Senin, September 27, 2004

Bagian 1
Teror Senjata di Hari Pemilu

MATAHARI menyengat di Blang Rheum, desa terpencil di pedalaman Aceh. Empat kilometer dari Kabupaten Bireuen atau 220 kilometer dari arah barat laut kota Banda Aceh, desa itu terletak di seberang sebuah bukit kecil nan senyap. Tidak ada perumahan penduduk di sekitar bukit tersebut. Hanya rumpun bambu dan semak-semak lainnya yang banyak menghiasi sekitar bukit. Ketika bukit terlewati, dan ini hampir memasuki pekampungan Blang Rheum, sebuah grafiti terpampang. Mencuri perhatian siapa saja yang melintasinya. Grafiti besar itu berada persis di tengah-tengah bukit.

“Hancurkan Separatis GAM Demi Tegaknya NKRI”. Begitulah bunyi tulisan di situ.

Grafiti, baliho, pamplet dan spanduk dengan pesan serupa sebenarnya bisa ditemukan hampir di semua desa, kecamatan dan kabupaten di Aceh. Tapi, kehadirannya di Bireuen agak istimewa. Kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara ini merupakan salah satu wilayah tempat lahir banyak tokoh penting Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang oleh Pemerintah Indonesia di Jakarta dijuluki sebagai “gerakan separatis”. Kehadiran grafiti di tempat terpencil seperti itu menunjukkan betapa kekuasaan pemerintah pusat sebenarnya cukup luas merasuk.

Hampir seluruh di Aceh, semua nampaknya sepakat kekuatan “separatis” harus ditumpas demi kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Itu juga merupakan bentuk pernyataan mendukung pelaksanaan operasi terpadu dengan status Darurat Militer (DM) di Aceh.

Status DM inilah yang banyak diperdebatkan dalam kaitan pemilihan umum (Pemilu) legislatif 5 April lalu. Bisakah pemilihan umum dilakukan di bawah DM? Bisakah dijamin adanya Pemilu yang demokratis, adil, jujur dan rahasia?

Pertanyaan seperti itu mengemuka. Dan salah satu jawabannya bisa ditemukan di Blang Rheum, tempat hari Pemilu itu diwarnai kontak tembak antara pasukan TNI dengan anggota GAM.

Tidak mudah memperoleh informasi dari masyarakat Blang Rheum. Apalagi, tipologi masyarakat yang tertutup yang tidak mudah memberi informasi kepada pendatang. Hal ini seperti diketahui dari keterangan yang diberikan Nasir. Pemandu lokal yang menemani itu mengatakan, masyarakat desa ini, tidak gampang dalam memberikan informasi apa pun kepada pendatang.

Di sebuah pos kamling, masyarakat desa itu memberi petunjuk untuk sampai di rumah Kepala Desa Blang Rheum. Tak jauh lagi dari situ. Tepatnya di sebuah warung kopi yang berjarak sekitar 100 meter.

Tidak banyak orang yang ada di warung di hari itu. Hanya beberapa anak kecil dan seorang wanita paruh baya, yang belakangan diketahui merupakan isteri Adam Ismail, Kepala Desa Blang Rheum.

Sayang, Adam tidak di rumah di pagi itu. Menurut keterangan Aminah, isteri Adam, sang suami sedang mengerjakan sawah yang tak jauh dari rumahnya. Dalam perbincangan sembari menunggu Adam pulang dari tempat kerjanya, Aminah menceritakan perihal kontak tembak antara pasukan TNI dengan GAM pada hari Pemilu.

Menurut Aminah, akibat kontak senjata di pagi buta itu, menyebabkan Abu Bakar warga sipil di desanya menjadi korban peluru nyasar. Abu Bakar mengalami luka tembak di bagian bahu dan lengannya. Kontak senjata, kata Aminah, diduga terjadi setelah adanya usaha GAM untuk menggagalkan jalannya Pemilu. GAM, katanya, berusaha menyerang pasukan TNI yang ada di Tempat Pemungutan Suara (TPS), sebuah lapangan desa yang tidak jauh dari warungnya.

Menurutnya, kejadian sekitar pukul 05:30 WIB, pada hari H Pemilu 2004 melukai dua warga setempat. Abu Bakar, ketika pagi itu, baru saja kena giliran ronda malam. Sementara seorang lainnya, M Nasir adalah seorang petugas Pam Linmas yang bertugas mengamankan TPS-TPS.

“Abu Bakar tertembak di sini, ketika sedang merunduk,” kata Aminah dalam bahasa Aceh yang kental, sambil menunjuk ke lantai warungnya.

Namun, katanya, kontak senjata di desanya pada pagi itu, tidak membuat proses pelaksanaan Pemilu terhambat.

Lalu, adakah ancaman dari GAM dan TNI bagi warga Blang Rheum pada Pemilu lalu?

Aminah mengaku ada ancaman yang dituai warga. Ancaman itu, katanya, ditebar oleh GAM melalui selebaran yang melarang warga ikut dalam pesta demokrasi lima tahunan itu. Menurutnya, bukan hanya Desa Blang Rheum yang menerima ancaman. Beberapa desa yang bertetangga dengan Desa Blang Rheum juga mengalami nasib yang sama.

Aha, GAM menebar teror melalui selebaran? Namun, ketika ditanyakan adakah bukti yang menguatkan keterangan yang diberikannya itu, Aminah buru-buru menambahkan. “Tapi tidak ada keuchik yang berani menyimpan selebaran itu,” katanya.

“Ada risiko.” Namun ia tidak memerinci, resiko apa yang bakal didapat jika menyimpan selebaran itu. Juga, resiko bagi yang tidak mengindahkan ancaman GAM.

Memang, tidak mudah untuk mendapatkan bukti adanya selebaran yang menebar teror untuk tidak ikut Pemilu pada 5 April lalu itu. Satu-satunya bukti yang menguatkan dugaan adanya ancaman yang ditebar GAM justeru didapat di Kabupaten Aceh Jaya. Di kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat itu, enam kepala desa membuat pernyataan bersama. Dalam pernyataan itu, mereka mengaku mendapat ancaman dari kelompok yang hendak memisahkan diri dari Indonesia itu. GAM, kata mereka, akan memotong jari warga yang ikut Pemilu. Juga, lanjut pernyataan itu, GAM akan mendenda warga sebesar Rp. 2 juta. (Baca: Surat Intimidasi GAM yang Misterius).

Lain istri, lain lagi suami. Begitulah M Adam Ismail (51), Kepala Desa Blang Rheum membantah apa yang dipaparkan oleh sang isteri. Pria yang bertubuh ceking ini mengaku tidak ada ancaman apa pun pada hari Pemilu. Apalagi, ancaman melalui selebaran yang dikeluarkan GAM seperti pengakuan isterinya, beberapa jam lalu.

Namun, ia membenarkan adanya usaha menggagalkan Pemilu yang dilakukan GAM pada hari H. Menurutnya, pada hari Pemilu, sempat terjadi kontak senjata antara pasukan TNI dengan anggota GAM yang menggunakan beberapa pucuk senjata campuran. Kontak senjata di pagi buta itu katanya, menyebabkan dua warga desanya menjadi korban.

Abu Bakar, seperti telah disebutkan di muka, mengalami luka-luka setelah timah panas menembus bahu sebelah kanannya. Sementara M Nasir, anggota Pam Linmas, hanya menderita luka ringan setelah serpihan timah panas mengena samping perutnya. “Tidak ada korban dari pihak TNI di Pos. Yang kena malah petugas TPS di lapangan, M Nasir,” jelas M Adam Ismail.

Adam mengatakan, peluru yang melukai Abu Bakar bukan dari letupan senjata GAM.

***

Bukan hanya di Desa Blang Rheum kontak senjata terjadi pada hari H. Di Desa Rambong Payong Kecamatan Peusangan Kabupaten Bireuen juga terjadi hal serupa. Desa Rambong Payong, terletak sekitar 16 km arah tenggara Kota Bireuen. Kondisi geografis desa itu terdiri dari perbukitan dan persawahan penduduk.

Desa Rambong Payong pada Pemilu 5 April 2004, masuk dalam rayonisasi yang diadakan di Desa Lueng Daneuen, yang berjarak hanya sekitar satu kilometer. Warga desa itu, melakukan pencoblosan di rayon yang telah ditentukan.

Keuchik Desa Lueng Daneun Rusli mengakui adanya kontak senjata selama beberapa menit di Desa Rambong Payong. Menurutnya, kontak senjata itu merupakan upaya GAM melakukan teror kepada masyarakat pemilih.

Namun, Rusli mengaku, kontak senjata itu, tidak mempengaruhi jalannya pesta demokrasi di desa pedalaman itu. Hanya saja, katanya, banyak warga yang terlambat tiba di lokasi rayon pemilihan yang berjarak satu kilometer, yang dikonsentrasikan di SD Lueng Daneun.

Adanya gangguan terhadap jalannya Pemilu di Desa Rambong Payong juga diakui Serka Sukarsyah, Wakil Komandan Koramil Peusangan Kabupaten Bireuen. Dalam keterangannya, Sukarsyah mengatakan, insiden itu terjadi akibat adanya serangan yang dilancarkan GAM terhadap pasukan TNI yang mengamankan prosesi Pemilu. “Ya, itu insiden menjelang Pemilu dan pasukan TNI terdekat bisa mengamankan warga di sana,” kata Sukarsyah.
Akibatnya, proses pelaksanaan Pemilu di Desa Rambong Payong mengalami keterlambatan karena warga tidak berani keluar rumah usai gangguan bersenjata itu.

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting