Senin, Februari 28, 2005

Oleh Fakhrurradzie Gade

sidroe aneuk dimoe si at-at
Lam jeut-jeut saat…saat
Dua ngon poma

Ditanyong bak ma, hai bak ma
Ayah djinoe pat..jinoe pat
Ulon rindu that..rindu that
Keuneuk u rupa


(Seorang anak selalu menangis, bersama ibunya/Dia bertanya pada ibunya, di mana keberadaan ayah/Saya sangat merinduinya/mau melihat wajah ayah//…)

Itu adalah dua bait lirik lagu Aneuk Yatim yang diperdendangkan Rafly. Lagu itu mendadak tenar setelah tsunami dahsyat menerjang Aceh dan Nias, di penghujung tahun 2004 lalu. Lebih dari 200 ribu rakyat Aceh menjadi korban laut yang mengganas.

Banyak anak yang menjadi yatim dan piatu. Banyak kesedihan di luar perkiraan yang ditimbulkan gelombang panas itu.

Lagu Aneuk Yatim seakan pas untuk diperdendangkan saat mengenang banyaknya anak yang tercerai dari orangtuanya. Lagu ini kemudian seakan menjadi maskot kesedihan tsunami.

Namun, jika mau menilik lebih jauh, sebenarnya lagu ini dipersembahkan kepada Aneuk Yatim yang kehilangan ayahnya dalam konflik bersenjata antara GAM dan TNI/Polri. Banyak korban berjatuhan. Bahkan, banyak pula korban yang tidak jelas di mana kuburannya.

Coba simak lirik berikut ini:

akei doa ka nibak Allah
Ube musibah.. musibah
Bek le trok teuka

Aceh beu-aman…beu aman
Bek le ro darah.. ro darah

(Kita berdoa kepada Allah, semua musibah jangan datang lagi/Semoga Aceh aman, tidak ada lagi pertumpahan darah//…)

Saya pernah menulis panjang tentang Rafly di Majalah Latitudes Bali, pada bulan Oktober 2003. Salah satu lagu yang saya angkat dalam tulisan adalah Aneuk Yatim.

Menurut keterangan yang diberikan Rafly, lagu Aneuk Yatim terilhami dari banyaknya korban yang jatuh dalam perang di Aceh. Banyak janda yang dihasilkan dan banyak Yatim yang diproduksi. Bahkan, akibat banyaknya lelaki [dalam konteks ini ayah] yang menjadi korban, maka di Pidie, ada sebuah nama kampung yang disebut dengan Gampong Janda. Letaknya di Ulee Gle, Pidie. Semasa DOM, banyak lelaki kampung itu, menjadi korban. Yang tersisa adalah kaum perempuan [ibu/janda] dan anak-anak yang yatim.

Namun, kesedihan tsunami yang banyak menyebabkan anak-anak menjadi Yatim, menyebabkan lagu Aneuk Yatim ini pas dinyanyikan dalam masa pascatsunami. [r]

Tentang Lagu Aneuk Yatim

sidroe aneuk dimoe si at-at
Lam jeut-jeut saat…saat
Dua ngon poma

Ditanyong bak ma, hai bak ma
Ayah djinoe pat..jinoe pat
Ulon rindu that..rindu that
Keuneuk u rupa


(Seorang anak selalu menangis, bersama ibunya/Dia bertanya pada ibunya, di mana keberadaan ayah/Saya sangat merinduinya/mau melihat wajah ayah//…)

Itu adalah dua bait lirik lagu Aneuk Yatim yang diperdendangkan Rafly. Lagu itu mendadak tenar setelah tsunami dahsyat menerjang Aceh dan Nias, di penghujung tahun 2004 lalu. Lebih dari 200 ribu rakyat Aceh menjadi korban laut yang mengganas.

Selengkapnya

Jumat, Februari 25, 2005

CATATAN HARIAN 2
Hari-hari Sulit Menggawangi Newsroom

Baca juga:
CATATAN HARIAN 1
Tsunami: Semoga Bukan Kado Ulang Tahun


Ya, hari-hari selanjutnya menjadi hari-hari terberat saya dalam bekerja. Apalagi, setelah saya tinggal seorang diri, menggawangi situs berita yang menampilkan kepedihan akibat gempa dan gelombang pasang tsunami. Sebelum tsunami, di jajaran redaksi yang mengurus berita hanya dua orang, saya dan Dandhy D Laksono (Pemred). Dibantu oleh Tuahta (Sekretaris Redaksi). Saya juga sering ditemani oleh kawan sekampung, Maimun.

Namun, setelah tsunami, Maimun dan Dandhy ke Aceh. Tingallah saya bersama Tuahta. Dia pun, sering membantu posko Rumoh Kita, di lantai bawah. Akibatnya, hanya saya seorang diri menghandle redaksi. Mengerjakan pengkoordiniran reporter di Lhokseumawe, Bireuen dan Banda Aceh. Menerima telepon reporter yang akan melaporkan berita, dan kemudian menulis sendiri berita yang dilaporkan secara mentah itu.

Wuh, benar-benar menjadi hari-hari berat yang saya rasakan.

Itu dimulai sejak Senin (27/12/04) malam, setelah Dandhy memutuskan berangkat ke Banda Aceh, untuk memastikan keselamatan rekan-rekan wartawan AcehKita. Sekaligus, melakukan liputan di daerah yang baru saja dilanda tsunami yang mengganas.

Pagi Selasa (28/12), saya bangun dari tidur singkat saya. Muka tidak saya cuci, termasuk mulut. Dengan hanya mengenakan celana pendek yang dibalut sarung dan baju kaos yang saya gunakan untuk tidur, saya langsung menuju meja komputer. Kali ini, saya turun ke ruang meeting yang ada di lantai bawah. Di sana, melalui laptop, saya meng-upload foto yang dikirim kawan dari Bireuen.

Ketika memilih-milih foto, saya menemukan kematian yang disebabkan laut yang murka.

Tak disangka, mata saya berkaca-kaca. Hati gelisah, teringat keluarga dan orang-orang terkasih yang belum ada kabar. Saya pasti tidak akan bisa membayangkan, jika ini menimpa mereka. Saya pasti tidak sanggup menerimanya. Saya terlalu lemah.

Yan Aryanto, kepala Teknologi Informasi Situs AcehKita, bertanya. “Kenapa, Pak?” Saya dan dia, suka saling memanggil Pak. Tapi, bukan dalam artian formal seperti kebanyakan terjadi di kantor-kantor. Bukan sama sekali. Cuma, keenakan aja.

“Nggak,” saya menjawab sekenanya, sambil menggeleng.

Setelah sukses mengupload foto, saya bergegas ke ruang dan duduk di depan komputer saya. Kembali, saya bergelut dengan dunia saya. Saya menelepon kawan-kawan di Bireun, Lhokseumawe dan Banda Aceh, meminta setoran berita.

Mandi dan cuci muka, tidak teringat lagi. Sesuatu yang saya jarang lakukan ketika masuk kerja pada hari-hari sebelumnya.

Tanpa mandi, saya menerima berita dari kawan-kawan di sana. Banyak kesedihan yang dilaporkan. Banyak mayat yang bertebaran di setiap sudut kota. Banyak kerusakan yang terjadi. Banyak tempat yang dulu familiar dengan saya, dilaporkan telah rusak.

“Masya Allah, Dzie. Ada ibu dengan orok di antara kakinya,” kata Dandhy.

Saya terdiam.

“Itu di simpang Lambaro, ratusan jenasah yang sudah dikumpulkan di depan markas PMI,” lanjutnya.

“Belum ada tanda-tanda akan dikuburkan. Padahal, jenasah korban terus berdatangan.”

Lapor Dandhy, begitu dia sampai di Aceh Besar. Belakangan, ratusan jenasah itu dikuburkan di pemakaman umum yang tak jauh dari markas PMI.

Saya tidak bisa membayangkan ratusan jenasah terkumpul dalam satu tempat.

Laporan demi laporan terus dikirimkan mereka dari daerah itu. Hingga menjelang pukul 23.00 WIB, laporan kesedihan itu terus berdatangan.

Oops, ternyata saya belum makan malam. Saya mencoba makan nasi kotak, yang dibeli orang posko. Menunya, ayam bakar. Saya makan beberapa sendok, nasi dan ayam bakar, saya letakkan kembali di bawah meja saya. Tidak mampu membangkitkan selera makan saya. Padahal, siangnya, saya juga hanya makan sedikit.

Wah, ternyata saya juga belum mandi. Ah, biarlah besok saya mandi.

Saya terus memantau berita demi berita dari media lain.

Menjelang pukul 03.00 dinihari, saya beranjak tidur, dengan membawa segenap kegelisahan yang tersimpan dalam benak saya.

Ketika bangun sekitar pukul 09.00 WIB, saya langsung menuju ke komputer. Seperti biasa, saya mengupload foto.

Hari itu saya lakoni seperti hari sebelumnya. Tidak berubah, kecuali satu hal. Selain menerima telepon dari wartawan Acehkita di Aceh, saya juga menerima telepon dari orang-orang yang mencari anggota keluarganya.

Ketika deringan telepon itu saya sahut, saya seperti robot yang sudah mempunyai segudang jawaban yang akan diberikan.

“Pak, kami dari PT Samudera. Kami mencari kapal yang kehilangan kontak di Aceh,” kata seorang dari balik telepon. Saya lupa nama Bapak itu dan nama kapal yang diminta informasi itu.

“Aduh, kita kesulitan melacaknya. Hubungan telepon ke sana sangat susah,” kata saya. “Namun, kalau ada informasi, saya akan kabari.”

Saya memberi dia nomor HP kawan saya di Aceh. Eh, ternyata nomor itu sudah berganti. Dia tidak lagi memakai nomor yang saya berikan itu. Dia telah mengganti dengan nomor Mentari. Pasalnya, jaringan Mentari, walau pun terganggu, bisa digunakan dengan baik.

Aduh, saya tidak bisa membantu.

Hari-hari menerima telepon dari orang yang meminta dicarikan anggota keluarganya, membuat saya semakin bersedih.

“Saya Ana. Tinggal di Jerman,” sebut perempuan di balik telepon. Mulanya dia menggunakan bahasa Indonesia. Namun, dia tidak terlalu fasih berbicara bahasa Indonesia lagi. Logatnya, persis seperti orang Malaysia.

“Dek, bisa bahasa Aceh?” tanyanya.

“Jeut (bisa), Kak,” jawab saya langsung.

“Kakak nggak terlalu bisa lagi ngomong bahasa Indonesia. Sudah lama di Jerman,” dia beralasan. Kali ini dia menggunakan bahasa Aceh, dengan lancar dan fasih.

“Saya mencari Maskirbi. Do you know Maskirbi? Ooh, maaf, tahu Maskirbi?” tanyanya.

“Ya, saya tahu.”

“Dia tinggal di Kajhu.”

Saya tercenung mendengar nama Kajhu. Pikiran saya tambah kacau. Kalau tinggal di sana, kemungkinan selamat sangat kecil. Namun, saya tidak berani mengatakan itu. Saya langsung teringat empat hari sebelum tsunami.

Menjelang pukul 23.00 WIB, saya menelpon Nurul. Dari situ, saya tahu malam itu dia tidur di Kajhu, tempat bibinya. Setelah menelepon malam itu, saya tidak bisa menghubungi dia lagi. Pasalnya, malam kami ngobrol selama setengah jam itu, dia mengabarkan akan menjual HP-nya. Alasannya, layar HP Nokia 2100 miliknya, sudah tidak bagus lagi. Ketika saya bertemu dia waktu pulang liburan Idul Fitri, sebulan sebelum tsunami, saya lihat layar HP dia sudah menghitam di bagian samping.

Ketika saya tanya, dia menjawab. “HP jelek,” katanya singkat.

“Do you know Kajhu kan,” kata-kata Kak Ana memecahkan lamunan saya.

“Ya, memang…” saya tidak kuasa melanjutkan kata-kata.

“Kami kehilangan kontak dengan Maskirbi. Kalau Adek tahu, kasih informasi ke kakak, ya,” harapnya.

“Saya berharap tidak terjadi apa-apa dengan keluarga Kakak.”

“Semoga.”

“Namun, saya tidak bisa menjanjikan apa-apa.”

“Kapan saya bisa kembali call ke sini?”

“Aduh, saya tidak bisa pastikan. Hubungan telepon ke Banda Aceh, sangat susah.”

“Tapi, tolong kabari, ya.”

“Insya Allah.”

“Nanti saya telepon lagi.”

Saya meletakkan gagang telepon.

Saya menghempaskan badan di atas kursi saya yang sama sekali tidak empuk. Saya menarik nafas panjang. Tangan saya gemetar. Membayangkan Kajhu, yang telah hilang dari peta.

Bukan hanya Kak Ana yang menelpon menanyakan kabar keluarganya. Saya tidak terlalu ingat, berapa orang yang meminta bantuan redaksi. Namun, saya tidak bisa berbuat apa-apa.

“Ah, bagaimana dengan keluarga saya?” teriak saya pada Tuahta.

Dia tersenyum, getir. Dia tidak berkata apa-apa.

“Masih sempat aku duduk di sini, aku tidak mengetahui kabar keluargaku.”

Aku mulai emosi. Jiwaku sangat tertekan. Aku labil.

Tuahta mulai menenangkan saya.

“Abang tabah,” katanya, menghibur.

“Tabah, apanya?”

“Abang masih bisa melayani orang-orang. Sedikit yang bisa.”

Aku tertawa. “Tapi, orang tidak tau kan, perasaanku? Aku stress, Tuah.”

Dia terdiam.

Setelah mengucapkan kata-kata itu, aku tertawa keras. “Wowwwwww,” aku berteriak.

Hampir semenit, aku cengingisan. Ketawa dalam kepedihan hatiku. “Ini obat untuk menghilangkan stress,” kataku, berlalu meninggalkan dia. Aku kembali duduk di depan komputer. [bersambung]

Baca juga:
CATATAN HARIAN 3
Beroleh Kabar dari Kampung

CATATAN HARIAN 3
Beroleh Kabar dari Kampung

Hari itu (Rabu), saya masih juga belum tahu kabar dari keluarga dan Nurul.

“Dzie, kamu ikhlaskan aja. Susah cari yang mati, apalagi yang hidup,” kata Dandhy, setelah dia memberikan laporan perkembangan terakhir di hari ketiga itu.

Kata-kata dia, membuat aku terdiam. Darahku panas.

Aku kembali membayangkan suasana Banda Aceh. aku kembali teringat terakhir kali bisa berbicara dengan dia. Wuh, benar-benar menyiksaku.

Pada siang hari, saya menerima panggilan dari Abang saya yang tinggal di Palembang. Dia menanyakan gimana kondisi dan kabar keluarga di kampung.

Saya menjawab sekenanya.

“Jika banyak kematian dan kerusakan itu ditimbulkan air tsunami, kemungkinan besar kampung kita tidak apa-apa. Tapi, kalau sebaliknya, saya tidak tau,” kata saya. Waktu menjawab ini, saya masih bisa tersenyum.

Dari balik HP, saya mendengar suara dia parau. Semoga dia tidak menangis.

Lalu, saya mengalihkan pembicaraan pada kerusakan yang ditimbulkan. “Orang meninggal sudah ratusan,” kata saya.

Ketika menceritakan kerusakan, kematian dan daerah mana saja yang rusak parah, saya mulai menitikkan airmata. Terlebih, ketika saya sebutkan daerah Kajhu dan Cadek. Saya mengabarkan daerah itu, karena kawan abang saya tinggal di Kajhu. Saya lalu menangis. Dia lalu menghibur saya. Tak berapa lama, pembicaraan kami akhiri.

“Wuh.” Perasaan saya sesak. Saya mulai berpikir, kenapa saya bisa memberikan jawabab ketika orang-orang menanyakan tentang nasib keluarga mereka. Namun, kenapa saya tidak bisa memberikan kabar tentang keluarga saya, ketika abang menelepon? Saya menyesali diri sendiri.

***

Seperti biasa, menjelang pukul 03.00 dinihari, aku beranjak tidur, masih dengan perasaan yang tidak menentu. Tapi, aku sangat berterimakasih pada Allah, yang masih memberi kenikmatan tidur bagiku, di saat aku sedang gundah. Aku tertidur pulas. Seperti tidak ada mimpi yang menemaniku.

***

Hari keempa pascatsunami.

Aku tidak bercerita lagi tentang rutinitas yang aku lakoni. Karena masih seperti kemarin.

Agak sore, aku menerima telepon. Lagi-lagi dari Kak Ana.

“Sudah ada kabar, dik?” tanyanya.

“Belum,” jawab saya singkat.

“Oh.”

“Kasih tau saya, ya, jika ada kabar. Ini catat nomor HP saya.”

Saya mencatat nomor HP yang dia berikan. Saya simpan, entah di mana. Saya tidak ingat lagi. Yang jelas, ketika itu saya simpan di dalam file berita hari itu. Saya tidak ingat judul file.

***

Nada dering di HP saya berdering. Lagu Bring Me to Life yang dinyanyikan merdu oleh kelompok Evanescence. Saya memandangi layar HP. Muncul angka telepon yang tidak tercatat di memori HP saya. Namun, angka di kode wilayah, membuat saya tercengang.

Pasalnya, kode itu sangat familiar dengan saya.

“Alhamdulillah. Tuah, ini dari kampung saya,” teriak saya kepada Tuahta yang duduk di depan komputer saya.

Saya menerima panggilan itu. Ternyata, Hamdan.

“Cek Ran,” kata Hamdan, membuka bicara.

Dia memanggil saya Cek (paman). Sebenarnya, dia bukan keponakan saya. Tapi, karena istrinya keponakan kakak ipar saya, makanya dia juga ikutan memanggil saya cek, seperti halnya dia memanggil kakak ipar saya.

“Tidak usah sedih. Keluarga di kampung tidak apa-apa,” kata dia.

“Alhamdulillah. Bagaimana dengan Abi, Mak dan Abang?” tanya saya tentang keluarga saya, yang tinggal di kampung lain.

“Tidak apa-apa,” kata dia.

“Benar tidak apa-apa?”

“Ya, tadi Abi ada di Keude. Om juga ada. Apa mau bicara sama Om?”

Yang dimaksud Om adalah, abang saya. Memang, selama ini Abi dan Abang saya, berjualan di pasar.

“Tidak usahlah.”

“Tadi Cek Yah mau nelpon, tapi nggak masuk. Susah kali sinyalnya,” kata dia.

“Iya.”

“Makanya, ketika Cek Yah pulang, saya minta nomor HP Cek Ran.”

“Ooo…. Mungkin saya pulang nanti tanggal 1 atau 2 Januari,” kata saya.

“Mau pulang? Tapi di kampung tidak apa-apa.”

“Hom hai, meuka tawoe (Entahlah, pokoknya saya pulang),” kata saya. “Salam saya buat Abi dan Abang, ya.”

Usah menerima kabar itu, saya tak henti-hentinya mengucapkan syukur.

Satu masalah, terlampaui. Kini, saya hanya bisa mencari keberadaan Nurul.

Kepada Tuahta, saya pernah petakan beberapa kemungkinan keberadaan Nurul.

“Ada tiga tempat yang sering berada,” kata saya. “Pertama, dia tidur di rumahnya, Cadek. Kedua, karena terakhir saya telepon dia berada di rumah bibinya, berarti dia berada di Kajhu. Ketiga, dia tidur di rumah kawannya, di kampung Laksana. Nah, kalau dia tidur di Cadek dan Kajhu, kemungkinan besar dia tidak selamat. Tapi, kalau waktu kejadian dia tinggal di Kp Laksana, kemungkinan besar, dia selamat.”

Tuahta manggut-manggut mendengar penjelasan saya.

“Saya berharap, dia berada di Kp Laksana pada malam itu,” harap saya.

Sampai di sini, saya belum beroleh kabar tentang keberadaan dia. Masih di sore itu, entah kenapa jemari saya bergerak mencari nomor HP dia. Saya mencoba menelepon. Tidak tersambungkan. Lalu, jemari saya menulis pesan pendek.

“Gimana kabarnya. Saya sangat mencemaskanmu.” Pesan itu saya tulis dalam bahasa Aceh. Dua nomor HP milik dia, saya kirimi pesan itu. statusnya, Menunggu. Uh! [bersambung]

Kamis, Februari 24, 2005

Kegalauan Media?

Media nasional dan internasional ramai memberitakan sikap baru Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang bersedia melepaskan tuntutan merdeka, yang sudah 30 tahun terakhir ini mereka perjuangkan. Sikap baru GAM itu, kata sejumlah media, dikemukakan oleh Bachtiar Abdullah, jurubicara GAM di Swedia yang hadir dalam perundingan di Helsinki, 21-23 Februari.

Kata Bachtiar Abdullah, GAM bersedia melepaskan tuntutan merdeka dengan sejumlah syarat, di antaranya [dan ini mutlak] penarikan 50,000 pasukan Indonesia yang saat ini diparkir di Aceh, untuk menggempur gerilyawan.

Selain itu, mereka juga meminta supaya ada pemerintahan sendiri (self government) di Aceh, diusut tuntas pelanggaran HAM di Aceh oleh pihak Internasional. Juga, gencatan senjata.

Belum ada respons positif dari Pemerintah Indonesia perihal tuntutan GAM ini.

Oleh media, banyak dilansir berita itu. Anehnya, bahkan GAM dikabarkan sudah menerima otonomi khusus yang ditawarkan Jakarta. Tentu, belakangan Bachtiar Abdullah membantah bahwa pihaknya menerima otonomi khusus.

Media ramai memberitakan tentang polemik GAM menerima Otsus.

***

Akibat berita ini, terjadi pro-kontra di sejumlah warga Aceh. Di milis acehkita, jurnalisme, membangun kembali aceh, kabar GAM menerima Otsus diperbincangkan secara hangat. Bahkan, dia milis acehkita, Syamaun Manyak, yang mengakunya anggota GAM, menolak keras jika pimpinan mereka di Swedia menerima otsus. Kata dia, ini adalah pengkhianatan terhadap perjuangan.

Seorang lain, yang di namanya muncul Sisingamangaraja, juga berkata demikian. Menurutnya, GAM telah berkhianat kepada rakyat Aceh.

Saya tidak tahu di kalangan GAM di lapangan sana. Bisa saja, jika benar seperti diberitakan media, sungguh akan membuat mereka terpukul.

***

Kawan saya pada pagi Rabu (23/2) menghubungi Cowell, semacam staf Humas CMI. Dia menanyakan apakah benar GAM menerima Otsus. Kata Cowell, dia tidak berani mengambil kesimpulan bahwa GAM menerima Otsus yang ditawarkan RI.

“Atas tawaran itu, saya tidak berani menyimpulkan apakah GAM bersikap lebih moderat atau tidak,” kata Cowel.

Saya mengutip acehkita, dalam perundingan kemarin, pihak GAM menegaskan bahwa pihaknya akan meniadakan permintaan merdeka asalkan delegasi RI tidak lagi menyinggung-nyinggung tentang otonomi.

Lalu, polemik itu berakhir setelah Ketua CMI Marti Ahtisari menggelar jumpa pers di Helsinki, pada pukul 15.00 waktu Helsinki atau pukul 20.00 WIB.

Martti menyatakan dalam pembicaraan tiga hari ini, tidak ada persetujuan gencatan senjata (cease fire agreement) melainkan pengaturan gencatan senjata (cease fire arrangement) yang akan dibicarakan kemudian sebagai bagian dari lima agenda yang telah disepakati untuk dibahas.

Kelima agenda tersebut adalah (1) otonomi khusus, atau yang oleh GAM disebut self-government (pemerintahan sendiri); (2) pemberian amnesti kepada anggota GAM dan tahanan politik; dan beberapa instrumen kesepakatan seperti (3) pengaturan keamanan; (4) monitoring dari penerapan kesepakatan; dan (5) kurun waktu pelaksanaan kesepakatan.

***

Ini adalah keterangan resmi dari CMI dan para pihak yang berunding. Namun, anehnya, kabar ini tidak segera menyebar di media nasional. Hingga pukul 02.50 WIB, Kamis (24/2), beberapa media online belum melansir berita ini. Padahal, konferensi pers itu digelar secara langsung melalui internet. Acehkita sendiri, menurunkan sejam setelah konferensi pers.

Besoknya, saya yakin ini menjadi HL [headline]. Koran Tempo, misalnya, menurunkan HL dengan judul GAM Ingin Pemerintahan Sendiri. Di Kompas, berita ini tidak jadi HL. Di Media Indonesia, HL-nya GAM tidak Sebut Tuntutan Merdeka.

Jadi, benarkah media berdiri pada posisi netral dalam memberitakan perundingan GAM dan RI ini? Entahlah, saya tidak terlalu mengerti.

Bagi saya, perundingan ini harus menjadi penuntas konflik di Aceh. Saya berharap, media mendorong proses ini.

Saya yakin, beberapa media nasional, ada yang memprovokasi damai.... selain media alternatif, tentunya. [r]

Senin, Februari 21, 2005

Ingin Sekolah

Pak Polisi, Tentara dan Teungku GAM, jangan usik kami, ya. Kami ingin sekolah, menggapai asa, meraih cita-cita untuk mewujudkan Aceh Damai... Udah dulu, ya, tembak-tembaknya, nanti mati beneran lho....

Lilin Perdamaian untuk Aceh

Ya Allah, berikan Aceh damai....

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting