Senin, September 27, 2004

Bagian 5
Rayonisasi atau Mobilisasi Massa?

5 April 2004, pagi. Ribuan warga Desa Lamreung, Meunasah Papeun, Meunasah Lueng Ie, Rumpet dan Lamgeuleumpang, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar berbondong-bondong mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Desa Lamreung. Di lapangan desa yang berbatasan dengan Kampus Darussalam, Banda Aceh ini, memang menjadi tempat tujuan ribuan warga yang hendak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum legislatif di daerah yang saat itu masih berada dalam status darurat militer. Di lapangan Desa Lamreung, disediakan 15 TPS untuk melayani kebutuhan masyarakat lima desa. Penggabungan ini, menurut seorang anggota Panwaslu Aceh Besar, karena alasan keamanan. Di Kecamatan Ingin Jaya saja, katanya, terdapat dua rayon yang menggabungkan beberapa desa. "Ini hanya faktor keamanan," katanya.

Bukan hanya di Aceh Besar saja yang terjadi rayonisasi. Di kabupaten/kota lainnya di Aceh yang dianggap rawan gangguan keamanan, juga dilakukan rayonisasi. Di Kabupaten Bireuen terdapat 158 rayon. Padahal, kecamatan di Bireuen, hanya 10 kecamatan dengan 514 desa. Sementara TPS yang tersebar di kabupaten yang sangat tinggi eskalasi konflik ini, sebanyak 945 TPS.

Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari warga Di Bireuen, ada pemilih yang harus berjalan kaki tiga kilometer untuk memberikan hak suaranya. Di lain kali, ada masyarakat pemilih yang diangkut dengan truk-truk untuk menghadiri TPS. Bisa dikatakan ini adalah upaya memobilisasi masyarakat pemilih untuk menggunakan hak pilihnya pada Pemilu memilih legislatif 2004. Apakah ini akan terulang lagi pada Pemilu memilih Presiden dan Wakil Presiden 5 Juli 2004?

Rayonisasi TPS-TPS diberlakukan hanya di daerah-daerah yang dianggap rawan dari gangguan keamanan. Artinya, Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) sang pemilik ide rayonisasi, mengatakan rayon ini hanya dibuat di daerah yang masih abu-abu dan hitam.

'Rayonisasi artinya kalau di desa yang rawan itu tidak bisa dilaksanakan pemilu, maka bisa kita pindahkan ke desa lainnya yang terdekat dan sedikit aman,' ujar Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh di Banda Aceh pada 3 April 2004.

Namun, menurutnya, berdasarkan keterangan dari Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) Aceh, pemilu tetap bisa dilangsungkan di daerah rawan tersebut, karena sudah mendapat jaminan keamanan. Untuk memastikannya, Puteh akan membicarakan masalah tersebut dengan Menko Polkam ad interim Hari Sabarno.
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPU) Nanggroe Aceh Darussalam, tidak begitu mempersoalkan adanya tidaknya rayonisasi dalam pelaksanaan pemilu lalu. Menurut Hasbullah Tjoetgam, Ketua KPU Aceh, dalam sebuah kesempatan mengatakan, rayonisasi bukan urusan KPU, melainkan urusan aparat keamanan. "Rayonisasi sudah ditetapkan di daerah-daerah yang rawan," katanya.

Bagi pihaknya, "Kita tidak membuat desa mana yang katagori hitam dan putih. Itu bukan urusan kita. Itu hanya istilah untuk (aparat) keamanan. Bagi KPU sama saja," kata Hasbullah.

Pada saat pemilihan presiden pun, rayonisasi masih berlaku. Di Kecamatan Krueng Barona Jaya ini, rayonisasi juga masih berlangsung. Kalau dalam Pemilu legislatif lokasinya di lapangan Desa Lamreung, kini dipindahkan ke kompleks Sekolah Dasar (SD) dan Taman Kanak-kanak T Nyak Arief, Desa Lamreung. Begitu halnya di beberapa tempat. Sebut saja misalnya di Kabupaten Aceh Timur. Bahkan di kabupaten yang intensitas konfliknya masih membara ini, masyarakat Seuneubok Aceh Kecamatan Idi Cut Kabupaten Aceh Timur harus menempuh perjalanan untuk melakukan pencoblosan sepanjang tak kurang darit tujuh kilometer. Ada juga, mereka yang dimobilisasi untuk datang ke TPS-TPS.

Lalu, adakah rayonisasi ini berbuah tekanan?

Tidak mudah untuk menjawab asumsi ini. Namun, yang jelas, menurut Lucky Djani, sebagaimana ditulisnya dengan baik dalam Modul Pemantau Dana Kampanye, dalam pemilu yang demokratis, para pemilih harus bebas menentukan sikap politiknya tanpa adanya tekanan, intimidasi, iming-iming pemberian hadiah tertentu yang akan mempengaruhi pilihan mereka.
Berdasarkan pantauan di hari pemilihan, pemilih yang menggunakan hak pilihnya di TPS-TPS yang termasuk dalam rayonisasi, kerahasiaan pilihannya tidak terjamin. Hal ini seperti terlihat di TPS yang ada di lapangan Lamreung. Di 15 TPS yang ada, terlihat bilik suara yang tidak ada tirai yang menutupi bilik suara untuk menjamin kerahasiaan. Padahal, pencoblosan yang rahasia adalah tujuan dari proses pelaksanaan pemilu. Masih menurut Lucky Djani, apa pun pilihan politik yang diambil oleh pemilih tidak boleh diketahui oleh pihak mana pun bahkan oleh panitia pemilihan. Kerahasian sebagai sebuah prinsip sangat terkait dengan kebebasan seseorang dalam memilih.

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting