Jumat, Mei 20, 2011

Toleransi pada Sepasang Barongsai

MALAM baru saja jatuh di Banda Aceh ketika ratusan orang berbondong-bondong mendatangi Kampoeng Tjina, awal pekan lalu. Malam itu, Jumat (6/5), sebuah sudut di Peunayong disulap bernuansa Tiongkok. Puluhan tenda didirikan sebagai stan pameran dan lokasi jajanan khas Tionghoa. Puluhan lampion merah digantung di sepanjang ruas jalan, menambah kesan sedang berada di negeri si Ling Ling.

Di pintu masuk Ahmad Yani, di dekat Rex (pusat penjualan aneka makanan), sebuah gapura berarsitektur China menyambut para pengunjung. Di bawah gapura, dua pesepeda Ontel bergaya Eropa dan anak muda berpakaian adat Aceh ramah menyapa siapa saja tetamu yang menjejakkan kaki di Kampoeng Tjina itu.

Sebentar saja Kampoeng Tjina dipenuhi lautan manusia. Mereka berkumpul di depan stan penjualan makanan produksi warga Aceh etnis Tionghoa. Di kejauhan, tabuh gendang membahana, mengiringi barongsai kuning dan merah menuju Kampung Tjina. Atraksi barongsai inilah yang ditunggu-tunggu, tak hanya oleh etnis Tionghoa, tapi juga warga Aceh.

Malam itu, di Festival Peunayong Kampoeng Tjina, barongsai bisa bebas berjingkrak-jingkrak mengikuti tabuhan gendang. Tak ada raut kecemasan di wajah warga China, seperti yang mereka perlihatkan saban kali merayakan Imlek, tahun baru mereka. Festival Peunayong menghadirkan kembali masyarakat Aceh yang multikultur dan kosmopolit. Inilah pesan yang ingin disampaikan Walikota Banda Aceh Mawardy Nurdin kala membuka festival yang pertama sekali digelar di Banda Aceh.

Festival Peunayong disambut sukacita warga Banda Aceh, terutama etnis China. Di sini, mereka bisa mengekspresikan nilai-nilai budaya yang mereka miliki tanpa diselimuti kecemasan.

"Saya senang bisa melihat atraksi barongsai di tempat terbuka di Banda Aceh," kata Marini, Tionghoa yang bermukim di Peunayong. Bersama anaknya berusia empat tahun, perempuan ini menikmati suguhan barongsai.

Menurut ibu berusia 28 tahun ini, saban tahun etnis Tionghoa di Banda Aceh menikmati atraksi barongsai, tapi di tempat tertutup. "Baru kali ini saya melihat barongsai beraksi di depan masyarakat Aceh," tambahnya.

Di pojok lain, perempuan China berbaju putih naik ke atas kursi di lapak dagangannya di arena festival itu. Ia berjingkrak-jingkrak berusaha melihat jelas sepasang barongsai merah dan kuning yang tengah beratraksi. Tingkah polahnya seperti anak baru gede yang melihat idolanya, ketika ia berteriak keras, "Barongsaaaaiii. Lihat ke sini, dong."

Antusiasme tak hanya diperlihatkan etnis Tionghoa. Ratusan warga Aceh juga menyesaki jalanan sempit itu hanya untuk bisa melihat barongsai dari dekat. "Saya membawa anak saya untuk melihat budaya etnis China," kata Yassir, lelaki 40 tahun asal Peurada.

Malam Festival Peunayong hampir seratus persen milik etnis Tionghoa. Di panggung utama, anak-anak keturunan China lihai menari Aceh. Di lain waktu, mereka ber-kung-fu ria bak Jet Li tengah menghajar musuh dalam The Forbidden Kingdom.

***

PEUNAYONG telah lama menjadi kawasan tempat orang China beranak-pinak. A. Rani Usman, penulis buku Etnis Cina Perantauan di Aceh, menyebutkan, etnis China telah mendiami Peunayong sejak abad 9. Kata Peunayong berasal dari "peu payong" yang berarti memayungi, melindungi. Sebuah hikayat menyebutkan, Peunayong merupakan tempat Sultan Iskandar Muda memberikan perlindungan atau menjamu tamu kerajaan yang datang dari Eropa dan Tiongkok.

A. Rani Usman menulis, hubungan Cina dan Aceh memasuki masa harmonis ketika Laksamana Cheng Ho bermuhibah ke Kerajaan Samudera Pasai di utara Aceh pada 1415. Sebagai kenang-kenangan dari negeri China, Cheng Ho menghadiahi Samudera Pasai lonceng besar yang dikenal dengan Cakradonya. Pada abad ini dikenal sebagai fase kedua kedatangan China ke Aceh.

Masih menurut Rani, fase ketiga kedatangan warga Tiongkok ke bumi Sultan Iskandar Muda terjadi pada 1875. Migrasi besar-besaran ini terjadi karena dibawa Belanda. Etnis China dipekerjakan sebagai budak di Aceh. Sifat pekerja keras mengantarkan mereka ke gerbang kesuksesan di bidang niaga. Di Banda Aceh, seperti jamak di negara lain, etnis Tionghoa merupakan pedagang, pengusaha sukses.

Warga China di Banda Aceh merupakan generasi ke-4 atau ke-5 dari buyut mereka yang datang pada abad 19. Mereka adalah suku Khek, yang berasal dari Provinsi Kwantung, Tiongkok. Mereka belum bercampur dengan suku Kong Hu Cu, Hai Nan, dan Hok Kian.

***

KEHIDUPAN etnis Tionghoa dan suku asli Aceh terbilang harmonis. Di Peunayong, mereka bisa tinggal berdampingan dengan masyarakat Aceh. Mereka juga bebas berniaga, seperti halnya mereka bebas bersembahyang di Tapekong (vihara) dan gereja. Sebagai bentuk eratnya hubungan penduduk multietnis dan beragam kepercayaan ini, di Peunayong berdiri vihara, masjid, dan gereja.

Di sebelah selatan Masjid Raya Baiturrahman, di Jalan Muhammad Jam, gendang ditabuh bertalu-talu seakan ingin menyaingi lengkingan suara deru mesin yang lalu lalang. Di depan sebuah toko perabot, barongsai merah dan kuning tengah beraksi. Masuk ke dalam toko, barongsai merah mengibaskan ekor, dan melenggok ke setiap sudut, seperti orang menjampi-jampi mengusir roh jahat.

"Ini tradisi masyarakat Tionghoa. Melalui barongsai ini, mereka minta didoakan supaya mudah rezeki, usaha lancar, dan bisa mengusir roh jahat," kata Ali, seorang Tionghoa.

Usai barongsai menjalankan ritualnya, sang pemilik toko menggantung dua angpau di pintu masuk. Dalam sekali lompat, angpau beramplop merah gincu itu menjadi milik barongsai.

Agak menjauh dari pintu toko perabot itu, sekitar lima perempuan berjilbab menanti giliran foto bersama dengan barongsai. "Tolong ambil foto dengan HP saya," kata perempuan berjilbab putih. "Buat kenang-kenangan." []
Published with Blogger-droid v1.6.9

0 comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting