Sabtu, Desember 25, 2004

Ultah

Bismillahirrahmanirrahim!


“Selamat Ulang Tahun, semoga panjang umur dan sukses selalu.” Begitu bunyi dua pesan pendek (sandek) yang nangkring di telepon genggam saya. Pengirimnya, Dyna Keumala dan Nani Afrida. Keduanya, kawan saya di Banda Aceh. Dyna, bekas kolega saya di Tabloid Modus. Sekarang dia bekerja sebagai penyiar Radio Prima FM. Sementara Nani Afrida, kawan saya yang bekerja di The Jakarta Post. Dia koresponden TJP di Banda Aceh.

Saya membalas sandek itu dengan mengucapkan terimakasih atas perhatian yang mereka berikan.

Sebenarnya, saya tidak terlalu menghiraukan dengan ulang tahun itu. Bagi saya, itu adalah masa peralihan dan pertambahan umur. Bagi saya itu tidak terlalu berarti, jika saya tidak mengisinya dengan hal-hal positif.

Saya tidak pernah membuat acara merayakan ulang tahun. Karena, sejak kecil memang keluarga saya tidak memperkenalkan hal-hal begituan dalam hidup saya. Kami sekeluarga, tidak pernah merayakannya. Paling, kalau ada anggota keluaga kami yang bertambah umur, ayah dan ibu mendoakan semoga diberi umur panjang, dan sukses dalam hidup, dunia dan akhirat. Itu lebih bermakna, saya anggap, ketimbang merayakannya.

Pun, saya mengenal tradisi ada ulang tahun ini, ketika saya pindah ke Banda Aceh untuk melanjutkan pendidikan tinggi saya. Di sana, kawan-kawan memperkenalkannya. Setiap ada kawan yang ulang tahun, mereka selalu membuat acara, walaupun kecil-kecilan. Ngajak kawan minum kopi atau makan mie rebus. Saya juga terbawa dengan itu. Tapi, saya juga tidak merayakannya.

Pernah di tahun 2001, ketika saya ulang tahun, kawan mengajak makan-makan di sebuah café. Terus terang, saya tidak punya uang, untuk bisa membayar makan-makan itu. Uang dalam kantong saya, hanya Rp 50 ribu. Kalau saya meladeni makan-makan, berarti saya harus puasa untuk dua minggu, sebelum bulan baru menjumpai. Saat itu saya masih dikirimi uang dari kampung, untuk biaya hidup di Banda Aceh.

Tak kuasa menolak permintaan kawan, saya akhirnya meluluhkan permintaan mereka. Apalagi, selama ini kawan-kawan selalu mengajak makan-makan, kalau mereka ulang tahun. Dengan sebuah sedan corolla hitam milik kawan, saya bersama enam kawan, berangkat ke Juju café. Kami memesan makanan dan minuman yang paling murah. Untung kawan-kawan mengerti.

Itu adalah acara pertama yang saya buat. Setelah itu, tidak ada lagi.

Di masa-masa selanjutnya, setiap ada yang ulang tahun, kawan-kawan kost saya, selalu menyediakan telor, tepung, dan pernak-pernik yang bau lainnya. Jika si “pemilik” ulang tahun lengah, maka semua peralatan itu, ber”sarang” di atas kepala kawan yang ulang tahun itu.

Pernah sih saya berlaku jahil terhadap kawan yang ulang tahun. Junaidi namanya. Dia kawan dekat saya. Usianya di atas saya. Tapi di bangku kuliah, dia adik letting. Saya mengajak dia jalan-jalan ke depan rumah. Saya dan kawan lainnya, Murdani (kami memanggil namanya Pon), sudah mempersiapkan sebutir telor mentah yang akan dipecahkan di atas kepalanya. Saya dengan memakai sarung, mengajak Junaidi jalan-jalan. Sebuah kode isyarat dengan tangan, saya lambaikan ke arah si Pon.

Sambil berlari, Murdani memecahkan telor di atas kepala Junaidi. Saya menghindar, supaya pecahan itu tidak mengenai saya. Dia terkejut. Tapi tidak marah. Kejadiannya, pukul 22.00 WIB.

Di lain waktu, saya dan kawan-kawan di rumah, mengerjai Rizal. Dia kami mandikan dengan air “tujuh bau dan warna” di tengah malam buta. Dia menggigil. Tapi dia tidak marah. Di lain waktu, saya dikerja kawan-kawan di rumah. Tapi, saya tidak separah yang mereka alami. Hanya sebutir telor yang pecah di atas kepala saya. Itu karena saya lengah. Tapi, kami menikmati semua itu.

Di usia 24 kemarin, tidak ada yang pecah di atas kepala saya. Pada harinya, saya sibuk kerja. Pulang udah malam. Tak berapa lama, saya tertidur. Jadi mereka tidak bisa mengerjai saya.

Di usia 25 tahun, yang jatuh hari Sabtu ini, saya tidak lagi bersama kawan-kawan dekat saya. Maklum, sejak empat bulan lalu, saya pindah tugas ke Jakarta. Saya tidak bisa menemukan kejahilan kawan-kawan yang membuat senang. Biasanya, suara tawa Junaidi yang melengking, senyuman Murdani yang rada malu-malu, “petuah” Rizal yang bak orangtua, membuat saya senang. Mereka tidak lagi berada di dekat saya. Biasanya, kalau malam menjelang, kami sering menghabiskan malam di bawah pohon jambu yang ada dekat kamar Murdani, sembari cerita dan cet langet (berangan-angan). Juga, membicarakan masalah percintaan…

Tapi, tak apalah. Di Jakarta, saya bisa berteman dengan kawan-kawan baru saya, yang sangat baik-baik.

Ulang tahun yang jatuh bertepatan dengan Hari Natal ini, juga diprakarsai kawan-kawan. Saya sebenarnya tidak hendak merayakannya.

“Kak, Radzie ulang tahun,” kata Maimun kepada Kak Ita, setelah membaca sebuah imel yang saya kirim. Imel itu berisi kartu nama elektronik dari Plaxo.

Dia lalu mengumumkan pada semua isi kantor. Maimun mengajak malam itu juga, untuk makan-makan. Tapi saya bergeming. Karena memang belum sampai tanggalnya.

“Bakar ikan aja,” kata Bang Risman. Dia bos saya di kantor.

“Ide yang bagus,” batin saya, sembari mengiyakan.

Bakar ikan, tidak banyak menghabiskan uang, pikir saya lagi.

Pagi tadi, saya meminta Bang Jol untuk membeli ikan dan tetek bengek lainnya. Dia membeli ikan tongkol. Kami membakar di belakang kantor.

Maimun dan Tuahta, banyak membantu untuk menghidupkan api. Kak Ita dan Diana, mengurus ikan dan membuat bumbu. Bang Joe, membeli panggang. Bang Jol, mencari perlatan yang belum cukup.

Ikan sudah siap untuk dibakar. Api belum juga nyala. Bara untuk memanggang ikan, belum ada. Maimun terlihat marah-marah. Dia kecapaian, menyiasati api. Tuah mondar-mandir. saya berdiri di dekat pembakaran, mulai pesimis. Jam waktu makan siang, hampir tiba. Usaha menghidupkan api, beberapa kali dicoba, gagal.

“Wah, payah api ini,” kata Maimun.

Kak Ita, Tuah dan saya hanya bisa memandang onggokan arang yang masih belum terbakar. Padahal, minyak sudah banyak kami habiskan. Bang Joe marah-marah, apinya belum nyala. Dia lalu membantu menghidupkan api. Tidak membuahkan hasil. Dia membuat bumbu untuk ikan bakar kesukaannya.

Kak Ita, menyuruh Tuah mencari minyak tanah. Maimun belum juga bisa menghidupkan api. Segala usaha telah ia lakukan.

Dua liter minyak tanah, dibeli. Maimun menumpahkan ke dalam arang. Sebutir korek kayu, dilemparkan ke dalam arang. Api menyembul, mengeluarkan asap hitam ke udara.

“Langit-langit ini sudah hitam,” kata Tuah.

Kami hanya memandangi saja. Tidak berkomentar.

Kali ini, nyala api sudah membesar. Tapi, Maimun masih pesimis, api akan menjadikan arang menjadi bara yang bisa memanggang ikan-ikan itu. dia terus mencoba menghidupkan api. Tak berapa lama, usahanya berhasil. Arang-arang tidak lagi hitam. Dia berubah memerah. Pertanda ikan siap diletakkan di atasnya.

Satu, dua, tiga, empat….sampai tujuh ikan, diletakkan di atas panggang. Ia mengipas-ngipas api, supaya memanas.

“Pake kipas angin aja,” kata saya.

Kak Ita mengambil kipas angin. Tuah mencari wayer. Klop. Sekarang Maimun bisa tertawa girang. Dia berhasil memerahkan arang hitam menjadi panas tak tertahankan.

Satu per satu ikan menghitam. Baunya menusuk hidung. Perut semakin keronconga, lapar tak tertahankan. Maimun masih setia memegang kipas angin, mengipas-ngipas ke semua penjuru api. Tak berapa lama, satu per satu ikan dipindahkan ke piring. Bang Risman, ikut membantu. Ia menjaga ikan bakar, sampai benar-benar bisa dimakan.

Wuih! Saya senang. Maimun riang. Kak Ita, juga tak kalah senang dibanding kami berdua. Kami segera beranjak ke dapur, mengambil piring dan nasi.

“Ini ala kadarnya,” kata saya kepada si bos. Si bos yang saya maksud adalah, Dandhy Dwi Laksono.

“Terimakasih. Selamat ulang tahun ya,” kata Dandhy, sembari menjabat tangan saya.

“Thanks.”

Saya makan sampai puas.

“Selama di Jakarta, baru kali ini saya makan banyak,” kata saya kepada Kak Ita dan Diana, yang duduk di hadapan saya.

***

Kami semua senang, acara syukuran kecil-kecilan ini, bisa berhasil. Padahal perasaan saya sempat dag-dig-dug.

Saya mengucapkan banyak terimakasih kepada kawan-kawan yang sudah membantu. Tanpa mereka, saya tidak bisa sesenang hari ini.

Ya Allah, panjangkan umurku. Berkahkan umurku ini, dengan amal kebaikan!
***

Sebuah sandek kembali mampir ke ponsel saya. "Met ultah ya! Bukan umur yang panjang, tapi amal plus prestasi yang banyak." Pengirimnya, MH. Saya sering memanggilnya Murizal. Dia bekerja sebagai koresponden Sinar Harapan di Banda Aceh. Sandek itu bisa menjadi pengingat, sekaligus cambuk untuk saya introspeksi diri. [r]

Jumat, Desember 24, 2004

Geger 'Kayu Haram'

Reporter: Radzie – Jakarta

Selasa (26/10) lalu, kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh di kawasan Lampriet mendadak ramai dijejali wartawan. Di salah satu ruang sempit di kantor itu, para wartawan duduk menekuri Muhammad Ibrahim, Direktur Eksekutif Walhi Aceh, Bambang Antariksa, pengacara, dan Akhiruddin, Koordinator Badan Pekerja Solidaritas Gerakan Antikorupsi (SoRAK) Aceh.

Hari itu, mereka memakai bendera Kelompok Kerja Aceh Damai Tanpa Korupsi (Pokja ADTK). Isu yang diangkat adalah hilangnya 5.221,99 meter kubik kayu sitaan di Pulau Simeulue. Akibatnya, menurut mereka, negara telah dirugikan Rp 3,5 miliar.

Bambang Antariksa yang menjadi jurubicara, lancar memaparkan ihwal penyelewengan kayu yang disita Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) pada 11 Agustus 2003 silam. Dalam sebuah operasi pencegahan illegal logging di pulau penghasil kayu terbesar di Aceh itu, PDMD menyita 18.682,42 meter kubik. Oleh PDMD, kayu bulat tak bertuan itu disita menjadi milik negara.

Cerita selesai sampai di sini. Nasib kayu itupun nyaris terlupakan. Baru di penghujung darurat militer, PDMD mengalihkan kayu sitaan itu kepada Pemda Nanggroe Aceh Darussalam. Lalu, pada tanggal 14 April 2004, Gubernur Abdullah Puteh membentuk Tim Pemanfaatan Kayu Sitaan Kabupaten Simeulue dan Aceh Singkil, melalui SK Gubernur Aceh No 522.21/144/2004.

Dari namanya saja, kata Pokja Aceh Damai, tim bentukan Abdullah Puteh ini sejak semula memang tak berniat akan melelang kayu curian itu. Yang terjadi justru pengangkutan, pengolahan dan penjualan. Dan belakangan terbukti, kayu-kayu itu memang dilego tanpa lelang. Padahal, menurut UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 79 ayat (1), setiap kayu hasil sitaan harus dilelang oleh negara.

Tapi nyatanya, penjualan itu hanya didasarkan pada SK Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) No DD 1152211 tertanggal 19 Mei 2004 oleh Dinas Kehutanan NAD cq Dinas Kehutanan Simeulue. Lalu dikuatkan oleh Abdullah Puteh, selaku PDSD saat itu, yang mengirimkan surat kepada menteri keuangan dan menteri kehutanan tentang pemutihan kayu sitaan tersebut. Surat itu bernomor 522.21/159-PDSD/2004, tanggal 28 Juni. Yang menarik, saat surat itu belum lagi sampai ke Jakarta, kayu-kayu tersebut sudah berada di Banda Aceh sejak 26 Mei.

Siapa Pembelinya?
Dalam dokumen yang diterima acehkita, proses pelegoan kayu negara itu dimulai pada Mei 2004, saat kayu-kayu itu dipindahkan dari Pulau Simeulue ke Banda Aceh melalui pelabuhan Ulee Lheue. Tahap pertama, kayu gelondongan itu dibawa dengan tug boat Panton, sebanyak 2.221,99 meter kubik. Kayu log dikirim ke alamat PT Kuala Batee Indonesia, milik seorang penguasa bernama Akmal di Jalan Tengku Chik Di Tiro, 24, Banda Aceh.

Menurut taksiran Pokja ADTK, kayu itu bernilai Rp 1,5 miliar dengan asumsi harga Rp 500 ribu per meter kubik. Anehnya, belakangan kayu yang dialamatkan ke PT Kuala Batee Indonesia itu, juga berada di lokasi CV Rahmah Furniture milik H. Anwar dan PT Budi Triksati yang beralamat di Krueng Raya, Ladong, Aceh Besar.

Nah, inilah yang menjadi masalah di kemudian hari. Selain kayu-kayu tersebut dijual tanpa melalui proses lelang, Pokja ADTK juga mencium gelagat tak baik dari perusahaan-perusahaan pembeli itu. PT Kuala Batee Indonesia misalnya, disebut-sebut sebelumnya tidak mencantumkan alamat jelas dan belum memiliki izin Perdagangan Kayu Antar-Pulau (PKAPT). Padahal, pencantuman nomor PKAPT pada SKSHH (Surat Keputusan Sahnya Hasil Hutan) adalah wajib.

Lagipula, menurut Pokja ADTK, kapal yang digunakan untuk mengangkut kayu tersebut diduga juga tak jelas juntrungannya. Menurut aturan, pengangkutan kayu antar pulau harus melalui perusahaan angkutan laut nasional yang memiliki Surat Izin Usaha Perusahaan Angkutan Laut (SIUPAL) atau Surat Izin Operasi Perusahaan Angkutan Laut Khusus (Siopsus) atau Pelayaran Rakyat (Pelra).

Silang sengkarut ini dilanjutkan pada bulan Agustus 2004, di mana sebanyak 3.000 meter kubik kayu sitaan itu kembali masuk ke Banda Aceh, dengan taksiran nilai mencapai Rp 2,02 miliar setelah ditambah Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH).

Yang lebih miris, setelah PDMD menyita kayu haram itu, kasusnya sendiri justru terkatung-katung dan tak terdengar tindak lanjut pengusutan terhadap para pihak yang terlibat. Nah, belum lagi selesai yang satu, kini ditimpali dengan kasus penjualan tanpa lelang ini.

“Kita mendorong Kajati untuk mengusut tuntas kasus ini, sampai ke pengadilan. Kita akan bantu supaya pelaku illegal logging ini ditangkap,” kata Muhammad Ibrahim, Direktur Eksekutif Walhi Aceh ketika dihubungi acehkita telepon selular, Senin (29/11).

Lalu untuk kasus penjualan zonder lelang ini, Ibrahim menaksir kerugian negara yang ditimbulkan tak hanhya mentok pada angka Rp 3,5 miliar. “Itu angka minimal yang kita hitung,” katanya.

Lalu, siapa yang harus bertanggungjawab dalam penjualan kayu tanpa lelang ini? Ibrahim mengatakan, Gubernur Abdullah Puteh dan Wakil Gubernur Azwar Abubakar adalah orang yang paling bertanggungjawab. “Mereka sangat bertanggungjawab terkait kasus ini,” tegasnya.

Dalih bahwa kucuran dana hasil penjualan kayu ilegal itu digunakan untuk operasi kemanusiaan, tak terlalu dipercaya Ibrahim. “Kalau membangun fasilitas kemanusiaan yang dana proyeknya ada, tidak boleh. Tapi kalau tidak ada dananya, silakan saja. Seharusnya, membangun rumah korban konflik, bisa menggunakan kayu ini,” katanya.

Selain menohok Puteh dan Azwar Abubakar, Pokja ADTK juga mencatat sedikitnya 15 orang yang juga harus dimintai pertanggungjawaban.

Mereka adalah Kepala Dinas Kehutanan Aceh, Ir Mustafa Hasjubullah, Ir Husni Syamaun (Kepala Sub Dinas Pengusahaan Hutan Dishut Aceh), Ir Ibnu Abbas (Kadis Kehutanan Simeulue), Hermansyah (Kepala Sub Dinas Pengusahaan Hutan Dishut Simeulue), Syamsuddin AG (staf Dishut Simeulue), dan Yuswin (staf Dishut Aceh).

Sementara di kalangan pengusaha, Pokja ADTK memasukkan Direktur PT Kuala Batee Indonesia, Akmal, sebagai pihak yang layak dimintai tanggungjawab. Selain itu, ada nama H Anwar (Direktur CV Rahmah Furniture), Direktur PT Budi Trisakti, H Datuk NG Razali (PT Panton Teungku Abadi), Reinir Aminsyah (PT Simeulue Kekal Mandiri), serta Welly Utomo (PT Simeulue Kekal Mandiri).

Masih ada lagi; Margono (PT Langkis Inti Persada), HT Burdansyah (PT Langkis Inti Persada), Nurdin Harahap (CV Angga) dan Ansaruddin (Koperasi Aurivan Bersamo).

Dibantah
Tentu saja pemerintah daerah tak tinggal diam menghadapi tudingan ini. Kepala Biro Hukum dan Humas Sekretariat Pemda Aceh, Hamid Zein mengatakan tidak benar Gubernur Abdullah Puteh dan Wagub Azwar Abubakar harus bertanggungjawab dalam kasus ini.

Kata Zein, kasus ini sudah dikelarkan melalui rapat Muspida yang dihadiri Gubernur, Wagub, Pangdam Iskandar Muda, Kapolda, Kepala Kejaksaan dan unsur BPKP. Menurut rapat itu, tidak ada masalah sama sekali mengenai penjualan kayu tersebut.

Karenanya, “Tuduhan dan data-data itu tidak benar sama sekali,” kata Hamid Zein kepada acehkita.

Lalu, bagaimana dengan penjualan tanpa lelang?

Menurut Hamid Zein, hal itu dilakukan karena pihak Pemda Aceh atau PDSD sudah mengantongi kewenangan. “Kita sudah dikasih kewenangan. Namun kewenangan itu bukan secara normal. Artinya, kewenangan itu berdasarkan UU Kedaruratan. Jadi, dari PDMD yang kemudian PDSD, sebagai turunannya, dapat menggunakan hukum darurat itu,” elaknya.

Bahkan, menurutnya, Panglima Kodam Iskandar Muda, Mayjen Endang Suwarya juga berpendapat bahwa penjualan itu tidak ada masalah sama sekali. “Itu dalam konferensi pers sudah dikelarkan,” terangnya.

“PDSD tidak bisa sembarangan menggunakan dalih status darurat. Tindakan penguasa darurat tetap tidak dapat dibenarkan jika melanggar peraturan perundangan yang sudah ada. Maka, tindakan PDSD yang ‘melegalkan’ kayu sitaan itu dan menjualnya kepada pihak ketiga adalah Perbuatan Melawan Hukum berupa tindak pidana korupsi,” bantah Pokja ADTK. [r]


Dimuat di Majalah AcehKita Edisi Desember 2004

Kamis, Desember 23, 2004

Sampai Kapan Petani Pala Dipalak

Reporter: Radzie - Banda Aceh

DANU, sebut saja namanya begitu, adalah mahasiswa sebuah peguruan tinggi swasta di Banda Aceh. Sudah tiga bulan terakhir kiriman uang dari orangtuanya datang tida tepat waktu. Sebelumnya, dia selalu menerima kiriman dari kampung pada awal bulan. Kini uang dari kampung itu ditrimanya di akhir, itu pun dengan nominal yang jauh berbeda dari sebelumnya. Danu sepenuhnya bisa memahami kenapa kiriman untuknya jadi macet.

Jatah biaya hidupnya di Banda Aceh berkurang karena pendapatan orangtuanya seret beberapa bulan terakhir. Ayahnya bekerja sebagai petani pala di Blang Pidie, Aceh Barat Daya (Abdya).

Ketika harga pala melambung tinggi, ayah Danu acap mengirimnya uang lebih. Sehingga dalam beberapa saat, Danu tidak penah kehabisan uang sebagai pangkal hidupnya di Banda Aceh. Selama itu pula, Danu seringkali bisa menabung uang kiriman. Tabungannya itu pun bisa dipakai untuk membeli buku antara satu sampai dua judul dalam sebulan.

Namun, kondisi keamanan di kampungnya mengubah realitas hidup Danu. Dengan kiriman pas-pasan, ia mengatur pengeluarannya secara ketat. Hobinya mengoleksi buku, kini harus ia kubur dalam-dalam.

Seperti halnya Danu, Nasri (juga bukan nama sebenarnya), pun mengalami nasib serupa. Nasri kuliah di sebuah akademi swasta di Banda Aceh. Kiriman dari orangtuanya belakangan sering terlambat. Akibatnya, ia kerap kali harus berhutang pada temannya.

"Ayah saya susah mencari uang di kampung," kata Nasri.

Ayah Nasri sehari-hari juga berpofesi sebagai petani pala di kabupaten hasil pemekaran dari Aceh Selatan itu.

****

DI Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya, pala adalah komoditas yang sempat menjadi primadona. Bahkan, tingkat kepemilikan kebun pala juga menunjukkan tingkat status sosial masyarakat tersebut. Tanaman yang satu ini juga diakui sebagai lambang kebonafidan suatu keluarga, lambang martabat dan juga kehormatan. Makin banyak dan luas lahan pala yang dipunyai, maka makin disegani dalam tatanan masyarakat Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya.

Di masa lalu, 80 persen kebutuhan pala dunia dipenuhi dari Indonesia. Saat ini, berdasarkan data Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Aceh Selatan adalah harapan kedua bagi Indonesia setelah Provinsi Maluku sebagai penghasil pala. Memang hasil pala pernah mengakibatkan negara ini dijajah Inggris dan Belanda. Pala adalah salah satu bahan rempah yang diincar bangsa Eropa di masa itu.

Pada tahun 2001, Aceh Selatan masih menghasilkan 4.937 ton pala. Menurut data Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Aceh Selatan, hasil ini berasal dari 4.424 hektar lahan yang ditumbuhi tanaman pala yang sudah menghasilkan. Selain itu terdapat 2.289 hektar lahan pala yang belum menghasilkan.

Saat ini kondisi tanaman pala sudah sangat memprihatinkan. Sebabnya antara lain serangan penyakit dan hama yang menyebabkan banyak tanaman pala mati dan atau tidak bisa seproduktif sebelumnya. Kumbang Bathocera Sp adalah salah satu hama yang selama ini sangat serius menggerogoti rerimbunan tanaman pala yang menjanjikan.

Mewabahnya hama kumbang ini, disebabkan oleh menipisnya populasi Cicem Pala (burung murai batu –red). Cicem Pala banyak diburu manusia karena kemerduan suaranya dan kemolekan tubuhnya.

Berdasarkan data yang ada pada Dinas Perkebunan dan Kehutanan Aceh Selatan, selama enam tahun (1994-2000) rata-rata terjadi penurunan produksi 325 ton setiap tahun atau setara dengan kehilangan uang Rp 6,5 milyar. Data juga menyebutan sebanyak 15.443 keluarga petani menggantungkan hidup pada tanaman pala.

****

MENURUT Nasri, saat ini bukan hanya ayahnya saja yang susah mencari penghasilan di kampung. Menurutnya, dalam beberapa bulan terakhir ini petani pala di kampungnya tidak lagi leluasa dalam mengurus kebun pala di gunung.

Apalagi, "Kalau pergi ke gunung, kita harus melapor ke pos tentara di kampung."

Mereka juga, kata Nasri, diharuskan meninggalkan kartu tanda pengenal (KTP) di pos tentara. Jika ini tidak dipatuhi oleh petani dan petani pala, bisa-bisa mereka akan dituduh sebagai pemasok logistik bagi pasukan gerilyawan. Setelah selesai mengurus tanaman pala, para petani pala pun diwajibkan melapor jumlah timbangan biji pala yang mereka peroleh hari itu.

"KTP yang ditinggal itu, nanti ketika pulang dari gunung ambil lagi," katanya.

Mereka juga ditanyai seputar tujuan mereka di kebun. Juga, mereka diberi batas waktu berkebun.

"Jika batas itu dilanggar, katanya mereka tidak mau bertanggung jawab," ujar Nasri, tanpa memerinci maksudnya.

****

KISAH miris itu terus berlanjut dengan episode lainnya. Yang tragisnya, kata Nasri, petani pala mesti memberi upeti untuk setiap kilo dan jumlah bambu biji pala yang dibawa pulang. Upeti atau komisi itu, pada mulanya diperkenalkan oleh pasukan gerilyawan.

Nasri tidak mau mengada-ada. Di suatu hari di tahun 2001, ia pernah diminta upeti oleh pasukan gerilyawan. Upeti itu berupa komisi dari harga jual pala.

"Mereka meminta setiap kilo pala, sebesar Rp 500," katanya.

Jika tidak memberi upeti, mereka juga diharuskan menjual biji pala kepada agen yang telah ditentukan mereka.

"Harga pala di agen itu, lebih murah jika dibanding pada agen lainnya," Nasri menuturkan.

Pada tahun 2001 itu, harga biji pala basah per kilogram mencapai Rp 7.500 sampai Rp 8.000. Upeti yang harus disisihkan kepada gerilyawan, sebesar Rp 400. Sementara Rp 100 adalah keuntungan yang diambil oleh para agen. Dalam sehari, biasanya petani pala bisa membawa hasilnya sekitar 30 sampai 50 kilogram biji pala basah.

Ia pernah berusaha menolak pemintaan upeti ini. Ceritanya, usai dari gunung, ia membawa pulang biji pala sekitar 30 kilogram. Namun, ia tidak mau memberitahu kepada awak nanggroe itu. Namun, upaya sembunyi Nasri akhirnya diketahui juga oleh anggota gerilyawan. Tak pelak, mereka mendatangi rumah Nasri dan meminta jatah upeti itu.

"Saya tetap bersikeras tidak mau memberikan upeti itu," kenangnya. Atas sikapnya ini, ia diancam akan dihabisi.

"Mereka mengancam, kalau saya tidak kasih komisi ke mereka, saya akan ditembak," ujar Nasri, dengan suara agak gemetar, menahan kegeramannya ketika mengingat kisah ini.

Nasri terus bertahan dengan pendiriannya. Ketika itu, kisahnya, ia tidak lagi mendengar omongan para gerilyawan itu dan langsung beranjak keluar dari rumahnya.

Di luar dugaannya, ternyata sang ayah akhirnya memenuhi pemintaan pasukan gerilyawan.

"Mungkin ayah takut saya diapa-apakan, lalu ayah memberi apa yang mereka minta," kata Nasri, sambil meneguk segelas kopi di sebuah warung di pinggiran kota Banda Aceh.

Sesaat Nasri terdiam. Ia meneguk kopi aceh yang ada di gelasnya. Itu adalah tegukan terakhir. Sembari menerawang, ia menyulut rokok kesayangannya.

Sejak awal tahun 2003, keadaan di kampungnya berubah. Jika dulu gerilyawan yang berkuasa, kini pasukan pemerintah yang memegang peranan. Mereka juga meminta imbalan dari penghasilan para petani pala. Nasri tidak habis pikir. Menurutnya, seharusnya aparat keamanan itu bisa memberikan jaminan keamanan dan pengayoman kepada masyarakat yang kini sangat terjepit itu.

Namun, "Ternyata mereka juga meneruskan perilaku gerilyawan," katanya, sambil tersenyum getir.

Kini, kata Nasri, pihak tentara juga meminta jatah dari petani pala yang ada di daerah itu. Jatah komisi yang harus dibayar petani, juga masih berkisar antara Rp 400 sampai Rp 500 per kilogram atau are biji pala basah.

Modus operandi yang dilakonkan pasukan berseragam ini, dengan menginstruksikan kepada petani pala untuk menjual pala kepada agen yang telah ditentukan. Nanti, agenlah yang akan menyetor uang persenan kepada aparat. Ini adalah bentuk lain dari monopoli pembelian pala.

Salah seorang petani pala di Blang Pidie menuturkan, sejak adanya monopoli pembelian pala, pendapatan petani pala otomatis berkurang. Betapa tidak, mereka harus menyetor sejumlah Rp 400 kepada aparat keamanan. Komisi ini, kata petani itu, diambil dengan alasan uang pengamanan.

Para petani pala di Abdya menyebutnya dengan Undang-Undang (UU)!

"UU" ini keluar setelah digelar musyawarah para petua kampung untuk menanggung beban bersama. Jika para petani pala tidak bersedia membayar komisi ini, aparat itu akan mengambil komisi dari agen atau toke. Praktis, kondisi ini juga akan membuat anjloknya harga beli biji pala. Atas dasar itu, mereka sepakat untuk "rela" dipajaki.

"Sebab jika tidak dibebabkan kepada petani pala, nanti yang menjadi korban ya toke pala," kata salah seorang petua masyarakat di Blang Pidie.

Keputusan bersama ini diambil setelah diadakannya musyawarah antara petani pala dengan toke atau agen yang menampung hasil pala dari petani.

"Ini dilakukan untuk menghilangkan beban yang terlalu besar kepada toke pala. Kami harus memotong dari hasil penjualan pala penduduk agar pihak toke tidak begitu berat beban," ujarnya.

Terasa terdengar wajar apa yang dikemukakan petua masyarakat itu. Hal ini juga disebabkan oleh adanya pajak dua arah.

"Tahu sendirilah kami harus juga membayar untuk si A dan juga si B," katanya, lagi.

Lalu, bagaimana cara mereka bisa menentukan untuk menarik komisi?

Simak apa yang dikemukakan salah seorang agen pala berikut ini.

Menurut toke yang enggan disebutkan namanya ini, pihaknya selalu membeli pala berdasarkan aturan tidak tertulis yang telah digariskan. Artinya, setiap proses transaksi jual-beli pala ini, harus dicatat. Toke memberi sedikit catatan transaksi kepada si penjual atau petani pala. Lalu, petani pala menyerahkan kertas catatan itu kepada tentara ketika akan mengambi KTP yang dititipkan di pos tentara, pada saat akan ke gunung. Nah, berdasarkan catatan itu, si tentara akan mengambil retribusi atau komisi dari agen.

Akibat adanya pemungutan komisi tidak resmi ini, tak pelak memberi uang ekstra kepada aparat yang bertugas di daerah itu. Seorang penduduk Blang Pidie mengemukakan, ia memprediksi per hari, aparat keamanan berhasil meraup untung mencapai Rp 2 juta sampai Rp 3,5 juta.

"Kami telah dijadikan sapi perah mereka," tutur lelaki paruh baya ini.

Kondisi ini, telah berlangsung lama, sejak September 2003 hingga sekarang.

"Kami sangat tersiksa dengan perilaku ini. Ke mana kami harus mengadu?" katanya.

Tentu kondisi ini membuat masyarakat petani pala tidak bisa bekerja secara leluasa. Juga, mereka mengakui dengan adanya setoran ini, jadi malas ke gunung. Bahkan, mereka juga kadangkala dilarang ke gunung untuk jangka waktu tertentu. Praktis kondisi ini, bisa menciptakan banyak pengangguran di daerah penghasil pala terbesar di Aceh itu.

"Sekarang banyak dari kami yang sudah menjadi pengangguran," kata seorang pemuda.

Ia lalu mengumpamakan dengan pepatah orang tua dulu.

"Buya krueng teudong-dong, buya tameung meuraseuki (Buaya darat tidak dapat apa-apa, sementara buaya (pendatang) banyak dapat rezekinya)," kata pemuda itu mengumpamakan.

Ia berharap, kondisi ini tidak berlangsung lama lagi. Menurutnya, masyarakat sudah tidak bisa menahan lagi ketersiksaan yang sudah sangat besar ini.

"Kami sudah sangat tersiksa di sini sejak pemberlakuan darurat militer," lanjutnya.

****

SUDAH jatuh tertimpa tangga. Itulah perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan kondisi petani pala di Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya selama ini. Musibah alam berupa kumbang Bathocera Sp menyebabkan banyak tanaman pala yang tidak berproduksi secara maksimal. Lalu, ditambah dengan pemalakan tanpa henti yang dialami petani pala. Pala yang bisa dibuat menjadi minyak pala, sirup dan manisan itu, pun terancam kelestariannya. [r]

Rabu, Desember 08, 2004

Ada yang Tidak Tahu Konflik Aceh

Reporter: Radzie - Jakarta

“Payah TNI, main tembak aja. Belum tentu bersalah juga,” kata seorang anak jalanan, seakan memberi penjelasan kepada kawannya, ketika melihat foto dua Tenaga Pembantu Operasi (TPO) yang diduga tewas ditembak anggota GAM.

Beberapa anak jalanan sibuk memelototi pajangan foto yang dipamerkan di stan acehkita, Sabtu (28/8) di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta. Pandangan mereka, tertuju pada sebuah foto mayat yang berdarah-darah.

“E, ini di mana, ya?” tanya salah seorang anak jalanan itu kepada kawannya.

“Di Iraq, kali,” sahut yang lainnya. “Ambon!”

“Bukan! Ini di Aceh,” kata kawannya yang satu lagi. “Baca tulisan di bawah foto.”

Anak yang memakai baju kaos bercelana pendek itu, lalu termangut-mangut. Ia lalu membaca caption foto yang ada di bawahnya. Raut wajahnya, seketika berubah. Dahinya berkerut, begitu tahu kejadian itu di Aceh, sebuah provinsi yang terletak di ujung barat Indonesia.

“Ngeri,” katanya, sambil berlalu meninggalkan stan acehkita.

Hari Minggu (29/8), sekitar lima anak jalanan yang lain datang melihat-lihat pameran Bazar Media yang diselenggarakan dalam rangka memperingati 10 tahun keberadaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Seorang anak yang bertubuh tinggi kurus, terlihat seakan menjadi “penunjuk” jalan bagi kawannya untuk melihat foto-foto menarik.

Satu per satu foto yang menurutnya menarik, diperlihatkan kepada empat kawannya. Rata-rata anak ini menunjuk foto mayat. Bahkan, ia juga menunjuk gambar dua tengkorak yang ditemukan di Lhok Ndoe, Simpang Tiga, Sibreh Aceh Besar. Kedua tengkorak warga sipil yang diduga dibantai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini, ditemukan dalam satu liang.

Dua buah foto yang menampilkan dua Tenaga Pembantu Operasi (TPO) yang tewas ditembak GAM, membuat anak jalanan ini berkomentar pedas. Ia tidak lagi membaca keterangan foto yang dibuat acehkita.

“Payah TNI, main tembak aja. Belum tentu bersalah juga,” katanya seakan memberi penjelasan kepada kawannya yang berdiri di samping kanannya. Anak-anak jalanan itu, diperkirakan masih berumur delapan atau sembilan tahun.

Kawannya yang berpakaian lusuh, terlihat hanya mengangguk. Matanya masih menatap sebuah foto yang menampilkan mayat yang mengucurkan darah segar. Lama ia menatap foto yang mengerikan itu. Ia baru tersentak kaget, setelah tanggannya dihentak seorang kawan lainnya.

“Lihat yang lain aja,” ajak kawannya.

Lima anak jalanan itu, akhirnya meninggalkan stan acehkita.

Tak berapa lama setelah lima anak jalanan tersebut meninggalkan stan acehkita, seorang pria berpakaian rapi, datang melihat-lihat pajangan foto.

“Wah, ternyata ada ya, foto-foto korban seperti ini. Saya tanya sama salah seorang kawan saya di sana, katanya tidak ada,” kata pria itu terheran-heran.

Penjaga stan acehkita, lalu menceritakan, bahwa banyak rakyat sipil yang menjadi korban semasa pemberlakuan darurat militer di Aceh. Ini, kata penjaga stan itu, hanya beberapa foto saja yang dipajang dari sekian banyak foto serupa yang dimiliki acehkita.

“Kalau mau lihat lagi, Bapak buka situs kami aja,” kata salah seorang staf acehkita.

Lelaki itu hanya bisa termangut-mangut. Ia masih terus memelototi foto demi foto yang dipajang di stan berukuran 2x2 meter itu.

“Ini haluannya ke mana. Kiri atau kanan? Atau, tengah-tengah aja,” tiba-tiba lelaki berkulit putih itu, bertanya.

“Kita hanya berpihak kepada rakyat sipil,” kata staf acehkita, menjelaskan.

Mendengar penjelasan ini, lelaki itu, pamit, setelah melihat-lihat kesemua foto dan karikatur satir yang ada di stan itu.

Stan acehkita termasuk salah satu stan yang paling banyak dikunjungi, selain stan Tabloid Pulsa. Pasalnya, di stan tabloid ini, saban sore sejak pukul 18.00-19.00 WIB diadakan pelelangan telepon selular.

Stan acehkita pada Sabtu (28/8) atau hari keempat pameran, sempat dikunjungi Sri Bintang Pamungkas, mantan aktivis Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang pernah dijebloskan ke penjara semasa rezim Soeharto. Selain Bintang, Liem Soei Liong dari Tapol Internasional (LSM HAM yang bermarkas di London) juga menyempatkan diri berkunjung.

Pengunjung stan acehkita, terlihat membludak di hari pertama dan kedua. Untuk mengantisipasi ini, acehkita meminta “ruang” lainnya untuk menempel beberapa foto lain. Akhirnya, Panitia dari AJI memperbolehkan acehkita menempel empat frame foto di dinding samping stan Tempo Inti Media yang berada persis di depan stan acehkita.

Dalam acara Bazar Media yang diikuti 33 lembaga pers dan penerbitan itu, Acehkita menampilkan sebanyak 106 lembar foto. Foto yang paling dominan dipamerkan adalah foto rakyat sipil yang menjadi korban semasa setahun pemberlakuan darurat militer, yang diperpanjang lagi dengan darurat sipil. Sejak 19 Mei 2003 hingga 18 Mei 2004, Pemerintah Pusat memberlakukan status darurat militer di Aceh. Pada 19 Mei 2004, Jakarta menurunkan status Aceh, menjadi Darurat Sipil selama enam bulan, yang akan berakhir pada 18 November 2004 mendatang.

Namun, ada juga beberapa foto yang bersifat human interest, seperti foto Muhammaddin, salah seorang pemulung di Banda Aceh, yang diabadikan melalui rekaman lensa Fajar M, usai perayaan HUT RI ke-59 di Blang Padang Banda Aceh.

Foto kematian Ersa Siregar, dan pembebasan Ferry Santoro, reporter dan kameramen RCTI, juga menarik minat pengunjung, selain foto-foto bernuansa pemilu presiden putaran pertama, 5 Juli lalu.

Bahkan, seorang ibu yang berkunjung bersama dua anak gadisnya, terlihat terus mengamati foto-foto yang menampilkan dua wartawan stasiun televisi swasta nasional pertama di Indonesia itu. Padahal, seorang anak gadisnya, terlihat menarik tangan sang ibu mengajak melihat-lihat ke stan lain.

“Entar dulu. Ini lihat mayat Ersa,” kata sang ibu memberi penjelasan kepada anak gadisnya yang sudah tidak sabaran itu.

Foto Ersa yang dipajang adalah foto ketika Ersa disalatkan oleh masyarakat dan perwira serta prajurit TNI di Makodim 0103 Aceh Utara. Usai melihat gambar Ersa dan Ferry Santoro, ibu itu bukannya memenuhi keinginan anak-anaknya. Ia terus saja melihat-lihat foto-foto lainnya.

Beberapa foto korban penembakan, seperti foto jepretan Misrie yang mengabadikan seorang korban yang otaknya terburai, terpaksa ditutup dengan kertas, agar tidak terkesan vulgar dan sadis. Beberapa pengunjung, termasuk wanita, malah menyempatkan diri untuk menyibak kertas putih itu, untuk melihat foto-foto otak terburai itu.

Banyak yang bersimpati dengan kejadian di Tanah Seulanga. Seorang pengunjung yang mengaku dari sebuah lembaga swadaya masyarakat yang konsern dengan Hak-hak Asasi Manusia (HAM) di Jakarta, sempat meminta acehkita untuk memberikan data-data tentang pelanggaran HAM di Aceh.

Bahkan, seorang perempuan muda, terlihat betah berlama-lama di depan pajangan foto yang banyak menampilkan kematian itu. Perempuan yang memakai baju merah dipadu celana panjang berwarna hitam, justru seakan tidak mau melewatkan satu pun foto-foto hasil jepretan kontributor acehkita di Aceh.

Namun, tidak jarang, pengunjung juga tidak sanggup melihat tampilan foto-foto yang dipajang acehkita tersebut.

“Takut,” kata salah seorang gadis yang menjaga salah satu stan yang berdekatan dengan stan acehkita.

Tidak semua pengunjung yang menyatakan rasa simpatinya terhadap penderitaan korban di Aceh. Salah seorang pria malah sempat mencibir.

“Kalian jual data ke negara asing, ya?” cibir pria itu.

Mungkin sebelum melontarkan pertanyaan ini, pria berbadan tegap tersebut, terprovokasi dengan sebuah tulisan yang dipajang di antara 17 frame foto yang dipamerkan acehkita.

“Bagaimana selama ini kalian bisa berjalan? Karena menukarkan data, kan? Sama seperti… (menyebutkan sebuah LSM –red.),” timpalnya lagi.

Mendengar beberapa pertanyaan yang dicecar, dua staf acehkita yang menjaga stan ketika itu hanya bisa senyam-senyum.

Tidak sedikit pula yang mempertanyakan kebenaran foto tersebut. Salah seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Jakarta, bahkan mengaku tidak percaya di Tanah Serambi Mekkah ada banyak korban berjatuhan seperti yang tengah disaksikan di hadapan matanya itu.

“Ini benar di Aceh?” tanya mahasiswi itu, seakan tidak percaya.

Pasalnya, menurut penuturan mahasiswi itu, dia tidak mendapatkan informasi seperti ini, di media nasional dan ibu kota lainnya.

“Bagaimana foto-foto ini bisa diambil?” dia bertanya dengan wajah yang serius, masih tidak percaya.

Penjaga stan acehkita lalu menjelaskan bagaimana media yang konsern memberitakan perang di Tanah Seulanga, ini mendapatkan foto-foto yang bagi sebagian orang “mengerikan” itu.


***

Minggu (29/8), pukul 18.30 WIB. Bazaar Media AJI, ditutup. Belasan lembaga yang ambil bagian dalam bazaar itu, sibuk mengepak barang-barangnya. Puluhan pengunjung, masih tampak melihat-melihat beberapa stan yang belum tutup. Beberapa pengunjung, malah makin memadati stan acehkita. Padahal, Tuahta Arif dari Acehkita, sudah mengepak beberapa barang. Namun, ia urung mencopot 17 frame foto. Pasalnya, sekitar 10 pengunjung masih terus melihat-lihat koleksi acehkita itu.

“Sebentar lagi aja,” kata Tuah kepada kawannya.

Satu per satu pengunjung mulai meninggalkan stan acehkita. Tuah pun, akhirnya mencabut frame foto yang dipasang di dinding partisi ruang utama.

Sebelumnya, pada pukul 17.30 WIB, usai temu presenter, panitia AJI secara resmi menutup acara bazar yang berlangsung selama lima hari itu. Bazar Media yang dibuka Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Ratna Sarumpaet yang juga sutradara Teater Satu Merah Panggung yang pernah mementaskan Alia Luka Serambi Mekkah, diikuti 33 lembaga pers dan penerbitan di Jakarta, dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia. Di antaranya, Tempo Inti Media, Majalah Trust, Forum, Bussiness Week edisi Indonesia, Sinar Harapan, The Habibie Centre (THC), Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), LKiS Yogyakarta dan Mizan Bandung.

Sebelumnya, Bazar Media juga diramaikan dengan bedah diskusi, bedah buku Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa dan Gelombang Kematian: Media Pengobar Genosida di Yugoslavia. Ada pemutaran film Fahrenheit 9/11 karya Michael Moore yang monumental dan sebuah film dokumenter tentang Veronica Guerin, seorang wartawan investigasi asal Irlandia yang tewas karena membongkar mafia obat bius, selain temu presenter dengan sejumlah presenter dari RCTI, SCTV, Metro TV dan beberapa televisi lainnya. [r]

Jumat, Desember 03, 2004

Mencapai Perbatasan [1]

9 November 2004
PERJALANAN dari Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng Jakarta ke Bandara Polonia Medan, terasa berjalan lama. Pikiran saya terus melayang supaya bisa segera berkumpul bersama keluarga, orang yang saya cintai dan orang-orang terdekat saya.

Jarum jam masih menunjukkan angka 09.12 WIB, ketika saya keluar dari lambung pesawat Adam Air yang mendarat di Bandara Polonia Medan.

Saya bergegas menuju ke tempat pengambilan bagasi dan segera saja meluncur ke Rumah Sakit Islam Malahayati yang terletak di Jalan Diponegoro Medan. Di sana, saya dan dua kawan akan mengambil tiket bus dengan menggunakan jalur darat. Keluarga kawan saya di Medan, sudah menunggu di rumah sakit itu.

Selembar tiket bus Kurnia, untuk dua orang, diberikan kepada kawan saya. Kami lalu mengganti biaya.

Jalur darat kami pilih, karena tiket pesawat Jakarta-Banda Aceh, sangat mahal, untuk ukuran saya. Wajar, karena menjelang perayaan Idul Fitri yang jatuh pada tanggal 14 November 2004.

Sekitar pukul 12.03 WIB, kami berangkat ke Jalan Gajah Mada, tempat bus Kurnia mangkal. Lama juga kami berada di sana. Seharusnya, pukul 12.30 WIB bus sudah meninggalkan poolnya. Namun entah kenapa, baru pada pukul 13.00 WIB, bus baru berangkat.

Dalam perjalanan, saya mencoba memejamkan mata. Di luar bus, rintikan hujan membasahi jalanan yang membawa saya keluar dari Sumatera Utara. Mata saya sangat lelah. Maklum, malam sebelum berangkat, saya hanya sempat tidur satu jam, karena harus menyelesaikan pekerjaan yang akan saya tinggalkan selama dua pekan.

Seteklah bisa memejamkan mata sekitar 30 menit, saya kembali terjaga. Bus berhenti di sebuah SPBU, mengisi bahan bakar dan perbaikan kecil sebelum melanjutkan perjalanan jauh. Hujan masih belum berhenti ketika saya terjaga. Bus tak segera berangkat. Pikiran saya terus berkeliaran ke kampung halaman. Perjalanan akan memakan waktu sekitar 11 jam. Benar-benar akan menjadi hari yang melelahkan, sepanjang hidup saya.

Pukul 14.00 WIB, bus baru berangkat. Hujan sudah agak mereda. Jalanan licin, membuat sopir yang saya taksir berumur 40-an tahun berhati-hati dalam menekan pedal gas.

Mata tidak lagi terpejam. Saya mencoba tidur, tapi tidak bisa. Saya segera ingin mencapai perbatasan. Keinginan untuk cepat sampai perbatasan bukan tanpa alasan. Ketika singgah di RSI Malahayati, seorang dari Aceh mewanti-wanti razia identitas yang dilancarkan aparat keamanan.

“Pake KTP apa?” tanya orang itu.

“Merah Putih,” jawab saya.

Dia terdiam. Saya melihat dia agak tersenyum.

“Kalau KTP Kuning atau KTP luar Aceh, perjalanan akan lebih aman,” ujarnya.

Saya hanya bisa memandangi kawan yang duduk di samping. Kami membisu.

“Kalau KTP Merah Putih, biasanya harus ada surat jalan, kalau bepergian jauh,” lanjutnya lagi.

“Kami sudah lama tinggal di Jakarta,” balas kawan saya.

Tidak ada jawaban dari orang itu. Kami lalu bertanya, bagaimana situasi di jalan. Di daerah mana saja yang sering dilakukan razia atau pemeriksaan identitas.

“Tidak bisa dipastikan,” katanya.

Benar-benar gelap! Ini adalah perjalanan pertama saya dari Medan ke Banda Aceh, melalui jalur darat. Saya tidak tahu medan yang akan saya lewati. Namun, saya agak sedikit lega, setelah barang bawaan saya tidak ada yang berbahaya. Hanya baju. Selebihnya tidak ada. Sebelumnya, saya menyerahkan satu unit handphone kepada kawan, yang menjemput di Medan. Telepon itu, milik dia, yang dia titip beli di Jakarta. Ketika di Medan, saya berikan kepadanya.

***

Bus tidak segera mencapai perbatasan. Saya makin gusar, karena tidak sabar ingin segera mencapai perbatasan. Laju bus AC itu, lambat. Benar-benar membuat saya tidak sabar. Saya mencoba memejamkan mata. Tapi tetap tidak bisa. Entah kenapa. Di luar, hujan masih membasahi bumi. Entah kenapa, kali ini saya ingin hujan tidak berhenti.

“Kalau hujan, tidak ada razia,” batin saya.

Saya terus memandangi suasana jalan dan mengamati setiap kampung yang saya lewati. Setiap mencapai kecamatan baru, saya selalu mengirimi pesan pendek kepada kawan saya. Ini sering saya lakukan dalam setiap perjalanan jauh.

Sudah mencapai Binjai. Tak berapa lama, perbatasan, akan segera tampak. Jam sudah menunjukkan angka 17.15 WIB. Sudah sore. Perut saya mulai keroncongan. Ketika di Medan, saya mengeluh perut saya yang sakit. Saya berusaha untuk bertahan puasa.

Tak berapa lama, akhirnya bus yang membawa saya kembali ke Aceh, sampai juga ke perbatasan. Semula, saya melihat satu pos Polisi Militer. Seorang anggota berdiri di depannya, sembari mempersilakan bus dan kendaraan berjalan.

“Lho, katanya ada razia,” batin saya lagi.

Sebuah truk di depan, langsung merangsek, meninggalkan pos itu. “Perbatasan Sumatera Utara-Aceh”. Sebuah pamplet say abaca, begitu kira-kira isinya. Saya tidak terlalu sempat baca semua.

Ternyata dugaan saya salah. Pemeriksaan baru akan dilakukan setelah mencapai garis yang menjadi wilayah hukum Nanggroe Aceh Darussalam.

Sebuah pos berdiri di sana yang dijaga oleh beberapa petugas dari Polisi Militer. Mobil berhenti, mengantri pemeriksaan.

Giliran bus yang saya tumpangi, diperiksa.

“Assalamu’alaikum,” sapa petugas PM yang naik ke bus. Dia memakai seragam lengkap dengan senjata M-16 yang ditenteng di bahunya.

“Coba perlihatkan KTP,” katanya ramah.

Saya dan kawan yang duduk di depan, langsung saja merogoh dompet, mengeluarkan KTP. Ketika KTP saya pegang, petugas itu sudah berada di bangku nomor dua, di belakang saya. Petugas itu memperhatikan KTP dan mencocokkan dengan wajah si pemilik. Saya menduga, petugas itu akan kembali, memeriksa identitas saya. Ternyata, perkiraan saya salah. Petugas itu terus memeriksa penumpang di bagian belakang.

Seorang pemuda, tidak bisa menunjukkan KTP. Dia diturunkan, dan dibawa ke pos. Semua penumpang, terbelalak, mengetahui ada seorang penumpang lainnya yang tidak mengantongi KTP. Pak Sopir pun, terkejut.

“Kenapa?” tanyanya kepada kernet.

“Tidak ada KTP,” jawabnya. Kedua mereka berbicara dalam bahasa Aceh.

“Kok berani pulang kalau tidak ada KTP,” gumam sopir, sembari beranjak turun dari bus dan bergerak ke pos.

Saya terus memandangi beberapa aparat lainnya yang memeriksa kendaraan yang datang dari arah Aceh Tamiang. Tidak ada yang luput dari pemeriksaan. [bersambung]

Jumat, November 26, 2004

Tak Ada Musuh, Kawan pun Jadi

Kamis (25/11). Sekitar pukul 17.30 WIB, saya dikabari tentang seorang anggota Brimob tewas di Peudawa Aceh Timur. Saya menduga diserang kekuatan Gerakan Aceh Merdeka, yang selama ini saling bermusuhan. Makanya, pertama sekali saya tidak terlalu merespons pesan yang hinggap ke telinga saya.

Sekitar pukul 17.18 WIB, saya mencoba memencet 12 digit nomor telepon seluler. Saya menghubungi Drs Ari Mulya Asnawi, jurubicara Koops TNI di Lhokseumawe. Tidak ada yang menyambut, telepon saya. “Mungkin masih shalat magrib,” batin saya, ketika melirik jam di telepon seluler.

Sepuluh menit kemudian, saya mencoba menghubungi kembali Ari Mulya. Kali ini tersambung. “Saya mau confirm masalah bentrokan bersenjata di Peudawa yang menewaskan satu anggota Brimob,” kata saya setelah memperkenalkan diri.

“Kita belum terima laporan. Dari Koops belum ada informasi yang masuk,” jawab Ari Mulya, bersahabat.

Saya kemudian dipersilakan menghubungi Komandan Kodim, Kapolres Aceh Timur dan Komandan Korem 011 Lilawangsa. “Pak Edi langsung nanti yang akan mengeluarkan statement,” kata jurubicara militer dari sipil itu. Edi yang dimaksud adalah Letkol TNI Edi Sulistiyadi, Komandan Satuan Tugas Penerangan Koops TNI di Lhokseumawe.

Gagang telepon saya letakkan, tak berapa lama setelah menyudahi pembicaraan dengan Ari Mulya. Saya lalu memencet 10 digit nomor yang tertera di ponsel saya. Orang yang dituju, Letkol Edi Sulistiyadi.

“Mungkin benar. Tapi, itu mungkin terjadi oleh pasukan yang bukan penugasan. Kan TNI ada yang organik dan ada juga yang penugasan,” kata Letkol Edi.

Pun begitu, dia tidak mau berkomentar banyak, tentang peristiwa ini. “Saya belum terima informasi yang jelas. Tapi itu bukan kewenangan saya. Coba aja, Mas tanyakan langsung ke Kapolres Aceh Timur atau Danrem Lilawangsa. Karena itu wilayah hukum mereka,” ujarnya kepada saya.

Keterangan dari sumber resmi, saya cukupkan. Apalagi, saya tidak mempunyai nomor kontak petinggi polisi dan militer di Aceh Timur. Saya memutuskan untuk tidak mengejar informasi ini ke petinggi militer dan polisi di Banda Aceh. Biarlah saya cukupkan dengan informasi yang saya dapatkan ini. “Nanti, jawaban yang saya terima, sama saja,” gumam saya, sebelum beranjak dari meja telepon.

Saya mencoba menulis berita ini. Beberapa informasi awal sudah saya dapatkan dari seorang kontributor di lapangan. Saya kesulitan menghubunginya. Signal telepon seluler di kawasan kejadian itu, tidak bagus. “Hanya dapat satu signal,” katanya. Makanya, dia memutuskan mengirim keterangan, melalui pesan pendek. Cukup membantu saya!

Mata saya terus memelototi layar computer. Terasa perih. “Detik belum naik,” saya bergumam. Tangan saya terus menari di tuts komputer, meracik laporan. Tak berapa lama, laporan itu kelar. “Selesai!” kata saya, ketika kembali menelepon kawan saya yang masih berada di lapangan. Kawan saya itu bertanya, “Bagaimana dengan media lain. Udah naik?” Saya memastikan kepadanya, bahwa berita dia yang pertama muncul di media cetak dan online. Dia senang, duga saya.

***

Terlepas dari kecepatan media dalam menyajikan berita, saya berpikir sejenak. Kembali saya teringat ungkapan Panglima Kodam Iskandar Muda, Mayjen Endang Suwarya, ketika awal-awal pemberlakuan darurat militer di Nanggroe Aceh Darussalam.

Setelah mengunjungi dan memberi briefing kepada ratusan prajurit TNI yang baru tiba di Banda Aceh, Pangdam mewanti-wanti. “Jangan bikin malu. Jangan ada saya dengar kalian bermusuhan dengan polisi,” katanya, bersemangat.

“Di Aceh, kejadian seperti itu, belum pernah terjadi. Kita kompak memburu GAM. Jangan nanti kalian yang memulai,” pesannya ketika itu.

Prajurit itu merupakan prajurit yang baru lulus. Saya melihat, mereka masih sangat muda. Itu adalah bagian dari penambahan pasukan ke Aceh. Bersama mereka juga terdapat prajurit yang sudah berumur, sekitar 30-an tahun. Belakangan saya tahu, mereka dipersiapkan menjadi Komandan Koramil di seluruh Aceh. Juga, akan ada program, mendatangkan 1000 personel TNI yang akan ditempatkan menjadi babinsa.

Kini, kata-kata wejangan Endang Suwarya, kembali terngiang di kepala saya. Prajurit Yon 111 Peudawa itu, bukan prajurit yang baru dilantik Pangdam. Bukan sama sekali.

Memang, saya pernah mendengar ada ketidakcocokan antara pasukan TNI dengan Brimob yang bertugas di lapangan. “Brimob jadi bulan-bulanan TNI,” seorang kawan saya, berkata.

Saat itu, saya tidak terlalu percaya, dengan omongan tadi. Pasalnya, belum ada bukti yang membenarkan pengakuan yang diberikan kawan saya itu. memang, saya sering mendengar, di daerah lain, seperti kejadian di Binjai Sumatera Utara, di Ambon, di Jakarta, yang terjadi clash antara pasukan TNI dengan Polisi. Tapi, saya tetap tidak percaya, karena di Aceh, belum pernah terjadi.

Peristiwa Kamis siang di penghujung November 2004 ini, mengubah persepsi saya. Lalu, kenapa sesame institusi negara mereka tidak akur? “Kita sesama saudara kandung saja, acap berkelahi,” saya menjawab kebimbangan saya sendiri.

Weleh-weleh! Tentunya pihak yang selama ini diburu TNI dan Polri, akan bersorak-sorai. [r]

Sabtu, Oktober 02, 2004

5 TAHUN TEWASNYA SANDERS THOENES
Fery Santoro Kisahkan Cerita Unik Selama Bersama GAM

JUM'AT (1/10) malam di ruang Rasamala Hotel Mandarin Oriental Jakarta, pukul 19.05 WIB. Belum ada tetamu yang hadir. Baru sekitar pukul 19.20 WIB, beberapa tamu mulai berdatangan. Mereka tak langsung masuk ke ruang pertemuan. Melainkan memilih ngobrol di pintu masuk. Terlihat sekitar 20 orang dari berbagai negara, asyik ngobrol, sembari menyeduh teh dan kopi hangat. Sesekali terlihat juga beberapa dari mereka mengambil sandwich. Beberapa lainnya, masih terus bercakap sesama mereka, akrab. Tamu terus berdatangan satu per satu.

Mereka adalah koresponden media asing yang bertugas di Jakarta. Malam itu, sekitar 40-an jurnalis asing dan utusan kedutaan besar berkumpul di Hotel Mandarin Oriental untuk memperingati 5 tahun kematian wartawan Belanda, Sander Thoenes di Timor Timur pasca-jajak pendapat yang dimenangkan kubu pro kemerdekaan.

Sebuah film dokumenter yang menelusuri kematian Thoenes, diputar. Film itu dibuat tahun 2002 lalu yang merupakan hasil reportase Stephani Vaessen, Kepala Biro Television The Netherlands di Jakarta.

Dalam film itu ditampilkan beberapa saksi mata yang melihat Sander Thoenes sebelum kematiannya. Beberapa saksi mata dengan jelas mengatakan, wartawan yang bekerja untuk Financial Times itu dibunuh oleh pasukan TNI Batalyon 745.

Namun ini dibantah oleh Jacob, sang Komandan Batalyon. “TNI tidak terlibat sama sekali,” bantah Jacob yang kini bertugas di Bali.

Sander Thoenes terbunuh di wilayah Becora, Dili pada 21 September 1999 lalu saat ia membonceng sebuah sepeda motor. Pengendara motor bersaksi bahwa tembakan terdengar setelah ia dan Thoenes melihat tentara dari Batalyon 745. Roda sepeda motor terkena dan Thoenes terjatuh.

Saksi lain mengatakan, para prajurit tersebut berdiri di atas tubuh Thoenes dan terdengar suara tembakan. Sementara motor yang dikendarai Thoenes dinaikkan ke atas truk dan dibawa pergi. Batalyon itu sedang ditarik menyusul kalahnya Indonesia dalam jajak pendapat. Menurut warga, di sepanjang jalan, serdadu yang frustasi itu menembaki apa saja secara membabi buta.

Semua serius menyimak pemutaran film itu. Apalagi pada bagian ketika perempuan Timor dalam bahasa Tetun merapati kematian suaminya yang ditembak pasukan pemerintah tanpa alasan yang jelas. Selain jurnalis asing, hadir pula beberapa perwakilan negara asing seperti dari Belanda, India dan Afrika Selatan.

Beberapa saat sebelum film diputar, seorang pria jangkung yang mengenakan jeans dan jaket kulit hitam bertuliskan RCTI News, langsung duduk di samping Dandhy Dwi Laksono, Pemimpin Redaksi acehkita. Pria itu adalah Fery Santoro, kamerawan RCTI yang ditahan Ishak Daud selama 325 hari di hutan Peureulak, Aceh Timur.

Di tangannya, tergenggam dua eksemplar majalah acehkita. Selama duduk, sambil berbincang-bincang dengan Dandhy, ia terus membolak-balik lembar demi lembar majalah yang khusus memberitakan konflik Aceh itu.

Matanya terhenti, pada halaman yang memuat foto Ishak Daud bersama istri dan kedua anaknya, hasil jepretan wartawati The Jakarta Post, Nani Afrida.

“Ini foto ketika dia membebaskan saya,” katanya.

Ia terus memandangi foto Ishak Daud yang menggendong anak lelakinya, Ambiya (3), dengan AK-47 di tangan kanannya. Sementara Cut Rostina, menggendong si bungsu di depan mobil ICRC (International Comission for Red Cross).

“Mana foto jenazah Ishak Daud?” dia menunjuk-nunjuk foto sang Panglima GAM itu, “saya lihat di situsnya ada. Tapi apa benar?”

“Ibunya sudah confirm,” kata Dandhy, menjelaskan.

Matanya kali ini tertuju pada dua bocah kecil yang ada di gendongan Ishak Daud dan Cut Rostina.

“Ini, si Ambiya, anaknya keras,” kata Fery. Terlihat kesedihan memancar dari raut wajahnya.

Pembicaraan terputus, setelah Shoep Kagda, salah seorang koordinator Jakarta Foreign Correspondent Club (JFCC) berbicara di mikrofon. “Maaf, acara terpaksa terlambat. Pak Bambang masih terjebak macet,” katanya menjelaskan.

Pak Bambang yang dimaksud adalah Bambang Harymurti. Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO ini menjadi salah satu pembicara bersama Fery Santoro dan Dandhy yang juga diundang dalam kapasitas sebagai mantan produser Liputan 6 SCTV.

Fery kembali membolak-balik lembar demi lembar majalah acehkita. Ketika dia melihat foto warga sipil yang tewas dalam konflik Aceh semasa darurat militer, dia menggeleng-geleng kepala.

Saat BHM datang, acarapun segera dimulai. Shoeb dan Stephanie menyatakan, saat ini banyak wartawan yang bertugas di Indonesia yang telah menjadi korban. Selain Sander Thoenes, juga ada Agus Mulyawan, wartawan Asia Press yang juga meninggal di Timor Timur. Lalu ada Ersa Siregar di Aceh dan Muhammad Fuad Syarifuddin atau yang lebih dikenal dengan Udin di Yogyakarta. Menurut Shoep, rangkaian kejadian ini adalah wujud dari pengekangan terhadap kemerdekaan pers.

***

BHM yang didaulat pertama untuk berbicara, menceritakan kondisi pers Indonesia sejak masa kemerdekaan hingga kini. Dia menyebut beberapa contoh kasus yang menjadi momok menakutkan bagi kemerdekaan pers di Indonesia.

Pada masa Soekarno memimpin, kata BHM, Muchtar Lubis dan Indonesia Raya yang dipimpinnya merupakan salah satu pihak yang kritis terhadap berbagai kebijakan yang ditelurkan pemerintah. Akhirnya, “Muchtar Lubis ditahan dan korannya dibreidel,” kata BHM.

Di masa pemerintahan Orde Baru, dia juga mengatakan kontrol penguasa terhadap pers semakin besar. Mulai Muchtar Lubis dan Indonesia Raya hingga ke kasus TEMPO, Trust, Rakyat Merdeka, Bernas, dan beberapa koran lokal di daerah seperti di Gorontalo dan Medan.

Monyet di Hutan “pro-GAM”
Fery Santoro yang berbicara pada sesi kedua, memaparkan pengalamannya ketika menjadi sandera GAM di bawah Ishak Daud. Beberapa kali nada bicaranya agak gemetaran, ketika menceritakan ulang peristiwa itu. “Lebih enak di penjara ketimbang menjadi sandera,” kata Fery sesaat sebelum tampil sebagai pembicara.

“Saya ditahan ketika baru saja pulang dari lokasi pengungsian di Desa Bayeun, Aceh Timur. Ketika menuju ke arah Lhokseumawe, saya dicegat beberapa orang bersenjata,” kata Fery memulai kisahnya.

Fery Santoro disandera bersama Sori Ersa Siregar (reporter senior RCTI), Soraya, Safrida (kakak beradik ini adalah istri perwira TNI), dan Rachmatsyah, sopir. Penahanan itu, kata pihak GAM ketika itu, dikarenakan ada anggota militer yang menyusup menjadi wartawan.

Selama dalam penahanan, mereka terus berpindah dari satu gunung ke gunung yang lain. Mereka pun, tidur dan makan seadanya. Menurutnya, pernah selama empat hari dia tidak makan apa pun untuk mengganjal perutnya. Hanya air yang mengisi kekosongan perut.

“Itu pun bukan air putih bening. Air berkeruh, kuning,” katanya.

Setiap dua minggu sekali, pasukan GAM yang menjadi pengawal Fery, Ersa dan tiga tahanan lainnya, dirotasi. Di situlah, rasa stress Fery kembali muncul. “Pengawal baru ini selalu interogasi dengan membentak-bentak,” katanya.

Pun begitu, katanya, dia dan Ersa diperlakukan sangat baik oleh Ishak Daud.

Malam itu Fery menceritakan pengalaman menarik yang membuatnya kadang tak percaya. Menurutnya, hewan-hewan yang ada di dalam hutan seperti berpihak ke GAM. Dia sering menjumpai monyet-monyet hutan yang bersuara gaduh ketika ada patroli TNI yang lewat. Seperti hendak memberi tanda.

“Tapi kalau yang lewat itu GAM, monyet-monyet itu diam saja,” kata Fery tersenyum yang disambut tawa hadirin.

Kejadian aneh lainnya yang dialami Fery adalah ketika ia tidur di kandang macan kumbang. Saat itu Fery tidak tahu bila tempat tersebut merupakan “ranjang” sang macan. Saat mata hampir terpejam, sang pemilik “ranjang” kembali, ingin beristirahat.

Namun sang macan menemukan Fery di dalam kandangnya. Tentu saja Fery takut bukan kepalang. “Tenang, Bang. Abang tidak akan diapa-apakan,” kata salah seorang anggota GAM yang mengawal Fery. Fery akhirnya beranjak tidur, kendati dia tidak tenang. Di dalam gelap, ia melihat sang macan kumbang akhirnya tidur hanya dalam jarak 10 meter dari tempatnya.

“Macan itu tidur sekitar 10 meter dari tempat saya. Saya tidak diapa-apakan,” kenangnya.

Selama menjadi sandera GAM, Fery mengaku selalu dihinggapi rasa takut. Apalagi jika pasukan GAM berpapasan dengan pasukan TNI. Satu ketika, sekitar pukul 02.00 dini hari, pasukan GAM dan TNI berada dalam radius yang sangat dekat. Jaraknya hanya 10 meter! Fery dan sandera lainnya dihinggapi ketakutan. Namun anehnya, kedua belah pihak ini tidak saling menyerang.

“Mereka saling menghindar,” tandasnya.

Di sana pun, ia belajar banyak. Misalnya saja, ketika terdengar suara letupan senjata. “Anggota GAM sangat peka dengan apa yang sedang terjadi. Misalnya, kalau ada suara tembakan, mereka tahu radiusnya berapa dan pakai senjata apa. Saya sempat diajari mereka untuk peka terhadap masalah ini,” dia memaparkan.

Pernahkah Fery sakit selama hidup di alam liar?

“Saya kena diare selama dua minggu. Tidak ada obat-obatan yang bisa saya konsumsi. Untuk mengobatinya, saya makan apa saja yang ada, supaya penyakit sembuh,” lanjutnya.

Pada 29 Desember 2003, Fery kehilangan Ersa Siregar yang tewas akibat peluru aparat TNI. Saat itu, kata Fery, mereka sedang beristirahat di sebuah gubuk. Hanya ada tujuh anggota GAM dengan empat pucuk senjata yang mengawal mereka. Tidak ada tanda-tanda akan ada pasukan TNI yang akan mengendus keberadaan mereka.

Lima anggota GAM akhirnya keluar gubuk, entah ke mana. Senjata mereka tinggal di rumah panggung yang mereka tempati. Hanya Fery, Ersa dan dua anggota GAM yang tertinggal. Dua orang ini bahkan tengah memasak. Mereka santai. Rumah panggung itu, terletak di ketinggian. Sedangkan posisi TNI, berada agak di bawah. Selebihnya, rumah itu dikepung rawa-rawa liar.

Tak berapa lama, suara tembakan terdengar. Ternyata datangnya dari pasukan TNI yang hanya berjarak sekitar 50 meter. Semua panik. Satu anggota GAM yang sedang memasak, tewas seketika. Fery dan Ersa meloncat ke samping.

“Saya lompat ke arah kiri dan Bang Ersa ke arah kanan,” ujar Fery, “kita berusaha menyelamatkan diri masing-masing.”

Ketika sudah terpisah itu, ia tidak tahu apakah Ersa tertembak atau tidak. Fery tidak berani beranjak ke arah lompatan Ersa. Tembakan begitu beruntun.

“Kalau saya kembali, saya pasti tertembak. Ketika saya angkat (pindahkan) kaki saya, langsung peluru menyambar tempat kaki saya sebelumnya berpijak,” ujarnya.

Juga, ketika ia menghindar sejauh 10 meter dari lokasi pertama dia melompat, maka, “Ketika saya bangun, peluru melesat di atas kepala saya. Saya langsung tiarap,” katanya lagi.

Ia lalu memutuskan untuk melompat ke rawa-rawa. Akhirnya, bersama seorang anggota GAM yang selamat, ia merangkak menyusuri rawa-rawa, menyelamatkan diri. Menurut Fery, badannya berdarah akibat duri selama mengarungi rawa-rawa itu.

“Kalau saya datang ke TNI, mereka pasti tidak mengenal saya. Karena wajah dan badan saya penuh lumpur,” katanya.

Fery belum mengetahui jika Ersa terkena tembakan aparat TNI. Baru keesokan harinya, dia diberitahu Panglima Operasi GAM wilayah Peureulak Ishak Daud. “Saya sangat shock dan stres. Saya sempat pingsan beberapa hari,” katanya.

***

Ternyata tak semua koresponden asing mengetahui kondisi riil peperangan di Aceh. Hal ini terlihat ketika Dandhy tampil sebagai pembicara. Dandhy mengatakan, perang Aceh tidak mendapat tempat yang memadai dalam setiap pemberitaan media nasional. Dia membantah Corporate Secretary RCTI, Yanto Soegiarto yang di forum itu menyatakan pemberitaan Aceh tak dapat mendongkrak rating, sehingga tak banyak media yang mau memberitakan.

“Tayangan Debat Minggu Ini tentang Aceh ratingnya bisa 2,9 asal gambarnya bagus, ada kesaksian, ada rekonstruksi, dan tidak hanya pernyataan militer. Bahkan, program tentang Aceh saat itu hanya kalah oleh Inul yang ratingnya 5,” kata Dandhy.

Puluhan koresponden asing tertawa.

Dandhy lalu diminta menceritakan perkembangan kasus sengketanya melawan SCTV yang saat ini tengah memasuki babakan baru di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN). Didampingi LBH Pers dan AJI, kontributor Radio ABC Australia ini memperkarakan putusan tak adil pihak Depnaker/P4P.

Foto-foto hasil jepretan para fotografer dan koresponden acehkita kemudian dipaparkannya dalam slide show. Beberapa koresponden asing terdengar memekik pendek saat melihat foto-foto tentang warga sipil yang terkena tembakan. Sebelah kepalanya hilang, remuk dengan otak yang terburai.

“Kalau Anda pernah meliput perang, ini adalah jenis luka yang diakibatkan oleh tembakan jarak dekat. Sangat dekat. Yang terjadi bukan hanya berlubang, tapi pecah!” katanya dalam bahasa Inggris yang tak sefasih BHM.

Mira Woldberg dari Kedutaan Besar Belanda yang duduk tak jauh dari saya, tak kuasa memandang. Ia memilih untuk melemparkan pandangan ke sudut ruangan lainnya. Seorang koresponden asing lainnya, juga bersikap sama. Fery Santoro yang duduk di samping saya, menggeleng-gelengkan kepala. BHM juga terlihat memicingkan mata, dahinya berkerut.

Di akhir acara, sesi tanya jawab beralih menjadi ajang perdebatan. Yanto Soegiarto dari RCTI mengatakan, pihaknya masih terus memberitakan konflik di Aceh. Namun karena alasan rating, RCTI akhirnya tidak terlalu intens lagi memberitakan konflik Aceh. Selani itu, menurutnya, biaya liputan di daerah konflik juga tinggi.

BHM mendukung Yanto. “Untuk mengirim seorang wartawan ke lokasi memerlukan waktu dua hari dan biaya yang besar,” kata BHM yang baru saja divonis satu tahun penjara karena pemberitaan TEMPO tentang Tomy Winata.

“Buktinya, kita juga memberitakan anak umur 14 tahun yang ditembak TNI Yonif 320 hanya karena pakai celana loreng,” tandasnya. (Siapa Berbohong di Maheng? [1] & Siapa Berbohong di Maheng? [2])

Fery Santoro memilih tak ikut berdebat. Kepada Dandhy dan BHM, Fery berjanji akan menerbitkan bukunya dalam waktu dekat. “Gak gampang nulis buku. 11 bulan itu banyak sekali yang harus saya ingat lagi dan tuliskan,” ujarnya.

Acara usai jam hampir jam 24.00 WIB. Tak terasa, para wartawan asing dan lokal itu telah berbagi pengalaman meliput. Mereka pernah keluar masuk Timor Timur di masanya. Satu kesimpulan yang tak terucapkan adalah, bahwa di mata wartawan yang hadir malam itu, Aceh adalah Timor Timur jilid II.

Senin, September 27, 2004

LAPORAN INVESTIGASI AJI
Intimidasi TNI, Polri dan GAM terhadap Pemilih Pemilu 5 April 2004 di Kabupaten Bireuen

Pengantar Redaksi:
Benarkah pemilihan umum (Pemilu) 5 April untuk memilih anggota legislatif berlangsung bebas dan aman di Aceh? Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Ryamizard Ryacudu mengklaim 94% rakyat Aceh mengikuti pemilu. Sehingga pemilu yang berlangsung di bawah status Darurat Militer itu dikatakan berhasil sekaligus membantah tudingan berbagai pihak sebelumnya.

Lalu benarkah, tingkat partisipasi yang tinggi itu berarti rakyat tidak mendapat ancaman dari pihak-pihak yang bertikai di Aceh untuk menggagalkan atau mengikuti Pemilu?

Berikut ini laporan hasil investigasi yang didanai oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melalui program beasiswa Investigasi Kecurangan Pemilu 2004 se-Indonesia yang diikuti oleh 14 finalis. Laporan ini terdiri dari lima bagian yaitu Teror Senjata di Hari Pemilu, Surat Intimidasi GAM yang Misterius, Pemaksaan dan Pemukulan di Hari Pemilu, Jalan Panjang Menuju Pemilu dan Rayonisasi atau Mobilisasi Massa?

Tulisan ini sudah dimuat di acehkita.com edisi 4 Agustus 2004. Laporan sebanyak 5 Bagian ini berjudul asli: “Intimidasi TNI, Polri dan GAM terhadap Pemilih Pemilu 5 April 2004 di Kabupaten Bireuen”.

Alasan Bireuen dipilih sebagai lokasi investigasi karena dianggap sebagai representasi dari wilayah Aceh, yang tingkat esklasi konfliknya masih sangat tinggi. Juga, tempat di mana konsentrasi pasukan GAM, TNI dan Polri di wilayah ini tergolong besar, setelah Aceh Utara.

Laporan ini dikemas dalam lima bagian:

Bagian I: Teror Senjata di Hari Pemilu
Bagian II: Surat Intimidasi GAM yang Misterius
Bagian III: Pemaksaan dan Pemukulan di Hari Pemilu
Bagian IV: Jalan Panjang Menuju Pemilu
Bagian V: Rayonisasi atau Mobilisasi Massa

Laporan ini diselesaikan secara tim oleh Murizal Hamzah (harian sore Sinar Harapan), Fakhrurradzie (Suara Merdeka CyberNews), dan Adi Warsidi (Tabloid LACAK). Wartawan senior Farid Gaban, menjadi mentor untuk penulisan yang digarap pada masa Darurat Militer ini.
Selamat membaca...

Bagian 5
Rayonisasi atau Mobilisasi Massa?

5 April 2004, pagi. Ribuan warga Desa Lamreung, Meunasah Papeun, Meunasah Lueng Ie, Rumpet dan Lamgeuleumpang, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar berbondong-bondong mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Desa Lamreung. Di lapangan desa yang berbatasan dengan Kampus Darussalam, Banda Aceh ini, memang menjadi tempat tujuan ribuan warga yang hendak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum legislatif di daerah yang saat itu masih berada dalam status darurat militer. Di lapangan Desa Lamreung, disediakan 15 TPS untuk melayani kebutuhan masyarakat lima desa. Penggabungan ini, menurut seorang anggota Panwaslu Aceh Besar, karena alasan keamanan. Di Kecamatan Ingin Jaya saja, katanya, terdapat dua rayon yang menggabungkan beberapa desa. "Ini hanya faktor keamanan," katanya.

Bukan hanya di Aceh Besar saja yang terjadi rayonisasi. Di kabupaten/kota lainnya di Aceh yang dianggap rawan gangguan keamanan, juga dilakukan rayonisasi. Di Kabupaten Bireuen terdapat 158 rayon. Padahal, kecamatan di Bireuen, hanya 10 kecamatan dengan 514 desa. Sementara TPS yang tersebar di kabupaten yang sangat tinggi eskalasi konflik ini, sebanyak 945 TPS.

Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari warga Di Bireuen, ada pemilih yang harus berjalan kaki tiga kilometer untuk memberikan hak suaranya. Di lain kali, ada masyarakat pemilih yang diangkut dengan truk-truk untuk menghadiri TPS. Bisa dikatakan ini adalah upaya memobilisasi masyarakat pemilih untuk menggunakan hak pilihnya pada Pemilu memilih legislatif 2004. Apakah ini akan terulang lagi pada Pemilu memilih Presiden dan Wakil Presiden 5 Juli 2004?

Rayonisasi TPS-TPS diberlakukan hanya di daerah-daerah yang dianggap rawan dari gangguan keamanan. Artinya, Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) sang pemilik ide rayonisasi, mengatakan rayon ini hanya dibuat di daerah yang masih abu-abu dan hitam.

'Rayonisasi artinya kalau di desa yang rawan itu tidak bisa dilaksanakan pemilu, maka bisa kita pindahkan ke desa lainnya yang terdekat dan sedikit aman,' ujar Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh di Banda Aceh pada 3 April 2004.

Namun, menurutnya, berdasarkan keterangan dari Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) Aceh, pemilu tetap bisa dilangsungkan di daerah rawan tersebut, karena sudah mendapat jaminan keamanan. Untuk memastikannya, Puteh akan membicarakan masalah tersebut dengan Menko Polkam ad interim Hari Sabarno.
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPU) Nanggroe Aceh Darussalam, tidak begitu mempersoalkan adanya tidaknya rayonisasi dalam pelaksanaan pemilu lalu. Menurut Hasbullah Tjoetgam, Ketua KPU Aceh, dalam sebuah kesempatan mengatakan, rayonisasi bukan urusan KPU, melainkan urusan aparat keamanan. "Rayonisasi sudah ditetapkan di daerah-daerah yang rawan," katanya.

Bagi pihaknya, "Kita tidak membuat desa mana yang katagori hitam dan putih. Itu bukan urusan kita. Itu hanya istilah untuk (aparat) keamanan. Bagi KPU sama saja," kata Hasbullah.

Pada saat pemilihan presiden pun, rayonisasi masih berlaku. Di Kecamatan Krueng Barona Jaya ini, rayonisasi juga masih berlangsung. Kalau dalam Pemilu legislatif lokasinya di lapangan Desa Lamreung, kini dipindahkan ke kompleks Sekolah Dasar (SD) dan Taman Kanak-kanak T Nyak Arief, Desa Lamreung. Begitu halnya di beberapa tempat. Sebut saja misalnya di Kabupaten Aceh Timur. Bahkan di kabupaten yang intensitas konfliknya masih membara ini, masyarakat Seuneubok Aceh Kecamatan Idi Cut Kabupaten Aceh Timur harus menempuh perjalanan untuk melakukan pencoblosan sepanjang tak kurang darit tujuh kilometer. Ada juga, mereka yang dimobilisasi untuk datang ke TPS-TPS.

Lalu, adakah rayonisasi ini berbuah tekanan?

Tidak mudah untuk menjawab asumsi ini. Namun, yang jelas, menurut Lucky Djani, sebagaimana ditulisnya dengan baik dalam Modul Pemantau Dana Kampanye, dalam pemilu yang demokratis, para pemilih harus bebas menentukan sikap politiknya tanpa adanya tekanan, intimidasi, iming-iming pemberian hadiah tertentu yang akan mempengaruhi pilihan mereka.
Berdasarkan pantauan di hari pemilihan, pemilih yang menggunakan hak pilihnya di TPS-TPS yang termasuk dalam rayonisasi, kerahasiaan pilihannya tidak terjamin. Hal ini seperti terlihat di TPS yang ada di lapangan Lamreung. Di 15 TPS yang ada, terlihat bilik suara yang tidak ada tirai yang menutupi bilik suara untuk menjamin kerahasiaan. Padahal, pencoblosan yang rahasia adalah tujuan dari proses pelaksanaan pemilu. Masih menurut Lucky Djani, apa pun pilihan politik yang diambil oleh pemilih tidak boleh diketahui oleh pihak mana pun bahkan oleh panitia pemilihan. Kerahasian sebagai sebuah prinsip sangat terkait dengan kebebasan seseorang dalam memilih.

Bagian 4
Jalan Panjang Menuju Pemilu

CENTER for Electoral Reform (CETRO) pada Desember 2003 menegaskan, pelaksanaan Pemilu 2004 di Aceh dalam status Darurat Militer (DM) adalah cacat hukum. Bukan hanya CETRO saja yang mengeluarkan pendapat pesimistis Pemilu di bawah status DM bisa berjalan dengan asas langsung, bebas, rahasia (luber) dan jujur, adil (jurdil).

Indra Jaya Piliang, peneliti Center for Stategic and International Studies (CSIS) juga melontarkan pernyataan senada dengan CETRO. Menurut Indra Piliang, Pemilu di Aceh secara legal formal lemah.

Argumentasi yang dilontarkan CETRO berpijak pada landasan hukum pelaksanaan Pemilu dan pemberlakuan status keadaan bahaya. Menurut Smita Notosusanto, Direktur Eksekutif CETRO di Jakarta kepada penulis melalui email pada Mei 2004, banyak anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Panitia Pengawas Pemilu yang tidak memahami Perpu No. 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya yang menjadi dasar hukum pelaksanaan DM di Aceh. Smita ingin mengatakan dua lembaga yang berkompeten dalam penyelenggaraan Pemilu, kurang menyadari adanya pembatasan hak-hak sipil akibat penerapan DM.

Smita memaparkan terjadi dualisme hukum dalam pelaksanaan Pemilu di Aceh. Satu sisi, merujuk pada UU No. 12 Tahun 2003, penyelenggaran Pemilu adalah hak sepenuhnya KPU. Sementara dalam Keppes No. 28 Tahun 2003 disebutkan segala pelaksanaan kegiatan ada pada otoritasi Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD). “Dualisme penerapan dua undang-undang yang saling bertentangan secara prinsip ini tidak akan kondusif terhadap penyelenggaraan Pemilu," tegasnya.

Senada dengan Smita, Indra J Piliang melihat pelaksanaan Pemilu legislatif di daerah yang berstatus DM (kemudian status ini berakhir dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 43 Tahun 2004 tentang penurunan keadaan bahaya dari tingkat DM menjadi Darurat Sipil (DS) pada 19 Mei 2004. Walaupun demikian, peraturan DM masih berlaku hingga enam bulan ke depan–red) mempunyai paradoksi undang-undang yang sangat kentara.

Pertentangan ini, ungkap Piliang, terjadi pada berlakunya dua undang-undang yang satu sama lain saling bertentangan. "Dari sisi undang-undang saja, itu kita tidak bisa mengsinkronisasikan antara UU No.12 Tahun 2003 tentang pemilihan umum dengan Keputusan Presiden No. 28 Tahun 2003 tentang pernyataan darurat militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Menurut UU No.12 Tahun 2003, penyelenggara Pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum. Komisi Pemilu adalah pengambil keputusan tertinggi atas persoalan-persoalan yang menyangkut tahapan-tahapan kampanye, menyangkut masalah pelanggaran pemilu dan lain-lain di seluruh daerah di Indonesia,” kata Piliang seperti dikutip Radio Nederland Siaran Indonesia, edisi 5 November 2003.

Apa yang dikhawatirkan Smita, Piliang dan aktivis pro-demokrasi lainnya wajar adanya. Dalam pelaksanaan Pemilu legislatif 2004, antara KPU, Pemda Aceh dan PDMD Aceh tergambar kurang koordinasi.

Baiklah, sejenak kita ulang kaji kontroversial pelaksanaan Pemilu di propinsi paling ujung barat dari Pulau Sumatera ini. Simak saja penuturan Hasbullah Tjutgam, Ketua KPU Aceh ini mengaku tidak diundang dalam rapat evaluasi akhir pelaksanaan Pemilu di Markas Komando Daerah Militer (Makodam) Iskandar Muda pada Kamis, 1 April 2004. Rapat di Makodam Iskandar Muda itu selain dihadiri unsur Muspida Aceh, juga dihadiri Menteri Dalam Negeri yang juga Menteri Koordinator Politik dan Keamanan ad interim Hari Sabarno, Kepala Kejaksaan Agung MA Rahman, Kapolri Da’i Bachtiar. “Kami tidak disampaikan undangan untuk bertemu Menkopolkam. Kami hanya dapat undangan untuk bertemu para wartawan dari Jakarta di Aula Dinas Infokom. Itu pun tidak jadi,” kata Hasballah Tjutgam.

Padahal dalam rapat evaluasi itu, Menko Polkam mengeluarkan pernyataan keras mengenai 25 desa yang diperkirakan tidak bisa mengikuti prosesi pesta demokrasi sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan KPU Pusat. Menurut Sabarno, berdasarkan laporan sampai April 2004 masih ada 25 desa di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam – Aceh memiliki 5.947 desa 228 kecamatan dan 21 kabupaten/kota - yang belum bisa digelar Pemilu pada 5 April 2004. Menurut Sabarno karena masih ada gangguan keamanan dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM). “Ada beberapa desa yang memang tidak memungkinkan diadakannya Pemilu (5 April 2004–red). Sehingga nanti mungkin akan diadakan pemilihan di TPS-TPS terdekat,” kata Sabarno di Banda Aceh.

Desa-desa yang tidak bisa diadakan Pemilu serentak itu tersebar di empat kabupaten, yaitu di Kabupaten Pidie, Aceh Utara, Aceh Barat, dan Aceh Timur. Sabarno tidak merincikan desa mana saja yang ada gangguan Pemilu. Gubernur Aceh Puteh menandaskan desa yang masih rawan gangguan GAM 52 desa. “Bukan 25 desa, tapi 52 desa yang rawan diadakan Pemilu pada 5 April nanti. Terbanyak di Pidie,” kata Puteh.

Walaupun demikian, kata Puteh tidak ada kendala yang berarti dalam perhelatan Pemilu di Aceh. “Menurut PDMD tidak ada masalah, karena dibuat rayonisasi. Artinya kalau tidak bisa di desa sendiri, maka bisa di desa lainnya,” lanjut Puteh.

Atas pernyataan Hari Sabarno dan Abdullah Puteh ini, Hasbullah menyangkalnya. Menurut data dari KPU Kabupaten/Kota, sampai menjelang Pemilu, semua desa bisa melaksanakan Pemilu tanpa ada kendala. “Kami masih optimis kok, pelaksanaan Pemilu berlangsung sesuai jadwal. Dari segi logistik, kita sudah siap. Tinggal tergantung situasi keamanan di lapangan,” lanjutnya.

Hasbullah mengatakan bahwa pihaknya belum menerima laporan sama sekali dari daerah tentang adanya desa yang tidak bisa ikut pemilu. “Itu mungkin data awal, yang dulunya mungkin ada 52 desa, sekarang tinggal 25 desa. Tapi, saya tidak tahu,” ujar Hasballah. Dia mengatakan di 25 desa itu, KPU juga akan mengadakan pemilu. “25 desa itu tetap ikut Pemilu. Mana yang terancam, saya tidak tahu,” kata dia.

Hasbullah menerangkan, KPU tidak mengenal daerah hitam, abu-abu atau putih. “Kita tidak membuat katagori desa hitam, abu-abu atau putih. Itu bukan urusan kita. Itu kan hanya istilah untuk keamanan. Bagi KPU, itu sama saja,” kata Hasballah.

Sampai di sini, semakin jelas bahwa telah terjadi dualisme pandangan dalam proses pelaksanaan pemilu legislatif di Aceh.

Puteh menyebutkan, partisipasi masyarakat di Aceh dalam menyukseskan Pemilu 2004 menjadi barometer kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itu, dalam pertemuan dengan bupati se Aceh pada 10 Januari 2004 di Banda Aceh, Puteh pinta semua komponen eksekutif di setiap jenjang dan lini, mendukung terlaksananya Pemilu di Provinsi NAD mengingat suara sebagai pemilih ikut menentukan perjalanan bangsa ini. Puteh dan jajarannya, jauh-jauh hari sudah menyatakan rasa optimismenya Pemilu legislatif bisa berjalan tanpa kendala walau Aceh dalam paying DM yang ditentang oleh kalangan aktivis pro demokrasi. "Saya optimistis Pemilu 2004 di Aceh, berjalan lancar karena selama sebulan pelaksanaan operasi terpadu telah terlihat hasilnya, dimana masyarakat sudah mulai berani," katanya.

Sementara itu, PDMD Aceh mengatakan tidak melakukan intervensi terhadap proses Pemilu. Intervensi yang dimaksud adalah untuk memenangkan salah satu kontestan Pemilu. "Yang diragukan PDMD dengan segala kewenangannya akan melakukan intervensi dan sebagainya untuk menggolkan salah satu partai atau menekan salah satu partai. Itu tidak akan pernah terjadi," tegas Endang ketika menyampaikan sambutan pada acara penandatanganan kesepakatan bersama peserta Pemilu 2004, Rabu, 18 Februari 2004 di depan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Endang ingin mengatakan bahwa TNI berusaha keras untuk bersikap netral.

Untuk menyukseskan Pemilu, PDMD mengerahkan 8.450 anggota Polri, sekitar 13.000 pasukan TNI dan sekitar 60.000 anggota Perlindungan Masyarakat (Linmas) untuk mengamankan 11.045 TPS. Malah Pangdam menduga, tidak suksesnya Pemilu bukan disebabkan karena adanya gangguan keamanan dari kelompok GAM. Tapi, karena banyak pemilih yang tidak mengerti tata cara pencoblosan. "Sudah capek-capek kita amankan, ternyata hasil Pemilu ditandai banyaknya suara yang rusak. Ini yang kita ragukan," katanya.

***

Secara umum, pelaksanaan Pemilu di Aceh berjalan tanpa kendala berarti. Memang, ada beberapa insiden yang mewarnai jalan panjang pemilu legislatif yang mengantarkan Partai Golongan Karya sebagai pemenang. Selain beberapa insiden yang telah disebutkan di muka, insiden bersenjata lainnya yang terjadi pada hari pemilihan juga terjadi di Desa Teupin Panah, Kecamatan Kaway XVI, Kabupaten Aceh Barat. Di desa ini sekitar 70 warga, gagal memberikan hak suaranya karena kontak senjata antara TNI dengan GAM di desanya. “Mereka tidak bisa memberikan suaranya pada hari pemungutan suara karena kontak senjata,” kata Zuhri Hasibuan, Ketua Panitia Pengawas Pemilu Aceh. Ini bukan pelanggaran Pemilu tambah Zuhri tenang.

Di Desa Blang Rheum, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen, Abu Bakar (30), warga sipil, mengalami luka tembak peluru nyasar ketika aparat TNI yang berposko di desa itu membalas serangan yang diduga dilakukan GAM.

Forum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Aceh menyatakan, GAM –yang oleh pemerintah acapkali disebut-sebut berusaha menggagalkan pemilu, juga mengancam warga yang mengikuti pemilu. Menurut TAF Haikal, Direktur Eksekutif Forum LSM, ancaman yang ditebar GAM terhadap warga masyarakat lima desa di Kabupaten Aceh Jaya adalah denda uang tunai Rp 1 juta per orang. "Warga mendapat ancaman dari GAM, jika ikut mencoblos, maka akan didenda Rp 1 juta per orang," jelas Haikal kepada penulis, Sabtu, 3 April 2004. "Warga yang tidak mau ikut lari dengan GAM didenda Rp 1 juta per orang. Warga yang mencoblos dan tidak ikut lari bersama GAM didenda Rp 2 juta per orang," ungkap Haikal.

Lalu bagaimana GAM mengetahui warga yang ikut Pemilu? Ada bekas tinta pada jari. "Jika ada bekas tinta di jari, itu tanda mencoblos, maka jari tangan dipotong," jelasnya.

Laporan yang diterima Forum LSM Aceh itu masing-masing ditandatangani oleh Kepala Desa Sarah Jaya, Alue Jang, Ceuracee, Alue Punti dan Bintah berdasarkan warganya.

Ancaman melalui selembar halaman yang disebarluaskan oleh GAM dalam kenyataan tidak terbukti. Hingga Pemilu 5 April 2004, tidak ada jari pemilih yang dipotong. Justru, pemilih di seluruh Aceh mengikuti Pemilu mencapai 100 persen. Seorang anggota TNI di Keude Geurebak Kecamatan Peureulak Kabupaten Aceh Timur- daerah basis GAM dan bertetangga dengan lokasi pembebasan kameraman RCTI Ferry Santoro – kepada penulis pada 18 Mei 2004 menyatakan sekitar 3.000 pemilih semua hadir ke TPS. “Ada warga yang memilih Partai Mardeka. Yang menang Partai Bintang Reformasi karena ada caleg dari daerah ini,” ungkap seorang anggota Koramil kepada penulis yang tidak mau namanya ditulis.

Berdasarkan pemaparan di atas, pemilih di Aceh mendapat ancaman secara langsung bahkan fisik dari pihak-pihak yang bertikai di Serambi Mekkah. Ada ancaman non fisik lain yang lebih bersifat psikologis. Kisah Syamsuar (21) –nama samaran-- warga Kecamatan Sawang Aceh Utara yang juga dikatagorikan kecamatan hitam sehingga camat dijabat oleh TNI, kepada penulis pada 5 April 2004 dia mengakui memilih karena tidak mau mengambil risiko.

Pasalnya, di desanya banyak anggota TNI. Pemuda lajang itu membenarkan, dirinya dan penduduk sama sekali tidak mendapat ancaman untuk mengikuti Pemilu. Namun warga sudah mafhum, tanpa ada perintah atau ancaman pun warga sudah mengerti. “Tidak ikut Pemilu dianggap GAM. Hanya GAM yang tidak ikut Pemilu,” sebutnya meniru ucapan petinggi TNI di Aceh.
Last but not least, secara kasat mata, Pemilu 5April 2004 sudah berlalu. Ada warga yang memilih pada Pemilu yakni memilih keselamatan hidup. Ketakutan merasuk jiwa bila memilih berdiam di bilik kamar rumah pada hari pencoblosan dari TNI atau Polri hingga memilih pada bilik suara pada 5 April 2004 dari GAM.

Bagian 1
Teror Senjata di Hari Pemilu

MATAHARI menyengat di Blang Rheum, desa terpencil di pedalaman Aceh. Empat kilometer dari Kabupaten Bireuen atau 220 kilometer dari arah barat laut kota Banda Aceh, desa itu terletak di seberang sebuah bukit kecil nan senyap. Tidak ada perumahan penduduk di sekitar bukit tersebut. Hanya rumpun bambu dan semak-semak lainnya yang banyak menghiasi sekitar bukit. Ketika bukit terlewati, dan ini hampir memasuki pekampungan Blang Rheum, sebuah grafiti terpampang. Mencuri perhatian siapa saja yang melintasinya. Grafiti besar itu berada persis di tengah-tengah bukit.

“Hancurkan Separatis GAM Demi Tegaknya NKRI”. Begitulah bunyi tulisan di situ.

Grafiti, baliho, pamplet dan spanduk dengan pesan serupa sebenarnya bisa ditemukan hampir di semua desa, kecamatan dan kabupaten di Aceh. Tapi, kehadirannya di Bireuen agak istimewa. Kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara ini merupakan salah satu wilayah tempat lahir banyak tokoh penting Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang oleh Pemerintah Indonesia di Jakarta dijuluki sebagai “gerakan separatis”. Kehadiran grafiti di tempat terpencil seperti itu menunjukkan betapa kekuasaan pemerintah pusat sebenarnya cukup luas merasuk.

Hampir seluruh di Aceh, semua nampaknya sepakat kekuatan “separatis” harus ditumpas demi kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Itu juga merupakan bentuk pernyataan mendukung pelaksanaan operasi terpadu dengan status Darurat Militer (DM) di Aceh.

Status DM inilah yang banyak diperdebatkan dalam kaitan pemilihan umum (Pemilu) legislatif 5 April lalu. Bisakah pemilihan umum dilakukan di bawah DM? Bisakah dijamin adanya Pemilu yang demokratis, adil, jujur dan rahasia?

Pertanyaan seperti itu mengemuka. Dan salah satu jawabannya bisa ditemukan di Blang Rheum, tempat hari Pemilu itu diwarnai kontak tembak antara pasukan TNI dengan anggota GAM.

Tidak mudah memperoleh informasi dari masyarakat Blang Rheum. Apalagi, tipologi masyarakat yang tertutup yang tidak mudah memberi informasi kepada pendatang. Hal ini seperti diketahui dari keterangan yang diberikan Nasir. Pemandu lokal yang menemani itu mengatakan, masyarakat desa ini, tidak gampang dalam memberikan informasi apa pun kepada pendatang.

Di sebuah pos kamling, masyarakat desa itu memberi petunjuk untuk sampai di rumah Kepala Desa Blang Rheum. Tak jauh lagi dari situ. Tepatnya di sebuah warung kopi yang berjarak sekitar 100 meter.

Tidak banyak orang yang ada di warung di hari itu. Hanya beberapa anak kecil dan seorang wanita paruh baya, yang belakangan diketahui merupakan isteri Adam Ismail, Kepala Desa Blang Rheum.

Sayang, Adam tidak di rumah di pagi itu. Menurut keterangan Aminah, isteri Adam, sang suami sedang mengerjakan sawah yang tak jauh dari rumahnya. Dalam perbincangan sembari menunggu Adam pulang dari tempat kerjanya, Aminah menceritakan perihal kontak tembak antara pasukan TNI dengan GAM pada hari Pemilu.

Menurut Aminah, akibat kontak senjata di pagi buta itu, menyebabkan Abu Bakar warga sipil di desanya menjadi korban peluru nyasar. Abu Bakar mengalami luka tembak di bagian bahu dan lengannya. Kontak senjata, kata Aminah, diduga terjadi setelah adanya usaha GAM untuk menggagalkan jalannya Pemilu. GAM, katanya, berusaha menyerang pasukan TNI yang ada di Tempat Pemungutan Suara (TPS), sebuah lapangan desa yang tidak jauh dari warungnya.

Menurutnya, kejadian sekitar pukul 05:30 WIB, pada hari H Pemilu 2004 melukai dua warga setempat. Abu Bakar, ketika pagi itu, baru saja kena giliran ronda malam. Sementara seorang lainnya, M Nasir adalah seorang petugas Pam Linmas yang bertugas mengamankan TPS-TPS.

“Abu Bakar tertembak di sini, ketika sedang merunduk,” kata Aminah dalam bahasa Aceh yang kental, sambil menunjuk ke lantai warungnya.

Namun, katanya, kontak senjata di desanya pada pagi itu, tidak membuat proses pelaksanaan Pemilu terhambat.

Lalu, adakah ancaman dari GAM dan TNI bagi warga Blang Rheum pada Pemilu lalu?

Aminah mengaku ada ancaman yang dituai warga. Ancaman itu, katanya, ditebar oleh GAM melalui selebaran yang melarang warga ikut dalam pesta demokrasi lima tahunan itu. Menurutnya, bukan hanya Desa Blang Rheum yang menerima ancaman. Beberapa desa yang bertetangga dengan Desa Blang Rheum juga mengalami nasib yang sama.

Aha, GAM menebar teror melalui selebaran? Namun, ketika ditanyakan adakah bukti yang menguatkan keterangan yang diberikannya itu, Aminah buru-buru menambahkan. “Tapi tidak ada keuchik yang berani menyimpan selebaran itu,” katanya.

“Ada risiko.” Namun ia tidak memerinci, resiko apa yang bakal didapat jika menyimpan selebaran itu. Juga, resiko bagi yang tidak mengindahkan ancaman GAM.

Memang, tidak mudah untuk mendapatkan bukti adanya selebaran yang menebar teror untuk tidak ikut Pemilu pada 5 April lalu itu. Satu-satunya bukti yang menguatkan dugaan adanya ancaman yang ditebar GAM justeru didapat di Kabupaten Aceh Jaya. Di kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat itu, enam kepala desa membuat pernyataan bersama. Dalam pernyataan itu, mereka mengaku mendapat ancaman dari kelompok yang hendak memisahkan diri dari Indonesia itu. GAM, kata mereka, akan memotong jari warga yang ikut Pemilu. Juga, lanjut pernyataan itu, GAM akan mendenda warga sebesar Rp. 2 juta. (Baca: Surat Intimidasi GAM yang Misterius).

Lain istri, lain lagi suami. Begitulah M Adam Ismail (51), Kepala Desa Blang Rheum membantah apa yang dipaparkan oleh sang isteri. Pria yang bertubuh ceking ini mengaku tidak ada ancaman apa pun pada hari Pemilu. Apalagi, ancaman melalui selebaran yang dikeluarkan GAM seperti pengakuan isterinya, beberapa jam lalu.

Namun, ia membenarkan adanya usaha menggagalkan Pemilu yang dilakukan GAM pada hari H. Menurutnya, pada hari Pemilu, sempat terjadi kontak senjata antara pasukan TNI dengan anggota GAM yang menggunakan beberapa pucuk senjata campuran. Kontak senjata di pagi buta itu katanya, menyebabkan dua warga desanya menjadi korban.

Abu Bakar, seperti telah disebutkan di muka, mengalami luka-luka setelah timah panas menembus bahu sebelah kanannya. Sementara M Nasir, anggota Pam Linmas, hanya menderita luka ringan setelah serpihan timah panas mengena samping perutnya. “Tidak ada korban dari pihak TNI di Pos. Yang kena malah petugas TPS di lapangan, M Nasir,” jelas M Adam Ismail.

Adam mengatakan, peluru yang melukai Abu Bakar bukan dari letupan senjata GAM.

***

Bukan hanya di Desa Blang Rheum kontak senjata terjadi pada hari H. Di Desa Rambong Payong Kecamatan Peusangan Kabupaten Bireuen juga terjadi hal serupa. Desa Rambong Payong, terletak sekitar 16 km arah tenggara Kota Bireuen. Kondisi geografis desa itu terdiri dari perbukitan dan persawahan penduduk.

Desa Rambong Payong pada Pemilu 5 April 2004, masuk dalam rayonisasi yang diadakan di Desa Lueng Daneuen, yang berjarak hanya sekitar satu kilometer. Warga desa itu, melakukan pencoblosan di rayon yang telah ditentukan.

Keuchik Desa Lueng Daneun Rusli mengakui adanya kontak senjata selama beberapa menit di Desa Rambong Payong. Menurutnya, kontak senjata itu merupakan upaya GAM melakukan teror kepada masyarakat pemilih.

Namun, Rusli mengaku, kontak senjata itu, tidak mempengaruhi jalannya pesta demokrasi di desa pedalaman itu. Hanya saja, katanya, banyak warga yang terlambat tiba di lokasi rayon pemilihan yang berjarak satu kilometer, yang dikonsentrasikan di SD Lueng Daneun.

Adanya gangguan terhadap jalannya Pemilu di Desa Rambong Payong juga diakui Serka Sukarsyah, Wakil Komandan Koramil Peusangan Kabupaten Bireuen. Dalam keterangannya, Sukarsyah mengatakan, insiden itu terjadi akibat adanya serangan yang dilancarkan GAM terhadap pasukan TNI yang mengamankan prosesi Pemilu. “Ya, itu insiden menjelang Pemilu dan pasukan TNI terdekat bisa mengamankan warga di sana,” kata Sukarsyah.
Akibatnya, proses pelaksanaan Pemilu di Desa Rambong Payong mengalami keterlambatan karena warga tidak berani keluar rumah usai gangguan bersenjata itu.

Bagian 2
Surat Intimidasi GAM yang Misterius

SEBUAH siaran pers dikeluarkan aktivis Forum LSM Aceh--salah satu lembaga yang melakukan pemantauan Pemilu di Aceh. Dalam siaran pers itu, Forum mensinyalir telah terjadi ancaman terhadap masyarakat pemilih. Ancaman itu, kata siaran pers tadi, dilakukan oleh GAM terhadap para kepala desa dan masyarakat pemilih yang ada di wilayah kabupaten Aceh Jaya. Ancaman potong jari ditujukan bagi pemilih yang mempunyai tinta hitam di jempolnya. Selain itu, GAM mengancam akan memberikan tindakan tegas bagi kepala desa.

Kasus dugaan adanya ancaman GAM terhadap masyarakat pemilih, merebak menyusul adanya surat dari enam kepala desa di sejumlah kecamatan yang ada di kabupaten Aceh Jaya. Para kepala desa itu, dalam pernyataan bersama, mengatakan, ancaman itu ditebar melalui selebaran-selebaran yang berkop Aceh Sumatera National Liberation Front (ASNLF), nama lain bagi kelompok GAM.

Lalu, benarkah GAM menebar teror bagi masyarakat Aceh yang ikut Pemilu? Lantas, benarkah selebaran itu berasal dari GAM? Selain di Aceh Jaya, apakah kabupaten, seperti Bireuen, juga menuai teror?

Tidak mudah memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Sejauh ini, GAM tidak mengeluarkan statemen resminya mengenai ancaman ini.

Baiklah, sebuah penelusuran dicoba lakukan di Kabupaten Bireuen, apakah GAM juga mengancam pemilih di kabupaten yang dulunya berinduk ke Aceh Utara itu.

Di kabupaten yang intensitas konfliknya tinggi ini ternyata ada masyarakat yang mengalami intimidasi dan pemaksaan pada hari pemilihan. Beberapa kepala desa yang ditanyai mengaku mendapat larangan untuk mengikuti Pemilu. Hal ini juga dibenarkan beberapa warga yang dimintai keterangannya.

Rusli, Keuchik Lueng Daneun, Kecamatan Peusangan, mengakui pernah mendengar adanya surat ancaman yang dikeluarkan GAM yang melarang warga ikut Pemilu. Namun, ia sendiri tidak menerimanya. Bahkan, katanya, beberapa koleganya yang mendapatkan selebaran itu, mengaku tidak berani menyimpan, karena takut. “Ada keuchik-keuchik yang menerima selebaran jangan ikut Pemilu. Tapi keuchik mana yang berani menyampaikan kepada masyarakat, karena keuchik sama takutnya kepada kedua belah pihak, ke sana takut, ke sini takut,” sebut Rusli. Sampai di sini, Rusli ingin mengatakan bahwa, mereka serba salah. Takut pada GAM, juga TNI.

Menurut pengakuannya, hal itu terjadi di beberapa desa di pedalaman. Dia memberikan contoh di Desa Rambong Payong, Alue Kupula, Cot Batee, Alue Iet dan beberapa desa lainnya, masih di Kecamatan Peusangan.

“Itu saya dengar, belum tentu pasti kan, kita dengar kan lain,” sebutnya kemudian. Tetapi dia sendiri mengatakan tak pernah mendapatkannya.

Informasi yang diberikan Rusli sangat membantu. Beberapa desa yang disebutkan itu kami datangi untuk melakukan verifikasi.

***

Desa Alue Iet yang oleh Rusli disebut sebagai salah satu desa yang menerima ancaman, berjarak 20 km arah tenggara Kota Bireuen. Di desa itu, terdapat pos TNI dari Yon TNI kesatuan Kostrad yang bermarkas tak jauh dari SD Alue Iet.

Pada Pemilu 5 April silam, warga desa tersebut melakukan pencoblosan bersama-sama dengan warga dari lima desa lainnya. Artinya, TPS-TPS di Alue Iet, Alue Glumpang, Mamprei, Buket Sudan, Pante Karya dan Kreueng Meuh, dirayonkan. Rayonisasi adalah menggabungkan beberapa desa untuk melakukan pencoblosan di TPS-TPS yang dikumpulkan di sebuah tanah lapang.

Desa Krueng Meuh yang berbatasan dengan Aceh Tengah adalah desa yang masih sangat pedalaman. Desa ini dikelilingi hutan belantara. Warga desa ini pada hari pemilihan, terpaksa harus menggunakan hak pilihnya di desa Alue Iet, yang berjarak sekitar 7 km. Desa ini termasuk basis GAM di wilayah Bireuen.

Amri, anak Keuchik Alue Iet, mengatakan, menjelang pemilihan di Mamperi yang berdekatan dengan desanya terdengar suara dentuman layaknya suara letupan bom sebanyak tiga kali. Yunus (54), Keuchik Alue Iet, sosok pendiam dan sedikit hati-hati dalam memberikan keterangan kelihatan gugup dalam menjawab beberapa pertanyaan yang kami ajukan dalam bahasa Aceh. Memang kadang kala warga jika ditanyai dalam bahasa Aceh dijawab dengan lancar tanpa beban. Sebaliknya ditanya dalam bahasa Indonesia, mungkin saja jawaban tersebut singkat atau berbeda yang diberikan dalam bahasa Aceh.

Menurut Yunus, tidak ada intimidasi dari para pihak yang bertikai selama Pemilu. Dia juga mengaku tidak pernah mendapat surat ancaman dari GAM. Sehingga, ia dan warganya, tidak perlu khawatir. “Tidak ada kendala, pasukan pengaman ada disini semua kok, ada TNI, Brimob juga,” katanya.

Hanya saja, katanya, perhitungan suara di TPS yang ada di desanya, hanya sampai dengan jam 17:00 WIB. Sebelum perhitungan suara usai, kotak suara dan kartu suara yang sudah dicoblos dibawa ke kantor camat untuk pehitungan suara lanjutan. “Besoknya beres terus semua,” lanjutnya kemudian.

Tidak mudah menemukan bukti surat yang mengancam warga itu. Hanya beberapa kepala desa saja yang mengaku pernah mendapat surat semacam itu. Itu pun, para mereka mengaku tidak berani menyimpannya. Hal ini sebagaimana dikatakan Ramli, kepala desa Rambong Payong. Ramli, mengaku pernah menerima surat ancaman dari GAM itu. Namun ia tidak menyimpan terlalu lama surat tersebut di tangannya. “Saya bakar karena takut,” kata Ramli.

Mawardi, Sekretaris Desa Pante Baro mengaku tidak pernah menerima surat ancaman dari GAM. Tapi, Mawardi mengaku pernah mendengar adanya ancaman bagi para perangkat desa dan warga, yang ikut menyukseskan Pemilu 2004. Ancaman itu, sebut Mawardi, bersifat lisan. Tapi ia tidak bisa memastikan kebenarannya.

Hal senada juga dikemukakan Fakri SE, Sekretaris Front Perlawanan Separatis GAM (FPSG) wilayah Bireuen. Menurutnya ancaman dalam bentuk lisan terjadi hampir di semua daerah pedalaman Bireuen. “Sampai hari ini di pedalaman itu sebagian besar masih dikuasai oleh GAM,” ujar Fakri.

Fakri juga mengatakan, ketika mengancam, GAM langsung mendatangi rumah kepala desa, anggota Pam Pemilu Linmas. Ancaman GAM, kata Fakri, berbentuk dengan menyuruh kepala desa dan anggota Pam Pemilu Linmas untuk mengungsi.

Sementara itu, Drs A Madjid, Camat Kecamatan Peusangan mengaku beberapa desa mendapat ancaman dari GAM. Bahkan, Madjid mengaku pernah “memegang” surat itu, yang diberikan oleh seorang kepala desa yang ada di kecamatan yang dipimpinnya.

“Surat itu memang ada,” kata Madjid ketika dihubungi di kantornya, Rabu, (12/5). Namun, katanya, pihaknya tidak tahu pengirim surat misterius itu. “Para keuchik yang umumnya di daerah pedalaman atau sekitar basis GAM mendapatkan surat itu di bawah pintu, yang ditaruh pada malam harinya,” kata Madjid, yang mengaku meneruskan surat ancaman itu kepada pihak aparat keamanan. “Saya kasih ke aparat keamanan, dalam hal ini Koramil Peusangan,” sebutnya.

Ketika hal ini dikonfirmasi kepada komandan koramil Peusangan, Lettu inf Doraji mengaku tidak pernah menerima surat ancaman itu. Pernyataan Doraji sangat kontras dengan pengakuan Madjid yang mengaku menerima dan menyerahkannya kepada koramil. “Tidak ada sama kami, kalau isu itu ada. GAM mungkin tidak sempat menyebarkan surat itu ke warga, karena kami ada di tiap daerah pedalaman,” sebut Wadanramil Serka Sukarsyah.

Agaknya, keberadaan surat misterius itu, memang sangat sulit diendus. Namun, kami berhasil memperoleh surat ancaman GAM yang ditujukan kepada kepala desa dan warga di Aceh Jaya.
Berdasarkan analisa atas surat itu, ada beberapa kejanggalan yang patut dipertanyakan lebih jauh. Hal ini terlihat dari penggunaan kata intimidasi. Padahal, masyarakat perkampungan, sangat jarang menggunakan kata-kata ini. Juga, sangat sistematisnya pengakuan surat itu. Tapi, di sini kami tidak berpretensi untuk membenarkan dan menyalahkan keberadaan surat itu.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting