Rabu, September 01, 2004

Belajar dari yang Kecil

SELASA (31/8). Di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bermarkas di Jalan Juanda Jakarta, beberapa unsur pimpinan DPRD Nanggroe Aceh Darussalam, diundang untuk dimintai keterangannya, perihal pengadaan helikopter Mi-2 buatan Rusia. Heli itu, dibeli Gubernur Abdullah Puteh seharga Rp 12,6 miliar.

Sebenarnya, tidak ada masalah dengan heli itu. Namun, setelah diselidiki, ternyata tidak laik terbang. Sudah begitu, mahal lagi. Jika TNI AU membeli seharga Rp 9 miliar, maka Pemda NAD, membeli seharga disebutkan di atas. Proyek ini, patungan dengan Pemda Tingkat II. Nah, berarti, ada penggelembungan harga sebesar Rp. 4 miliar. Wow! Angka yang sangat fantastis.

Akibatnya, KPK akhirnya menetapkan Abdullah Puteh, sebagai tersangka. Nah, kehadiran para pimpinan DPRD ini, untuk diminta keterangannya sebagai saksi. Pasalnya, anggota DPRD mengetahui rencana pembelian heli ini. Mereka dimintai keterangan.

***

Lalu, di hari yang sama, juga masih di kantor KPK, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) datang mengklarifikasi jumlah harta kekayaannya.

Pada tahun 2001, calon presiden dari Partai Demokrat ini, memiliki harta kekayaan "hanya" Rp 3,4 miliar. Nah, pada 2004, harta SBY naik, menjadi Rp 4,5 miliar. Kata SBY, ada kenaikan "hanya" Rp 1,1 miliar. Itu tentu hak SBY. Tidak ada yang harus digugat, selama dia mencarinya dengan baik.

***

Tinggalkan dua peristiwa itu sejenak.

Semalam sebelum SBY melapor kekayaannya, sepulang dari makan malam di sebuah warteg, di sebuah pojok Jakarta yang glamour ini, saya mendapati seorang ibu dan suaminya, yang tidur di atas gerobak sampah. Gerobak kecil itu, mereka jadikan "rumah".

Tidak ada rumah, kata kawan saya.

Tiap malam, mereka tidur di sana.

Dinginnya hembusan angin malam, tidak mereka hiraukan. Mereka hanya terus mempertahankan hidupnya, walau hembusan angin malam bisa menyebabkan penyakitan. Tapi, di atas gerobak yang tanpa tempat berlindung itu, mereka menyiapkan energinya untuk bisa bekerja keesokan harinya.

Ini perjuangan hidup, lanjut kawan tadi.

Saya tidak bisa membayangkan. Jika itu adalah saya. Bagaimana saya bisa mempertahankan hidup saya melawan dinginnya hembusan angin malam, tanpa tirai pengahalang. Ini sangat berisiko. Bisa kena rematik, minimalnya. Tapi, terlihat mereka masih kuat. Entahlah!

Semoga saja Tuhan tidak menimpakan penyakit dan musibah lainnya kepada mereka dan orang-orang kecil lainnya, batin saya.

Saya teringat sajak-sajak yang dituliskan Faiz (Abdurrahman). Anak Helvi Tiana Rosa ini, masih berusia 8 tahun. Dalam sebuah sajak, ia menceritakan kawannya yang tiada berumah. Kata Faiz, mereka terus mencoba bertahan hidup. Kawannya itu, tidak bisa mengenyam sekolah

Nama kawannya, Udin dan Siti. Kata Faiz, Udin dan Siti, bila malam tiba, tidur di kolong jembatan. Rumah mereka, dibangun dari tripleks dan kardus. Hanya nyamuk dan suara bentakan preman yang menemani mereka.

Faiz yang masih 8 tahun itu, akhirnya berdoa, semoga Udin dan Siti, kelak bisa sekolah dan punya rumah berjendela. Semoga saja!

Saya juga mencoba berdoa, ibu dan suaminya yang menjadikan gerobak sampah sebagai rumah, juga semoga kelak, rumah bagi anak-anaknya berjendela. Juga, sang buah hati bisa sekolah.

Tuhan, dengarkan doa ini!

Saya masih mengutip Faiz. Ia mengajak Presiden untuk sesekali pergi ke perkampungan penduduk, dengan menyamar.

Siapa tahu, ada rakyat yang susah dan kelaparan, tulis Faiz dalam suratnya kepada Ibu Negara Megawati.

Faiz, tidak membolehkan Presiden membawa pengawal.

Anjuran Faiz, saya pikir, menarik untuk direnungkan.

Akhirnya, saya berpesan, mari belajar dari yang kecil....

Jakarta, 1 September 2004

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting