Senin, Agustus 30, 2004

Ada yang Tidak Tahu Konflik Aceh

BEBERAPA anak jalanan sibuk memelototi pajangan foto yang dipamerkan di stan acehkita, Sabtu (28/8) di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta. Pandangan mereka, tertuju pada sebuah foto mayat yang berdarah-darah.

“E, ini di mana, ya?” tanya salah seorang anak jalanan itu kepada kawannya.

“Di Iraq, kali,” sahut yang lainnya. “Ambon!”

“Bukan! Ini di Aceh,” kata kawannya yang satu lagi. “Baca tulisan di bawah foto.”

Anak yang memakai baju kaos bercelana pendek itu, lalu termangut-mangut. Ia lalu membaca caption foto yang ada di bawahnya. Raut wajahnya, seketika berubah. Dahinya berkerut, begitu tahu kejadian itu di Aceh, sebuah provinsi yang terletak di ujung barat Indonesia.

“Ngeri,” katanya, sambil berlalu meninggalkan stan acehkita.

Hari Minggu (29/8), sekitar lima anak jalanan yang lain datang melihat-lihat pameran Bazar Media yang diselenggarakan dalam rangka memperingati 10 tahun keberadaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Seorang anak yang bertubuh tinggi kurus, terlihat seakan menjadi “penunjuk” jalan bagi kawannya untuk melihat foto-foto menarik.

Satu per satu foto yang menurutnya menarik, diperlihatkan kepada empat kawannya. Rata-rata anak ini menunjuk foto mayat. Bahkan, ia juga menunjuk gambar dua tengkorak yang ditemukan di Lhok Ndoe, Simpang Tiga, Sibreh Aceh Besar. Kedua tengkorak warga sipil yang diduga dibantai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini, ditemukan dalam satu liang.

Dua buah foto yang menampilkan dua Tenaga Pembantu Operasi (TPO) yang tewas ditembak GAM, membuat anak jalanan ini berkomentar pedas. Ia tidak lagi membaca keterangan foto yang dibuat acehkita.

“Payah TNI, main tembak aja. Belum tentu bersalah juga,” katanya seakan memberi penjelasan kepada kawannya yang berdiri di samping kanannya. Anak-anak jalanan itu, diperkirakan masih berumur delapan atau sembilan tahun.

Kawannya yang berpakaian lusuh, terlihat hanya mengangguk. Matanya masih menatap sebuah foto yang menampilkan mayat yang mengucurkan darah segar. Lama ia menatap foto yang mengerikan itu. Ia baru tersentak kaget, setelah tanggannya dihentak seorang kawan lainnya.

“Lihat yang lain aja,” ajak kawannya.

Lima anak jalanan itu, akhirnya meninggalkan stan acehkita.

Tak berapa lama setelah lima anak jalanan tersebut meninggalkan stan acehkita, seorang pria berpakaian rapi, datang melihat-lihat pajangan foto.

“Wah, ternyata ada ya, foto-foto korban seperti ini. Saya tanya sama salah seorang kawan saya di sana, katanya tidak ada,” kata pria itu terheran-heran.

Penjaga stan acehkita, lalu menceritakan, bahwa banyak rakyat sipil yang menjadi korban semasa pemberlakuan darurat militer di Aceh. Ini, kata penjaga stan itu, hanya beberapa foto saja yang dipajang dari sekian banyak foto serupa yang dimiliki acehkita.

“Kalau mau lihat lagi, Bapak buka situs kami aja,” kata salah seorang staf acehkita.

Lelaki itu hanya bisa termangut-mangut. Ia masih terus memelototi foto demi foto yang dipajang di stan berukuran 2x2 meter itu.

“Ini haluannya ke mana. Kiri atau kanan? Atau, tengah-tengah aja,” tiba-tiba lelaki berkulit putih itu, bertanya.

“Kita hanya berpihak kepada rakyat sipil,” kata staf acehkita, menjelaskan.

Mendengar penjelasan ini, lelaki itu, pamit, setelah melihat-lihat kesemua foto dan karikatur satir yang ada di stan itu.

Stan acehkita termasuk salah satu stan yang paling banyak dikunjungi, selain stan Tabloid Pulsa. Pasalnya, di stan tabloid ini, saban sore sejak pukul 18.00-19.00 WIB diadakan pelelangan telepon selular.

Stan acehkita pada Sabtu (28/8) atau hari keempat pameran, sempat dikunjungi Sri Bintang Pamungkas, mantan aktivis Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang pernah dijebloskan ke penjara semasa rezim Soeharto. Selain Bintang, Liem Soei Liong dari Tapol Internasional (LSM HAM yang bermarkas di London) juga menyempatkan diri berkunjung.

Pengunjung stan acehkita, terlihat membludak di hari pertama dan kedua. Untuk mengantisipasi ini, acehkita meminta “ruang” lainnya untuk menempel beberapa foto lain. Akhirnya, Panitia dari AJI memperbolehkan acehkita menempel empat frame foto di dinding samping stan Tempo Inti Media yang berada persis di depan stan acehkita.

Dalam acara Bazar Media yang diikuti 33 lembaga pers dan penerbitan itu, Acehkita menampilkan sebanyak 106 lembar foto. Foto yang paling dominan dipamerkan adalah foto rakyat sipil yang menjadi korban semasa setahun pemberlakuan darurat militer, yang diperpanjang lagi dengan darurat sipil. Sejak 19 Mei 2003 hingga 18 Mei 2004, Pemerintah Pusat memberlakukan status darurat militer di Aceh. Pada 19 Mei 2004, Jakarta menurunkan status Aceh, menjadi Darurat Sipil selama enam bulan, yang akan berakhir pada 18 November 2004 mendatang.

Namun, ada juga beberapa foto yang bersifat human interest, seperti foto Muhammaddin, salah seorang pemulung di Banda Aceh, yang diabadikan melalui rekaman lensa Fajar M, usai perayaan HUT RI ke-59 di Blang Padang Banda Aceh.

Foto kematian Ersa Siregar, dan pembebasan Ferry Santoro, reporter dan kameramen RCTI, juga menarik minat pengunjung, selain foto-foto bernuansa pemilu presiden putaran pertama, 5 Juli lalu.

Bahkan, seorang ibu yang berkunjung bersama dua anak gadisnya, terlihat terus mengamati foto-foto yang menampilkan dua wartawan stasiun televisi swasta nasional pertama di Indonesia itu. Padahal, seorang anak gadisnya, terlihat menarik tangan sang ibu mengajak melihat-lihat ke stan lain.

“Entar dulu. Ini lihat mayat Ersa,” kata sang ibu memberi penjelasan kepada anak gadisnya yang sudah tidak sabaran itu.

Foto Ersa yang dipajang adalah foto ketika Ersa disalatkan oleh masyarakat dan perwira serta prajurit TNI di Makodim 0103 Aceh Utara. Usai melihat gambar Ersa dan Ferry Santoro, ibu itu bukannya memenuhi keinginan anak-anaknya. Ia terus saja melihat-lihat foto-foto lainnya.

Beberapa foto korban penembakan, seperti foto jepretan Misrie yang mengabadikan seorang korban yang otaknya terburai, terpaksa ditutup dengan kertas, agar tidak terkesan vulgar dan sadis. Beberapa pengunjung, termasuk wanita, malah menyempatkan diri untuk menyibak kertas putih itu, untuk melihat foto-foto otak terburai itu.

Banyak yang bersimpati dengan kejadian di Tanah Seulanga. Seorang pengunjung yang mengaku dari sebuah lembaga swadaya masyarakat yang konsern dengan Hak-hak Asasi Manusia (HAM) di Jakarta, sempat meminta acehkita untuk memberikan data-data tentang pelanggaran HAM di Aceh.

Bahkan, seorang perempuan muda, terlihat betah berlama-lama di depan pajangan foto yang banyak menampilkan kematian itu. Perempuan yang memakai baju merah dipadu celana panjang berwarna hitam, justru seakan tidak mau melewatkan satu pun foto-foto hasil jepretan kontributor acehkita di Aceh.

Namun, tidak jarang, pengunjung juga tidak sanggup melihat tampilan foto-foto yang dipajang acehkita tersebut.

“Takut,” kata salah seorang gadis yang menjaga salah satu stan yang berdekatan dengan stan acehkita.

Tidak semua pengunjung yang menyatakan rasa simpatinya terhadap penderitaan korban di Aceh. Salah seorang pria malah sempat mencibir.

“Kalian jual data ke negara asing, ya?” cibir pria itu.

Mungkin sebelum melontarkan pertanyaan ini, pria berbadan tegap tersebut, terprovokasi dengan sebuah tulisan yang dipajang di antara 17 frame foto yang dipamerkan acehkita.

“Bagaimana selama ini kalian bisa berjalan? Karena menukarkan data, kan? Sama seperti… (menyebutkan sebuah LSM –red.),” timpalnya lagi.

Mendengar beberapa pertanyaan yang dicecar, dua staf acehkita yang menjaga stan ketika itu hanya bisa senyam-senyum.

Tidak sedikit pula yang mempertanyakan kebenaran foto tersebut. Salah seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Jakarta, bahkan mengaku tidak percaya di Tanah Serambi Mekkah ada banyak korban berjatuhan seperti yang tengah disaksikan di hadapan matanya itu.

“Ini benar di Aceh?” tanya mahasiswi itu, seakan tidak percaya.

Pasalnya, menurut penuturan mahasiswi itu, dia tidak mendapatkan informasi seperti ini, di media nasional dan ibu kota lainnya.

“Bagaimana foto-foto ini bisa diambil?” dia bertanya dengan wajah yang serius, masih tidak percaya.

Penjaga stan acehkita lalu menjelaskan bagaimana media yang konsern memberitakan perang di Tanah Seulanga, ini mendapatkan foto-foto yang bagi sebagian orang “mengerikan” itu.


***

Minggu (29/8), pukul 18.30 WIB. Bazaar Media AJI, ditutup. Belasan lembaga yang ambil bagian dalam bazaar itu, sibuk mengepak barang-barangnya. Puluhan pengunjung, masih tampak melihat-melihat beberapa stan yang belum tutup. Beberapa pengunjung, malah makin memadati stan acehkita. Padahal, T. Arief dari Acehkita, sudah mengepak beberapa barang. Namun, ia urung mencopot 17 frame foto. Pasalnya, sekitar 10 pengunjung masih terus melihat-lihat koleksi acehkita itu.

“Sebentar lagi aja,” kata T. Areif kepada kawannya.

Satu per satu pengunjung mulai meninggalkan stan acehkita. T. Arief pun, akhirnya mencabut frame foto yang dipasang di dinding partisi ruang utama.

Sebelumnya, pada pukul 17.30 WIB, usai temu presenter, panitia AJI secara resmi menutup acara bazar yang berlangsung selama lima hari itu. Bazar Media yang dibuka Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Ratna Sarumpaet yang juga sutradara Teater Satu Merah Panggung yang pernah mementaskan Alia Luka Serambi Mekkah, diikuti 33 lembaga pers dan penerbitan di Jakarta, dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia. Di antaranya, Tempo Inti Media, Majalah Trust, Forum, Bussiness Week edisi Indonesia, Sinar Harapan, The Habibie Centre (THC), Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), LKiS Yogyakarta dan Mizan Bandung.

Sebelumnya, Bazar Media juga diramaikan dengan bedah diskusi, bedah buku Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa dan Gelombang Kematian: Media Pengobar Genosida di Yugoslavia. Ada pemutaran film Fahrenheit 9/11 karya Michael Moore yang monumental dan sebuah film dokumenter tentang Veronica Guerin, seorang wartawan investigasi asal Irlandia yang tewas karena membongkar mafia obat bius, selain temu presenter dengan sejumlah presenter dari RCTI, SCTV, Metro TV dan beberapa televisi lainnya.

Jakarta, 29 Agustus 2004.

Dimuat di AK., edisi 29 Agustus 2004.

Kamis, Agustus 26, 2004

Adakah Hak Aceh untuk Damai?

RABU, 25 Agustus 2004. Ratna Sarumpaet, Ketua Ikatan Kesenian Jakarta (IKJ) membuka Bazaar Media yang digelar Alianasi Jurnalis Independen (AJI) dalam peringatan HUT AJI ke-10. Bazaar yang diadakan di Galeri Cipta 2 Taman Ismail Marzuki, banyak diikuti media terkenal di Jakarta. TEMPO, Sinar Harapan dan LKBN Antara, untuk menyebut beberapa. Selain itu, ada stan Mizan, LKiS, Yayasan Obor, ISAI dan Toko Buku Kalam.

Banyak pengunjung memadati arena bazaar. Sebuah media yang baru berumur 1,5 tahun, juga ikut. Acehkita, nama media itu. Sebuah media yang mengkhususkan pemberitaannya pada penderitaan rakyat Aceh yang sedang dilanda konflik. Acehkita, memilih menampilkan beberapa foto kejadian selama daerah Serambi Mekkah diterapkan status darurat militer selama setahun lamanya. Kemudian, diperpanjang dengan darurat sipil.

Sekitar 100-an foto rakyat korban konflik dipajang. Semua mata yang berlalu lalang, memilih untuk ikut menyaksikan foto itu.

“Aduh, ngeri. Saya nggak bisa lihat,” kata salah seorang pengunjung.

Perempuan itu, lalu memilih untuk tidak berlama-lama di stan .

“Ayo, ke stan lain,” ia mengajak kawannya.

Ya, ini adalah cara acehkita menceritakan kejadian yang sebenarnya di Aceh. Tidak bermaksud mendramatisir.

Saya juga hadir dalam pameran itu. Betapa, saya bergumam, hak-hak rakyat di daerah konflik, diinjak-injak. Ini, gumam saya lagi, bisa terjadi di daerah mana saja yang dilanda konflik. Papua, Ambon, Kosovo dan Bosnia, juga mengalami seperti ini, batin saya.

Lantas, saya bertanya pada diri sendiri, tidakkah ada kesempatan untuk rakyat Aceh untuk hidup normal sebagaimana saudara-saudaranya di Jakarta, Surabaya, dan daerah aman lainnya? Kenapa mereka harus terus dikasari?

Saya tidak menemukan jawabnya. Entah siapa yang bisa memberikan jawaban itu.

Seorang kawan saya dari Jakarta bertanya. “Seperti apa sih konflik di Aceh?”

Saya hanya menjawab dari apa yang saya pahami. Kata saya, kepada sang kawan, konflik Aceh tidak bisa dipandang dari satu sudut pandang. Artinya, kasus Aceh yang sudah menahun dan sudah sangat kompleks permasalahannya. Di Aceh, lanjut saya, konflik itu telah ada sejak pasca-kemerdekaan, kalau mau ambil garis pembatas sejak lahirnya Indonesia. Tapi, tidak semua kejadian menyalahkan Pemerintah Indonesia.

Masa pasca-kemerdekaan, Presiden Soekarno menjanjikan akan memberikan hak istimewa kepada Aceh. Tapi apa lacur, Provinsi Aceh malah dilebur menjadi bagian dari Sumatera bagian Utara. Ya, digabung menjadi bagian (kabupaten) yang berinduk ke Medan. Semua marah! Daud Beureu-eh, tokoh yang sangat mempertahankan Indonesia di Aceh, lalu angkat senjata, melalui Darul Islam Indonesia (DI/TII), pada 21 September 1953.

Pada 23 September 1955, tokoh Aceh menggelar Kongres Rakyat Aceh atau Kongres Batee Krueng. Daud Beureueh diangkat sebagai Kepala Negara dan Wali Negara Aceh. Aceh sebagai Negara Bagian Aceh dari konfederasi NII pimpinan Kartosoewirjo. Dibentuk Ketua Majelis Syura (DPR) Tengku Husin Al Mujahid, Kabinet Negara Bagian Aceh sebanyak sembilan menteri dan Resimen Pertahanan dan Perlawanan sebanyak tujuh wilayah.

Padahal, dulu Daud Beureu-eh merupakan pendukung setia Soekarno dan Indonesia. Lihat saja ketika Soekarno merengek-rengek minta dibelikan kapal terbang. Tempo dua bulan, terkumpul 500.000 dolar AS. Sebanyak 250.000 dolar AS disalurkan kepada angkatan perang RI, 50.000 dolar AS untuk perkantoran RI, 100.000 dolar AS untuk pengembalian pemerintah RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 1000 dolar AS diserahkan kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis.

Kemudian rakyat Aceh mengumpulkan 5 kg emas untuk membeli obligasi pemerintah untuk membiayai perwakilan Indonesia di Singapura, pendirian Kedutaan Besar RI di India dan pembelian dua pesawat terbang untuk transportasi pejabat RI.

Lalu, apa yang didapat? “Merger” provinsi. Bayangkan, Aceh dari sebuah kerajaan yang diperhitungkan di dunia ketika sebelum Indonesia ada, malah menjadi sebuah distrik.

Setelah dibujuk, akhirnya Beureu-eh “turun” kembali ke pengkuan “Ibu Pertiwi”, setelah pada 16 Mei 1959 Pemerintah Seokarno kembali menyetujui berdirinya Provinsi Daerah Istimewa Aceh berdiri. Persetujuan itu dituangkan Wakil Perdana Menteri RI Mr. Hardi dalam Surat Keputusan Nomor 1/Missi/1959. Isinya, memberikan otonomi bidang pendidikan, agama dan adat istiadat. Babak baru Aceh ini berkat negosiasi Gubernur Ali Hasjmy dan Pemimpin Dewan Revolusi Aceh Hasan Saleh. Ia orang dekat Daud Beureueh yang membelot dengan alasan letih berjuang dan memilih turun gunung.

Selesai? Sementara, ya!

Ketidak-adilan terus berlanjut di Aceh. Apalagi setelah gas alam ditemukan di Aceh pada kurun waktu tahun 1970-an. Semakin terasa ketidakadilan, apalagi, kekayaan alam yang dikeruk dari perut bumi Aceh, tidak dikembalikan secara setimpal. Pada 4 Desember 1976, Hasan Muhammad di Tiro memproklamirkan Aceh Merdeka.

Pada 1989, Jakarta di bawah Soeharto menggelar Daerah Operasi Militer dengan sandi Operasi Jaring Merah. Selama sepuluh tahun lamanya, sebelum pada 7 Agustus 1998 Presiden Habibie melalui Panglima ABRI Jendral Wiranto mencabut DOM.

Semua mata terbelalak, ketika DOM dicabut. Ribuan pelanggaran HAM terkuak, akibat penerapan DOM di Aceh. Nyaris tidak ada yang tahu. Rakyat Aceh sebenarnya hanya menginginkan mereka yang terlibat dalam DOM, diadili. Itu saja. Ini semacam rekonsiliasi. Namun, itu tidak mendapat respons positif Jakarta.

Semakin terluka rakyat Aceh. Pada 4 Februari 1999 mahasiswa Aceh menggelinding bola referendum yang mendapat sambutan hangat rakyat Aceh. Puncaknya, pada 9 November 1999, Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU MPR) Aceh yang, katanya, dihadiri oleh sekitar 1,5 juta rakyat Aceh. Gus Dur dan Amien Rais, merupakan tokoh nasional yang juga ikut membuka selubung referendum yang dipancangkan di Mesjid Raya, ketika itu. Ketika Gus Dur menjadi Presiden, bola referendum semakin menggelinding. Bahkan, ia memprovokasi: “Jika ada referendum di Timor Timur, kenapa tidak boleh ada (referendum) di Aceh,” kata Gus Dur ketika berada di Phom Phen, Kamboja.

Di tahun 1999 atau tepatnya 23 Juli, sebuah luka rakyat Aceh kembali tergores. Teungku Bantaqiah dan 56 pengikutnya dibantai di Dayah Babul Mukarramah, yang dipimpinnya di Beutong Ateuh, Aceh Barat (sekarang Nagan Raya). Tidak ada yang dihukum, selain beberapa prajurit.

Laksa pelanggaran dan ketidakadilan itulah, yang menyebabkan rakyat Aceh tidak bisa hidup dalam damai. Upaya perundingan antara GAM dan RI telah dilakukan. Mentok! Puncaknya, pada 19 Mei 2003, Jakarta memberlakukan Darurat Militer hingga 19 Mei 2004. Setahun lamanya. Disusul penerapan Darurat Sipil pada 19 Mei 2004 hingga 18 November 2004.

Foto pajangan acehkita itulah, produk pemberlakuan dua status itu di Aceh. Tidak adil memang kalau mengatakan itu semua salah TNI/Polri (Jakarta). GAM juga banyak yang memproduksi kekerasan selama konflik Aceh. Kedua mereka telah menyebabkan rakyat Aceh menjadi korban.

“Kalau melihat Aceh, kamu harus cari pembandingnya. Jangan hanya dengar dari saya saja,” kata saya kepada kawan itu.

Ia terangguk-angguk.

“Coba bicara dari hati ke hati dengan rakyat Aceh. Ketahuan akan ke mana mereka berkiblat,” lanjut saya lagi.

Ia masih terangguk-angguk. Saya tidak tahu, apa ia terima dengan penjelasan saya. Tapi, saya tetap berharap, ia mencari sumber pembanding.

Jakarta, 26 Agustus 2004

Selasa, Agustus 17, 2004

Dana Pendidikan Dipakai PKA

PRESIDEN Megawati, Kamis (19/8) menekan tombol tanda pembukaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) IV di Taman Ratu Safiatuddin, Lampriet Banda Aceh. Semua orang seakan bergembira bersorak-sorai menyahut pembukaan pesta budaya terakbar di Aceh itu. Semua merasa bangga, dan nyaris melupakan asal-usul dana pembuatan taman tempat PKA IV, digelar.

Tinggalkan sejenak hiruk-pikuk PKA IV itu. Mari melongok sebuah realita pendidikan di Kecamatan Kuta Baro Aceh Besar.

***

Sebut saja namanya Mahmuddin, siswa kelas dua Madrasah Ibtidaiyah Negeri Bungcala Kecamatan Kuta Baro, Aceh Besar. Ia duduk bersimpuh di atas tikar lusuh. Bukan mau mendengarkan ceramah ustadz dalam perayaan maulid Nabi. Bukan pula mau makan khanduri (pesta). Ia bersama 40 siswa lain yang sekelas dengannya sedang duduk bersimpuh dengan buku pelajaran dan tulis di atas pahanya, sembari mendengar pelajaran yang diberikan sang guru.

Ya, mereka tidak belajar di ruangan kelas laiknya siswa lain. Mereka hanya belajar di teras sekolah dengan beralaskan tikar yang lusuh. Jika jam sudah menunjukkan angka 10.00 WIB, tak pelak para siswa ini akan terkena panasnya sengatan sinar mentari pagi.

Bukan hanya Mahmuddin dan 40 kawannya yang sibuk belajar di teras. Masih ada sekitar 80 siswa dari delapan kelas yang tidak bisa melakukan aktivitas belajar mengajar secara normal di MIN Bungcala.

Prosesi ini sudah berlangsung selama empat tahun. Bukan hanya di teras sekolah saja mereka menimba ilmu. Namun, sempat juga beberapa kelas lainnya menggelar prosesi ini, di teras kantor Camat Kuta Baro yang bersisian dengan gedung MIN Bungcala itu. Siswa kelas VI A dan VI B yang sempat menjadikan halaman dan teras kantor Camat Kuta Baro sebagai “ruangan” belajar, akhirnya pindah ke bagian belakang kantor kecamatan itu. Di dua ruangan bekas dan kumuh itu, sekitar 70-an siswa yang hampir merampungkan pendidikan itu, meniti cita. Ruangan yang mereka tempati itu, menurut amatan acehkita, sangat tidak layak.

Ruangan PKK yang kini ditempati siswa, sebelumnya merupakan markas pasukan TNI BKO 643/Kalimantan. Dua ruangan ini, selama ditempati pasukan TNI, sempat menjadi sasaran pengeboman yang diduga dilakukan pasukan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Aceh Rayeuk.

Kondisi kedua gedung yang dijadikan ruang belajar-mengajar darurat itu, terlihat sangat memprihatinkan. Dari dinding yang dipenuhi coretan, hingga plafon (loteng) yang sudah banyak hilang. Di sebuah sudut, juga terlihat sebuah lubang seukuran 30 cm, bekas hantaman bom para gerilyawan.

“Ini dulu dibom pasukan GAM dari belakang,” kata Burhanuddin, Camat Kuta Baro kepada acehkita dan sejumlah wartawan lainnya Senin awal Agustus lalu.

Di belakang bagunan tua ini, terhampar persawahan yang belum dikerjakan oleh pemiliknya. Dari sana, pasukan GAM diduga melancarkan serangan kea rah bagunan yang ditempati pasukan TNI itu. Tidak ada korban jiwa dalam serangan kecil itu. Dan itu, tidak penting!

Banyaknya siswa Bungcala yang belajar di teras sekolah, terjadi dikarenakan membludaknya siswa yang mendaftar saban tahun. Sementara daya tampung sekolah di kecamatan yang eskalasi konfliknya tinggi itu, tidak mencukupi. Pihak sekolah hanya mampu menyediakan sebanyak delapan ruangan untuk 650 siswa. Praktis kondisi ini membuat sebanyak 120 siswa dari kelas II dan IV, tidak bisa menikmati enaknya meniti cita di dalam ruangan kelas.

“Siswa kita sekarang 650 orang. Sementara kita hanya ada delapan kelas, dan kita kekurangan delapan ruang kelas. Satu kelas bahkan kami isi lebih dari 40 siswa untuk menyiasati kekurangan ini. Sudah begitu, masih juga ada 120 siswa yang terpaksa harus belajar di teras sekolah," ujarnya.

Membludaknya siswa MIN Bungcala ini, kata Nuriah, Kepala Sekolah, tidak terlepas dari mutu pendidikan yang ada di sekolah yang berdekatan dengan kantor Kecamatan Bungcala itu. Ia mencontohkan, pihaknya memberikan les tambahan bagi siswa kelas VI yang akan menghadapi Ujian Akhir. Juga, katanya, sejak kelas II, pihaknya sudah memberikan materi muatan lokal, berupa pelajaran Bahasa Inggris.

Kondisi ini, kata Nuriah, sudah berlangsung selama empat tahun lamanya. Bukan tanpa usaha yang dilakukan Nuriah dan pihak sekolah untuk mengatasi masalah ini. Nuriah mengaku dirinya sudah beberapa kali menghadap Kantor Departemen Agama (Depag) Kabupaten Aceh Besar. Ia juga mendatangi Kanwil Depag Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), untuk meminta bantuan penambahan ruangan belajar-mengajar di sekolah yang dipimpinnya itu.

“Ke mana pun saya pergi, saya selalu bawa proposal meminta penambahan ruangan belajar. Beberapa kali saya datang dengan proposal namun tidak ada yang memberikan kata Nuriah.

Namun, usaha Nuriah ini belumlah membawa hasil. Pun begitu, ia mengaku tidak akan berhenti untuk mencari bantuan bagi sekolahnya.

“Saya akan terus berusaha,” katanya.

“Kalau ada bantuan, bawa ke mari, ya!,” Nuriah setengah berharap.

***

Kondisi ini sangat kontras dengan alokasi dana pendidikan untuk Aceh. Sejak tahun 2002, Pemerintah Pusat mengalokasikan dana pendidikan untuk daerah Aceh yang berselimutkan konflik ini, sebanyak Rp. 700 miliar. Sebuah angka yang fantastis dan tidak kecil. Namun, dalam pengelolaan, dana pendidikan ini tidak sepenuhnya dianggarkan untuk pos Dinas Pendidikan Nasional Aceh. Tapi juga bertebaran di beberapa dinas lainnya. Sebut saja misalnya Dinas Pemuda dan Olah Raga. Alasan “penyimpanan” di Dispora ini, karena Dinas ini juga mengelola pendidikan. Memang, Dispora juga menyelengarakan pendidikan, yaitu pendidikan yang dikhususkan untuk peningkatan mutu olah raga Aceh. Tapi, bukankah itu menjadi kewenangan Dinas Pendidikan Nasional?

Menurut Gubernur Abdullah Puteh, Aceh sudah menyiapkan dana yang tidak terbatas untuk pembangunan sektor pendidikan. "Pemulihan Aceh melibatkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah tingkat I dan II sehingga kami mendapat bantuan dana dari APBN dan dari sektor migas. Dari Rp 2,5 triliun dana migas, 30 persennya kita anggarkan untuk pendidikan. Jadi, sekitar 700 miliar. Saya rasa itu cukup. Apalagi ditambah dana pendidikan kita Rp 200 miliar," kata Puteh.

Nah, tragisnya, dana sebanyak itu banyak dialihkan untuk kepentingan lainnya. Sebut saja misalnya kejadian baru-baru ini. Pemda Aceh, atas nama pengembangan budaya Aceh mengambil alokasi dana pendidikan mencapai Rp. 12 miliar. Uang sebanyak itu, digunakan untuk pembangunan lokasi Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) IV yang diberi nama Taman Ratu Safiatuddin. Ironisnya lagi, pengalihan fungsi dana pendidikan itu, mendapat restu dari kalangan Dewan.

Banyak pihak yang menyatakan keberangannya atas pengalihan fungsi dana yang seharusnya digunakan untuk mencerdaskan anak Aceh dan membangun sarana pendidikan yang memadai.

Rabithah Thaliban Aceh (RTA) dan Nasir Djamil adalah beberapa untuk menempatkan mereka pada posisi yang menolak penggunaan dana pendidikan untuk PKA.

Seperti pernah diberitakan situs ini, RTA melalui Tgk Faisal Ali (Rais Am/Ketua Umum), menentang pengalihan alokasi dana ini. Bahkan, pihaknya mendesak untuk segera dilakukan pembangun kembali sekolah-sekolah yang rusak selama konflik. “Dana sekitar Rp 11 miliar lebih itu kan seharusnya bisa dipakai untuk hal-hal yang mendesak. Kami pikir PKA tidak begitu mendesak,” timpal Faisal.

Sementara Nasir Djamil, anggota DPRD yang dikenal vokal Senin (9/8) mempertanyakan soal pengalihan dana pendidikan sebesar Rp 10 miliar yang dipakai membiayai PKA. Pasalnya, sumber dana yang dipakai tidak sesuai jalurnya. Sikap itu telah pula disampaikan Nasir dalam rapat paripurna DPRD NAD, hari Senin (8/9).

Menurut Nasir, sikapnya ini bukan berarti dia tidak setuju dengan pergelaran yang membangkitkan kembali kebudayaan Aceh. Tapi menurutnya, pengalihan dana pendidikan itu bisa disebut “pemerkosaan” terhadap dana yang seharusnya dipakai untuk membangun sumber daya manusia Aceh.

“Saya menyesali pengalihan dana pendidikan untuk membiayai PKA IV. Ini bukan berarti saya tidak setuju dengan PKA. Tetapi kenapa kita harus “memperkosa” dana yang seharusnya untuk membangun manusia, malah mendirikan bangunan dengan batu-bata,” tukas Nasir.

“Adanya pengalihan dana pendidikan itu, setidaknya berusaha mendramatisir antara dunia pendidikan dengan budaya,” katanya.

Sementara Badan Pusat Statistik Aceh tahun 2003 melaporkan masih banyak masyarakat Tanah Rencong yang belum bisa membaca dan menulis. Dari data tersebut setidaknya ada 267 ribu atau 6,35 persen penduduk negeri Serambi Makkah ini yang buta huruf.

Sedangkan dana pendidikan dari bagi hasil migas dengan pemerintah pusat dialokasikan sebesar Rp 700 miliar setiap tahunnya. Pemda NAD mengalokasikan pula dana cadangan setiap tahunnya, untuk tahun 2002 sebesar Rp 40 miliar, dan tahun 2003 berjumlah Rp 70 miliar.

***
Sampai berita ini diturunkan, pelajar MIN Bungcala masih berkutat dengan proses belajar-mengajar di teras sekolah, yang beralaskan tikar lusuh. Sesekali, terik mentari ikut membakar proses belajar-mengajar itu.

Pun begitu, tidak menyurutkan semangat sebanyak 120 siswa itu, untuk menapaki cita yang digantungnya.

“Saya mau jadi dosen,” cita-cita Mahmuddin, begitu sederhana. [A]

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting