aceh dan gerakan separatisme? Untuk meredam dan menyelesaikan konflik yang menahun di Tanah Rencong, Bill menyarankan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mengubah orientasi perjuangan, dari kekuatan senjata ke diplomasi.

Bahkan, dia melihat sudah saatnya GAM mengakui kedaulatan Indonesia. "GAM bisa memerintah di Aceh nanti kalau mereka bersedia menerima kedaulatan RI," kata Bill kepada acehkita dalam wawancara khusus, (Rabu 30/6). Berikut petikannya:

Bagaimana Anda melihat pemilu legislatif di Indonesia?
Berhasil sebagai proses. Pada tahun 1950-an, masa demokrasi pertama, Indonesia hanya mengadakan pemilu satu kali. Tetapi kini, dalam masa demokrasi kedua, pemilu sudah diadakan dua kali. Dari segi substansi, masyarakat sudah bicara dengan jelas. Mereka tidak senang dengan partai lama, khususnya PDIP, dan sedang mencari partai dan sosok baru.

Anda pernah memprediksi PDIP akan keluar sebagai pemenang. Namun nyatanya Golkar yang menang. Fenomena apa ini?
Tahun lalu sepertinya tidak ada partai yang bisa menandingi PDIP, menurut jajak pendapat yang saya lihat pada waktu itu. Saya tidak melihat Pemilu 2004 sebagai kemenangan Golkar. Golkar bertahan saja, dengan persentase suara yg sama dengan Pemilu 1999. Jadi Golkar tidak mendapat kepercayaan lagi. Yang terjadi adalah bahwa PDIP hilang kepercayaan.

Atau ini memang sikap masyarakat yang gampang lupa, bahkan rindu kondisi masa lalu di saat Golkar berkuasa?
Masyarakat memang rindu pertumbuhan ekonomi yang 6 persen ke atas setiap tahun, dan juga keamanan pribadi yang lebih terjamin. Dua hal itu mereka dapat dari Orde Baru. Tetapi kerinduan mereka tidak berarti bahwa mereka ingin supaya Orde Baru kembali. Mereka tetap pro-demokrasi, pro-reformasi. Atau setidaknya begitulah kesan saya.

Menurut Anda, kenapa suara PDIP bisa merosot di bawah Golkar? Sebab
Megawati dianggap gagal sebagai pemimpin.

Bagaimana Anda melihat pemilu di Aceh yang diselenggarakan di bawah status Darurat Militer? Apakah Anda melihat ada yang janggal?
Sulit sekali mengikuti perkembangan di Aceh dari luar, sebab daerah itu dikuasai oleh tentara dan ditutup kepada orang luar. Pada prinsipnya, saya tidak percaya bahwa pemilu yang demokratis bisa diadakan di daerah yang sedang berperang.

Di antara lima calon presiden, menurut Anda siapa yang lebih berpeluang untuk melaju ke babak kedua?
Dari hasil survei mutakhir, nampaknya SBY dan Mega yang punya kans paling besar.

Lalu, Amien Rais dan Hamzah Haz bagaimana?
Amien Rais masih bisa berharap menjadi nomor dua. Kalau Hamzah Haz, dukungannya terlalu sedikit.

Antara SBY dan Wiranto yang sama-sama militer, siapa yang lebih unggul dan berpeluang untuk memenangkan pertarungan?
Saya melihat SBY punya kans yang lebih besar dibanding Wiranto.

Kenapa peluang SBY lebih besar ketimbang Wiranto?
Memang hal ini merupakan sebuah misteri. Keduanya adalah orang yang pintar, capable, dan mengerti dunia politik. Tetapi saya mendapat kesan bahwa Wiranto dianggap oleh pemilih sebagai figur lama, yang hilang dari perhatian masyarakat setelah dia dipecat oleh Gus Dur. Sementara SBY memainkan peranan yang cukup sentral dalam pemerintahan Megawati, dan sempat mengambil beberapa keputusan penting.

SBY dan Wiranto disebut-sebut terlibat dalam beberapa kasus pelanggaran HAM berat. Seperti kasus Semanggi, Trisakti dan Timor Timor untuk Wiranto. Lalu SBY tersandung kasus 27 Juli 1996. Bagaimana peluang mereka?
Kesan saya adalah bahwa masyarakat lebih mempersoalkan rekor Wiranto ketimbang SBY. Memang Wiranto lebih menonjol dulu sebagai Panglima ABRI/TNI, Menteri Pertahanan, dan Menko Polkam pada masa-masa krisis. SBY kan bukan orang penting pada waktu itu. Coba dilihat, dalam iklan kampanye Wiranto, SBY ada di belakang, seakan-akan sedang tunduk kepada perintah panglimanya.

Lalu, apa sebenarnya yang harus dilakukan presiden terpilih untuk menyelesaikan kasus Aceh yang menahun ini?
Pertama, pemerintah harus tegas, supaya gam mengerti bahwa kemerdekaan tidak merupakan pilihan. Kedua, pemerintah harus fleksibel dan bersedia menerima gam sebagai kontestan politik pada pemilu berikut sebagai kekuatan demokratis biasa.

SBY mengatakan akan me-review ulang dialog dengan GAM, jika terpilih. Padalah dulu ia sangat ngotot menghentikan dialog. Bagaimana menurut Anda?
Di dalam politik, semua mungkin, termasuk dialog antara SBY dan GAM.

Ataukah ini hanya kiat SBY dan tim suksesnya untuk meraih suara dari masyarakat Aceh?
Saya tidak tahu tentang itu. Maaf.

Apakah ini bisa juga dikatakan bahwa dukungan internasional terhadap gam memang tidak ada?
Memang tidak ada. Saya melihat begitu.

Apa indikasi GAM tidak mendapat dukungan dari luar negeri?
Maksud saya adalah bahwa saya yakin GAM tidak mendapat dukungan dari pemerintah Amerika atau negara-negara lain di Barat, yang semuanya ingin supaya Indonesia tetap utuh.

Untuk menyelesaikan kasus Aceh. Apa sebenarnya yang harus dilakukan GAM? Merubah pola perjuangan dari senjata ke diplomasi? Atau bagaimana?
Merubah pola perjuangan dari senjata ke politik dalam negeri Indonesia, seperti saya sebutkan di atas.

Mengubah pola perjuangan ke politik dalam negeri. Apakah yang dimaksudkan GAM menjadi partai politik?
Maksud saya adalah bahwa Indonesia sudah berubah. Pemerintahan demokrasi terpimpin dan Orde Baru bersifat sangat sentralistis dan dikuasai oleh satu orang. Tetapi sekarang setiap daerah—terlebih Aceh dan Papua pada prinsipnya (yang saya akui belum terwujud sepenuhnya)—bisa menguasai dirinya sendiri tanpa harus meninggalkan Indonesia. Dalam kerangka itu, GAM bisa memerintah di Aceh nanti kalau mereka bersedia menerima kedaulatan RI. Saya tentu maklum bahwa partai lokal tidak diperbolehkan di Indonesia, tetapi kalau ada kemauan di dua belah pihak (GAM dan Pemerintah, red), pasti ada cara supaya GAM bisa ikut bersaing dalam pemilihan umum di Aceh.

Darurat Militer dan Darurat Sipil menurut pemerintah adalah solusi terbaik bagi Aceh. Bagaimana menurut Anda?
Memang pemerintah terjepit antara batu dan tempat keras, seperti kata pepatah bahasa Inggris. Sebab kalau pemerintah tidak memperlakukan keadaan darurat, GAM akan tumbuh kembali. Tetapi keadaan darurat, baik militer maupun sipil, tidak cukup untuk penyelesaikan masalah.

Dalam beberapa peristiwa ledakan bom, Aceh dan GAM selalu dipersalahkan. Seperti peristiwa bom Atrium Senen dan BEJ Jakarta, serta beberapa kasus bom di Medan. Bahkan, ketika bom Bali, ada indikasi polisi hendak menuding Aceh. Bagaimana menurut Anda?
Tentu kita maklum bahwa setiap daerah yang rawan bisa saja menjadi sumber ancaman di daerah lain. Tetapi dalam kasus Bali, telunjuk polisi hanya sebentar saja diarahkan ke Aceh.

Bisakah itu dikatakan sebagai upaya untuk membunuh karakter masyarakat Aceh dan melemahkan perjuangan GAM?
Tidak, melainkan merupakan reaksi normal saja.

Telunjuk polisi yang mengarah ke Aceh dalam setiap kasus Aceh, Anda bilang itu normal. Tapi bukankah itu akan membuat perasaan tertekan bagi masyarakat Aceh yang ada di Jakarta, atau daerah lain? Nah, apakah itu bukan dimaksudkan sebagai diskriminasi dalam bernegara?
Anda benar, dan kenyataan itu harus disesalkan dan diatasi secepat mungkin. Saya teringat pada posisi orang Arab di negeri saya, yang umumnya dicurigai sebagai teroris, meskipun hanya sebuah minoritas yang sangat kecil yang betul-betul terlibat dalam kegiatan tercela tersebut. Ada orang Amerika yang berusaha supaya orang Arab tidak dicurigai tanpa bukti jelas, tetapi kiranya sulit berhasil sebelum masalah Palestina belum terpecahkan. Begitu juga dengan Aceh dan orang Indonesia lainnya.[guh]

Minggu, Maret 06, 2005

Presiden Mau Datang, Pedagang Kecil Digusuri

Reporter: Indy - Banda Aceh, 2004-08-06 11:02:36

Hari Kamis (22/7) siang, Azhari lagi sibuk-sibuknya melayani pelanggan. Namun, penjual koran dan majalah ini tak menduga kalau siang itu bakal ada penggusuran.

Pasalnya, sejak pagi hari, pihak Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) Kecamatan Kuta Alam yang dipimpin Camat Muzakkir Tulot mengadakan pembersihan dan penertiban kota. Muzakkir yang diback-up aparat bersenjata dari Koramil 013 dan Polsek Kuta Alam, sedang melakukan penggusuran kios-kios yang selama ini mangkal di atas trotoar Jalan Teungku Daud Beureueh dan Teuku Nyak Arif.

Banyak kios yang terjaring dalam penggusuran itu. Maklum, pedagang kios ini memang tersebar dari Bundaran Simpang Lima hingga ke Bundaran Simpang Mesra. Umumnya, selain menjual rokok dan kebutuhan lainnya, pemilik kios juga menjajakan buah-buahan segar, koran dan majalah.

Di hari penggusuran itu, Azhari disuruh memindahkan kios miliknya yang berukuran 1,5x4 meter ke belakang bangunan pertokoan. Tak hanya itu, Camat Muzakir juga menyita Kartu Tanda Penduduk (KTP) sang pemilik sebagai jaminan.

Menurut Muzakir, pengambilan KTP ini dimaksudkan agar pemilik kios mau datang ke kantornya. Di kantornya yang terletak di dekat Mapolreta Banda Aceh, Muzakkir akan memberikan nasihat kepada pemilik kios.

"Nanti ketika dia ambil KTP, baru kita kasih nasihat dan arahan untuk tidak jualan lagi di sepanjang jalan itu," kata Muzakkir Tulot kepada acehkita di kantornya Rabu pekan silam.

Kepada acehkita, Muzakkir juga memperlihatkan tumpukan KTP merah-putih yang disita sebagai jaminan itu. Sedikitnya ada 20 lembar KTP merah-putih dan dua lembar KTP berwarna kuning, milik warga Simeulue, Sinabang.

Di kantor kecamatan itu pula, Muzakkir mewajibkan pemilik kios untuk menandatangani perjanjian tidak akan berjualan lagi di sepanjang Teungku Daud Buereueh. Salah satu dari empat butir perjanjian itu berbunyi; "Saya menyatakan tidak akan menganggu keamanan dan ketertiban serta kenyamanan Kota Banda Aceh".

Ketika acehkita menanyakan apakah berjualan di trotoar mengganggu keamanan. Camat Muzakkir mengatakan, "Ya! Itu sangat mengganggu keamanan dan kenyamanan orang-orang. Merusak keindahan itu kan juga mengganggu keamanan," katanya, ketus.

Muzakkir yang dikenal sangat "tegas" terhadap warganya, secara gamblang menyatakan, penertiban yang dilakukan pihaknya itu untuk memperindah kota dalam rangka menyambut pelaksanaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) IV yang direncanakan dibuka oleh Presiden Megawati pada 9 Agustus 2004 mendatang.

Namun, rencana pembukaan PKA pada 9 Agustus ini, diundurkan karena Presiden Megawati dikabarkan sangat sibuk menjelang perayaan Proklamasi 17 Agustus. Belum ada kabar yang jelas sampai kapan pengunduran ini.

"Lantas, bukankah dengan menggusur ini malah akan menciptakan pengangguran?" tanya acehkita.

"Penegakan hukum sangat penting. Kebersihan dan keindahan kota merupakan kebutuhan bersama," katanya, memberi alasan. Dia tidak menyinggung-nyinggung tentang bagaimana solusi mengatasi pengangguran.

Herannya lagi, Muzakir juga membantah fenomena banyaknya pedagang kaki lima yang membuka usaha di Banda Aceh akibat konflik yang berkepanjangan. "Jangan kambing hitamkan konflik. Tidak ada istilah konflik dalam penegakan hukum. Saya menduga yang datang ke Banda Aceh ini ada yang terkait GAM," duganya.

***

Di suatu malam. Menjelang tengah malam. Azhari dan seorang pemilik kios yang terkena gusur, sebut saja namanya Ahmad, asyik terlibat obrolan di kios milik Azhari. Tema pembicaraan kedua korban penggusuran ini, masih seputar nasib naas yang menimpa diri mereka beberapa hari lalu.

"Saya tidak habis pikir kok teganya dia menggusur rakyat kecil," kata Azhari.

"Itu hanya upaya cari muka aja," kata Ahmad mengomentari sikap Camat Kuta Alam yang menggusur mereka itu.

Bagaimana nasib Azhar pasca-penggusuran?

Warga Pidie yang sudah lima tahun menjadi loper koran di Jambo Tape ini, mengaku penjualannya menurun drastis. Pasalnya, dia sangat menggantungkan dagangannya pada koran dan majalah yang dijualnya. Di kios itu, selain menjual rokok dan makanan ringan, dia menjadi agen belasan surat kabar, tabloid dan majalah terbitan nasional. Sebut saja beberapa media nasional yang diperdagangkannya seperti Tempo, Matra, Gatra, CosmoGirls, Kartini, Trust, Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, Republika, Nikita, Senior, Bola, GO dan beberapa lainnya.

Praktis, pasca-penggusuran ini, harian Serambi Indonesia yang terbit pagi di Banda Aceh, tidak lagi dijualnya. Padahal, pelanggannya yang membutuhkan harian satu-satunya di Aceh itu, sangat banyak.

"Kalau pagi, saya tidak jualan lagi. Serambi saya tidak ambil lagi," katanya. Walaupun perintah camat untuk tidak berjualan sebelum pukul 17.00 WIB, Azhari tidak mempedulikannya. Dia tetap saja menggelar dagangannya usai zuhur.

Lantas, berapa omzet Azhari yang hilang akibat penggusuran ini?

"Kalau dulu tiap hari saya bisa laku antara Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta, sekarang paling Rp 500 ribu sampai Rp 700 ribu saja," kata Azhari, lemas.

Bagaimana dengan Ahmad?

Lelaki tamatan Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry ini mengaku tidak lagi berjualan. Apalagi, permintaannya untuk tetap menggelar dagangannya di tempat yang selama ini ditempatinya itu tidak diizinkan sang camat.

Ahmad bercerita, ketika ia datang ke kantor kecamatan untuk mengambil KTP, sang camat tetap pada pendiriannya untuk tidak memberi izin jualan bagi Ahmad. Aku Ahmad, ia sampai meneteskan air mata ketika meminta izin pada sang camat.

Padahal, "Seumur-umur, saya belum pernah meneteskan air mata. Tapi di depan Pak Camat saya menangis minta diberikan izin," kenang lelaki asal Aceh Barat ini, yang membiayai dua adiknya yang sedang sekolah. [A]

Pelanggaran-pelanggaran Pemilu di Bawah Darurat Sipil

Reporter: Radzie - Banda Aceh, 2004-07-11 12:22:47

Tak ada yang aneh dalam laporan rekapitulasi hasil perhitungan suara sementara yang dilaporkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Aceh Tenggara kepada KPUD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), 5 Juli lalu. Sekilas, laporan yang menempatkan pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid di urutan pertama itu, biasa-biasa saja.

Aroma tak sedap justru baru meruap setelah selembar surat Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Aceh Tenggara, bernomor 85/PWS/AGR/VII/2004 tertanggal 8 Juli 2004, dilayangkan ke KPUD Aceh Tenggara. Dalam surat itu Panwaslu memprotes hasil rekapitulasi sementara yang dikirim KPUD.

Rekapitulasi sementara yang dikirim itu, mencantumkan jumlah pemilih di kabupaten yang berbatasan dengan Sumatera Utara itu sebanyak 97.846 orang yang punya hak pilih. Lalu, hanya sebanyak 84.343 warga yang menggunakan hak pilihnya itu. Dari yang menggunakan hak suaranya, diperoleh suara sah 83.065 suara, dan tidak sah hanya 1.278.

Sampai di sini, belum ada kejanggalan.

Lantas, dalam tabel laporan selanjutnya, yang ditandatangani Ketua KPUD Aceh Tenggara, H. Rasitoe Desky, tertera jumlah warga yang tidak memilih alias golongan putih (golput) “hanya” 266 orang. Nah, angka itulah yang diprotes Panwas. Pasalnya, untuk satu kecamatan saja, jumlah golputnya bisa mencapai 576 orang. Kok, di tingkat kabupaten, jumlahnya bisa dilorot menjadi hanya 266 orang?

Dalam suratnya, Panwas menyatakan, hasil rekapitulasi perhitungan suara PPK se-Kabupaten Aceh Tenggara belum ada yang masuk ke KPUD Kabupaten Aceh Tenggara. Panwas juga melampirkan hasil rekapitulasi sementara peolehan suara di Kecamatan Babul Rahmah. Di kecamatan itu total pemilih yang terdaftar adalah 4.721 orang. Sementara yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 4.145 pemilih. Sedangkan yang memilih golput di Kecamatan itu, sebanyak 576 orang. Bandingkan dengan hanya 266 warga yang golput di seluruh Aceh Tenggara. Nah inilah yang berbuah protes dari Panwas setempat.

“Ada indikasi mark-up suara,” kata Direktur Forum LSM Aceh, Taf Haikal kepada acehkita, Sabtu (10/7).

Pertanyaannya, pasangan mana yang diuntungkan dari penggelambungan suara itu?

Dari Aceh Tenggara, dalam rekapitulasi sementara yang dilaporkan ke KPU Aceh, Wiranto-Salahuddin memperoleh sebanyak 25.318 suara. Di urutan kedua, bertengger nama Amien-Siswono dengan perolehan suara sebanyak 22.838. Sedangkan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla berhasil meraup 21.252 suara.

“Laporannya memang ada manipulasi suara untuk Wiranto. Namun laporan tertulis memang belum ada,” kata M. Jafar, Koordinator Bidang Pengawasan Panwaslu Provinsi Aceh, kepada acehkita, Sabtu (10/7).

Laporan adanya manipulasi suara itu datang dari Tim Sukses Amien-Siswono. Menurut laporan yang diterima Panwaslu Aceh, kubu Wiranto melakukan dugaan money politics (politik uang) yang luar biasa. Namun, M. Jafar mengaku belum bisa membuktikan kebenaran dugaan itu.

“Data yang dilapokan itu, tidak dikirim,” kata M. Jafar, kemudian.

Untuk itu, Panwaslu Provinsi sudah membentuk tim untuk melakukan investigasi kebenaran laporan itu, ke kabupaten yang memang dikenal sebagai basis Partai Beringin itu.

“Kita sudah bentuk tim investigasi ke sana. Dipimpin Bu Ema (Erismawati, Wakil Ketua Panwaslu Aceh, red.),” lanjut M. Jafar, yang juga dosen hukum di Universitas Syiah Kuala ini.

Manipulasi yang merugikan kubu Amien ini, juga dibenarkan Bukari, Tim Sukses Amien-Siswono di Aceh Tenggara. “Manipulasi suara. Indikasi pada awalnya memang demikian. Kita protes tegas,” kata Bukari kepada acehkita, Sabtu (10/7) yang dihubungi melalui telepon genggamnya. Namun, Bukari mengatakan, indikasi manipulasi suara yang merugikan kubunya, tidak berlangsung lama.

“Itu tidak terjadi lagi,” katanya kemudian.


Saksi Tak Boleh Masuk TPS
Bukan hanya dugaan politik uang dan penggelembungan suara saja yang ditemukan di Aceh Tenggara itu. Menurut data yang diperoleh acehkita dari Panwaslu Aceh, dalam pelaksanaan pemilu 5 Juli lalu, ada tiga kecamatan di kabupaten itu yang tidak menyerahkan salinan berita acara dan rekapitulasi suara kepada saksi.

“Kejadian ini di Kecamatan Lawe Sigala-gala,” kata Jafar. Ia mengaku lupa nama dua kecamatan lainnya.

Namun, untuk katagori pelanggaran ini, sudah diselesaikan oleh KPUD dan Panwaslu setempat. “Ada berita acara dan rekapitulasi suaranya diserahkan pada hari itu dan ada pada keesokan harinya,” kata anggota Panwaslu Aceh yang gampang ditemui wartawan ini.

Alasan tidak diserahkannya berita acara dan rekapitulasi itu, konon sangat sepele: “Tidak ada dana untuk memfotokopi,” kata Jafar, tertawa.

Anggota KPPS juga tidak mau mengisi seluruh formulir yang tersedia, sebanyak sembilan formulir. Gara-garanya, “Honornya kecil,” kata Jafar menirukan laporan dari KPUD Aceh Tenggara.

Lain Aceh Tenggara, lain lagi kejadian di Kecamatan Seunagan Kabupaten Nagan Raya, lain lagi. Di kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat ini, PPK di Sunagan, tidak memberikan kesempatan kepada saksi dan pengawas untuk memantau proses perhitungan suara.

“PPK tolak Panwas dan saksi saat perhitungan suara,” kata Jafar.

Akibatnya, para saksi dan Panwas tidak bisa memantau jalannya perhitungan suara di seluruh kecamatan itu. Atas kejadian ini, Jafar mengaku sudah melaporkannya ke KPUD Kabupaten Nagan Raya.

Ada beberapa TPS di Kecamatan Mutiara Timur, Pidie, yang tidak mau melakukan penghitungan suara ulang. Namun, setelah didesak oleh Panwas setempat, para anggota KPPS di kecamatan itu, akhirnya bersedia melakukan penghitungan ulang. Perhitungan ulang dilakukan setelah keluarnya surat edaran dari KPU Pusat yang ditandatangani Anas Urbaningrum yang menyatakan surat suara sah walau pencoblosan itu, tembus ke halaman muka.

“Mereka mau setelah kita desak berkali-kali,” kata Mahdi, Ketua Panwaslu Pidie, kepada acehkita, Sabtu (10/7).

Namun, Mahdi mengaku di daerahnya tidak ditemukan pelanggaran lainnya.. “Sampai kemarin (Jum’at, 9/7, red.) Panwaslu Pidie telah menerima laporan dari 28 kecamatan. Tidak ada laporan adanya pelanggaran,” katanya.

Hal ini sangat kontras dengan temuan Forum LSM Aceh. Forum LSM Aceh menemukan pelanggaran di Kecamatan Bandar Baru. Di Kecamatan ini, banyak calon pemilih yang tidak mempunyai Kartu Identitas Pemilih (KIP) dan undangan. Akibatnya, saat mereka datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Tapi anehnya, oleh KPPS setempat, mereka yang tidak bisa menggunakan hak pilihnya ini, diberikan tinta hitam sebagai tanda sudah melakukan pencoblosan.

“Padahal mereka tidak mencoblos,” kata Haikal.

Di Kecamatan Muara Dua, Aceh Utara, kejadian yang hampir sama dengan di Bandar Baru juga terjadi. Di sini, pemilih yang mempunyai KIP namun tidak memiliki undangan, juga tidak diperkenankan melakukan pencoblosan. Alasannya, “Karena surat suara terbatas,” kata Haikal.

Jika di Kecamatan Muara Dua dan Bandar Baru tidak mempunyai KIP atau undangan tidak bisa mencoblos, lain lagi dengan pemilih di TPS 10 dan 11 Kecamatan Nurussalam, Aceh Timur. Di sini, warga yang tidak mengantongi KIP dan atau undangan, pada awalnya tidak datang ke TPS. Namun, setelah disuruh oleh aparat TNI AD, warga di desa itu bisa menggunakan hak pilihnya dengan memperlihatkan KTP.

Juga, di dua TPS ini, aparat TNI melakukan penjagaan ketat di seputar lokasi TPS dengan kekuatan sekitar 100 personel, yang diperkuat dua truk, dua reo dan satu tank. Kejadian serupa juga terjadi di Keude Bagok, Neubok Baru Idi Cut. Alasannya, daerah ini merupakan basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Padahal, dalam peraturan, aparat TNI dilarang berada di sekitar TPS.


Polisi Ikut Nyoblos, Petugas KPPS Juga
Di Kecamatan Singkil Utara, pelanggaran terjadi sebanyak tiga kasus. Yang pertama, seorang anggota polisi di Kecamatan Singkil Utara, diduga ikut melakukan pencoblosan pada pemilihan presiden yang berlangsung Senin (5/7) lalu.

“Padahal, itu tidak boleh,” kata M. Jafar, kepada Acehkita, Senin (5/7) lalu.

Masih di kecamatan yang sama, ada anggota polisi yang tidak memberi tempat duduk kepada para saksi. M Jafar menyayangkan sikap yang diperlihatkan polisi itu. Menurut M Jafar, tindakan polisi yang melakukan pencoblosan itu, bisa diadukan atau dilaporkan kepada penyidik, karena telah melakukan pelanggaran pidana.

“Ini laporan yang sampai kepada kita. Kita sedang investigasi itu,” katanya.

Terakhir, di Kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan itu, ada pemilih yang memperlihatkan hasil coblosannya kepada para pemilih lainnya. Ini, merupakan bentuk pelanggaran terhadap asas kerahasian. “Kertas suara ditunjukkan,” kata Jafar.

Sejumlah temuan pelanggaran lainnya ditemukan di Kecamatan Darul Imarah Aceh Besar. Di kecamatan ini, saksi dari pasangan Megawati-Hasyim Muzadi, memakai atribut kandidat berupa PIN yang bergambar Mega-Hasyim.

“Tapi, kita langsung menyuruh saksi itu untuk melepaskan atributnya, saat itu juga,” katanya.

Lain lagi yang terjadi di Kecamatan Syamtalira Aron, Aceh Utara. Di kecamatan ini, Ketua KPPS mencoblos sembilan surat suara. Pencoblosan itu, kata Jafar, dikarenakan anggota KPPS itu diminta oleh sembilan warga di kecamatan itu, untuk mewakili mereka yang saat itu berada di Malaysia. “Dia coblos karena diminta oleh pemilih yang ada di Malaysia. Ya permintaan itu melalui telepon, jadi tidak dibenarkan,” terang anggota Panwaslu Aceh ini.

Di Bireuen, seperti pernah diberitakan Acehkita sebelumnya, juga ada instruksi dari setiap kepala keluarga di asrama polisi (aspol) Karangrejo, Kelurahan Kota Bireuen untuk memilih pasangan SBY-Kalla (baca: Intruksi di Asrama Polisi).

Atas semua kasus pelanggaran itu, Panwaslu Aceh berjanji akan menindaklanjutinya.

“Kita akan selidiki dan tindaklanjuti temuan itu,” kata Jafar, kemudian. [A]

Selasa, Maret 01, 2005

Perang Bebal Tak Kenal Bencana

Reporter: Tim Acehkita - NAD, 2005-02-03 12:22:58

Sersan Satu N Sibutar Butar, Senin (17/1) itu tengah berpatroli di kawasan Dayah Butong, Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar. Bintara yang di-BKO-kan (bawah kendali operasi) dari markasnya di Sumatera Utara ini mengendus curiga saat dari arah berlawanan, muncul sepeda motor Honda GL 100 yang kendarai dua orang pemuda.

Pasukan Brimob yang dipimpinnya lantas menghentikan dua orang pria ini. Tapi sejuruh kemudian, yang duduk di belakang mengambil pistol yang terselip di pinggang. Saat itulah, pasukan Sibutar Butar melepaskan tembakan untuk melumpuhkan dua orang pemuda itu.

Yang mencabut pistol mengalami luka tembak di bagian betis kiri dan yang membonceng terluka di betis kanan. Dari tangan mereka, polisi juga menyita satu pucuk pistol revolver kaliber 38 beserta 30 butir amunisi, satu unit telepon seluler dan satu motor Honda GL 100.

“Keduanya adalah anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang bernama Saifuddin dan Hasanuddin,” kata Kapolresta Banda Aceh AKBP Eko Danianto sembari menunjukkan sebuah revolver.

Tapi sayang, ini bukan cerita dalam acara kriminal di televisi. GAM, tak membiarkan polisi memonopoli versinya sendiri kendati dia mengakui dua anggotanya terciduk Brimob. Menurut Jurubicara GAM Aceh Rayeuk, Teungku Muchsalmina, kedua anggotanya saat itu sedang dalam perjalanan menjenguk saudara mereka yang tertimba bencana di sebuah lokasi pengungsian.

Menyusul perintah gencatan senjata yang dilansir Perdana Menteri GAM Malik Mahmud, Muchsalmina berani memastikan, kedua anggotanya itu tidak bersenjata. “Kalau dibilang bersenjata saat mereka ditangkap, itu hanyalah propaganda Indonesia untuk bisa menangkapi kami,” kata Muchsalmina kepada acehkita.

Lagipula, dua orang GAM yang dimaksud Muchsalmina bukalah Saifuddin dan Hasanuddin, melainkan Syahrul Ramadhan bin Mukhtar (24) warga Ajun, dan Masykur (27) warga Desa Beuradeun, Lhok Nga.

Nah, lho!

Tapi perang kadang tak hirau soal siapa benar, siapa bohong. AKBP Eko Danianto juga menyatakan pihaknya tak hanya menangkap dua orang itu, tapi juga menembak mati seorang Aceh bernama Hamdani di Ulee Kareng. Hamdani ditembak juga karena membawa senjata. Menurut Eko, setelah tsunami, telah terjadi lima kali kontak tembak antara GAM dengan personelnya. Dia juga menyebut kasus di Krueng Raya, di mana seorang anggota Polres Sabang dibacok oleh anggota GAM pimpinan Muhammad.

Padahal, sehari setelah bencana, Pemerintah Negara Acheh (PNA) di pengasingan mengumumkan genjatan senjata sepihak. Seruan ini disampaikan Perdana Menteri PNA, Malik ‘Meuntroe’ Mahmud dari Swedia.

Isinya sangat tegas: “Tentara Negara Acheh (TNA) telah diperintahkan menahan diri dari membuat kontak bersenjata dengan pihak musuh demi menghindari timbulnya perasaan terjepit dan panik di kalangan masyarakat.”

Tapi Jakarta tak kunjung menyambut. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak mengumumkan secara tegas penghentian operasi tempur. Dus, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto sendiri akhirnya hanya menyatakan, keberadaan pasukan TNI di Aceh akan difokuskan pada operasi kemanusiaan.

Tapi angin sejuk berhembus dari mulut Wakil Presiden Jusuf Kalla yang pernah menggelar perjanjian damai Malino I dan II untuk konflik di Maluku dan Poso. “Kalau cease fire (gencatan senjata) itu kan, berarti Anda berhenti sekarang dan berperang lagi bulan depan. Kita mau berhenti sama sekali. Nantilah kita atur secara terpandang dan bermartabat,” sebut Kalla di Banda Aceh, Jum’at (14/1).

Namun keinginan pejabat sipil selalu mentah di lapangan. Nyatanya, pergumulan TNI/Polri dan GAM terus saja terjadi. Hanya beberapa jam setelah tsunami, Nasri (21) ditangkap dan dipukuli Satuan Gabungan Intelijen (SGI) pada Minggu (26/12) di Desa Geulanggang Meunje, Kuta Blang, Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen. Nasri ditangkap SGI yang berpos di pusat pasar Gandapura dengan tuduhan terlibat separatisme, sebelum akhirnya dilepas setelah seorang kerabatnya yang komandan SGI di Kecamatan Sawang, Aceh Utara, mendatangi pos SGI Gandapura.

Sehari setelah penangkapan Nasri, TNI menembak dua gerilyawan di Kecamatan Seunundon, Aceh Utara. Media Center TNI di Lhokseumawe melansir, penembakan itu dilakukan karena dua anggota GAM tersebut melakukan pemerasan terhadap warga setempat.

Perburuan TNI untuk menghabisi GAM, juga dilakukan dengan operasi penggempuran kantong GAM di Kecamatan Peureulak, Rabu (5/1). Hari berikutnya, kontak tembak berlangsung antara pasukan TNI dengan seorang gerilyawan GAM di Cot Aneuk Bate, Desa Meureubo, Kecamatan Makmur, Bireun. Menurut saksi mata, kontak tembak terjadi saat seorang anggota GAM sedang bersepeda melewati kawasan tersebut dan disambut dengan letusan senapan yang membuatnya tewas.

Pada Jumat (7/1), kontak tembak kembali terjadi di kawasan persawahan Desa Tampak Baroh, Kecamatan Peureulak Timur, Aceh Timur. Disusul kejadian yang sama, pada Senin (10/1) dan Kamis (13/1) di Seumirah, Kecamatan Nisam, Aceh Utara.

Sementara itu, di Lhoong, Aceh Besar, sekitar 54 km arah barat Banda Aceh, laga senjata telah menyebabkan tiga anggota GAM meregang nyawa. Menurut seorang warga, insiden tersebut terjadi ketika anggota GAM sedang melakukan evakuasi jenasah dan korban di sana.

“Pada hari keenam setelah musibah ini, tiga anggota GAM meninggal dan tiga pucuk senjata AK-nya disita,” kata Rusli, seorang warga Lhoong ketika ditemui acehkita, Rabu (12/1).

Rusli lantas bercerita, letupan senjata bukan hanya terjadi kali itu saja di kecamatan yang hanya tinggal empat desa yang masih layak dihuni setelah musibah tsunami itu. Sebelumnya, di Desa Krueng Kala, sebuah desa yang porakporanda dan hanya menyisakan satu bangunan masjid, beberapa pasukan GAM terpaksa menjauh dari permukiman penduduk.

Sebab, saat personel GAM sedang melakukan evakuasi jenasah sanak saudara dan membantu korban yang masih hidup, dari balik bukit yang berada di dekat pantai, suara letupan senjata merajai. “Pasukan TNI di sini. Sementara GAM berada di sana,” sebut saksi mata bernama Juanda, ketika acehkita beranjak ke lokasi kontak tembak itu.

Juanda membenarkan cerita Rusli.

Menurut Rusli, GAM memang turut melakukan evakuasi jenasah dan korban. Namun, setelah beberapa kali kontak tembak itu, anggota GAM tidak lagi turun gunung untuk melakukan misi kemanusiaan. “Kami sangat menyesalkan kontak tembak terjadi di saat GAM sedang menguburkan jenasah. Padahal, mereka tidak menghadang TNI.”

Setelah musibah gempa dan tsunami itu, anggota GAM di kawasan Lhoong yang relatif terisolasi itu, sering turun gunung. Selain untuk melakukan evakuasi jenasah, kata Rusli, anggota GAM juga terlihat mondar-mandir di sekitar perkampungan warga.

“Saya melihat mereka dua kali. Pertama, mereka pakai pakaian preman. Lalu, saya melihat mereka pakai pakaian loreng, lengkap dengan senjata.”

Ketika acehkita bertandang ke Lhoong, tidak ada lagi anggota GAM yang bisa dijumpai secara bebas. “Sekarang tidak bisa. Mereka sudah kembali dikejar-kejar,” sebut Rusli. Namun seorang warga mengatakan, dirinya pernah melihat beberapa anggota GAM yang kembali turun untuk melihat-lihat kondisi perkampungan setelah dilanda tsunami.

“Tadi mereka turun, tanpa senjata,” kata warga tersebut.

Masih di kawasan Lhoong, letupan senjata juga terdengar di pegunungan Paro, Aceh Besar. Menurut Juanda, anggota GAM membunyikan senjata setelah mendengar sebuah letupan dari pihak pasukan TNI yang juga berada di pegunungan itu. Padahal, menurut Juanda, anggota TNI tersebut sama sekali tidak mempunyai maksud untuk menyerang.

“Mereka terjebak di gunung ini setelah tsunami. Mereka menembak lembu mungkin untuk lauk makan,” tandasnya.

Dari Aceh Utara Hingga Aceh Timur
Bukan hanya di Aceh Besar saja kekerasan terjadi selama musibah tsunami. Hanya saja, cerita-cerita seperti ini kalah dengan dahsyatnya solidaritas para relawan. Kalaupun diberitakan media, biasanya cuma versi salah satu pihak saja.

“Kemarin, ada warga yang digorok. Lehernya hampir putus,” tutur Dani, warga Matangkuli, Aceh Utara kepada acehkita, Sabtu (15/1).

Menurut Dani, korban yang sehari-hari bekerja sebagai petani itu sudah lama diincar karena diduga menjadi informan pasukan pemerintah. “Dia dicegat di jalan,” tambah Dani.

Bukan hanya itu. Menurut Dani, di kampungnya sudah dua pekan terakhir setelah tsunami, pasukan TNI terus melakukan pengendapan untuk mencari anggota GAM. Dalam usaha pengendapan itu, pasukan TNI dari Kostrad mengambil seorang warga yang bernama Nasir. “Ternyata salah ambil. Bukan Nasir itu yang dicari, tapi hanya sama nama.”

Akibat seringnya pasukan TNI melakukan pengendapan di beberapa desa di Matangkuli, warga menjadi takut pergi ke kebun. “Masyarakat enggan pergi ke kebun sawit karena takut ketemu TNI,” lanjutnya.

Di Aceh Timur, juga sama saja. Adi, bukan nama sebenarnya, warga Julok, Kuta Binjei, Aceh Timur, mengaku mendengar beberapa kali rentetan tembakan di sana. Gara-gara kontak tembak di Bukit Dendeng itu, warga petani getah yang berada di kebun turut dipukul aparat. “Kata warga, di sana ada dua orang GAM meninggal.”

Selain di bukit itu, dia juga mendengar rentetan tembakan tak jauh dari kampungnya. Kejadiannya, sekitar pukul 09.00 WIB. “Saya sedang tidur, mendengar itu langsung terjaga.”

Pihak TNI juga mengakui terjadi kontak tembak antara pasukannya dengan GAM di sejumlah tempat di kawasan Aceh Timur. Menurut Penerangan TNI Angkatan Darat di Banda Aceh, telah terjadi kontak tembak antara pasukan TNI Yonif 330/Kostrad di Desa Tungka Gajah dan Desa Paya Mane, pada Sabtu (15/1). Akibat kontak senjata yang berlangsung pada pukul 10.00 WIB itu, TNI mengklaim menewaskan lima anggota GAM dan menyita satu pucuk AK-47 dan dua pucuk M-16.

Pihak TNI juga mengakui satu anggotanya menjadi korban dalam kontak tembak di Desa Amping Awie, Kecamatan Montasik, Aceh Besar. Serda Agus Purwanto, namanya, tertembak di pantat. Agus tertembak setelah pasukan yang dipimpin Letda Inf Usman yang sedang berpatroli di daerah pengungsian, bertemu dengan anggota GAM. Akibatnya, laga senjata tidak bisa terelakkan.

“Iya, kemarin (Minggu, 16/1) dia dirawat di Rumah Sakit Kesdam. Sekarang sudah dievakuasi,” ujar Kolonel CKM dr Dedy Achdiat, Kepala Kesdam Iskandar Muda, Senin (17/1). Namun, pihak GAM Aceh Besar membantah. “Tidak ada kontak tembak di Montasik. Tidak benar itu,” kata Jubir GAM Aceh Rayeuek kepada acehkita.

Dari sekian banyak cerita, entah lah siapa yang memulai perang di tengah duka lara tsunami. Yang pasti, TNI bertekad menghabisi GAM. Sementara itu, GAM juga tak mau tinggal diam jika terus diburu.

Saat meliput kunjungan Penjabat Bupati Aceh Utara, Teuku Alamsyah Banta di sejumlah sekolah yang rusak disapu tsunami di Lapang dan Matang Tunong, Kecamatan Tanah Pasir, Aceh Utara, Jumat (7/1) sore, acehkita juga sempat mendengar rentetan senjata.

“Sedang ada kontak senjata antara Marinir dengan GAM,” kata seorang prajurit Kostrad yang berpos tidak jauh dari lokasi terdengarnya suara kontak senjata tersebut.

Namun seorang tokoh masyarakat Tanah Pasir menyebutkan, rentetan senjata mesin berat tersebut bukan berasal dari baku tembak antara TNI dan GAM. “Pasukan Marinir sedang mancari senjata yang hilang karena dibawa gelombang tsunami. Agar tidak ada masyarakat yang mendekat, dibunyikan tembakan,” katanya seraya menambahkan ada tiga Marinir yang tewas dalam bencana di hari Minggu itu. [diq/dan]

Catatan: Dimuat di AcehKita. Saya menulis bersama dua wartawan AcehKita lainnya.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting