Selasa, Agustus 17, 2004

Dana Pendidikan Dipakai PKA

PRESIDEN Megawati, Kamis (19/8) menekan tombol tanda pembukaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) IV di Taman Ratu Safiatuddin, Lampriet Banda Aceh. Semua orang seakan bergembira bersorak-sorai menyahut pembukaan pesta budaya terakbar di Aceh itu. Semua merasa bangga, dan nyaris melupakan asal-usul dana pembuatan taman tempat PKA IV, digelar.

Tinggalkan sejenak hiruk-pikuk PKA IV itu. Mari melongok sebuah realita pendidikan di Kecamatan Kuta Baro Aceh Besar.

***

Sebut saja namanya Mahmuddin, siswa kelas dua Madrasah Ibtidaiyah Negeri Bungcala Kecamatan Kuta Baro, Aceh Besar. Ia duduk bersimpuh di atas tikar lusuh. Bukan mau mendengarkan ceramah ustadz dalam perayaan maulid Nabi. Bukan pula mau makan khanduri (pesta). Ia bersama 40 siswa lain yang sekelas dengannya sedang duduk bersimpuh dengan buku pelajaran dan tulis di atas pahanya, sembari mendengar pelajaran yang diberikan sang guru.

Ya, mereka tidak belajar di ruangan kelas laiknya siswa lain. Mereka hanya belajar di teras sekolah dengan beralaskan tikar yang lusuh. Jika jam sudah menunjukkan angka 10.00 WIB, tak pelak para siswa ini akan terkena panasnya sengatan sinar mentari pagi.

Bukan hanya Mahmuddin dan 40 kawannya yang sibuk belajar di teras. Masih ada sekitar 80 siswa dari delapan kelas yang tidak bisa melakukan aktivitas belajar mengajar secara normal di MIN Bungcala.

Prosesi ini sudah berlangsung selama empat tahun. Bukan hanya di teras sekolah saja mereka menimba ilmu. Namun, sempat juga beberapa kelas lainnya menggelar prosesi ini, di teras kantor Camat Kuta Baro yang bersisian dengan gedung MIN Bungcala itu. Siswa kelas VI A dan VI B yang sempat menjadikan halaman dan teras kantor Camat Kuta Baro sebagai “ruangan” belajar, akhirnya pindah ke bagian belakang kantor kecamatan itu. Di dua ruangan bekas dan kumuh itu, sekitar 70-an siswa yang hampir merampungkan pendidikan itu, meniti cita. Ruangan yang mereka tempati itu, menurut amatan acehkita, sangat tidak layak.

Ruangan PKK yang kini ditempati siswa, sebelumnya merupakan markas pasukan TNI BKO 643/Kalimantan. Dua ruangan ini, selama ditempati pasukan TNI, sempat menjadi sasaran pengeboman yang diduga dilakukan pasukan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Aceh Rayeuk.

Kondisi kedua gedung yang dijadikan ruang belajar-mengajar darurat itu, terlihat sangat memprihatinkan. Dari dinding yang dipenuhi coretan, hingga plafon (loteng) yang sudah banyak hilang. Di sebuah sudut, juga terlihat sebuah lubang seukuran 30 cm, bekas hantaman bom para gerilyawan.

“Ini dulu dibom pasukan GAM dari belakang,” kata Burhanuddin, Camat Kuta Baro kepada acehkita dan sejumlah wartawan lainnya Senin awal Agustus lalu.

Di belakang bagunan tua ini, terhampar persawahan yang belum dikerjakan oleh pemiliknya. Dari sana, pasukan GAM diduga melancarkan serangan kea rah bagunan yang ditempati pasukan TNI itu. Tidak ada korban jiwa dalam serangan kecil itu. Dan itu, tidak penting!

Banyaknya siswa Bungcala yang belajar di teras sekolah, terjadi dikarenakan membludaknya siswa yang mendaftar saban tahun. Sementara daya tampung sekolah di kecamatan yang eskalasi konfliknya tinggi itu, tidak mencukupi. Pihak sekolah hanya mampu menyediakan sebanyak delapan ruangan untuk 650 siswa. Praktis kondisi ini membuat sebanyak 120 siswa dari kelas II dan IV, tidak bisa menikmati enaknya meniti cita di dalam ruangan kelas.

“Siswa kita sekarang 650 orang. Sementara kita hanya ada delapan kelas, dan kita kekurangan delapan ruang kelas. Satu kelas bahkan kami isi lebih dari 40 siswa untuk menyiasati kekurangan ini. Sudah begitu, masih juga ada 120 siswa yang terpaksa harus belajar di teras sekolah," ujarnya.

Membludaknya siswa MIN Bungcala ini, kata Nuriah, Kepala Sekolah, tidak terlepas dari mutu pendidikan yang ada di sekolah yang berdekatan dengan kantor Kecamatan Bungcala itu. Ia mencontohkan, pihaknya memberikan les tambahan bagi siswa kelas VI yang akan menghadapi Ujian Akhir. Juga, katanya, sejak kelas II, pihaknya sudah memberikan materi muatan lokal, berupa pelajaran Bahasa Inggris.

Kondisi ini, kata Nuriah, sudah berlangsung selama empat tahun lamanya. Bukan tanpa usaha yang dilakukan Nuriah dan pihak sekolah untuk mengatasi masalah ini. Nuriah mengaku dirinya sudah beberapa kali menghadap Kantor Departemen Agama (Depag) Kabupaten Aceh Besar. Ia juga mendatangi Kanwil Depag Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), untuk meminta bantuan penambahan ruangan belajar-mengajar di sekolah yang dipimpinnya itu.

“Ke mana pun saya pergi, saya selalu bawa proposal meminta penambahan ruangan belajar. Beberapa kali saya datang dengan proposal namun tidak ada yang memberikan kata Nuriah.

Namun, usaha Nuriah ini belumlah membawa hasil. Pun begitu, ia mengaku tidak akan berhenti untuk mencari bantuan bagi sekolahnya.

“Saya akan terus berusaha,” katanya.

“Kalau ada bantuan, bawa ke mari, ya!,” Nuriah setengah berharap.

***

Kondisi ini sangat kontras dengan alokasi dana pendidikan untuk Aceh. Sejak tahun 2002, Pemerintah Pusat mengalokasikan dana pendidikan untuk daerah Aceh yang berselimutkan konflik ini, sebanyak Rp. 700 miliar. Sebuah angka yang fantastis dan tidak kecil. Namun, dalam pengelolaan, dana pendidikan ini tidak sepenuhnya dianggarkan untuk pos Dinas Pendidikan Nasional Aceh. Tapi juga bertebaran di beberapa dinas lainnya. Sebut saja misalnya Dinas Pemuda dan Olah Raga. Alasan “penyimpanan” di Dispora ini, karena Dinas ini juga mengelola pendidikan. Memang, Dispora juga menyelengarakan pendidikan, yaitu pendidikan yang dikhususkan untuk peningkatan mutu olah raga Aceh. Tapi, bukankah itu menjadi kewenangan Dinas Pendidikan Nasional?

Menurut Gubernur Abdullah Puteh, Aceh sudah menyiapkan dana yang tidak terbatas untuk pembangunan sektor pendidikan. "Pemulihan Aceh melibatkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah tingkat I dan II sehingga kami mendapat bantuan dana dari APBN dan dari sektor migas. Dari Rp 2,5 triliun dana migas, 30 persennya kita anggarkan untuk pendidikan. Jadi, sekitar 700 miliar. Saya rasa itu cukup. Apalagi ditambah dana pendidikan kita Rp 200 miliar," kata Puteh.

Nah, tragisnya, dana sebanyak itu banyak dialihkan untuk kepentingan lainnya. Sebut saja misalnya kejadian baru-baru ini. Pemda Aceh, atas nama pengembangan budaya Aceh mengambil alokasi dana pendidikan mencapai Rp. 12 miliar. Uang sebanyak itu, digunakan untuk pembangunan lokasi Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) IV yang diberi nama Taman Ratu Safiatuddin. Ironisnya lagi, pengalihan fungsi dana pendidikan itu, mendapat restu dari kalangan Dewan.

Banyak pihak yang menyatakan keberangannya atas pengalihan fungsi dana yang seharusnya digunakan untuk mencerdaskan anak Aceh dan membangun sarana pendidikan yang memadai.

Rabithah Thaliban Aceh (RTA) dan Nasir Djamil adalah beberapa untuk menempatkan mereka pada posisi yang menolak penggunaan dana pendidikan untuk PKA.

Seperti pernah diberitakan situs ini, RTA melalui Tgk Faisal Ali (Rais Am/Ketua Umum), menentang pengalihan alokasi dana ini. Bahkan, pihaknya mendesak untuk segera dilakukan pembangun kembali sekolah-sekolah yang rusak selama konflik. “Dana sekitar Rp 11 miliar lebih itu kan seharusnya bisa dipakai untuk hal-hal yang mendesak. Kami pikir PKA tidak begitu mendesak,” timpal Faisal.

Sementara Nasir Djamil, anggota DPRD yang dikenal vokal Senin (9/8) mempertanyakan soal pengalihan dana pendidikan sebesar Rp 10 miliar yang dipakai membiayai PKA. Pasalnya, sumber dana yang dipakai tidak sesuai jalurnya. Sikap itu telah pula disampaikan Nasir dalam rapat paripurna DPRD NAD, hari Senin (8/9).

Menurut Nasir, sikapnya ini bukan berarti dia tidak setuju dengan pergelaran yang membangkitkan kembali kebudayaan Aceh. Tapi menurutnya, pengalihan dana pendidikan itu bisa disebut “pemerkosaan” terhadap dana yang seharusnya dipakai untuk membangun sumber daya manusia Aceh.

“Saya menyesali pengalihan dana pendidikan untuk membiayai PKA IV. Ini bukan berarti saya tidak setuju dengan PKA. Tetapi kenapa kita harus “memperkosa” dana yang seharusnya untuk membangun manusia, malah mendirikan bangunan dengan batu-bata,” tukas Nasir.

“Adanya pengalihan dana pendidikan itu, setidaknya berusaha mendramatisir antara dunia pendidikan dengan budaya,” katanya.

Sementara Badan Pusat Statistik Aceh tahun 2003 melaporkan masih banyak masyarakat Tanah Rencong yang belum bisa membaca dan menulis. Dari data tersebut setidaknya ada 267 ribu atau 6,35 persen penduduk negeri Serambi Makkah ini yang buta huruf.

Sedangkan dana pendidikan dari bagi hasil migas dengan pemerintah pusat dialokasikan sebesar Rp 700 miliar setiap tahunnya. Pemda NAD mengalokasikan pula dana cadangan setiap tahunnya, untuk tahun 2002 sebesar Rp 40 miliar, dan tahun 2003 berjumlah Rp 70 miliar.

***
Sampai berita ini diturunkan, pelajar MIN Bungcala masih berkutat dengan proses belajar-mengajar di teras sekolah, yang beralaskan tikar lusuh. Sesekali, terik mentari ikut membakar proses belajar-mengajar itu.

Pun begitu, tidak menyurutkan semangat sebanyak 120 siswa itu, untuk menapaki cita yang digantungnya.

“Saya mau jadi dosen,” cita-cita Mahmuddin, begitu sederhana. [A]

1 comments:

SANTRIWATI mengatakan...

... :)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting